Striptis sempat dicitrakan sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan ekonomi dan gender. Bermula dari Amerika Serikat, striptis menyebar ke berbagai negara termasuk Indonesia.
KAMERA menyorot satu sudut gelap di ruangan itu. Kemudian sorotan bergerak ke kanan. Di bawah kilau lampu warna-warni, belasan perempuan muda duduk santai dan berjejer. Mereka memakai kaos ketat warna putih dan rok super mini. Suara perempuan menyanyi terdengar mengalun lambat.
Kamera bergerak lagi, menyorot panggung berbentuk setengah oval yang masih kosong. Adegan terpotong, meloncat. Suasana panggung menyeruak ramai dan musik berubah seketika; menghentak cepat.
Lima perempuan muda berdiri di atas panggung. Mereka meliuk-liukan tubuh yang hanya terbalut kaos mini sebatas dada. Bawahannya celana super pendek. Beberapa lelaki, berdiri di depan panggung, menatap saksama.
Adegan meloncat lagi. Kerumunan lelaki di depan panggung bertambah banyak. Suara musik makin keras dan tak jelas. Di panggung tersisa dua perempuan. Tubuh mereka hampir polos. Dada mereka mencuat dan tak tertutup sehelai benang. Selembar cawat tipis menjadi satu-satunya pakaian yang melekat di tubuh. Mereka menari, berputar-putar, dan menggerak-gerakan pinggul.
KAMERA menyorot satu sudut gelap di ruangan itu. Kemudian sorotan bergerak ke kanan. Di bawah kilau lampu warna-warni, belasan perempuan muda duduk santai dan berjejer. Mereka memakai kaos ketat warna putih dan rok super mini. Suara perempuan menyanyi terdengar mengalun lambat.
Kamera bergerak lagi, menyorot panggung berbentuk setengah oval yang masih kosong. Adegan terpotong, meloncat. Suasana panggung menyeruak ramai dan musik berubah seketika; menghentak cepat.
Lima perempuan muda berdiri di atas panggung. Mereka meliuk-liukan tubuh yang hanya terbalut kaos mini sebatas dada. Bawahannya celana super pendek. Beberapa lelaki, berdiri di depan panggung, menatap saksama.
Adegan meloncat lagi. Kerumunan lelaki di depan panggung bertambah banyak. Suara musik makin keras dan tak jelas. Di panggung tersisa dua perempuan. Tubuh mereka hampir polos. Dada mereka mencuat dan tak tertutup sehelai benang. Selembar cawat tipis menjadi satu-satunya pakaian yang melekat di tubuh. Mereka menari, berputar-putar, dan menggerak-gerakan pinggul.
Adegan ini berlangsung di sebuah klub malam di Jakarta dan diabadikan melalui kamera ponsel pada 9 September 2009 malam. Video ini baru diunggah ke situs Youtube pada 21 Desember 2011. Pengunggahnya memberi judul “Striptease at The Classic Hotel in Central Jakarta”.
Di Indonesia, pertunjukan striptis bukan rahasia umum lagi. Video striptis mudah tersua di Youtube. Pertunjukan itu berlangsung di hotel, ruang karaoke, dan klub malam. Biasanya, pertunjukan digelar malam hari dan diiringi musik. Ini kebiasaan yang tak berubah sejak striptis kali pertama diperkenalkan pada abad ke-19 di Amerika Serikat.
Lydia Thompson. (myspace.com).
Dari Panggung Teater
Usianya belum mencapai kategori dewasa. Tapi Lydia Thompson, pemain teater berkebangsaan Inggris, sudah berkeliling Eropa selama tiga tahun. Di banyak tempat, kemampuan beraktingnya memukau penonton. Lydia pemain teater multitalenta. Menyanyi dan menari bisa dia lakoni dengan sama baiknya. Maka dia lekas jadi primadona panggung burlesque, sebuah teater parodi yang berasal dari Italia pada abad ke-16 dan berkembang di wilayah Eropa pada abad ke-17.
Lydia kembali ke tanah kelahirannya pada 1859 dan tampil di panggung lokal. Dari panggung itu, dia bertemu Henderson yang kemudian jadi suaminya. Bersama suaminya, dia berlayar ke New York, Amerika Serikat, pada 1868. Dia juga membawa rombongan teaternya, The British Blondes, untuk mewujudkan ambisinya: memperkenalkan burlesque di kota seribu pertunjukan itu.
“Kala itu, New York semarak dengan aneka macam hiburan teaterikal,” tulis Siobhan Brooks dalam Unequal Desire: Race and Erotic Capital in the Stripping Industry. Meski disebut kota pertunjukan, tak semua hiburan bisa diterima warga New York. Kehadiran burlesque mengusik kaum menengah kota itu. Teater itu tak lazim karena mempertontonkan perempuan bercelana pendek. Belum lagi leluconnya yang cenderung kasar dan cabul.
Kebanyakan teater kala itu tak menampilkan perempuan. Kalaupun ada, mereka harus berperan sebagai lelaki atau memakai rok panjang. “Perempuan terhormat kala itu dicitrakan dengan rok panjang,” tulis Rachel Shteir dalam Striptease: The Untold History of the Girlie Show. Penonton pun harus tertib dan berpakaian rapi. Mereka tak boleh ribut, tertawa berlebihan, atau bertepuk tangan di tengah pertunjukan.
Berbeda dari kelas menengah kota, kaum pekerja menerima kehadiran burlesque. Penampilan Thompson dan rombongannya selalu ditunggu. Pertunjukan itu kerap digelar di bar-bar kecil (concert saloon) –Siobhan Brooks menyebut concert saloon sebagai pelopor klub malam– bersama pertunjukan lainnya, seperti komedi tunggal (stand up comedy). Penonton bisa menyaksikannya sambil menenggak alkohol, sesuatu yang tak mungkin dilakukan di dalam gedung teater kebanyakan.
Sepeninggal Lydia, pertunjukan ini kian berani. Cara pandang kaum menengah kota diserang. Perempuan penampilnya sering mengejek laku lancung kaum menengah kota. Ketidakadilan ekonomi dan jender menjadi sasaran tembaknya. Khusus tema terakhir, mereka menyimbolisasikannya dengan melepas pakaian hingga yang tersisa hanyalah celana pendek. Di tengah iringan musik paduan suara, mereka menggoda penonton lelaki. Inilah muasal istilah striptease.
Memasuki abad ke-20, pertunjukan ini beroleh tempat yang lebih layak. Berlokasi di 42nd street, dekat Times Square, New York, penonton yang hadir lebih beragam. Tak peduli asal-usul kelas. Tapi penolakan masyarakat tak berhenti. “Polisi sering menangkap stripper (penari telanjang) di pertunjukan itu karena alasan melanggar kesusilaan. Juri atau hakim akan menilai apakah tarian mereka melanggar norma atau tidak,” tulis Rachel Shteir dalam Gypsy: The Art of Tease.
Tindakan polisi tak berarti banyak. Pertunjukan ini tetap berlangsung. Bahkan pada 1930-an, sejumlah perempuan bercita-cita tampil di atas panggung burlesque. Selain ketenaran, mereka berharap bisa meraup uang melalui panggung ini. Untuk kali pertama, tarian ini dikomodifikasi.
Gypsy Lee berusaha mengubah itu. Perempuan ini memadukan ketelanjangan dengan kecerdasan. “Dia gemar membaca buku sastra dan mendengarkan musik klasik,” tulis Rachel. Dia ingin mengikis citra banal penari telanjang. Menurutnya, penari telanjang berbeda dengan pelacur. Dia bahkan mendirikan sekolah khusus striptis.
Setelah Perang Dunia II, unsur kritik dan seni dalam teater burlesque mengendur. Bersama itu, muncul pula suguhan tari telanjang yang berbeda dari burlesque. Suguhan itu ditampilkan klub-klub malam di berbagai kota di AS. Tapi kemunculan majalah pria dewasa, Playboy, dan industri film porno langsung menghantam suguhan banal itu. Ketelanjangan lebih mudah diakses.
Memasuki 1960-an, industri film porno kian kuat. Beberapa klub malam memang masih berdiri di AS, namun penonton striptis menurun. “Orang Amerika tak bisa lagi bersabar. Mereka tak mau menunggu lama di ruang gelap hanya untuk menantikan stripper muncul dan menggoda mereka,” tulis Rachel.
Di ujung kehancurannya, striptis justru menyebar ke luar AS. Indonesia, misalnya, menjadi negara yang menampung pertunjukan ini.
Pertemuan para pengusaha di Miraca Sky Club, Sarinah tahun 1968. (IPPHOS/Perpusnas RI).
Pro-Kontra
Miraca Sky Club bisa disebut sebagai klub malam pertama yang menggelar striptis di Indonesia. Pemiliknya seorang tokoh sohor perfilman nasional, Usmar Ismail. Berlokasi di lantai teratas Gedung Sarinah, Jakarta, kemunculan klub malam ini tak lepas dari pembangunan Jakarta pada masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965).
Kurun itu Sukarno berusaha mewujudkan proyek mercusuarnya: Jakarta sebagai ibukota negara dunia ketiga. Sarinah, gedung bertingkat 14, menjadi salah satu penandanya; sebuah pasar serba ada yang belum banyak dimiliki negara dunia ketiga. “Department store umumnya dibuka sampai jam 6 sore. Di Sarinah nanti akan dibuka coffee shop dengan tarif murah, cafeteria dengan self-service, restoran dengan masakan Indonesia dan Tionghoa serta night club,” tulis Djaja, 19 Desember 1964.
Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta sejak 1966, meneruskan cita-cita Sukarno dengan cara agak berbeda. Dia tak menyalahkan proyek mercusuar itu. Menurutnya pembangunan semacam itu bukan hanya untuk kebanggaan nasional, tapi juga kebutuhan. “Karena Jakarta pada masa Orde Baru adalah pusat investasi asing,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun.
Susan menilai dalam banyak hal Ali Sadikin punya kesamaan visi dengan Sukarno: Jakarta harus dikembangkan hingga setara dengan kota-kota besar lainnya di dunia. Ali Sadikin memperkuat gagasannya dengan hukum. Dia mengeluarkan Kebijaksanaan Gubernur DKI Jakarta No. 1b 3/1/41/68. Isinya antara lain memberi ruang bagi pengusaha untuk menggelar hiburan internasional. Maka kehadiran Miraca Sky Club menemukan legitimasinya. Terlebih lagi striptis.
Seperti awal kemunculannya di AS, striptis tak lantas diterima. Harian Kompas melontarkan tanya mengapa tarian itu bisa lulus sensor. Kompas menganggap tarian itu di luar batas norma-norma kesusilaan Indonesia. “Penari-penari boom sex itu hampir seluruhnya hanya mempertontonkan kemahirannya goyang pantat, kocok-kocok dada dan bagian vital wanita lainnya,” tulis Kompas, 16 Maret 1968, menyikapi striptis yang digelar di Miraca.
Tanya itu berlalu tanpa jawaban dari Miraca. Mereka tetap menampilkan striptis pada malam tertentu. Meski penarinya berasal dari luar negeri, kecaman terhadap Miraca terus terlontar. Kali ini dari masyarakat.
Tari striptis. (Repro Editor, 26 September 1992).
Sebuah surat pembaca muncul di harian Kompas pada 6 Mei 1968. Pengirimnya seorang ibu rumah tangga. Dia berkeberatan terhadap pertunjukan striptis yang berlangsung di Miraca Sky Club, Jakarta, pada 2 Mei 1968. “Saya bukan orang yang kolot dan fanatik agama tetapi saya tak dapat menerima tarian semacam itu.”
Menurutnya, tarian itu benar-benar memuakkan. “Kami menyaksikan bagaimana penari striptease dengan gaya-gayanya yang menonjolkan sex-nya telah membuka pakaian bikininya dengan meminta pertolongan salah seorang penonton pria yang terus dapat ciuman mesra dan terus melemparkan pakaiannya yang satunya dan menari-nari. Meskipun masih ada kain sepotong kecil untuk penutup.” Dia menyarankan klub malam itu agar menampilkan tarian khas Indonesia.
Seorang ahli hukum mencoba mengambil sikap tengah. Melalui kolomnya di Kompas, 23 Agustus 1969, Baroto berpendapat, “Pemerintah DCI (Daerah Chusus Ibukota) agar mengadakan lokalisasi pertunjukan striptease di tempat khusus yang jauh dari pusat kehidupan masyarakat dan merumuskan/menyempurnakan ketentuan-ketentuan pengamanan/ketertibannya.”
Baroto mengambil contoh Amerika Serikat. Di negara itu, menurutnya, pertunjukan hanya ada di kota-kota tertentu; “Kota industri, dagang, pelabuhan, atau kota-kota kecil yang memang khusus untuk hiburan, seperti Las Vegas dan Reno.” Soal kecabulan, dia tak berkomentar. Kecabulan menyangkut norma. Dan norma adalah kesepakatan bersama.
Ali Audah, cendekiawan muslim, menilai kemunculan striptis bermasalah karena berada di tengah kontras masyarakat kaya dan miskin. “Kontras dan gaya hidup ini akan berakibat kurang baik,” kata Ali Audah, dikutip Kompas, 20 Oktober 1969. Tentang striptis sebagai persoalan moral, menurut Ali, itu berpulang kepada tanggung jawab pribadi yang menontonnya.
Tari striptis berpasangan. (Repro Flambojan, 27 Januari 1973).
Pasang Surut
Memasuki 1970, klub malam bermunculan di Jakarta bak cendawan. Setidaknya hingga Desember 1970, ada 20 klub malam di Jakarta. Sebagian besar dimiliki kalangan militer dan purnawirawan. Antara lain Latin Quarter di Jalan Majapahit. “Tempat minum dan dansa ini dimiliki oleh H. Abulhayat, seorang purnawirawan AD,” tulis Zeffry al-Katiri dalam Pasar Gambir, Komik Cina, dan Es Shanghai.
Susan Blackburn menyebut klub malam sebagai ajang pamer kekayaan bagi masyarakat kelas atas. (Almarhum) Firman Lubis pernah mengatakan kepada Historia, “Night club menjadi pilihan utama bagi para penikmat hiburan malam yang kebanyakan dari mereka adalah kelas menengah dan pejabat-pejabat pemerintahan.”
Untuk sekali masuk klub malam, orang harus menyediakan dana 5.000 sampai 8.000 rupiah. Ini baru tiket untuk melihat pertunjukan striptis. Belum ditambah biaya lainnya seperti makan dan minum. Pengusaha mematok tinggi harga masuk karena pertunjukan itu eksklusif dan stripper-nya dibayar mahal. “Penari-penari telanjang di klub kami mendapat honor 150 US dolar semalam untuk dua kali muncul,” kata Suratman, manajer La Casa Cosyndo, dikutip Ekspres, 16 Agustus 1971.
Meski mahal, striptis menarik minat kalangan atas. Pertunjukan ini laku. Terbukti pengunjung hampir memenuhi tiap kursi yang disediakan. Untuk mengetahui di mana dan kapan pertunjukan digelar, mereka mencari informasi dari media. “Suatu promosi terbuka yang terang-terangan disiarkan di muka umum oleh pers-pers Indonesia melalui iklan-iklan komersil. Lengkap dengan gambar atau foto yang erotis,” tulis Ekspres.
Tapi masyarakat punya titik jenuh juga. Pertunjukan itu hanya menikmati masa keemasannya selama delapan tahunan. Pada 1976, jumlah klub malam di Jakarta bisa dihitung dengan jari. Bangkrut. Ini karena striptis tak lagi diminati. Padahal daya tarik klub malam adalah striptis.
“Masyarakat lebih menyenangi tontonan komedi,” kata Krisbiantoro, artis sekaligus manajer klub malam Tropicana, dikutip Kompas, 2 Oktober1976. Padahal kala itu gerakan stripper kian menantang. Mereka tak hanya mulai telanjang bulat, tapi juga menirukan gerak bersanggama. Masa ini ditandai pula dengan masuknya penari lokal ke dunia striptis.
Tapi striptis kian sulit dipentaskan pada 1980-an. Tjokropranolo, gubernur Jakarta, secara tegas menolak izin pertunjukan ini, apalagi yang menampilkan penari lokal. Karena itu, sejumlah penyelenggara striptis menggelarnya sembunyi-sembunyi.
Striptis mulai dilirik kembali pada 1990-an. Bahkan striptis mulai berasosiasi dengan pelacuran. Stripper bisa dipesan dan dibawa keluar. “Jika suka, si pemesan boleh mengajak tidur para penari itu hingga pagi dengan tambahan beberapa ratus ribu rupiah,” tulis Editor, 26 September 1992.
Jika hanya ingin menikmati suguhan striptis, orang harus membayar minimal 300 ribu rupiah untuk tarian berdurasi 5–10 menit. Harga itu sudah sangat mahal pada masanya. Keadaan ini berubah memasuki dekade 2000.
Striptis bukan lagi tontonan mahal. Di sejumlah hotel dan klub malam di Jakarta, orang bisa langsung menonton striptis dengan membayar tiket masuk sebesar 75 ribu rupiah. Di tempat lain, kawasan Ancol misalnya, harga tiketnya jauh lebih mahal; mencapai jutaan rupiah.
Kini striptis punya kelas masing-masing: mulai kaki lima sampai hotel bintang lima.