Tak perlu menjadi kecap nomor satu. Bertahan sejak zaman revolusi pun sudah menjadi penanda jaminan mutu. Itulah kecap cap Zebra yang diproduksi di Bogor.
Pabrik kecap cap Zebra di Cihideung Ilir, Bogor. (Aryono/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
KABAR Proklamasi akhirnya sampai ke Bogor. Masyarakat menyambut gembira. Bendera merah putih berkibar. Pasar menjadi lebih ramai. Di tengah euforia kemerdekaan, Soedjono datang mengadu nasib ke Bogor, meninggalkan tanah kelahirannya di Juwana, Pati, Jawa Tengah. Modalnya cuma satu: keahlian membuat kecap manis.
Soedjono (Cheng Tjong Tian) lahir dari keluarga pengusaha tahu dan kecap di daerah Juwana, Pati, Jawa Tengah, sekira tahun 1907. Dari orang tuanya, Soedjono mewarisi keahlian membuat kecap. “Dengan bakat membuat kecap dari engkong (kakek) dari Juwana, ayah saya membuka usaha di Bogor,” ujar Soenardi, 82 tahun, putra sulung Soedjono.
Di Bogor, Soedjono tinggal di Purbasari, kawasan Gunung Batu –sekarang masuk wilayah administrasi kecamatan Bogor Barat. Di sana dia membeli rumah dengan lahan seluas sekira 1.500 meter persegi. Dibantu empat pekerja, mulailah dia membuat kecap manis, yang mendapat label kecap cap Badak. Awalnya dia hanya memenuhi kebutuhan kecap masyarakat setempat. Usahanya laris manis. Setelah usahanya mapan, Soedjono memboyong istri, anak, dan orang tuanya ke Bogor.
KABAR Proklamasi akhirnya sampai ke Bogor. Masyarakat menyambut gembira. Bendera merah putih berkibar. Pasar menjadi lebih ramai. Di tengah euforia kemerdekaan, Soedjono datang mengadu nasib ke Bogor, meninggalkan tanah kelahirannya di Juwana, Pati, Jawa Tengah. Modalnya cuma satu: keahlian membuat kecap manis.
Soedjono (Cheng Tjong Tian) lahir dari keluarga pengusaha tahu dan kecap di daerah Juwana, Pati, Jawa Tengah, sekira tahun 1907. Dari orang tuanya, Soedjono mewarisi keahlian membuat kecap. “Dengan bakat membuat kecap dari engkong (kakek) dari Juwana, ayah saya membuka usaha di Bogor,” ujar Soenardi, 82 tahun, putra sulung Soedjono.
Di Bogor, Soedjono tinggal di Purbasari, kawasan Gunung Batu –sekarang masuk wilayah administrasi kecamatan Bogor Barat. Di sana dia membeli rumah dengan lahan seluas sekira 1.500 meter persegi. Dibantu empat pekerja, mulailah dia membuat kecap manis, yang mendapat label kecap cap Badak. Awalnya dia hanya memenuhi kebutuhan kecap masyarakat setempat. Usahanya laris manis. Setelah usahanya mapan, Soedjono memboyong istri, anak, dan orang tuanya ke Bogor.
Dari perkawinannya dengan Tio Idjeh Nio, Soedjono memiliki tiga putra: Cheng Siong Liem, Cheng Seng Djan, dan Cheng Seng Hien. “Adik saya ada dua, nama panggilan Indonesianya Ayem dan Seneng. Namun keduanya sudah lebih dulu meninggal,” ujar Soenardi, yang punya nama Tionghoa Cheng Siong Liem.
Keberadaan keluarga rupanya memberikan peruntungan. Soedjono mulai kebanjiran permintaan. Bukan hanya dari sekitar Bogor, tapi juga Depok dan Sukabumi. Kala itu, untuk mendistribusikan kecapnya, Soedjono mengandalkan sarana angkutan gerobak.
Label kecap cap Zebra. (Aryono/Historia.ID).
Ganti Kendali
Kesuksesan Soedjono tercium kompetitor lain. Seorang pengusaha kecap di Bogor menjiplak mereknya. Akibatnya muncul Badak kembar di pasaran. Tak terima, Soedjono menempuh jalur hukum. Di pengadilan kedua Badak beradu kekuatan. Namun, Soedjono kalah. “Kecap kami saat itu belum dipatenkan, sementara cap Badak lain sudah lebih dulu mematenkan produknya,” ujar Joko Pramono, berusia 68 tahun, karyawan di pabrik kecap Zebra.
Dari sini keuletan bisnis Soedjono diuji. Kalah di pengadilan tak membuatnya menyerah. Dia tetap memproduksi kecap dengan mengganti label. Pilihan mereknya masih menggunakan nama satwa: kecap cap Zebra. “Mungkin pikirnya, nama Zebra di semua tempat sama. Kalau singa kan di luar negeri disebut lion,” ujar Joko.
Meski berganti merek, kecap bikinan Soedjono tak kehilangan pelanggan. Kecapnya masih disukai dan dicari orang. Namun, setelah 20 tahun merintis usaha, Soedjono undur diri. Dia meninggal dunia pada usia 58 tahun. Sejak itu, Soenardi memegang kendali kecap cap Zebra.
Soenardi berupaya mempertahankan usaha rumahan ini. Bukan hal mudah. Krisis politik dan ekonomi baru saja menguncang Indonesia pasca peristiwa 1965. Toh, di bawah kendali Soenardi, kecap Zebra bisa bertahan dan kemudian kian berkembang. Ketika Purbasari mulai padat penduduk, Soenardi berniat memindahkan pabriknya ke daerah pinggiran.
“Saat itu sudah ada pemberitahuan dari pemerintah kota Bogor yang melarang adanya pabrik di tengah kota,” kata Soenardi.
“Jika pabrik ada di tengah kawasan permukiman, tentu saja akan timbul masalah dengan warga sekitar. Selain itu juga dalam rangka memperluas pabrik,” ujar Joko.
Soenardi akhirnya membeli sebidang tanah sekira seluas 3.000 meter persegi di Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea, Bogor, dan membangun pabrik. Pada 1983, kecap Zebra menempati pabrik baru, sementara rumah di Purbasari hanya digunakan sebagai tempat tinggal.
Kecap cap Zebra. (Aryono/Historia.ID).
Menjaga Pelanggan
Siang itu, pertengahan September 2013, Soenardi duduk di teras kantor. Di dekatnya tersaji segelas minuman. Meski sudah berusia lanjut, dia masih kerap bertandang ke pabrik kecap Zebra di Cihideung Ilir, sekira 200 meter dari kantor kelurahan.
Pabrik kecap Zebra menempati areal lahan berbentuk huruf U. Bagian produksi terletak menjorok ke belakang. Sementara bagian depan, sisi kanan, digunakan sebagai kantor operasional harian. Di bagian belakang kantor, berderet rumah-rumah yang dijadikan mess atau tempat tinggal karyawan. Persis di samping kantor, berjajar beberapa armada truk untuk mendistribusikan kecap –tak lagi menggunakan gerobak seperti masa Soedjono.
Soenardi tinggal menikmati masa jaya usaha yang dirintis ayahnya. Kecap Zebra memang tetap menjadi usaha skala kecil, tapi ia layak bangga kecap ini bisa bertahan dari gempuran produk kecap dari perusahaan-perusahaan raksasa. Zebra juga melewati krisis ekonomi yang menumbangkan pemerintahan Soeharto.
Krisis ekonomi berdampak pada penurunan penjualan. Namun, penurunan itu hanya terjadi satu tahun. Tahun-tahun berikutnya Zebra kembali meraih angka penjualan seperti sebelum krisis. Dalam “Analisis Kelayakan Investasi Perluasan Usaha Perusahaan Kecap Cap Zebra Bogor”, tesis Program Studi Magister Manajemen Agribisnis di Program Pascasarjana IPB tahun 2002, Yoyo Setiahardja menunjukkan besarnya angka penjualan kecap Zebra. Pada 2000 saja Zebra membukukan angka penjualan sekira Rp4,4 miliar, hasil dari penjualan 92.269 lusin botol atau sama dengan 1.107.228 botol. Volume penjualan itu terlihat sangat besar jika dibandingkan total penjualan lima perusahaan kecap lainnya di Bogor, yaitu Kidang Mas, Periangan, Bemo, Teratai Sedap, Nutiffod Ind, yang hanya mencapai 92.500 botol.
Kecap cap Zebra. (Aryono/Historia.ID).
Kini, Soenardi tak lagi mengelola Zebra. Dia sudah menyerahkan kendali usaha ini kepada putra bungsunya, Gunawan. “Sebenarnya belum dilepas benar kepada Pak Gunawan karena Pak Nardi masih merasa perlu untuk terus mempertahankan Zebra,” ujar Joko.
Sebagai sebuah perusahaan keluarga, setiap keputusan penting selalu dibicarakan di antara anggota keluarga. Termasuk kerabat yang bekerja di sana. “Misalnya tentang iklan. Kami memutuskan tak ingin menggunakan iklan besar, sebab di luaran sudah banyak produk kecap dari perusahaan raksasa yang merajai,” ujar Joko, yang masih kerabat dari istri Soenardi.
Menurut Edy Safni Rosa dalam tesisnya di Institut Pertanian Bogor tahun 2003 berjudul “Analisis Manajemen Strategi PD Kecap Zebra dalam Menghadapi Persaingan yang Lebih Kompetitif ”, yang sebagian diterbitkan dalam jurnal Ranggagading Vol. 10 Tahun 2012, pabrik kecap Zebra memilih promosi penjualan dengan sasaran pengecer atau toko. Tak ada iklan sama sekali. Bentuk promosi penjualan bisa berupa kelonggaran pembayaran, potongan harga, hingga hadiah langsung.
“Prinsipnya sekarang bagaimana mempertahankan pelanggan Zebra saja,” ujar Joko. Salah satu kiat mempertahankan pelanggan adalah menjaga kualitas mutu, rasa, dan harga.
Proses pengepakan kecap cap Zebra. (F.X. Puniman).
Bertahan dari Gempuran
Dalam proses pembuatannya, kecap bisa dibuat dari kedelai hitam dan kuning. Namun Zebra memilih menggunakan kedelai hitam. Alasannya, kedelai hitam lebih keras dan tidak hancur ketika proses fermentasi. Selain itu, “bahan baku kedelai hitam masih bisa didapatkan dan tak terpengaruh lonjakan harga seperti kedelai kuning,” ujar Joko.
Proses pengolahan kedelai sejak fermentasi, pengambilan sari kedelai, baceman, penyaringan, hingga pemasakan di pabrik Zebra memakan waktu hingga dua bulan. “Lamanya waktu produksi disebabkan kami masih mempertahankan cara tradisional. Misal dalam memperoleh sari kedelai kami tidak menggunakan mesin pres,” ujar Joko.
Kombinasi fermentasi kedelai hitam dengan gula kelapa menghasilkan komposisi rasa dan warna kecap Zebra yang khas. “Warnanya coklat pekat, agak hitam, dan menghasilkan rasa manis gurih yang pas,” terang Joko.
Untuk memproduksi kecap, Zebra merekrut penduduk setempat. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok: karyawan bulanan, karyawan harian, dan karyawan borongan. “Perbedaan ketiganya didasarkan pada status dan sistem pembayaran karyawan,” tulis Edy Safni Rosa.
Pabrik kecap Zebra masih mempertahankan bahan botol kaca, dengan ukuran 620 ml dan 275 ml. Selain itu, Zebra menyediakan kemasan plastik untuk isi ulang dalam ukuran 600 ml. Saat ini (2013), untuk pembelian langsung dari pabrik, harga kecap Zebra botol besar (620 ml) Rp162.600 per lusin atau sekitar Rp13.550 per botol. Zebra berupaya mematok harga murah demi menjaga pelanggan dari godaan gempuran kecap merek besar.
“Kita tetap menjaga harga. Sebab, berapa pun kenaikannya, respons masyarakat kalangan bawah tentu bermacam-macam,” tutur Joko. Di wilayah Bogor, kecap Zebra mudah ditemukan di warung-warung makan yang menjual doclang, soto, hingga batagor. Makanan-makanan ini terasa tak pas di lidah jika tak menggunakan kecap Zebra.
Selama 68 tahun mampu bertahan sebagai produsen kecap bisa dikatakan sebagai satu prestasi tersendiri. Zebra harus terus tahan banting tanpa harus banting harga. Namun Zebra juga beruntung punya pelanggan loyal yang tak bisa beralih dari merek dan rasa kecap Zebra. Ini membantu asap pabrik Zebra tetap mengepul di tengah persaingan usaha kecap. Di banyak tempat, termasuk Bogor sendiri, dominasi produk kecap nasional sudah meminggirkan produsen kecap lokal.
“Dulu di Bogor ada sekitar delapan merek kecap lokal, namun sekarang cuma tinggal Zebra dan cap Bemo,” kenang Soenardi.*