Jalan Terjal Masyumi Menuju Ajal

Mewadahi sejumlah partai politik dan organisasi Islam, jalan Masyumi seakan tak terbendung. Konflik internal membuatnya rapuh.

OLEH:
Budi Setiyono
.
Jalan Terjal Masyumi Menuju AjalJalan Terjal Masyumi Menuju Ajal
cover caption
Kabinet Mohammad Natsir (1950-1951). (Perpusnas RI).

SETELAH serangkaian diskusi mengenai masa depan politik Islam, timbul gagasan untuk mendirikan organisasi politik. Pada Oktober 1945, sebuah komite dikepalai Mohammad Natsir dibentuk untuk merealisasikan rencana tersebut. Tak lama, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat No. X tentang anjuran membentuk partai-partai politik.

Natsir bergerak cepat. Pada 7–8 November 1945, di Gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta, dihelatlah Kongres Umat Islam yang dihadiri para pemimpin muslim dan perwakilan organisasi muslim. Kongres memutuskan pembentukan satu-satunya partai politik yang menyalurkan aspirasi politik umat Islam.

Peserta kongres memilih nama Masyumi, tapi bukan merujuk pada Majelis Syuro Muslimin Indonesia di masa Jepang, ketimbang nama lain yang diusulkan, Partai Rakyat Islam. Sukiman Wirjosandjojo, ketua kongres, terpilih sebagai ketua umum.

SETELAH serangkaian diskusi mengenai masa depan politik Islam, timbul gagasan untuk mendirikan organisasi politik. Pada Oktober 1945, sebuah komite dikepalai Mohammad Natsir dibentuk untuk merealisasikan rencana tersebut. Tak lama, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat No. X tentang anjuran membentuk partai-partai politik.

Natsir bergerak cepat. Pada 7–8 November 1945, di Gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta, dihelatlah Kongres Umat Islam yang dihadiri para pemimpin muslim dan perwakilan organisasi muslim. Kongres memutuskan pembentukan satu-satunya partai politik yang menyalurkan aspirasi politik umat Islam.

Peserta kongres memilih nama Masyumi, tapi bukan merujuk pada Majelis Syuro Muslimin Indonesia di masa Jepang, ketimbang nama lain yang diusulkan, Partai Rakyat Islam. Sukiman Wirjosandjojo, ketua kongres, terpilih sebagai ketua umum.

Sebagaimana disebutkan dalam Anggaran Dasar, Masyumi memiliki tujuan: terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Illahi.

Beberapa organisasi yang di masa Jepang berafiliasi dengan Masyumi menjadi anggotanya. Organisasi Islam lainnya kemudian ikut bergabung. Selain organisasi, Masyumi menerima anggota perorangan. Dualisme keanggotaan ini didasarkan pertimbangan untuk memperbanyak anggota dan “agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat, tanpa ada yang merasa tidak diwakili,” tulis Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional.

Dengan sistem keanggotaan semacam itu, banyak yang memprediksikan bahwa Masyumi akan memenangi pemilihan umum. Namun, sistem ini juga punya kelemahan. Sistem ini, menurut George McT Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, menjadikan Masyumi “partai politik terbesar di Indonesia tapi kurang terorganisasi” atau dalam istilah Sjafruddin Prawiranegara, ketua terkemukanya, “seekor gajah yang mengidap beri-beri”.

Gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta.

Dua Faksi

Sejak didirikan, ada dua arus pemikiran di dalam Masyumi. Kahin menyebut dua kelompok itu adalah kaum sosialis-religius dan para pemuka agama yang konservatif dan berasal dari golongan tua. “Umumnya silang pendapat dalam tubuh Masyumi adalah perihal penafsiran apa dan bagaimana nilai-nilai sosial Islam hendaknya diterapkan di Indonesia,” tulis Kahin.

Kelompok sosialis-religius, yang dipimpin Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Mohammad Roem menemukan pijakan yang sama dengan kaum sosialis moderat pengikut Sutan Sjahrir maupun para pemimpin progresif dari Partai Kristen. Sementara kelompok konservatif, golongan tua, dipimpin Sukiman Wirjosandjojo dan Jusuf Wibisono.

Dua arus pemikiran itu sering disebut sebagai konflik antargenerasi. Menurut Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, perbedaan itu juga bisa dilihat dari simpul-simpul yang terjalin selama tahun-tahun 1930-an.

Sukiman, seorang Jawa, sudah memulai karier panjang di dunia politik sebelum masa perang. Pernah memimpin Perhimpunan Indonesia, menjadi anggota Sarekat Islam (kemudian jadi Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII), dan membidani Partai Islam Indonesia (PII) yang menerima anggota dari organisasi lain seperti Muhammadiyah. Semasa pendudukan Jepang, dia menjadi anggota Majelis Islam A’la Indonesia.

Masyumi menjadi partai politik terbesar di Indonesia tapi kurang terorganisasi seperti seekor gajah yang mengidap beri-beri.

Natsir mula-mula bekerja sebagai guru di Persatuan Islam, lalu bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB) dan PII. DI JIB, dia bergaul erat dengan Kasman Singodimedjo, Roem, Jusuf Wibisono, Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin. Sementara di PII, dia mengenal Isa Anshary.

“Sukiman memasuki agama melalui politik, dan sepak terjang perjuangannya selalu tak lepas dari urutan prioritas tersebut. Sedangkan Natsir menempuh jalan sebaliknya,” tulis Remy Madinier.

Organisasi istimewa yang bergabung ke Masyumi terseret dalam arus; Muhammadiyah mewakili sayap moderat dan Nahdlatul Ulama (NU) sayap konservatif. Anggota organisasi lainnya memiliki pandangan yang terkadang berbeda. Persatuan Islam, misalnya, menunjukkan suara “Islam radikal”, yang tak henti mengupayakan pembentukan negara Islam dan penerapan hukum Islam.

“Hubungan antara faksi-faksi muslim selalu sulit dan, meskipun ada upaya untuk menjaga perbedaan doktrinal dan praktis dalam perspektif umum, ada gesekan kuat yang sulit diatasi saat-saat krisis dan menentukan,” tulis Howard M. Federspiel dalam Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State.

Kabinet Sukiman-Suwiryo (1951-1952). (ANRI).

Masa Revolusi

Perbedaan di antara faksi Masyumi segera terlihat di awal revolusi, yang membuat Masyumi bersikap mendua: memilih menjadi partai oposisi tapi membiarkan anggota-anggotanya, atas nama perorangan, masuk Kabinet Sjahrir. Pertentangan terbuka pecah ketika kabinet menandatangani Perjanjian Linggarjati. Masyumi, yang menolak perundingan, memerintahkan anggota-anggotanya mengundurkan diri dari kabinet, tetapi mendapat penolakan. Namun, pertentangan ini tak sampai meruntuhkan partai.

Justru sikap oposisi Masyumi yang berdampak pada perpecahan. Beberapa mantan pemimpin PSII yang merasa kurang mendapat tempat dalam jajaran kepemimpinan Masyumi ikut dalam pembentukan Kabinet Amir Sjarifuddin. Mereka menghidupkan kembali PSII dan memilih keluar dari Masyumi.

Agresi militer Belanda akhirnya mendorong Masyumi ambil bagian dalam kabinet, karena “merasa bertanggung jawab atas perjuangan Republik Indonesia menghadapi Belanda.” Peranan Masyumi dan tokoh-tokohnya begitu kuat di masa Kabinet Hatta. Sjafruddin memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Yogyakarta jatuh. Roem memimpin perundingan Roem-Royen, yang menjadi langkah menuju pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar. Peranan tokoh-tokoh Masyumi dari faksi Natsir, tulis Remy, “menguatkan kedudukan mereka di tubuh partai.”

Ini terlihat dalam muktamar di Yogyakarta pada Desember 1949 di mana Natsir terpilih sebagai ketua umum. Sementara Sukiman, dengan alasan menghormati kapasitasnya sebagai figur sentral, diangkat menjadi “ketua kehormatan”, “Ketua Muktamar dan Dewan Partai”.

“Kedudukan Sukiman justru memunculkan dualisme kepemimpinan Masyumi. Pada 1952, kedudukan itu dihapuskan dan Sukiman menjadi wakil ketua partai di bawah Natsir,” tulis Deliar Noer.

Muktamar tahun 1949 juga memperlemah barisan pendukung Sukiman. Fungsi Majelis Syuro, yang berisi para kiai atau ulama, dipreteli, menjadi hanya sebagai dewan konsultatif yang tak mempengaruhi kebijakan partai.

Sejak itu kelompok Natsir lebih memainkan peranan penting, kendati perlawanan kelompok Sukiman juga tak melemah.

Kabinet Wilopo (1952-1953) setelah Prawoto Mangkusasmito gagal membentuk kabinet. (Perpusnas RI).

Memimpin Kabinet

Peranan sayap Natsir di masa Kabinet Hatta menentukan langkah Masyumi dalam pemerintahan di era jatuh-bangun kabinet. Selama kurun waktu 1950–1956, Masyumi memimpin tiga kabinet (Natsir, Sukiman, Harahap) dan menjadi pimpinan bersama dalam Kabinet Wilopo. Namun, selama itu guncangan di tubuh partai tak lantas reda.

Sejak pembentukan Kabinet Natsir, kelompok Sukiman melontarkan kecaman. Mereka merujuk keputusan muktamar yang melarang ketua umum menjadi menteri. Namun, keputusan itu diubah Dewan Partai dalam konferensi di Bogor pada Juni 1950 yang menonaktifkan Natsir sebagai ketua umum dan menunjuk Jusuf Wibisono sebagai penjabat ketua. Kelompok Sukiman juga mengecam terbentuknya zaken kabinet, bukan kabinet koalisi seperti diperintahkan presiden, dengan tidak melibatkan PNI.

Kendati demikian, Sukiman yang menjadi ketua fraksi Masyumi di parlemen menerima program pemerintah. Sementara Jusuf Wibisono dan Burhanuddin Harahap meninggalkan sidang ketika pemungutan suara.

Akibat mosi Hadikusumo (PNI) atas pencabutan Peraturan Pemerintah No. 29/1950 tentang pembekuan lembaga perwakilan daerah dan kegagalan konferensi tentang Irian Barat, Kabinet Natsir goyah. Pembubaran kabinet juga disuarakan kelompok Sukiman, terutama Jusuf Wibisono. Dia bahkan mengatakan “tidak takut dipecat dari partai karena kritik-kritiknya. Kritiknya adalah untuk kepentingan negara dan Masyumi.”

Pembentukan kabinet berikutnya, bersama PNI, juga menimbulkan friksi. Penyebabnya, Sukiman sebagai formatur dari Masyumi tak berkonsultasi dengan partai. Bahkan, ketika Kabinet Sukiman diumumkan, pimpinan pusat Masyumi masih berembug. Kelompok Natsir mendorong resolusi melalui Dewan Pimpinan Partai yang menyatakan tindakan Sukiman sebagai formatur tidak sah dan tidak mewakili kemauan politik Masyumi.

Kabar perpecahan Masyumi berembus kencang, termasuk isu pembentukan partai tandingan Masyumi Merdeka. Para pemimpin Masyumi sibuk membantah, tetapi mengedepankan suara menyejukkan. “Bukan rahasia lagi bahwa ada dua sekolah pemikiran di dalam Masyumi,” ujar Roem, dikutip Herbert Feith dalam The Wilopo Cabinet.

Upaya merehabilitasi Masyumi di masa Orde Baru kandas karena adanya Masyumi-fobia bahwa Masyumi anti-Pancasila.

Pertentangan kembali mengemuka soal Mutual Security Act (MSA), bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat. Kelompok Sukiman beralasan perjanjian itu memberi kontribusi bagi keamanan negara-negara Pasifik dan menghambat laju komunisme. Dewan Pimpinan Partai yang dipimpin Natsir menentangnya karena menanggalkan politik bebas aktif. Sukiman akhirnya mendapat persetujuan partai, kendati dengan selisih suara tipis. Kabinet Sukiman jatuh akibat mosi Djodi Gondokusumo (Partai Rakyat Nasional) di parlemen yang menolak perjanjian itu.

Presiden Sukarno menunjuk Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi dan Sidik Djojosukarto dari PNI. Kericuhan di tubuh Masyumi bukan mereda, malah bertambah. Kelompok Sukiman menghendaki Sukiman kembali menjabat, kelompok lainnya menunjuk Prawoto. Posisi menteri agama menjadi medan pertarungan NU, yang sudah tiga kali menjadi langganan, dan Muhammadiyah. Akibatnya formatur gagal membentuk kabinet, yang kemudian dialihkan ke tangan Wilopo (PNI).

Dalam menyusun kabinet, Wilopo menerima daftar calon dari Masyumi yang disusun di bawah pengaruh Natsir. Jabatan menteri agama diserahkan kepada Fakih Usman dari Muhammadiyah. Maka, NU memutuskan keluar dari Masyumi dan membentuk partai politik sendiri.

“Marjinalisasi lebih lanjut dari Nahdlatul Ulama mungkin bagian dari rencana lebih besar Natsir untuk mengkonsolidasikan dominasi kepemimpinannya di dalam Masyumi,” tulis Robert E. Lucius, “A House Divided: The Decline and Fall of Masyumi (1950–1956)”, disertasi di Naval Postgraduate School, tahun 2003.

Keluarnya NU berdampak besar bagi Masyumi ketika pemilihan umum 1955. Masyumi, yang digadang-gadang sebagai kekuatan politik terbesar di Indonesia, gagal memperoleh suara mayoritas. Ia menempati urutan kedua di bawah PNI. Sebagian suara Masyumi beralih ke NU yang menduduki urutan ketiga.

“Menjelang akhir tahun 1956, Masyumi terlihat laksana raksasa berkaki kapur, yang melemah akibat perfoma mediocre saat pemilihan umum dan merapuh akibat rongrongan sebagian pengikutnya,” tulis Remy.

Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956). (Perpusnas RI).

Menuju Keruntuhan

Di masa Demokrasi Terpimpin, Natsir membawa Masyumi ke arah yang lebih konfrontatif. Hubungan Masyumi dengan Sukarno kian renggang. Masyumi tak setuju dengan tindakan Sukarno mencampuri urusan pemerintahan, bukan hanya sebagai kepala negara. Di sisi lain, partai komunis kian kuat, yang tawaran kerja sama apapun darinya akan ditolak Masyumi.

Puncaknya, merasa terancam akibat tudingan keterlibatan Masyumi dalam percobaan pembunuhan yang gagal atas diri presiden di Perguruan Cikini, Natsir dan beberapa pemimpin Masyumi memilih bergabung dengan para perwira di Sumatra yang menentang pemerintah pusat.

Jalan ke jurang kehancuran partai membentang. Wacana pelarangan Masyumi sayup-sayup terdengar. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan, Masyumi memutuskan melepaskan anggota-anggota istimewa dari ikatan partai.

Dalam situasi seperti ini, pertarungan kedua faksi masih berlangsung. Sebagian tokoh, dengan dukungan Sukiman dan Jusuf Wibisono, mendesak pemecatan Natsir. Namun, pengaruh Natsir masih kuat. Keputusan kompromi diambil: Natsir tidak didukung secara resmi, namun tidak pula dituding bersalah. Dia tetap memangku ketua umum Masyumi, tetapi pembantu terdekatnya, Prawoto Mangkusasmito, ditunjuk sebagai ketua ad interim.

Muktamar di Yogyakarta pada April 1959 menjadi peluang kelompok Sukiman untuk menentukan arah partai. Namun, dalam pemilihan ketua umum, Prawoto yang berpendirian tegas terhadap Sukarno dan memandang Natsir sebagai kakaknya, terpilih. Sukiman kembali kalah.

Di tangan Prawoto, eksistensi partai dipertaruhkan. Namun, dia tak mampu menghalangi langkah Sukarno untuk membubarkan Masyumi. Upaya merehabilitasi partai di masa Orde Baru juga kandas. “Sebabnya tidak lain ialah karena adanya Masyumi-fobia,“ ujar Prawoto dalam pidato di hadapan keluarga besar Bulan Bintang di Jakarta pada Oktober 1966, “karena ada sesuatu yang dimitoskan, yaitu yang mengatakan bahwa Masyumi anti-Pancasila, bahwa Masyumi akan membawa revolusi ke kanan.”

Masyumi, partai berlambang bulan bintang, hilang dari peredaran.*

Majalah Historia No. 16 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65bb8536b5fbd517c7ac29a6