Jatuh Bangun Kaum Abangan

Perubahan sosial politik membuat kaum abangan mengalami kemunduran. Kini minoritas di antara orang Jawa.

OLEH:
M.C. Ricklefs
.
Jatuh Bangun Kaum AbanganJatuh Bangun Kaum Abangan
cover caption
Ilustrasi: Betaria Sarulina

DALAM tulisan saya yang dimuat premium.historia.id tentang “Asal Usul Kaum Abangan”, saya menguraikan sejarah mengapa golongan sosial itu dianggap sebagai “muslim nominal” atau “Muslim KTP”. Golongan ini terdiri dari orang Jawa yang tidak menjalankan rukun Islam sepenuhnya, yang rupanya berasal dari reaksi terhadap gerakan pemurnian Islam di dalam masyarakat Jawa yang berkembang sejak kira-kira pertengahan abad ke-19. Dalam artikel ini, kita akan membahas informasi sejarah yang menjelaskan perubahan yang mendasar dalam masyarakat Jawa satu abad sesudah itu. Kita akan memusatkan perhatian baik kepada sejarah politik maupun sejarah institusi.

Sedikit latar belakang, pada sekitar periode 1910–1940, jurang sosial menjadi lebih dalam antara mereka yang taat pada agama Islam (yang biasanya dinamakan santri, walaupun istilah itu tidak selalu dipakai pada era itu sendiri) dan mereka yang dianggap sebagai kaum abangan. Proses politisasi mempertajamkan perbedaan itu. Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) meraih dukungan terutama dari pihak abangan, sedangkan pihak santri biasanya mendukung partai-partai lain, terutama Sarekat Islam. Kompetisi politik menggelorakan perbedaan sosial-agama dalam era “aliran” itu.  

DALAM tulisan saya yang dimuat premium.historia.id tentang “Asal Usul Kaum Abangan”, saya menguraikan sejarah mengapa golongan sosial itu dianggap sebagai “muslim nominal” atau “Muslim KTP”. Golongan ini terdiri dari orang Jawa yang tidak menjalankan rukun Islam sepenuhnya, yang rupanya berasal dari reaksi terhadap gerakan pemurnian Islam di dalam masyarakat Jawa yang berkembang sejak kira-kira pertengahan abad ke-19. Dalam artikel ini, kita akan membahas informasi sejarah yang menjelaskan perubahan yang mendasar dalam masyarakat Jawa satu abad sesudah itu. Kita akan memusatkan perhatian baik kepada sejarah politik maupun sejarah institusi.

Sedikit latar belakang, pada sekitar periode 1910–1940, jurang sosial menjadi lebih dalam antara mereka yang taat pada agama Islam (yang biasanya dinamakan santri, walaupun istilah itu tidak selalu dipakai pada era itu sendiri) dan mereka yang dianggap sebagai kaum abangan. Proses politisasi mempertajamkan perbedaan itu. Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) meraih dukungan terutama dari pihak abangan, sedangkan pihak santri biasanya mendukung partai-partai lain, terutama Sarekat Islam. Kompetisi politik menggelorakan perbedaan sosial-agama dalam era “aliran” itu.

Kita harus menggarisbawahi juga ada perbedaan penting dari sudut kelembagaan di antara kedua belah pihak itu. Bagi kaum abangan, yang pada periode itu paling kuat di dunia pedesaan, hanya partai-partai politik dan ormas-ormasnya yang memainkan peranan kuat dalam kehidupan mereka, untuk mendukung dan mengembangkan identitas sosial-budaya-politiknya. Lain sekali di pihak santri: selain partai-partai politik, juga ada banyak institusi lain: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), organisasi-organisasi keagamaan lain, pesantren, sekolah, madrasah, masjid, langgar, yayasan amal usaha, dan lain sebagainya. Perbedaan itu akan menjadi sesuatu yang sangat menentukan dalam masa depan.

Bagaimana keseimbangan antara kaum abangan dan kaum santri dalam masyarakat Jawa sebelum era Orde Baru Soeharto? Itulah suatu pertanyaan yang ingin kita jawab, namun tidak tersedia sumber yang memuaskan. Walaupun setiap orang Jawa barangkali bisa yakin apakah dia bersama keluarganya dan tetangganya boleh digolongkan sebagai santri atau abangan, masih banyak yang abu-abu bagi para sejarawan. Tapi ada beberapa indikasi yang menolong. Pada era 1960-an ada sedikit informasi dari survei sosial pada tingkat desa. Dilaporkan bahwa pada waktu itu hanya 0 persen sampai 15 persen orang desa di Jawa Tengah berdoa, pada 1967 hanya 14 persen warga Islam Yogyakarta membayar zakat dan hanya 2 persen menjalankan puasa di Jawa Tengah. Juga ada informasi resmi mengenai persentase masyarakat Jawa yang membayar zakat –yang pasti termasuk orang abangan yang ikut menyumbang sebagai kewajiban sosialnya. Menurut statistik dari Kementerian Agama pada 1954 (yang mungkin sekali tidak 100 persen bisa diandalkan), yang bisa dikaitkan dengan informasi mengenai bagaimana zakat dibayar sekarang ini (yaitu, kurang lebih 45 persen dibayar langsung kepada penerimanya, tidak melalui institusi resmi), kita bisa tarik kesimpulan bahwa kurang lebih 7,6 persen dari masyarakat Jawa di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta boleh digolongkan sebagai santri.

Semua informasi tersebut menandakan bahwa para santri merupakan minoritas yang cukup kecil pada waktu itu. Dalam Pemilu tahun 1955, diketahui cukup banyak orang yang gaya hidupnya abangan toh mengakui kepemimpinan kiai dan mendukung Partai NU, terutama di Jawa Timur. Dalam Pemilu itu, parpol-parpol yang dianggap “santri” meraih 42 persen dari suara untuk empat parpol besar (PNI, PKI, NU, Masyumi) di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada pemilihan 1957 pada tingkat provinsi, sewaktu aliranisasi semakin kuat, PKI-lah yang menjadi parpol yang paling besar di Jawa Tengah dan Yogyakarta, dan persentase suara untuk parpol santri antara empat parpol yang paling besar menurun sampai 33 persen. Di Jawa Timur, NU yang paling besar suaranya (35 persen) tapi PKI hampir sama hasilnya (32 persen).

Informasi ini cukup membingungkan dan jauh dari memuaskan. Namun demikian, saya kira kita boleh tarik kesimpulan bahwa barangkali antara 10 persen sampai 40 persen dari masyarakat Jawa merupakan golongan santri pada 1950-an, sedangkan antara 60 persen sampai 90 persen boleh digolongkan sebagai abangan.

Bandingkanlah angka-angka itu dengan informasi dari survei-survei sosial pada abad ke-XXI awal. Dalam survei yang dilaksanakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat di UIN Jakarta pada 2006 dan 2010, 89–90 persen antara para responden di Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah melaporkan bahwa mereka melaksanakan salat lima waktu “selalu”, “rutin”, “sering” atau –balasan yang paling menarik pertanyaan– “cukup sering”. Apalagi 93–94 persen menjawab bahwa mereka berpuasa selama Ramadan “selalu”, “rutin”, “sering” atau (sekali lagi) “cukup sering”.

Beberapa survei lain menghasilkan angka-angka yang mirip. Survei semacam itu tidak bisa membuktikan bahwa respons-respons itu selalu betul. Pertanyaan-pertanyaan mengenai agama merupakan topik yang sensitif. Oleh karena itu, mungkin jawaban-jawaban ini tidak bisa diterima begitu saja mengenai tingkat aktual kepatuhan agama. Namun, saya kira kita bisa menerima informasi itu sebagai indikasi mengenai dominasi paradigma dan ekspektasi keagamaan dalam masyarakat Jawa pada era pasca-Soeharto. Paradigma dan ekspektasi yang jauh berbeda dari 50 tahun sebelumnya. Bagaimana kita bisa menjelaskan perubahan sosial yang mendasar itu? Sudah jelas bahwa rezim Soeharto memainkan peranan pokok.

Tentara menggiring orang-orang yang dianggap terlibat Peristiwa Madiun 1948. Peristiwa ini mengakibatkan jurang sosial antara santri dan abangan semakin mendalam. (Arsip Nasional Belanda).

Latar Belakang Sosio-Politik

Dari zaman revolusi 1945–1949 hingga pertengahan dasawarsa 1960-an, politik “aliran” semakin kuat bersama dengan polarisasi masyarakat, termasuk masyarakat Jawa. Konflik besar yang pertama terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada 1948. Ketegangan antara para buruh yang diorganisasi oleh PKI dan ormas-ormasnya berhadapan dengan mereka yang ikut Masyumi terjadi di Delanggu, Jawa Tengah, dan Solo.

Ada rumah-rumah yang terbakar, orang-orang yang diculik dan dibunuh. Tentara Indonesia ikut serta dalam pemberantasan aksi-aksi dari kaum kiri, yang berlatar belakang golongan abangan. Konflik itu memuncak di Madiun pada September 1948. Saat itu PKI merebut kekuasaan di Madiun dan kota-kota lain yang kemudian ditindas oleh tentara. Jumlah korban tidak diketahui dengan persis, akan tetapi mungkin kira-kira 8.000 orang. Tokoh-tokoh dari pihak santri, misalnya aktivis Masyumi, kaum muda santri dan kiai-kiai, apalagi pejabat pemerintah dan, dalam kasus ini, juga pendukung PNI dibunuh oleh para pemberontak, sedangkan mereka dari kalangan kiri/abangan itu –termasuk pemimpin PKI Musso– dibunuh oleh musuh-musuhnya. Dari peristiwa ini lahirlah tradisi permusuhan kuat antara tentara dan PKI. Dan juga jurang sosial antara golongan santri dan golongan abangan semakin mendalam.

Ketegangan antara golongan santri dan golongan abangan dalam masyarakart Jawa –sistem yang berdasarkan identitas komunal (sistem kealiran)– terus memanas selama periode 1950-an. Ada perpindahan rumah: keluarga abangan yang pindah dari dusun mayoritas santri ke dusun mayoritas abangan dan sebaliknya. PKI mendirikan organisasi-organisasi dan kegiataan-kegiatan pada tingkat akar rumput, misalnya kampanye antikebutahurufan, yang memperkuat identitas abangan, sedangkan Masyumi, NU, Muhammadiyah, dan organisasi lain aktif dalam memperkuat identitas santri melalui banyak kegiatan, misalnya pengajian. Kedua belah pihak mempunyai organisasi sendiri untuk perempuan, pemuda, veteran, buruh, petani, klub-klub sepakbola, pertunjukan kesenian, dan sebagainya.

Pada kurun 1964–1965, sekali lagi tindakan kekerasan melalui garis abangan-santri berkobar di Jawa Timur. PKI meluncurkan “aksi sepihak”, yaitu aksi aktivis-aktivis ormas PKI (terutama Barisan Tani Indonesia dan Pemuda Rakyat) untuk mengambil alih tanah yang dipunyai oleh tuan tanah besar dan dengan demikian memaksakan implementasi UU Reforma Agraria 1960, yang belum pernah mempunyai efek. Antara para tuan tanah itu termasuk kiai-kiai dan tokoh-tokoh lain dari golongan santri serta tokoh-tokoh militer. Aksi sepihak itu ditentang terutama oleh aktivis-aktivis NU (Ansor dan Banser). Penculikan, perusakan dan pembakaran rumah, perusakan ladang tebu dan pembunuhan terjadi. Dengan segera kelihatan bahwa PKI –yang mengklaim jumlah anggotanya lebih dari 20 juta di seluruh Indonesia pada waktu itu– sebetulnya lemah di Jawa Timur. NU dan kekuatan anti-PKI lain menikmati kemenangan.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Satu tujuan pokok bagi rezim Soeharto adalah menghapuskan pengaruh semua parpol. Parpol-parpol berdasarkan kaum santri dan kaum abangan dilemahkan dan dikendalikan.</div>

Orang Indonesia sudah memahami sejarah tragis yang berikut. Gerakan 30 September 1965 melepaskan kekerasan domestik yang barangkali paling dahsyat dalam seluruh sejarah Indonesia. Pembunuhan dan penangkapan dipimpin oleh militer dan aktivis-aktivis dari pihak agama (terutama dari golongan Islam santri tapi juga dari ormas Kristiani). Korban banyak berjatuhan –mungkin mencapai satu juta nyawa lebih. Hasilnya PKI dihapuskan hingga akar rumputnya dengan cara yang mengerikan. Seorang aktivis Banser berkomentar bahwa “Isu Santri vs Abangan, atau NU dan Masyumi lawan PKI, sangat kuat. … Muncul dua pilihan, membunuh atau dibunuh” (dikutip dalam Singgih Nugroho, Menyintas dan Menyeberang, hlm. 77).

Periode Orde Baru yang berikut kadang-kadang dianggap sebagai era yang anti-Islam, akan tetapi sebetulnya pandangan itu tidaklah sesuai dengan bukti sejarah. Satu tujuan pokok bagi rezim Soeharto adalah menghapuskan pengaruh semua parpol. Parpol-parpol yang meraih dukungan dari kalangan santri memang dipaksakan untuk fusi dalam dua koalisi partai. Jadi, betul bahwa parpol-parpol yang berdasarkan kaum santri dilemahkan dan dikendalikan. Parpol-parpol yang berdasarkan kaum abangan juga mengalami nasib yang sama –terutama PKI, yang dibumihanguskan total. Maka, lahirlah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Organisasi pemerintah Golkar (yang diklaim bukan partai politik sama sekali) semakin kuat.

Akan tetapi, ada perbedaan penting yang sudah disebutkan di atas. Yaitu, pihak abangan hampir tidak ada institusi yang membentengi identitasnya selain parpol-parpol dan ormas-ormasnya. Sedangkan pada pihak santri, masih banyak institusi dan tokoh yang penting dan yang masih berpengaruh: pesantren, sekolah, madrasah, masjid, langgar, amal usaha dan lain sebagainya. Apalagi kiai-kiai dan tokoh-tokoh lain yang memimpinnya. Pemerintah Orde Baru berusaha untuk mengontrol institusi-institusi itu, tapi mereka masih mempunyai pengaruh pada tingkat akar rumput yang bebas dari pemerintah.

Presiden Soeharto menyerahkan bantuan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila untuk pembangunan masjid di Depok, Jawa Barat. (Repro Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya).

Pendekatan Orde Baru: Islamisasi atas Dukungan Pemerintah

Bagi para pemimpin Orde Baru, Islamisasi masyarakat yang lebih dalam –ataukah orang Jawa atau suku lain– mempunyai dua sifat yang bermanfaat: (1) sebagai cara untuk menyapu bersih semua bekas-bekas pengaruh komunisme sampai ke akar rumput masyarakat dan (2) sebagai alat untuk kontrol sosial pada umumnya. Akan tetapi, kalau Islamisasi akan digunakan untuk kedua tujuan itu, amat penting supaya proses Islamisasi itu sejauh mungkin diarahkan dan dikontrol oleh pemerintah sendiri. Oleh karena itu, walaupun organisasi-organisasi Islam sering mempunyai aspirasi sosial-agama yang sejalan dengan rezim, dari waktu ke waktu ketegangan dan konflik antara organisasi-organisasi itu dengan pihak pemerintah mulai bermunculan.

Pemerintah Orde Baru mensponsori cukup banyak kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan pengaruh Islam di kalangan masyarakat Jawa dan, tentu saja, di seluruh Indonesia, antara lain dengan mendirikan masjid dan langgar. Alokasi dana pendirian masjid terdapat dalam semua rencana pembangunan, misalnya jumlah masjid di Jawa Tengah bertambah dari 15.685 pada 1980 menjadi 28.748 pada 1992; di Jawa Timur 15.574 masjid pada 1973 menjadi 25.655 pada 1990.

Pada 1982, Soeharto mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, yang menghimpun dana dari para pegawai negeri untuk dialokasikan sebagai dana pembangunan ratusan masjid dan mengirim ribuan guru agama Islam ke daerah-daerah transmigrasi di luar Jawa (di mana mayoritas penduduknya berasal dari pulau Jawa). Pemerintah juga menyebarluaskan sistem STAIN/IAIN sehingga pada akhir Orde Baru, 18 persen dari seluruh pemuda Indonesia yang belajar di tingkat perguruan tinggi merupakan murid-murid di IAIN. Sementara itu, pelajaran agama Islam menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri.

Masih dalam bidang pendidikan, Pendidikan Tinggi Da’wah Islam (PTDI) yang didirikan di Solo pada era Demokrasi Terpimpin dipindahkan ke Jakarta pada 1965 atas dukungan pemerintah Orde Baru. Tujuannya untuk mendirikan cabang-cabang sampai ke tingkat desa.

Pada 1971, pemerintah mendirikan Proyek Pembinaan Mental Agama (P2A) yang tujuannya untuk mencapai hingga tingkat desa. Tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU diundang untuk ikut serta dalam kegiatan P2A. Sejak era 1970-an akhir, rezim menyebarluaskan dan memaksakan program indoktrinasi pada semua tingkat masyarakat yang dinamakan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4). Untuk muslim, ajarannya menggarisbawahi bahwa “Islam mengajarkan untuk patuh kepada ALLAH, Rasulnya dan Ulil-amri. Ulil-amri berarti Pemerintah yang sah. … Karena itulah kepatuhan Umat ISLAM di Indonesia terhadap Pemerintah Indonesia … dirasakan sebagai kewajiban agama.”

Kemudian pemerintah juga mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975. Disusul kemudian pada era 1970-an, rezim mendirikan Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) sebagai organisasi pemuda, yang diharapkan mempromosikan Islamisasi pada tingkat akar rumput; MDI berafiliasi dengan Golkar dan merupakan kompetisi terhadap kegiatan dakwah oleh pihak NU dan kiai-kiainya. Juga demikian dengan Gabungan Usaha Pembinaan Pendidikan Islam (GUPPI) yang didirikan pada 1950 juga berafiliasi dengan Golkar.

Pemerintah Orde Baru juga mendukung pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990 dan menjadi penghubung pokok antara rezim dengan banyak sekali orang dari kelas menengah baru Indonesia, terutama teknokrat, intelektual, dan yang terlibat dalam birokrasi.

Rezim Orde Baru juga memperbolehkan aktivis-aktivis agama untuk mendirikan beberapa lembaga baru yang penting, di antaranya, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) didirikan pada 1983, Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) berdiri 1985, dan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) berdiri 1992.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Pada era Orde Baru, benteng identitas kaum abangan dihapuskan. Apalagi ada serangan agama-budaya dari pemerintah dan organisasi Islam. Identitas abangan pun mundur dengan cepat.</div>

Pemerintah juga memperbolehkan Muhammad Natsir untuk mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967, yang dipimpin oleh Natsir sampai wafatnya pada 1993 dan, setelah itu, oleh Anwar Harjono. Natsir menjalin hubungan yang dekat dengan tokoh-tokoh Arab Saudi dan menjadi seorang pemimpin dalam organisasi Saudi Rabitat al-‘Alam al-Islami (Liga Dunia Islam).

Apalagi, pemerintah mengizinkan pendirian LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab) di Jakarta pada 1980, yang disponsori oleh pemerintah Arab Saudi. Tentu saja keyakinan Islam yang diajarkan di institusi ini merupakan hasil tafsir ala kaum Wahabi. Dari sini juga disebarluaskan gagasan-gagasan tokoh Pakistan Abul A’la Maududi dan ide-ide tokoh-tokoh al-Ikhwan al-Muslimin, misalnya Hassan al-Bana dan Sayyid Qutb. Mahasiswa-mahasiswa LIPIA yang terbaik diberikan bantuan untuk melanjutkan studinya di universitas-universitas di Arab Saudi sendiri.

Pertumbuhan persentase masyarakat yang memeluk agama Islam dengan komitmen yang semakin kuat dicerminkan dalam angka-angka mereka yang naik haji, malah dalam waktu beberapa tahun saja. Misalnya, pemberangkatan ke Makkah dari Jawa Tengah pada 1969–1970 ada 805, lantas pada 1972 meningkat jadi 1.336, dan pada 1974 naik ke angka 4.024.

Perkembangan-perkembangan pada masa Orde Baru berdampak besar bagi masyarakat Jawa, termasuk yang sebelumnya dikenal sebagai kaum abangan. Bagi kaum abangan yang hidup dalam lingkungan pedesaan hanyalah partai-partai politik dan ormas-ormasnya yang membentengi identitas sosial-budaya-politiknya. Pada era Orde Baru, benteng itu dihapuskan. Apalagi, ada semacam “serangan agama-budaya” dari pihak pemerintah dan organisasi-organisasi Islam. Dalam keadaan demikian, identitas abangan mundur dengan cepat.

Malah, menjelang akhir periode Orde Baru, sering ada diskusi mengenai “penghijauan” (yaitu, Islamisasi yang lebih dalam) di tubuh rezim Soeharto itu sendiri. Rezim semakin dekat dengan tokoh-tokoh Islamis –termasuk yang digolongkan sebagai “garis keras”– yang ingin supaya pemerintah didominasi oleh kepentingan Islam: kedua belah pihak merasa terancam oleh era globalisasi, bahaya laten komunisme, westernisasi, konsep-konsep mengenai kebebasan pribadi dan aspirasi untuk demokrasi.

Akan tetapi, kaum abangan bukan aktor pasif saja. Mereka juga memainkan peran yang aktif dalam perkembangan ini. Banyak di antaranya mengakui bahwa sistem aliran dulu dan kompetisi kuat antara abangan dan santri sudah melahirkan konflik tajam pada tingkat desa dan, akhirnya, pertumpahan darah yang dahsyat. Demi kerukunan sosial, banyak orang abangan dengan sudi merangkul agama-agama dunia, baik sebagai cara untuk membela diri (misalnya dari tuduhan bahwa seorang yang kurang taat agama adalah seorang komunis) maupun untuk memulihkan kerukunan desa. Tidak semuanya menjadi orang Islam yang lebih taat. Minoritas yang cukup besar masuk agama Kristen dan Katolik, ataupun Buddha dan Hindu. Dengan demikian, masyarakat Jawa menjadi lebih multikultural dan multiagamis, lebih majemuk.

Alhasil, pada survei sosial yang diselenggarakan pada awal abad ke-XXI, yang sudah saya kutip pada awal artikel ini, mayoritas besar orang Jawa mengidentifikasikan diri sebagai orang muslim yang taat. Tentu saja masih ada penganut ide-ide kejawen (istilah yang biasanya dipakai sekarang di tempatnya abangan, yang berbau kekiri-kirian), akan tetapi mereka merupakan minoritas antara orang Jawa.

Sudah jelaslah bahwa perubahan sosial yang betul-betul mendasar terjadi dalam masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-XX. Yaitu, kemunduran kaum abangan sebagai faktor sosial-budaya-agama-politik. Ini terjadi sesudah satu abad –yaitu dari pertengahan abad ke-XIX hingga pertengahan abad ke-XX– pada waktunya golongan abangan merupakan mayoritas orang Jawa, dengan implikasi sosio-politik-agama-budaya yang besar. Baik sejarah politik maupun sejarah institusi menolong kita untuk memahami perubahan besar itu.

M.C. Ricklefs (1943–2019) adalah profesor emeritus di Australian National University dan Monash University, serta penulis banyak artikel maupun buku mengenai sejarah Indonesia. Buku terbarunya biografi Pangeran Mangkunagara I berjudul Soul Catcher: Java’s Fiery Prince Mangkunagara I, 1726–1795 diterbitkan oleh NUS Press, Singapura (2018). Edisi bahasa Indonesia berjudul Samber Nyawa: Kisah Perjuangan Seorang Pahlawan Nasional Indonesia, Pangeran Mangkunagara I (1726–1795) diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (2021). Artikel ini berdasarkan bukunya, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang (Penerbit Serambi, 2013).

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
63eb3dd4c4510c148d5a61ad