Mikhail Gorbachev, presiden Uni Soviet terakhir. (RIA Novosti/Wikimedia Commons).
Aa
Aa
Aa
Aa
DESEMBER adalah bulan penting dalam sejarah Rusia. Pada Desember 1922, Union of Soviet Socialist Republics(USSR) atau dikenal dengan Uni Soviet didirikan sebagai negara konfederasi yang kemudian beranggotakan 15 republik. Pada bulan yang sama, 69 tahun kemudian, Uni Soviet yang kala itu negara terbesar di dunia bubar.
Keruntuhan Uni Soviet terjadi justru ketika Mikhail Gorbachev, presiden terakhir, hendak mengubah wajah negara ini melalui reformasi politik dan ekonomi.
Menilik sejarahnya, Uni Soviet terbentuk melalui jalan revolusi yang bergelora di Rusia pada masa-masa sebelumnya. Revolusi Februari 1917 menggulingkan Tsar atau Kekaisaran Rusia. Revolusi Oktober atau Revolusi Bolshevik pada Oktober 1917 mengkudeta Pemerintahan Sementara dan tercipta Republik Sosialis Federasi Soviet (RSFS) Rusia. Terakhir, Perang Saudara Rusia (1918-1922) mendorong terciptanya Uni Soviet.
DESEMBER adalah bulan penting dalam sejarah Rusia. Pada Desember 1922, Union of Soviet Socialist Republics(USSR) atau dikenal dengan Uni Soviet didirikan sebagai negara konfederasi yang kemudian beranggotakan 15 republik. Pada bulan yang sama, 69 tahun kemudian, Uni Soviet yang kala itu negara terbesar di dunia bubar.
Keruntuhan Uni Soviet terjadi justru ketika Mikhail Gorbachev, presiden terakhir, hendak mengubah wajah negara ini melalui reformasi politik dan ekonomi.
Menilik sejarahnya, Uni Soviet terbentuk melalui jalan revolusi yang bergelora di Rusia pada masa-masa sebelumnya. Revolusi Februari 1917 menggulingkan Tsar atau Kekaisaran Rusia. Revolusi Oktober atau Revolusi Bolshevik pada Oktober 1917 mengkudeta Pemerintahan Sementara dan tercipta Republik Sosialis Federasi Soviet (RSFS) Rusia. Terakhir, Perang Saudara Rusia (1918-1922) mendorong terciptanya Uni Soviet.
Momen penting itu terjadi pada 30 Desember 1922. Republik Sosialis Soviet (RSS) Ukraina, RSS Belarus, RSFS Transkaukasia, dan yang terbesar RSFS Rusia menyetujui Deklarasi dan Perjanjian tentang Pembentukan USSR. Perjanjian tersebut memberikan keleluasaan untuk menerima anggota baru. Karenanya, keanggotaan Uni Soviet kemudian bertambah menjadi 15 republik.
Kendati merupakan suatu kesatuan politik dari beberapa republik Soviet, nyatanya Uni Soviet menjelma menjadi negara yang pemerintahannya sangat terpusat dengan Partai Komunis (CPSU) sebagai pengendali utama. Hal itu terutama tercapai pada masa Josef Stalin yang menggantikan Vladimir Lenin sebagai pemimpin Soviet.
Stalin meneruskan Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) yang diusung Lenin untuk mencegah keruntuhan ekonomi Soviet. Dia juga mendorong industrialisasi cepat dan nasionalisasi industri swasta. Tapi capaian terbesarnya adalah konsolidasi kekuatan yang nyaris absolut.
Dalam “Conceptualizing the Collapse: Stalin, Gorbachev, and The Downfall of The USSR”, dimuat East European Quarterly Vol. 43, No. 4, Desember 2015, Charles J. Sullivan menyebut Stalin membangun fondasi kelembagaan kekuasaan Soviet melalui kebijakan inti tertentu: kolektivisasi, teror, serta pemberlakuan kronik yang disponsori negara mengenai komposisi masyarakat multinasional, sejarah, dan pendirian global Uni Soviet.
“Menjelang senja pemerintahan Stalin, Uni Soviet telah menjadi sistem politik yang sangat otoriter yang mempunyai kendali besar atas sebagian besar kegiatan sosial dan ekonomi,” catat Sullivan.
Di masa Stalin pula, Uni Soviet tampil menjadi negara adidaya. Ketegangan dengan Amerika Serikat memuncak menjadi Perang Dingin.
Reformasi
Setelah Stalin wafat, para penerusnya mengecam dan melakukan de-Stalinisasi kendati tak sepenuhnya berhasil. Puncaknya, ketika Mikhail Gorbachev naik ke tampuk kekuasaan, gagasan reformasi ekonomi dan politik kembali mengemuka.
Pada awal 1980-an, gejala krisis terlihat di Uni Soviet. Menurut Richard Sakwa, profesor politik Rusia dan Eropa di Universitas Kent, Canterbury, dalam The Rise and Fall of the Soviet Union 1917-1991, Uni Soviet menghadapi tantangan ekonomi yang dipicu oleh modernisasi dan masyarakat yang acuh tak acuh terhadap politik karena pejabat yang korup.
Kepercayaan rakyat terhadap Partai Komunis juga menurun. Masalah lain yang dihadapi adalah tingginya pengeluaran untuk kebutuhan militer.
Gorbachev ingin membawa Uni Soviet bangkit menjadi negara besar di dunia sekaligus negara yang lebih demokratis. Dalam “Gorbachev and Economic Reform in the Soviet Union”, dimuat di Eastern Economic Journal Vol. 14, No. 4 Oktober-Desember 1988, Marshall Goldman, pakar ekonomi Rusia, menyebut Gorbachev menjadikan reformasi ekonomi sebagai prioritas utamanya.
Pada 20 April 1985, Gorbachev melancarkan kebijakan percepatan pembangunan ekonomi (Uskoreniye) melalui pengembangan inovasi teknologi dan investasi pada industri mesin pabrik. Untuk mempromosikan Uskoreniye, Gorbachev berkeliling Uni Soviet untuk berbicara langsung dengan rakyatnya. Namun, seringkali yang didapatinya malah komplain dari para pekerja. Gorbachev terkejut betapa parah standar kehidupan rakyat Uni Soviet. Masalah ekonomi Uni Soviet lebih parah dari yang sebelumnya ia antisipasi.
Maka, Gorbachev memperkenalkan kebijakan restrukturisasi ekonomi (Perestroika) secara menyeluruh pada 1986. Dalam Perestroika, Gorbachev melakukan desentralisasi sehingga segala keputusan ekonomi tidak selalu bergantung ke pusat dan otonomi kepada perusahaan-perusahaan (yang masih dimiliki oleh negara) agar lebih responsif terhadap kebutuhan pasar. Bahkan, yang kemudian jadi kontroversial, Gorbachev memperbolehkan berdirinya joint venture antara perusahaan kapitalis asing dan pemerintah. Sayangnya, program desentralisasi ekonomi gagal karena sentralisasi sudah puluhan tahun mendarah daging.
Pada tahun yang sama, dalam hal politik, Gorbachev mengeluarkan kebijakan keterbukaan (Glasnost). Dia ingin pejabat-pejabat negara lebih mudah untuk dikritik, tujuannya agar mereka lebih mendengarkan rakyat. Melalui Glasnost, media dan rakyat diperbolehkan melakukan diskusi atau kritik di ruang publik mengenai isu sosial-politik.
Menurut Peter Kenez dalam A History of the Soviet Union From the Beginning to the End, langkah yang menentukan dalam transformasi (dan akhirnya kehancuran) sistem Soviet adalah pengenalan keterbukaan dalam membahas masa lalu serta permasalahan yang dihadapi masyarakat masa kini. Istilah glasnost dipilih dengan sengaja. Sejarah konsep ini, lanjut Kenez, dimulai pada abad ke-19 di mana rakyat dibiarkan menyuarakan keprihatinan mereka tapi pada saat yang sama tidak ingin membatasi kekuasaan otokrat.
“Gorbachev dan rekan-rekannya memahami istilah tersebut sebagai kritik ‘konstruktif’, yaitu suara orang-orang yang menganggap remeh keberadaan dan superioritas sistem Soviet.”
Secara bertahap glasnost berubah menjadi kebebasan berpendapat. Kekuatan-kekuatan yang dulu tenggelam menjadi semakin berdaya. Glasnost juga melemahkan keyakinan masyarakat Soviet terhadap sosialisme dan mendelegitimasi klaim Partai Komunis atas kekuasaan di mata masyarakat yang lebih sadar politik.
Tak sampai di situ. Gorbachev memperkenalkan kebijakan yang lebih radikal lagi: demokratisasi. Dia berupaya memperkenalkan reformasi ke dalam sistem politik. Gorbachev berupaya mengubah sosialisme Soviet yang diilhami Stalinis menjadi “sosialisme berwajah manusiawi” versinya. Mungkin pencapaian terbesarnya adalah revitalisasi masyarakat sipil.
Menurut Kenez, kendati Gorbachev tak pernah menyerah sepenuhnya pada Partai Komunis, dia menyadari bahwa aparat adalah penghambat reformasi. “Dia mengambil langkah penting: dia memutuskan untuk membentuk badan legislatif yang real dan membangun mesin pemerintah sebagai penyeimbang kepemimpinan partai konservatif.”
Atas rekomendasi Gorbachev, Komite Sentral Partai Komunis melepaskan monopoli kekuasaan politiknya. Disusul dengan digelarnya pemilihan umum (pemilu) bebas pertama di Uni Soviet.
Pada Pemilu 1989 untuk memilih anggota Kongres Wakil Rakyat, beberapa kandidat dari Partai Komunis kalah. Setahun kemudian, dalam pemilu lokal, Partai Komunis kalah di enam republik. Meski Gorbachev menganggapnya sebagai sebuah kemenangan bagi glasnost dan perestroika, kekuasaannya kian tergerus.
Selama tahun 1990, Gorbachev menyaksikan beberapa republik memproklamasikan kemerdekaan. Menghadapi separatisme yang kian meningkat, Gorbachev berusaha merestrukturisasi Uni Soviet. Apalagi, hasil referendum pada Maret 1991 menunjukkan lebih dari 70 persen rakyat setuju Uni Soviet menjadi federasi baru dari republik-republik yang berdaulat.
Menurut Sullivan, berbeda dari para pendahulunya, Gorbachev berupaya mengubah cara kerja ekonomi komando, memulai perubahan dalam perilaku politik Soviet baik di arena domestik maupun internasional, dan merevisi kronik Soviet. Seiring waktu, modifikasi tersebut justru melemahkan fondasi kelembagaan kekuasaan Soviet.
Karena itu, dengan menerapkan serangkaian kebijakan intinya (perestroika, sosialisme Soviet yang demokratis, dan glasnost), lanjut Sullivan, “Gorbachev memimpin kemunduran institusional Uni Soviet.”
Kekuatan Baru
Di RSFS Rusia, Boris Yeltsin terpilih sebagai ketua Soviet Tertinggi, meskipun Gorbachev meminta para deputi Rusia untuk tidak memilihnya. Perebutan kekuasaan baru muncul antara RSFS Rusia dan Uni Soviet.
Pada 12 Juni 1991, Boris Yeltsin terpilih sebagai Presiden RSFS Rusia. Dia kemudian mendeklarasikan RSFS Rusia otonom dari Uni Soviet. Pada 20 Agustus, RSFS Rusia dijadwalkan untuk menandatangani Perjanjian Persatuan Baru yang akan mengubah Uni Soviet menjadi federasi republik-republik yang berdaulat.
Tak setuju dengan rencana itu, kaum konservatif yang masih kuat di dalam Partai Komunis dan militer melakukan kudeta pada dini hari 19 Agustus 1991 kala Gorbachev berlibur di Foros, Krimea. Kendati kudeta digagalkan tiga hari kemudian, kekuasaan Gorbachev sudah sangat terkuras.
Gorbachev mengambil langkah-langkah politik untuk mengamankan kekuasaannya. Pada September 1991, dia membubarkan Kongres Wakil Rakyat. Sebagai gantinya, dia membentuk Dewan Negara yang dirancang sebagai kepemimpinan kolektif dengan beranggotakan presiden Uni Soviet dan para pejabat tertinggi (biasanya presiden) dari republik-republik di Uni Soviet. Sebuah upaya yang sia-sia.
Namun, Gorbachev tak lagi memiliki kemampuan untuk mempengaruhi peristiwa di luar Moskow. Dia bahkan ditantang oleh Yeltsin, yang mulai mengambil alih sisa pemerintahan Soviet, termasuk Kremlin. Pada 6 November, Yeltsin mengeluarkan dekrit yang melarang semua aktivitas Partai Komunis di wilayah Rusia.
“Mungkin untuk pertama kalinya di era Gorbachev, banyak kaum nasionalis Rusia menganggap keberadaan Uni Soviet bukan sebagai pencapaian gemilang, namun sebagai beban bagi Rusia,” catat Kenez.
Berada dalam suasana politik pasca kudeta yang gagal, Yeltsin memutuskan untuk meninggalkan semua harapan untuk ratifikasi Perjanjian Persatuan Baru. Dia menjalin kontak dengan perwakilan republik lain dan mulai bertindak independen dari pemerintah Soviet.
Pada 7-8 Desember 1991, pemimpin RSFS, Ukraina, dan Belarusia bertemu di Belovezhskaya Pushcha, Belarusia dan menandatangani Perjanjian Belavezha yang menyatakan Uni Soviet sudah tidak ada lagi dan mengumumkan pembentukan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) yang akan menentukan masa depan negara-negara pecahan Uni Soviet. Belakangan, republik-republik lainnya ikut.
Gorbachev menyebutnya sebagai kudeta inkonstitusional. Namun, tak ada jalan lain untuknya. Maka, pada malam Natal, 25 Desember 1991, Gorbachev mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden Uni Soviet. Pada malam itu juga bendera Soviet diturunkan, Lagu Kebangsaan Uni Soviet dimainkan untuk kali terakhir, dan tiga warna Rusia dipasang di tempatnya yang secara simbolis menandai berakhirnya Uni Soviet.
Keesokan harinya keruntuhan Uni Soviet mendapatkan legalitas. Dewan Republik, majelis tinggi Soviet Tertinggi Uni Soviet, meratifikasi Perjanjian Belavezha, yang secara efektif menghapuskan keberadaan Uni Soviet.*