Patung Kristus Raja di waktu malam. (Agnes Harnadi/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
TAKSI kuning yang membawa saya dari Bandara Internasional Nicolau Lobato menuju Timor Hotel di kota Dili, Timor-Leste, melaju santai. Sepanjang jalan, beberapa toko atau restoran masih menggunakan papan nama berbahasa Indonesia.
Pengemudi taksi juga fasih berbicara bahasa Indonesia. Obrolan kami mengalir ke mana-mana. Mulai dari Basuki Thajaja Purnama atau Ahok dan Pilkada DKI hingga kasus kematian Mirna Salihin yang santer dibicarakan di sana.
Kendati Tetun dan Portugis merupakan bahasa resmi, bahasa Indonesia tetap digunakan. Saluran stasiun televisi swasta Indonesia juga masih menjadi primadona, sehingga orang-orang Timor-Leste, akrab dengan sinetron atau lagu-lagu pop berbahasa Indonesia.
TAKSI kuning yang membawa saya dari Bandara Internasional Nicolau Lobato menuju Timor Hotel di kota Dili, Timor-Leste, melaju santai. Sepanjang jalan, beberapa toko atau restoran masih menggunakan papan nama berbahasa Indonesia.
Pengemudi taksi juga fasih berbicara bahasa Indonesia. Obrolan kami mengalir ke mana-mana. Mulai dari Basuki Thajaja Purnama atau Ahok dan Pilkada DKI hingga kasus kematian Mirna Salihin yang santer dibicarakan di sana.
Kendati Tetun dan Portugis merupakan bahasa resmi, bahasa Indonesia tetap digunakan. Saluran stasiun televisi swasta Indonesia juga masih menjadi primadona, sehingga orang-orang Timor-Leste, akrab dengan sinetron atau lagu-lagu pop berbahasa Indonesia.
“Sekarang yang lagi rame di sini dangdut D’Academy di Indosiar. Timor-Leste kirim wakil ke sana,” kata Ruben Gusmão, teman saya.
Saya mengunjungi Dili untuk menghadiri sebuah konferensi pariwisata internasional, Oktober 2016. Acara digelar di Centro de Convenções de Dili (CCD), yang dulu merupakan Mercado Municipal Dili (Pasar Kota Dili). Fasad bangunan yang bergaya Portugis masih dipertahankan seperti aslinya, lengkap dengan tulisan “Mercado Municipal Dili”. Di bagian dalam, langit-langitnya juga masih beratapkan jerami.
Selama kunjungan ini saya tak menyia-nyiakan waktu untuk menjelajahi kota Dili sekaligus menjejaki sejarah perlawanan rakyat Timor-Leste untuk meraih kemerdekaan.
Timor-Leste dua kali merdeka. Kemerdekaan pertama dideklarasikan pada 28 November 1975. Tak berapa lama, Indonesia datang mengambilalih Bumi Lorosa’e. Sejak itu, Timor-Leste berubah nama menjadi Timor Timur dan dimasukkan dalam teritori Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27. Restorasi kemerdekaan akhirnya diperoleh rakyat Timor-Leste pada 20 Mei 2002, setelah jajak pendapat tahun 1999.
Indonesia mengokupasi Timor-Leste selama 24 tahun. Selama okupasi, berbagai perlawanan terjadi. Peristiwa Santa Cruz pada 12 November 1991 adalah salah satu yang paling berdarah. Disebut Peristiwa Santa Cruz karena terjadi di Pemakaman Santa Cruz.
Cuaca yang terik tak menyurutkan saya untuk menyambangi pemakaman tersebut. Memasuki gerbang pemakaman, terbentang jalan utama dengan sisi kiri dan kanan penuh dengan makam. Suasana hening, sepi. Cahaya matahari memantul dari batu-batu nisan yang sebagaian besar berwarna putih. Tak semua tonggak penanda makam berbentuk salib. Ada juga yang berbentuk seperti atap. Selama menyusuri jalan utama itu, saya membayangkan apa yang terjadi di tempat ini 25 tahun lalu.
Seperti dicatat Chega! yang merupakan Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR), ketika itu para mahasiswa hendak mengikuti prosesi tabur bunga untuk rekan mereka yang tewas dua minggu sebelumnya, Sebastião Gomes Rangel. Prosesi yang kemudian diikuti demonstrasi dan protes itu memicu penembakan brutal. Dua ratus tujuh puluh satu nyawa melayang. Lebih dari 250 orang hilang. Setiap tanggal ini, rakyat Timor-Leste memperingati Hari Pemuda Nasional untuk mengenang para pejuang muda yang gugur, hilang, atau terluka akibat insiden tersebut.
Tepat di seberang jalan Pemakaman Santa Cruz terdapat pemakaman lain, Taman Pemakaman Seroja. Nama Seroja mengingatkan kita akan Operasi Seroja. Operasi militer gabungan ini, yang digelar akhir 1975, menjadi awal okupasi Indonesia atas Timor-Leste. Bagi Indonesia, Taman Pemakaman Seroja merupakan kompleks taman makam pahlawan. Di tempat ini terbaring ratusan prajurit Indonesia yang tewas. Presiden Joko Widodo ketika melawat ke Timor-Leste Januari lalu menyempatkan diri mengunjungi Taman Pemakaman Seroja.
Air Mata Kesedihan
Saya juga mengunjungi Timorese Resistance Archive and Museum (AMRT) serta Chega! Exhibition. Keduanya menyimpan sejarah panjang perjuangan rakyat TimorLeste.
AMRT didirikan di bekas Gedung Pengadilan Portugis yang sebagian rusak dan terbakar pada September 1999. Gedung ini direnovasi dengan sentuhan desain modern dan nyaman. Ketika melangkahkan kaki masuk ke museum, tak ada kesan seram yang membuat bulu roma bergidik.
Museum ini menyimpan berbagai dokumen, arsip, serta barang-barang bersejarah terkait perjuangan rakyat Timor-Leste, seperti senjata dan seragam prajurit. Di hampir semua dinding di ruangan museum, terpampang foto-foto dan cerita sejarah, mulai dari masa pendudukan Portugis hingga okupasi Indonesia. Tak hanya itu, gedung ini memiliki ruangan multimedia untuk menyaksikan video dokumenter mengenai okupasi dan operasi militer Indonesia. Di ruangan yang sama, terdapat replika ruang bawah tanah para gerilyawan Timor-Leste, lengkap dengan tempat tidur, mesin ketik, dan sepucuk senjata.
Pedro Ribeiro da Costa, pemandu wisata yang mengantarkan kami berkeliling museum, antusias menjelaskan sejarah bangsanya. Ketika tahu saya dan beberapa rekan berasal dari Indonesia, Pedro tak segan menyapa kami dengan bahasa Indonesia. Dia bahkan menunjukkan beberapa bagian tubuhnya yang mengguratkan bekas luka yang didapatnya ketika dulu ikut berdemonstrasi di Jakarta.
Masyarakat Dili sangat ramah, bahkan dengan orang Indonesia sekalipun. Saya sempat bertanya apakah masih ada air mata kesedihan dan sakit hati terhadap Indonesia.
“Ah, tidak. Sudah tidak bisa lagi (seperti itu). Ada rekonsiliasi, CAVR itu,” sahut Pedro.
“Hanya pada pemerintahan saat itu, rezim Soeharto. Karena mereka (rezim Soeharto) didukung Amerika Serikat,” kata Pedro menjelaskan. “Amerika tertarik untuk mengeksplorasi minyak kami.”
Sebagai orang Indonesia, negeri sang agresor Bumi Lorosa’e, saya terharu mendengar jawaban Pedro.
Besoknya, saya menyempatkan diri berkunjung ke Chega! Exhibition. Tempat ini adalah bekas penjara yang sekarang digunakan sebagai “markas” CAVR. Ketika berfungsi sebagai penjara, namanya Comarca Balide. Pada era pendudukan Indonesia, Comarca Balide digunakan sebagai tahanan para pejuang kemerdekaan Timor-Leste.
Di Comarca Balide ada dua tipe sel, yaitu sel terang dan sel gelap. Bangunan sel-sel gelap tetap dipertahankan seperti aslinya. Disebut sel gelap karena benar-benar gelap. Tak ada lampu. Hanya ada lubang angin kecil yang terletak di atas tembok. Ketika mereka kangen dengan dunia luar, para tahanan membuat “menara manusia” di dalam sel sehingga orang yang paling atas dapat melihat keluar melalui lubang tersebut. Mereka melakukannya secara bergantian.
Kloset jongkok terletak di sudut sel. Tak ada air bersih. Bahkan saluran kloset kadang tak berfungsi dengan baik. Saat ini seluruh kloset di sel gelap sudah ditutup semen. Di penjara ini, kadang kaki para tahanan terendam air yang keluar dari saluran kloset. Petugas lalu mengaliri air tersebut dengan arus listrik.
Banyak tahanan yang diambil dari penjara ini dan penjara lain dieksekusi dengan cara dilempar ke jurang. Salah satu jurang yang digunakan terletak di daerah Pegunungan Builo atau dikenal dengan sebutan Jakarta 2. Hal ini karena ketika para kerabat menanyakan keberadaan mereka, petugas penjara mengatakan mereka dikirim ke Jakarta untuk sekolah.
Laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak menjadi penghuni Comarca Balide. Menurut Emma Coupland, sejarawan dan penulis buku Penjara Comarca Balide: ‘Gedung Suci’, anak-anak sering digunakan untuk menyiksa orangtua mereka. Misalnya, seorang gadis kecil berusia enam tahun diperintahkan polisi militer untuk menyiramkan sup panas ke kepala ibunya yang sedang disiksa. Sementara, kaum perempuan mengalami penganiayaan seksual selama ditahan di sana.
Patung Kristus
Kunjungan ke Dili tak lengkap tanpa mencelupkan jari ke air laut yang jernih dan menginjak pasir putih di Areia Branca. Di ujung Areia Branca, berdiri Patung Kristus Raja (Cristo Rei) yang menghadap kota Dili.
Patung Kristus Raja didesain Mochamad Syailillah atau Bolil, pematung asal Bandung. Ia dibuat setinggi 27 meter. Angka ini merupakan simbol Timor Timur sebagai provinsi ke-27. Presiden Soeharto meresmikannya pada 15 Oktober 1996.
Untuk melihat Kristus Raja dari dekat, pengunjung harus meniti ratusan anak tangga menuju Bukit Fatukama. Namun, rasa letih dan lutut pegal menghilang begitu tiba di puncak. Patung Kristus Raja dengan tangan terbuka siap mengundang siapa saja yang ingin menikmati pemandangan laut Areia Branca dan kota Dili dari atas bukit.
Jika tidak ingin terpapar sinar matahari, Kristus Raja bisa dikunjungi malam hari. Jangan khawatir. Penerangan menuju bukit sudah memadai. Walaupun Areia Branca tidak tampak, suara desiran ombak serta kerlip lampu di kota Dili dapat dinikmati dari atas bukit. Pancaran lampu di sekitar patung Kristus Raja yang teduh juga menambah suasana syahdu bagi yang hendak memanjatkan doa pada waktu malam.
Ada bermacam perasaan yang terbersit di hati saya saat mendatangi Timor-Leste. Namun, seminggu berada di Dili, saya belajar satu hal dari “mantan adik kecil” Indonesia. Sejarah adalah masa lalu yang harus diingat dan dikenang, tetapi menatap masa depan lebih penting. Karena itu, Timor-Leste tidak memusuhi Indonesia. Mereka bahkan antusias menjalin hubungan kerjasama di bidang ekonomi, politik, telekomunikasi, energi, dan pendidikan.*
Penulis adalah dosen Program Studi Hospitality Unika Atma Jaya, Jakarta.