Jejak Cinta yang Terpahat di Bandara

Sukarno menggandeng seniman untuk mempercantik Bandara Internasional Kemayoran. Hasilnya, gambaran Indonesia dan cinta pada perempuan.

OLEH:
Aryono
.
Jejak Cinta yang Terpahat di BandaraJejak Cinta yang Terpahat di Bandara
cover caption
Panel relief karya Harijadi Sumadidjaja di eks Bandara Internasional Kemayoran. (Fernando Randy/Historia.ID).

KABAR melegakan itu pun datang. Setelah lama terbengkalai, eks Bandara Kemayoran akan dijadikan cagar budaya dan dibuka untuk publik. Selain merupakan bandara internasional pertama di Indonesia, ia menyimpan beberapa relief karya maestro Indonesia.

Pada 17 hingga 21 Juli 2019, Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Pusat Pengelolaan Kompleks (PPK) Kemayoran menggelar kegiatan Konservasi Karya Relief di eks Bandara Kemayoran. Mereka memamerkan tiga relief yang dulu menemani para penumpang di ruang VIP (Very Important Person) Bandara Kemayoran. Ketiga relief itu bercerita tentang Sangkuriang, flora dan fauna, serta manusia Indonesia.

“Relief ini perlu dilestarikan karena mengandung nilai sejarah (sejarah pembuatan, riwayat perupa, dan sejarah gagasan) dan nilai kekaryaan secara estetik (proses kreatif, selera seni, dan media yang dipakai). Sehingga nilai-nilai tersebut terus tertanam dalam ingatan generasi muda,” kata Mikke Susanto, pengajar Fakultas Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

KABAR melegakan itu pun datang. Setelah lama terbengkalai, eks Bandara Kemayoran akan dijadikan cagar budaya dan dibuka untuk publik. Selain merupakan bandara internasional pertama di Indonesia, ia menyimpan beberapa relief karya maestro Indonesia.

Pada 17 hingga 21 Juli 2019, Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Pusat Pengelolaan Kompleks (PPK) Kemayoran menggelar kegiatan Konservasi Karya Relief di eks Bandara Kemayoran. Mereka memamerkan tiga relief yang dulu menemani para penumpang di ruang VIP (Very Important Person) Bandara Kemayoran. Ketiga relief itu bercerita tentang Sangkuriang, flora dan fauna, serta manusia Indonesia.

“Relief ini perlu dilestarikan karena mengandung nilai sejarah (sejarah pembuatan, riwayat perupa, dan sejarah gagasan) dan nilai kekaryaan secara estetik (proses kreatif, selera seni, dan media yang dipakai). Sehingga nilai-nilai tersebut terus tertanam dalam ingatan generasi muda,” kata Mikke Susanto, pengajar Fakultas Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Suasana halaman depan eks Bandara Internasional Kemayoran. (Fernando Randy/Historia.ID).

Gagasan Sukarno

Bandara Kemayoran dibangun pemerintah Hindia Belanda pada 1934 dan diresmikan sebagai lapangan terbang internasional pada 8 Juli 1940. Seusai masa perang, pengelolaannya diambil alih pemerintah Indonesia.

Perlahan kegiatan di bandara kian ramai. Para penumpang dari rute penerbangan internasional yang transit sejenak meluangkan waktu bersantai di ruang tunggu VIP sebelum melanjutkan penerbangan. Ruang tunggu ini adalah bangunan bertingkat yang dipenuhi mebel antik.

Bagian dalam gedung eks Bandara Internasional Kemayoran. (Fernando Randy/Historia).

Bandara Kemayoran waktu itu ibarat pintu gerbang Indonesia. Sukarno, presiden yang memiliki apresiasi tinggi terhadap seni, melihat perlunya tambahan ornamen yang menunjukkan identitas dan budaya Indonesia di ruang tunggu VIP ini. Terpikir olehnya untuk membuat pahatan relief (mural).  

“Lukisan dipandang kurang monumental; sementara patung akan menyita banyak ruang dan kurang fleksibel. Relief adalah pilihan terbaik karena ketersediaan dinding yang besar dan bisa dikerjakan secara kolektif oleh seniman,” ujar Aminuddin T.H Siregar, dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB yang kini menempuh pendidikan doktoral di Universitas Leiden, Belanda.

“Relief jadi pilihan lebih karena ukuran usia karya. Karya relief jelas lebih tahan cuaca dan suhu. Cocok untuk dan dengan kondisi ruang publik seperti Kemayoran,” ujar Mikke.

Logo Seniman Indonesia Muda berupa makhluk Bouraq. (Fernando Randy/Historia.ID).

Untuk merealisasikannya, pada 1957 Sukarno menunjuk Seniman Indonesia Muda (SIM), organisasi seniman yang bermarkas di Yogyakarta. Sukarno tentu punya alasan tersendiri.  

“Sukarno tak ingin menunjuk orang yang tidak dikenalnya. Kedekatan Sukarno dengan para pelukis SIM secara pribadi sudah diawali sejak era Jepang lalu diteruskan masa pascakemerdekaan,” ujar Mikke.

“Selain secara organisasi SIM cukup rapi dan profesional (juga karena banyak seniman top), Sukarno tahu anak-anak SIM sangat revolusioner. Cocok dengan visi Si Bung,” ujar Ucok, panggilan sehari-hari Aminudddin T.H Siregar.

Relief karya Sudjojono berjudul "Manusia Indonesia". (Fernando Randy/Historia).

Gambaran Indonesia

Siapa tak suka mendapat pesanan dari Sukarno? Maka, para seniman SIM pun bahu-membahu mengerjakan sepenuh hati. Menurut Amir Sidharta dalam bukunya S. Sudjojono Visible Soul, 36 seniman dan pengrajin, termasuk “Bapak Seni Rupa Indonesia Modern” Sudjojono, membantu menyelesaikan pengerjaan relief pesanan Sukarno.

Hampir semua anggota SIM turut dalam proyek ini. Mereka berada di bawah komando Harijadi Sumadidjaja, Surono, dan Sudjojono.  

“Semua senior dan yunior SIM meninggalkan sanggar Bangirejo untuk selama beberapa waktu ke Jakarta untuk mengerjakan order itu,” kenang Mia Bustam, istri pertama Sudjojono, dalam Sudjojono dan Aku.

Selama sembilan bulan, para seniman SIM bahu-membahu menyelesaikan pesanan Sukarno. Mereka, yang kebanyakan dari sekitar Yogyakarta, bergantian pulang sekadar melepas kangen dengan anak-istri lalu kembali lagi ke Jakarta. Sudjojono sendiri, kata Mia Bustam, pulang ke Yogyakarta dua minggu sekali karena kesibukan ini.

Pekerjaan ini tak mudah. Para seniman harus memahat beton yang sudah dipersiapkan sebelumnya.  

“Dasar gaya visual dalam pengerjaan relief ini adalah realistik pada bagian besar objek binatang, dengan aksen gaya atau stilistik semidekoratif pada bagian pepohonan,” ujar Mikke. Letak relief tersebut tersebar di dua lokasi, yaitu di lantai 1 dan lantai 2 ruang VIP Bandara Kemayoran.  

Relief karya Surono menampilkan fragmen kisah Sangkuriang. (Fernando Randy/Historia.ID).

Sudjojono, Harijadi, dan Surono bebas mengejawentahkan keinginan Sukarno yang menginginkan gambaran Indonesia. Tanpa embel-embel atas petunjuk bapak presiden.

“Sepenuhnya kreativitas seniman. Pembagian dilakukan melalui hasil rapat internal SIM. Sukarno hanya ingin bahwa relief itu benar-benar merepresentasikan Indonesia, keragaman budaya, kekayaan alam, dan kesan bahwa Indonesia sedang giat membangun, bekerja sepenuh tenaga di alam revolusi. Seniman menerjemahkan pesan tersebut,” ujar Ucok.

Buah kerja seniman SIM ini menghasilkan tiga relief dengan tema yang berbeda. Harijadi membuat relief tentang keanekaragaman flora dan fauna Nusantara dengan ukuran sekira 10 meter dan tinggi 3 meter. Surono membuat relief cerita Sangkuriang dengan panjang sekira 13 meter dan tinggi 3 meter. Sementara Sudjojono membuat relief berjudul “Manusia Indonesia” dengan panjang sekira 30 meter dan tinggi 3 meter.

“Sudjojono, Harijadi, dan Surono dalam SIM adalah pelukis-pelukis yang sangat kuat dalam gaya realismenya,” ujar Mikke.

Relief karya Harijadi Sumadidjaja menggambarkan flora dan fauna Indonesia. (Fernando Randy/Historia.ID).

Sudjojono menggambarkan manusia Indonesia, lelaki-lelaki bertubuh kekar dan perempuan mengenakan pakaian tradisional, yang tengah bekerja di segala bidang dan memanfaatkan kekayaan alam Indonesia. Harijadi menggambarkan dunia rimba Indonesia yang dipenuhi beragam satwa dan puspa. Sementara Surono menampilkan sosok Dayang Sumbi, ibu Sangkuriang, sedang mencari kutu di rambut Sangkuriang –sebuah kebiasaan yang jamak ditemui di masyarakat pedesaan.  

Semua pahatan dalam relief itu mengingatkan pada seni Hindu-Jawa abad ke-8 hingga 10 yang cenderung realis.

“Sekilas memang dekat dengan relief pada candi Hindu-Jawa. Namun, secara teknis merupakan tatahan ke dalam. Artinya, volume keruangannya ditatah ke belakang, lebih bersifat datar, bukan bersifat keluar melebihi dasar batu yang dipakai. Akhirnya relief ini tergolong relief dua dimensional, seperti lukisan yang hanya dilihat dari depan, tidak bisa dilihat dari samping,” ujar Mikke.

Yang menarik, Sudjojono menggunakan kesempatan ini untuk menuangkan perasaannya. Maka, terpahatlah sosok perempuan. Siapa dia? Ada yang menyebut Mia Bustam, seniman yang juga istri Sudjojono. Namun, ada pula yang menerka Rose Pandanwangi, istri kedua Sudjojono.

Pada 1957, saat Sudjojono mengerjakan relief beton di Bandara Kemayoran, biduk rumah tangganya dengan Mia Bustam memang tengah dilanda prahara. Sudjojono mengakui jatuh cinta pada perempuan lain. Mia Bustam tentu tak mau dimadu. Mereka akhirnya bercerai dua tahun kemudian.

Sosok perempuan di sisi kanan pintu dalam relief karya Sudjojono. (Fernando Randy/Historia.ID).

Konservasi

Keberadaan mural karya maestro Indonesia mempercantik ruang VIP Bandara Kemayoran yang bisa menampung sekira 60 orang. Para penumpang yang hanya sebentar singgah (transit) dan menunggu di ruang VIP bisa menikmati keindahan mural tersebut. Begitu pula tamu-tamu negara yang datang dan berangkat.

Bandara Kemayoran mencapai masa keemasan pada 1980-an. Namun, kejayaan itu perlahan redup setelah pemerintah membuka Bandara Halim Perdanakusuma. Lalu, peresmian Bandara Soekarno-Hatta pada 1 April 1985 menandai akhir dari beroperasinya Bandara Kemayoran.

Tak ada lagi kegiatan penerbangan di Bandara Kemayoran. Kawasan itu kemudian kurang terawat. Begitu pula panel-panel relief yang dibuat para seniman atas prakarsa Sukarno. Pihak pengelola menutup relief tersebut dengan lembaran papan kayu.

Bekas lubang pintu di antara panel relief. (Fernando Randy/Historia.ID).

Pada 2009, anak-anak Harijadi menyuarakan keprihatian atas kondisi relief di gedung eks Bandara Kemayoran. Apalagi kala itu beredar kabar gedung tempat relief itu berada akan dihancurkan. Untungnya, hingga hari ini gedung itu masih berdiri dan relief-relief itu bisa dinikmati umum, meski terdapat kerusakan di sana-sini.

Dalam kegiatan Konservasi Karya Relief, Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencetuskan bahwa relief tersebut akan diajukan sebagai cagar budaya. Pihak PPK Kemayoran pun memberi sinyal positif. Sejauh mana rencana konservasi tersebut memang butuh waktu menunggu.

“Kalau ke depan gak ada rencana apapun untuk bandara ini, apalagi kalau dibongkar untuk keperluan komersial, saran saya relief monumental dan bersejarah ini sebaiknya dikasih rumah baru. Dipindahkan ke Museum Nasional atau Galeri Nasional,” ujar Ucok.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
660933cb64f349dea75d3a68
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID