Jejak Harimau di Dunia

Kepunahan membayangi hampir semua spesies harimau. Keberlangsungan hidupnya terancam oleh perusakan hutan dan perdagangan ilegal.

OLEH:
Mira Renata
.
Jejak Harimau di DuniaJejak Harimau di Dunia
cover caption
Perburuan harimau Sumatra. (KITLV).

PEMANGSA manusia sejak lama disematkan pada harimau. Ketakutan terhadap kebuasan harimau menjadi sebuah justifikasi tradisi berburu harimau. India, yang pernah menjadi rumah bagi lebih dari 40.000 harimau Bengal (Panthera tigris tigris), lekat dengan tradisi berburu harimau; baik oleh para aristokrat India maupun pejabat pemerintah kolonial Inggris.

Rudyard Kipling menorehkan satir tradisi ini lewat The Jungle Book (1894): “Hukum rimba melarang binatang buas memangsa manusia… memangsa manusia, cepat atau lambat, berarti datangnya manusia kulit putih menunggangi gajah, dengan senjata, dan ratusan manusia kulit coklat membawa gong dan petasan dan obor. Dan seluruh penghuni rimba akan menderita sengsara.”

Dorongan memburu harimau juga dibentuk oleh citra figuratif harimau. Ia menjadi sebuah “kekuatan lain” yang harus ditaklukkan. Kekaisaran China menerjemahkan serangan harimau kepada manusia sebagai manifestasi kemarahan Mandat Surga terhadap ketidakmampuan pemerintah menjaga keharmonisan dunia dan para dewa. Mengontrol serangan harimau, dengan demikian, menjadi tolok ukur legitimasi sebuah pemerintahan.

PEMANGSA manusia sejak lama disematkan pada harimau. Ketakutan terhadap kebuasan harimau menjadi sebuah justifikasi tradisi berburu harimau. India, yang pernah menjadi rumah bagi lebih dari 40.000 harimau Bengal (Panthera tigris tigris), lekat dengan tradisi berburu harimau; baik oleh para aristokrat India maupun pejabat pemerintah kolonial Inggris.

Rudyard Kipling menorehkan satir tradisi ini lewat The Jungle Book (1894): “Hukum rimba melarang binatang buas memangsa manusia… memangsa manusia, cepat atau lambat, berarti datangnya manusia kulit putih menunggangi gajah, dengan senjata, dan ratusan manusia kulit coklat membawa gong dan petasan dan obor. Dan seluruh penghuni rimba akan menderita sengsara.”

Dorongan memburu harimau juga dibentuk oleh citra figuratif harimau. Ia menjadi sebuah “kekuatan lain” yang harus ditaklukkan. Kekaisaran China menerjemahkan serangan harimau kepada manusia sebagai manifestasi kemarahan Mandat Surga terhadap ketidakmampuan pemerintah menjaga keharmonisan dunia dan para dewa. Mengontrol serangan harimau, dengan demikian, menjadi tolok ukur legitimasi sebuah pemerintahan.

Chris Coggins dalam The Tiger and The Pangolin: Nature, Culture and Conservation in China, meneliti arsip laporan bencana alam di daerah China Selatan –Guangdong, Jiangxi, Hunan, dan Fujian selama abad ke-14 hingga 19. Para pejabat yang mendokumentasi laporan bencana itu, menurut Coggins, mengaitkan peningkatan serangan harimau dan gangguan alam seperti badai dengan sentimen spiritual terhadap transisi Dinasti Ming kepada penguasa-penguasa Manchu (Dinasti Qing) pada akhir abad ke-16. Untuk mematahkan keraguan terhadap kepemimpinan mereka, kaisar-kaisar Dinasti Qing menyelenggarakan acara berburu binatang buas setiap musim gugur hingga otoritasnya memudar pada 1821.

Dalam Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, 1600–1950, Peter Boomgaard menyebutkan tradisi adu harimau dan kerbau oleh Kerajaan Mataram di Jawa –yang biasa dimenangkan oleh kerbau– sebagai simbol dominasi Jawa (kerbau) terhadap Eropa (harimau), yang melambangkan pihak “luar”.

Bangsawan Lord George Curzon dan istrinya, Mary, berburu harimau Bengal di British India, 1903. (Wikimedia Commons).

Kebiasaan kolonial Inggris di India berburu harimau juga kerap dibaca sebagai upaya pembuktian supremasi kolonialisme terhadap alam dan kekuasaan tanah jajahan. “Berburu adalah sebuah posisi di mana kolonialisme berusaha mengkonstruksi dan meyakini adanya perbedaan antara kelompoknya yang ‘superior’ dan kelompok ‘pribumi’ yang inferior,” tulis M.S.S. Pandian, “Hunting and Colonialism in the Nineteenth-Century Nilgiri Hills of South India”, dalam R. Grove, V. Damodaran, & S. Sangwan, Nature and the Orient.

Perburuan harimau kemudian justru menyebabkan harimau menjadi pemangsa manusia. Jim Corbett, seorang kolonel tentara British India dan pecinta alam, menyimpulkan bahwa bekas luka, biasanya akibat tembakan yang meleset atau tusukan duri binatang, merupakan salah satu penyebab harimau beralih memangsa manusia. Corbett, yang menuliskan pengalamannya berburu harimau pemangsa manusia selama 30 tahun dalam The Man Eaters of Kumaon (1944), menemukan bukti ini pada bangkai-bangkai harimau pemangsa manusia yang diburunya. Misalnya, pada Champawat, seekor harimau betina yang telah menewaskan 436 manusia di Nepal dan India; ia menderita kerusakan gigi sebelah kanan atas dan bawah yang permanen. Atau pada harimau betina pemangsa lain yang dikenal sebagai Thak, terdapat dua bekas luka tembak yang salah satunya di bahu. Corbett memperkirakan bekas-bekas luka yang tak sepenuhnya pulih ini membuat mereka menjadi pemangsa manusia.

Berburu adalah sebuah posisi di mana kolonialisme mengkonstruksi perbedaan antara kelompoknya yang superior dan kelompok pribumi yang inferior.

Berbeda dengan kolonial Inggris di India, Belanda hadir di Pulau Jawa dan sekitarnya tanpa tradisi berburu. Namun, perburuan dengan imbalan uang tetap terjadi. Pembukaan hutan-hutan untuk jalan, desa, kota, dan perkebunan juga meluas. Faktor-faktor tersebut, menurut Boomgard, menyebabkan jumlah harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) menyusut dari sekitar 2.500 ekor pada 1820, 500 ekor pada 1900, hingga 25 ekor pada 1950. Sejak itu, harimau Jawa jarang terlihat dan kini dipastikan punah. Begitu pula harimau Bali (Panthera tigris balica), yang menyusut dari 150 ekor pada 1820, 125 ekor pada 1900, dan dinyatakan punah pada 27 September 1937.

Di Manchuria, pemburu lokal awalnya menghindari berburu harimau. Nikolai A. Baikov, penulis dan naturalis di wilayah Manchuria Rusia, dalam The Manchurian Tiger (1925) menyebutkan bahwa tabu bagi pemburu lokal mengucapkan nama harimau di tengah hutan karena dipercaya dapat membangkitkan amarahnya. Namun, di pengujung abad ke-19, mulai terjadi perburuan harimau untuk kepentingan komersial seiring kehadiran pendatang Rusia dan China. Takhayul yang berkembang, organ tubuh harimau bisa memulihkan fisik dan mental manusia. Takhayul menyantap jantung harimau sebagai sumber kekuatan dan keberanian, menurut Baikov, sebenarnya bertolak belakang dengan sifat asli harimau yang penuh perhitungan, hati-hati, dan tak setia. “Dengan sifat semacam ini, harimau cenderung menghindari manusia. Setelah diburu beberapa hari, ia akan meninggalkan wilayah tersebut untuk jangka waktu lama, atau bahkan selamanya.”

Pada masa itu, Peking dan Tientsin tercatat sebagai pasar terbesar bagi organ tubuh harimau seperti tulang, kulit, dan penis. Perkembangan teknologi pada 1990-an memodernisasi usaha ramuan tradisional menjadi industri obat dengan nilai ekonomi tinggi. Data Li Chaoying dan Zhang Dafang dalam Research on Substitutes for Tiger Bone mencatat sebanyak 200 perusahaan obat di China pada awal 1990-an memproduksi tablet, koyo, balsam/gel, dan arak berbahan dasar tulang harimau.

Penduduk Malingping, Banten menangkap harimau Jawa, Mei 1941. (Wereldmuseum Amsterdam).

Untuk mencegah kepunahan harimau, pemerintah China pada 1993 mengeluarkan larangan perdagangan harimau dan produk-produk yang memanfaatkan organ tubuh harimau, termasuk obat-obatan. Namun, perdagangan ilegal lintas negara untuk memenuhi permintaan organ tubuh harimau masih kerap terjadi. Penelitian Judy A. Mills dan Peter Jackson, Killed for a Cure: A Review of the Worldwide Trade in Tiger Bone mencatat Rusia, Asia Tenggara, India, China, dan Nepal sebagai pemasok tulang harimau. Konsumen utamanya antara lain China, Korea Selatan, dan Taiwan. Mills dan Jackson juga mencatat ekspor sekitar 3.990 kilogram tulang harimau dari Indonesia ke Korea Selatan sejak 1970 hingga 1993.

Kepunahan kini membayangi hampir semua subspesies harimau. Perusakan hutan dan perdagangan ilegal mengancam keberlangsungan hidup mereka. Harimau Xiamen atau Amoy (Panthera tigris amoyensis) di China dan harimau Manchuria (Panthera tigris altaica), juga dikenal sebagai Harimau Amur/Siberia, di Rusia berisiko punah. Demikian pula Harimau Bengal (Panthera tigris tigris) di India dan Bangladesh. Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) di Indonesia tak luput dari ancaman kepunahan. Populasi harimau Indocina (Panthera tigris corbetti) menurun drastis di wilayah Vietnam, Laos, Kamboja, Burma, Thailand, dan sebagian wilayah China.

Populasi harimau setiap tahun terus menyusut: 100.000 ekor pada 1913 menjadi 3.274 ekor pada 2013, dan turun lagi menjadi 3.000 ekor pada 2014 (tigerday.org, 2014). Menyikapi status kritis populasi harimau, sejumlah negara termasuk Indonesia berkomitmen meningkatkan populasinya menjadi dua kali lipat hingga tahun 2022 atau Tahun Harimau berikutnya sesuai kalender China. Komitmen International Tiger Forum di St. Petersburg, Rusia, 21–24 November 2010, mengajak negara peserta mengambil langkah menghentikan perdagangan ilegal, serta melibatkan semua pihak untuk mendukung konservasi habitat harimau.  

Asia adalah tapak awal kehidupan harimau (Panthera tigris). Fosil harimau tertua yang ditemukan di Jawa (Sangiran dan Ngandong), Sumatra, dan China menunjukkan keberadaannya sejak awal hingga pertengahan era Pleistocene di daratan Asia. Kini waktu akan menyingkap apakah upaya perlindungan harimau efektif menjaganya di Asia dan dunia.*

Majalah Historia No. 12 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65ffd3946173163c30f1ea5c