Jejak Pablo Neruda di Jakarta

Penyair peraih Nobel Sastra ini pernah berkarier sebagai diplomat dan ditempatkan di Jakarta. Beberapa puisi lahir di tengah rasa kesepiannya.

OLEH:
Muhsin Sabilillah
.
Jejak Pablo Neruda di JakartaJejak Pablo Neruda di Jakarta
cover caption
Pablo Neruda, 20 Juni 1966. (Sumber: United States Library of Congress's Prints and Photographs Division).

HARI pertama Pablo Neruda di Batavia (sekarang Jakarta) tidak menyenangkan. Ketika mendatangi konsulat Chile dan memperkenalkan diri sebagai konsul yang baru, ia kena semprot. “Saya satu-satunya konsul di sini,” kata orang Belanda itu.  

Neruda tidak punya pilihan selain kembali ke Hotel der Nederlanden (kini, Bina Graha), tempat ia meningap. Belakangan ia tahu konsul yang digantikannya tinggal di Paris dan membuat kesepakatan dengan orang Belanda itu agar menjalankan tugas konsuler tapi tak pernah dibayar sesuai yang dijanjikan.

Keesokan harinya, Neruda menderita. Ia dihantam demam dan flu berat. Ia berkeringat sangat banyak. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, ia mendatangi kantor pemerintahan di Buitenzorg (Bogor) untuk melapor soal penugasannya sebagai konsul Chile. Setelah itu ia kembali ke hotel untuk menulis surat ke pemerintah Chile.  

“Saya kembali ke hotel dalam keadaan yang lebih baik dan duduk di beranda kamarku dengan kertas dan luwakku,” tulis Neruda dalam Memoirs.

HARI pertama Pablo Neruda di Batavia (sekarang Jakarta) tidak menyenangkan. Ketika mendatangi konsulat Chile dan memperkenalkan diri sebagai konsul yang baru, ia kena semprot. “Saya satu-satunya konsul di sini,” kata orang Belanda itu.  

Neruda tidak punya pilihan selain kembali ke Hotel der Nederlanden (kini, Bina Graha), tempat ia meningap. Belakangan ia tahu konsul yang digantikannya tinggal di Paris dan membuat kesepakatan dengan orang Belanda itu agar menjalankan tugas konsuler tapi tak pernah dibayar sesuai yang dijanjikan.

Keesokan harinya, Neruda menderita. Ia dihantam demam dan flu berat. Ia berkeringat sangat banyak. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, ia mendatangi kantor pemerintahan di Buitenzorg (Bogor) untuk melapor soal penugasannya sebagai konsul Chile. Setelah itu ia kembali ke hotel untuk menulis surat ke pemerintah Chile.  

“Saya kembali ke hotel dalam keadaan yang lebih baik dan duduk di beranda kamarku dengan kertas dan luwakku,” tulis Neruda dalam Memoirs.

Masalahnya, ia tak punya tinta untuk menulis. Ia memanggil pelayan hotel untuk meminta tinta dalam bahasa Inggris. Si pelayan tak mengerti apa yang dikatakan Neruda, dan memanggil pelayan lain untuk membantunya. Tak ada gunanya, si pelayan yang lain juga tak mengerti. Ia meminta tinta sambil menggerakan penanya mencelupkan ke wadah tinta imajiner.

Para pelayan hotel mengikuti gerakan Neruda, kemudian tertawa. Mereka mengira bahwa mereka baru mempelajari ritual baru. Sambil menahan demam, Neruda bergegas mati-matian ke kamarnya, sambil diikuti para pelayan, untuk mengambil wadah tinta yang untungnya ada di sana dan menunjukkannya pada para pelayan.  

Para pelayan seketika tersenyum dan berseloroh, “Ooh, tinta.” Dari situ Neruda tahu bahwa dalam bahasa Indonesia, tinta disebut dengan nama yang mirip dalam bahasa Spanyol, tima.

Setelah mengirim telegram ke Chile, Neruda memulai tugasnya sebagai konsul di Batavia.  

Kantor berita Aneta, yang dikutip koran-koran di Hindia Belanda, melaporkan bahwa, “sesuai keputusan Kerajaan tanggal 10 Oktober 1930, Tuan N.R Reyes diakui dan diterima sebagai konsul Chile di Batavia.”

Potret Pablo Neruda. (Sumber: Neruda an Intimate Biography).

Menjadi Diplomat

Pablo Neruda adalah seorang sastrawan terkemuka berkebangsaan Chile. Lahir di Parral, Chile, pada 12 Juli 1904 dengan nama Ricardo Eliezer neftali Reyes y Basoalto. Nama pena itu diambil dari gabungan nama penyair Paul Verlaine dan pengarang Cekoslovakia, Jan Neruda. Ia melakukan itu semata-mata untuk menghindar dari amarah sang ayah, seorang masinis kereta yang tak menghargai bakat putranya.

Neruda memulai karier kepenulisan tahun 1921 ketika puisinya, La cancion de la fiesta (Lagu Festival), menang kompetisi menulis yang digelar himpunan mahasiswa Universitas Chile. Pada 1923 terbit buku puisi pertamanya Crepusculario (Buku Senja). Disusul Veinte poemas de amor y una cancion desesperada (Dua Puluh Puisi-Puisi Cinta dan Sebuah Lagu Keputusasaan), yang melambungkan namanya, setahun kemudian.

Kendati terkenal, Neruda belum puas. Ia terus menulis. Adam Feinstein dalam Pablo Neruda: A Passion for Life mencatat, di usia 22 tahun, selain dua koleksi puisinya, Neruda menerbitkan 108 artikel di sejumlah ruang sastra suratkabar dan jurnal.

Pada 1926 jadi tahun produktif dalam karier sastranya. Ia menerbitkan tiga buku: Tentativa del hombre infinito (Usaha Manusia Tak Terbatas),  Anillos (berkolaborasi dengan Tomas Lago), dan novel El habitante y su esperanza (Penduduk dan Harapannya).

Selain menulis, Neruda menjadi penerjemah beberapa buku. Namun, ketenaran belum mampu memberinya kemakmuran. Ia masih hidup dalam kemiskinan.

Neruda sempat berpikir jadi pengusaha. Tapi dikubur begitu saja. Beberapa orang mendorongnya pergi ke Paris, Prancis, tempat beberapa penulis hidup mapan. Atas dorongan beberapa temannya, Neruda menemui kepala Departemen Konsuler Kementerian Luar Negeri dan menanyakan lowongan kerja. Jawabannya: tak ada.

Suatu hari ia bertemu Manuel Bianchi yang merupakan teman dari menteri luar negeri. Mengetahui keinginan Neruda pergi dari Chile, Bianci mempertemukannya dengan menteri luar negeri.  

“Pos mana saja yang tersedia untuk dinas ini?” tanya sang menteri kepada ajudannya.  

Si ajudan menyebut beberapa negara di seluruh dunia. Namun Neruda hanya mengingat satu nama, yang belum pernah didengar atau dibaca sebelumnya: Rangoon.

"Ke mana kau ingin pergi, Pablo?" kata menteri.  

"Ke Rangoon," jawab Neruda tanpa ragu. Saat itu Rangoon (kini, Yangon) adalah ibukota Myanmar atau juga dikenal sebagai Burma.

Neruda diterima sebagai anggota korps diplomatik Chile. Pada Juli 1927, ia berangkat ke Rangoon dan sampai pada Oktober. Tugasnya sederhana. Membubuhkan stempel dan menandatangani dokumen setiap tiga bulan sekali ketika sebuah kapal tiba dari Kalkuta menuju Chile dengan membawa minyak tanah dan peti-peti besar berisi teh.  

“Kemudian tiga bulan berikutnya saya tidak melakukan apa-apa, merenung sendirian di pasar dan kuil. Ini adalah periode yang paling menyakitkan bagi puisi saya.”  

Pada Desember 1927, Neruda meninggalkan posnya untuk mengunjungi Shanghai dan Jepang. Kembali ke Rangoon, ia mengusir kejenuhan dengan pelukan perempuan.

Pada Desember 1928, ia dipindahkan ke Colombo, kota terbesar di Ceylon (Sri Lanka). Kembali ia merasa kosong dan kesepian. Beruntung, ia dipindahkan lagi ke Singapura dan Batavia pada Juni 1930.  

Neruda senang dengan pengangkatannya sebagai konsul di dua koloni sekaligus. Ia menunjukkan kegembiraannya dalam surat yang ditulisnya untuk Hector Eandi, kawan yang juga penulis Argentina, pada 11 Februari 1930.

“Singapura berarti kepulauan Melayu yang magis, perempuan-perempuan cantik, ritual-ritual indah. Aku sudah dua kali ke Singapura dan Bali, menghisap banyak opium di sana,” kata Neruda, dikutip Feinstein.  

Neruda sampai di Singapura pada 12 Juni 1930 hanya untuk terkejut karena tak ada kantor konsulat Chile di sana. Ia tersadar konsulat bayangan itu pasti berkantor pusat di Batavia. Hanya sehari di sana, dan tak punya cukup uang untuk membayar hotel, ia kembali ke perahu yang kemarin ditumpangi yang memang mengarah ke Batavia.

Plakat di bekas rumah dinas Pablo Neruda di Jakarta. (Sumber: Akun X Kedutaan Besar Chile di Indonesia, @EChileIndonesia).

Cinta di Batavia

Tiba di Batavia, Neruda tinggal sementara waktu di hotel der Nederlanden yang mewah. Ia ditemani dua kawan dari Sri Lanka: seorang pelayan setia bernama Bhrampy dan seekor luwak betina yang jinak bernama Kiria.

Namun Neruda masih merasa bosan. Terkadang ia duduk, hampir selalu sendirian, di kafe terbuka yang ramai di sepanjang kanal untuk minum bir atau gin. Soal makanan, Neruda terkejut dengan penyajian gaya rijsttafel. Ia menganggap makanan di restoran hotel bak santapan para raja. Mengandung kelezatan yang misterius. Ia suka mengambil lauk sampai piringnya menggunung. Ikan, telur, sayur, ayam, dan daging yang luar biasa.  

“Orang cina mengatakan bahwa makanan harus unggul dalam tiga hal: rasa, aroma, dan warna. Meja makan di hotel saya memiliki tiga keunggulan itu dan satu lagi: kelimpahan,” jelas Neruda.  

Suatu siang Kiria hilang di tengah kerimbunan pepohonan di taman hotel. Bhrampy, yang merasa bersalah karena gagal menjaga Kiria, minta izin untuk pulang ke kampung halamannya.

Neruda kemudian pindah ke rumah dinas di Probolinggoweg (Jalan Probolinggo) No. 5 di kawasan Menteng, tak jauh dari kantornya. Rumah itu mungil. Terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Ada garasi tapi selalu kosong. “Walau mungil, namun rumah itu lebih dari cukup untuk kutinggali sendiri,” tulis Neruda dalam Memoirs.

Neruda memperkerjakan seorang perempuan Jawa untuk memasak serta seorang anak lelaki Jawa untuk mengatur meja makan dan membenahi pakaian.  

Neruda kesepian. Tercermin dalam puisi “El Deshabitado” (Yang Tak Berpenghuni) yang ditulisnya tak lama setelah tiba di Batavia. Namun di rumah ini pula ia menyelesaikan naskah kumpulan puisi Residencia en La Tierra (Tempat Tinggal di Bumi), yang disusunya sejak 1925. “El Deshabitado” masuk di dalamnya. Residencia en La Tierra diterbitkan di Madrid, Spanyol, tahun 1933.

Di negara yang sejajar ekuator, Neruda melakukan rutinitas yang sama: menandatangani faktur konsuler dan membubuhkan stempel pada faktur tersebut.

“Dengan kata lain, saya melanjutkan hidup saya yang membosankan,” katanya.  

Pablo Neruda dan istri pertamanya, Maria Antonieta Hegenaar, di rumah dinasnya di Batavia. (Sumber: Pablo Neruda A Passion for Life).

Neruda berharap Albertina Rosa Azocar, kekasihnya di Chile, menyusulnya namun tak pernah terjadi. Ketika bertemu Maria Antonia Hagenaar Vogelzang, pegawai Bataviasche Afdeelingsbank, ia berharap hatinya tak lagi kosong. Maka, pada 6 Desember 1930, ia menikahi Hagenaar. Mereka berbulan madu di Ngamplang, dekat Garut, Jawa Barat.

Hagenaar adalah perempuan Belanda kelahiran Yogyakarta. Dalam memoirnya, Neruda mendeskripsikannya sebagai, “seorang perempuan yang tinggi dan lembut yang sama sekali asing dengan sastra dan seni.”

Selain istrinya, Neruda nyaris tak punya banyak teman. Sesekali dia dan istrinya berkunjung ke rumah sesama konsul asing di Batavia. Namun tampaknya Naeruda tak bahagia dengan pernikahannya.  

Dalam suratnya kepada Hector Eandi pada 5 September 1931 ia menulis: “Kami hidup luar biasa bersama, sangat bahagia di rumah yang lebih kecil dari sebuah bidal. Aku membaca, ia menjahit. Kehidupan konselor, protokol, makanan, tuksedo, jas berekor, jasa, seragam, dansa-dansa, mabuk-mabukan sepanjang waktu: sebuah neraka.”  

“Bahkan hal yang paling aneh atau paling menawan pun menjadi rutinitas. Setiap hari sama dengan hari lainnya di muka bumi ini.”

Selain itu, Volodia Teitelboim dalam Neruda: an Intimate Biography beranggapan bahwa Neruda tak benar-benar mencintai istrinya. Keputusannya untuk menikah memanglah sebuah kesalahan. Neruda sendiri menggambarkan pernikahannya dalam puisinya berjudul “ltinerarios” (Rencana Perjalanan) yang dimuat dalam buku kumpulan puisi Extravagaria (1958). Ia menulis:

Kenapa aku menikah di Batavia?
aku adalah seorang ksatria tanpa istana
pengelana yang tiba-tiba
mahluk tanpa busana, tanpa harta
seorang pengembara bodoh tanpa dosa

Plakat pada batu di taman bekas rumah dinas Pablo Neruda di Jakarta (Sumber: Akun X Kedutaan Besar Chile di Indonesia, @EChileIndonesia).

Misteri Kematian

Pada Maret 1931, gaji Neruda dipotong separuhnya karena Chile terkena dampak depresi ekonomi dunia. Namun ia masih berusaha bekerja sebaik mungkin dan menghadiri acara-acara tertentu di Hindia Belanda.  

Suratkabar De Locomotief 21 Januari 1932 mencantumkan nama Reyes, konsul Chile, sebagai tamu Sunan Paku Buwono X dalam upacara Tingalan Jumenengan yang megah di Keraton Surakarta pada 21 Januari 1932. Upacara Tingalan Juemenengan atau peringatan kenaikan tahta raja-raja Surakarta digelar setiap tahun.

Namun, karena kondisi ekonomi yang kian sulit, posisinya sebagai konsul Singapura dan Batavia berakhir. Diberitakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 12 Januari 1932, pemerintah Chile memutuskan untuk menghapuskan perwakilan konsulernya di Hindia Belanda.

“Sehubungan dengan hal ini, Konsul Chile di Batavia, Tuan N. R. Reyes telah dibebastugaskan dan dia akan kembali ke Chile akhir-akhir ini bersama istrinya, yang dinikahinya di Hindia Belanda.”

Pada 15 Februari 1932, Neruda bersama istrinya pulang ke Chile untuk kemudian ditugaskan di Buenos Aires (Argentina), Barcelona dan Madrid (Spanyol). Di Spanyol. Neruda bertemu dan berhubungan dengan pelukis Argentina Delia del Carril, yang kemudian jadi istri keduanya.

Pada Juli 1936, Perang Saudara Spanyol pecah. Neruda memutuskan menjadi seorang komunis karena bersimpati dengan perlawanan terhadap fasisme. “Itu adalah periode paling penting dalam karier politikku,” ucap Neruda dalam sebuah wawancara, dikutip oleh Feinstein.  

Kembali ke Chile, Neruda bergabung dengan Partai Komunis. Sejak itu, ia menganggap puisi bukan sebagai kegiatan elit, tetapi sebagai “pernyataan solidaritas manusia yang ditujukan kepada 'orang-orang sederhana'.”

Neruda tetap menjadi penyair yang produktif. Ia dianugerahi Penghargaan Nobel Sastra tahun 1971.  

Dari tahun 1970 hingga 1973, di bawah kekuasaan Presiden Salvador Allende, Neruda bertugas sebagai duta besar Chili untuk Paris. Tak lama setelah kudeta di Chili yang menggulingkan Allende, Neruda menghembuskan napas terakhir.

Pablo Neruda meninggal dunia pada 23 September 1973 di Klinik Santa Maria, Santiago, karena kanker prostat. Namun banyak yang menduga Neruda mati karena dibunuh. Penyelidikan dilakukan namun bertahun-tahun penyebab kematiannya masih misterius.

Selama hidupnya, Pablo Neruda menghasilkan 45 buku, ditambah berbagai kompilasi dan antologi, yang telah diterjemahkan lebih dari 35 bahasa.

Di Indonesia, beberapa karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, rumah dinasnya di Jakarta sudah tak ada lagi. Digantikan sebuah gedung yang dipakai sebagai kantor perusahaan konstruksi.  

Pada 2002, atas seizin pemiliknya, Kedutaan Besar Chile di Jakarta memasang plakat perunggu di dinding gedung bertuliskan: “Di sini Pernah Berdiam Pablo Neruda, Konsul Chile Untuk Batavia (1930) Dan Pemenang Hadiah Nobel Kesusastraan (1971).”

Selain itu, di tamannya, sebuah plakat ditempelkan pada batu yang memuat bait-bait puisi Neruda:  

Ini artinya baru saja
kini sampai di dalam kehidupan
lantas kita laksana baru dilahirkan
mari biar mulut kita tak diisi
dengan terlalu banyak nama-nama yang meragukan
dengan terlalu banyak tata-cara yang menyedihkan
dengan terlalu banyak surat-surat kesombongan
dengan terlalu banyak milikku dan milikmu
dengan terlalu banyak menandatangani surat-surat

Aku berhasrat mengacaukan segalanya
lantas menyatukannya, seperti baru lahir
mengaduknya, menelanjanginya
sampai segala sinar di dunia ini
menjadi satu seperti lautan
yang pengasih, kesatuan mahabesar
yang gemerlap, semerbak wangian yang hidup


Puisi itu berjudul “Terlalu Banyak Nama-Nama” yang diterjemahkan oleh Leon Agusta dan dimuat majalah sastra Horison No. 7/1983.*

*Penulis adalah guru bahasa Inggris yang tertarik pada sejarah, sastra, dan kebudayaan. Aktif di Kelompok Tidak Belajar

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66e93909f4b530eae52122d4
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID