Jejak Peace Corps di Indonesia

Amerika Serikat mengirimkan anak-anak mudanya ke Indonesia sebagai relawan. PKI mencurigainya sebagai tunggangan CIA.

OLEH:
Rahadian Rundjan
.
Jejak Peace Corps di IndonesiaJejak Peace Corps di Indonesia
cover caption
Presiden John F. Kennedy menyapa relawan Peace Corps pada 28 Agustus 1961. (Abbie Rowe/Arsip Nasional AS/Wikimedia Commons).

NAMANYA Melanie Aleman. Usianya 26 tahun. Ia gadis asal New Orleans, Amerika Serikat (AS). Di Bondowoso, Jawa Timur, ia menghabiskan waktunya dengan mengajar bahasa Inggris di sebuah madrasah. Di waktu senggang, ia mengajar yoga atau melakukan kegiatan lain untuk meningkatkan keterampilan anak-anak didiknya.

“Saya mendapatkan banyak pengalaman berharga di Indonesia. Orang-orangnya hangat dan menyambut kehadiran saya,” ujar Melanie kepada Historia. “Menjadi relawan Peace Corps merupakan pengalaman yang menantang karena saya ditempatkan di satu komunitas di mana saya tidak mengenal siapapun, tidak mengenal bahasanya, saya sendiri juga bukan seorang muslim. Tapi ini bukan masalah. Saya kerasan di sini.”

Melanie sudah bertugas selama dua tahun sebagai relawan Peace Corps Indonesia, sebuah lembaga independen AS untuk negara-negara dunia ketiga dalam bidang pengembangan masyarakat. Ia tidak sendirian. Ada puluhan pemuda-pemudi AS lainnya yang ikut bergabung.

NAMANYA Melanie Aleman. Usianya 26 tahun. Ia gadis asal New Orleans, Amerika Serikat (AS). Di Bondowoso, Jawa Timur, ia menghabiskan waktunya dengan mengajar bahasa Inggris di sebuah madrasah. Di waktu senggang, ia mengajar yoga atau melakukan kegiatan lain untuk meningkatkan keterampilan anak-anak didiknya.

“Saya mendapatkan banyak pengalaman berharga di Indonesia. Orang-orangnya hangat dan menyambut kehadiran saya,” ujar Melanie kepada Historia. “Menjadi relawan Peace Corps merupakan pengalaman yang menantang karena saya ditempatkan di satu komunitas di mana saya tidak mengenal siapapun, tidak mengenal bahasanya, saya sendiri juga bukan seorang muslim. Tapi ini bukan masalah. Saya kerasan di sini.”

Melanie sudah bertugas selama dua tahun sebagai relawan Peace Corps Indonesia, sebuah lembaga independen AS untuk negara-negara dunia ketiga dalam bidang pengembangan masyarakat. Ia tidak sendirian. Ada puluhan pemuda-pemudi AS lainnya yang ikut bergabung.

Peace Corps Indonesia kembali hadir setelah sekira empat dekade lalu dihentikan karena situasi politik di Indonesia yang memburuk.

Pembentukan Peace Corps

Tertohok program asistensi Uni Soviet di sejumlah negara miskin dan berkembang di seluruh dunia, Senator John F. Kennedy berambisi membuat program serupa untuk negerinya. Dalam pidatonya di University of Michigan, 14 Oktober 1960, Kennedy menantang para mahasiswa untuk menyumbangkan tenaga demi membantu jutaan orang miskin di seluruh dunia.

“Berapa banyak dari kalian, yang akan menjadi dokter, punya keinginan menghabiskan waktu di Ghana? Teknisi atau insinyur, berapa banyak dari kalian yang ingin bekerja melayani di luar negeri dan menghabiskan hidupmu berkeliling dunia?” ujar Kennedy, sebagaimana dimuat dalam situs John F. Kennedy Presidential Library and Museum, jfklibrary.org.

Para mahasiswa mendukung ide Kennedy. Dalam waktu singkat sekira 25 ribu surat dukungan datang dari berbagai penjuru AS.

Peace Corps merupakan salah satu program prioritas Kennedy dalam kampanye presiden. Ketika terpilih sebagai presiden, Kennedy menyurati Kongres agar mendukung gagasannya. Banyak anggota Kongres meragukan efektivitas program tersebut. Besarnya dana juga menjadi pertanyaan mereka.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Saya mendapatkan banyak pengalaman berharga di Indonesia. Orang-orangnya hangat dan menyambut kehadiran saya.</div>

Pada 1 Maret 1961, Kennedy menandatangani Executive Order 10924 tentang pembentukan Peace Corps sebagai program percobaan. Kennedy menunjuk Robert Sargent Shriver mengepalai Peace Corps.

Rombongan pertama relawan Peace Corps diberangkatkan pada Agustus 1961 ke Ghana, Chili, Filipina, Kolombia, St. Lucia, dan Tanzania. Sebulan kemudian, Kongres akhirnya mengesahkan Peace Corps sebagai program resmi pemerintah AS. Animo pemuda-pemudi AS pun meningkat. Pada akhir 1963, jumlah relawan mencapai 7.000 orang dan bertugas di 44 negara, termasuk Indonesia.

“Bagi Kennedy, pendekatan Peace Corps pada akhirnya menawarkan aras moral tertentu terhadap kebijakan Amerika dan, pada akhir 1962, ia ingin Indonesia memiliki kontingen relawan terbesar di Asia Tenggara,” tulis Timothy P. Maga, dosen sejarah Asia di University of Maryland, dalam “The New Frontier vs. Guided Democracy: JFK, Sukarno, and Indonesia, 1961-1963”, dimuat Presidential Studies Quarterly Vol. 2 No. 1 tahun 1990.

Relawan Peace Corps dari Iowa di Indonesia, 22 Februari–17 Mei 1963. (Repro Good Morning, Mr. Paul).

Sukarno Membuka Pintu

Menurut Timothy, pada awal 1961 Kennedy belum yakin untuk menjalankan program Peace Corps di Indonesia. Ia belum menemukan kunci yang tepat dalam berhubungan dengan Sukarno. Ia bahkan sempat melongok alternatif yang disarankan Menteri Luar Negeri Dean Rusk tentang pembentukan New Pacific Community, organisasi internasional untuk negara-negara Asia Tenggara, Amerika, dan Pasifik.

Pemerintahan Kennedy juga punya ganjalan lain: kasus Allen Lawrence Pope, seorang tentara bayaran yang ditugaskan badan intelijen AS (CIA) untuk membantu pemberontakan PRRI/Permesta tapi ditangkap militer Indonesia. Sukarno menawarkan pembebasan Pope dengan harapan memperoleh dukungan AS dalam soal Irian Barat. Kennedy pun mengutus adiknya, Jaksa Agung Robert F. Kennedy, ke Indonesia. Tujuannya membebaskan Allen Pope serta membujuk Sukarno dan Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns memecahkan masalah Irian Barat di meja perundingan. Agenda lainnya: menegosiasikan Peace Corps.

“Sukarno berulang kali mengatakan kepada Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta bahwa ia ingin Peace Corps di Indonesia. Ia menginginkan ‘ratusan’; tapi ia sering mengatakan bahwa ia tidak ingin masuk ke perjanjian sampai persoalan Netherland New Guinea teratasi. Jika Anda bisa mendorong Sukarno sampai titik di mana ia benar-benar menyetujui pertukaran nota diplomatik mengenai Peace Corps sekarang, daripada terus mengulur ulur waktu, itu akan sangat membantu,” tulis Robert Sargent Shriver dalam suratnya kepada Robert Kennedy tertanggal 29 Januari 1962.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Sukarno berulang kali mengatakan kepada Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta bahwa ia ingin Peace Corps di Indonesia.</div>

Pada 1 Oktober 1962, melalui New York Agreement, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil alih Irian Barat selama tujuh bulan –kemudian menyerahkannya kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Pintu bagi Peace Corps pun terbuka lebar.

Pada Oktober 1962, ketika Shriver sedang berada di Singapura, Sukarno minta bertemu. Shriver menemui Sukarno di Istana Bogor untuk membicarakan pembentukan Peace Corps di Indonesia. Pembicaraan berjalan mulus, sehingga Shriver memutuskan tinggal delapan hari di Indonesia untuk meninjau wilayah-wilayah yang akan menjadi tempat tugas relawan Peace Corps. Sebulan kemudian, Kennedy mengirim surat kepada Sukarno untuk berterima kasih atas antusiasmenya terhadap program Peace Corps.

Pada Januari 1963, Shriver meminta David S. Burgess untuk menjadi direktur Peace Corps Indonesia. Dimulailah proses perekrutan dan terkumpullah 18 relawan angkatan pertama. Sebelum berangkat, mereka menjalani pelatihan.

“Di universitas mereka mempelajari sejarah dan budaya Indonesia, juga kebijakan pemerintahan Kennedy dan Peace Corps itu sendiri. Mereka juga menghabiskan waktu berjam-jam untuk mempelajari bahasa Indonesia,” ujar Burgess dalam Fighting for Social Justice: The Life Story of David Burgess.

Di tengah pelatihan, mereka mendapat kesempatan bertemu dengan Presiden Kennedy di Gedung Putih pada 17 Mei 1963. Didampingi beberapa pejabat Indonesia, Kennedy berpesan agar relawan Peace Corps angkatan pertama bersikap baik dan rajin mengakrabkan diri dengan orang-orang Indonesia selama bertugas.

Di Indonesia, Peace Corps kerap dikenal sebagai Development Corps (korps pembangunan). Kedatangan mereka difasilitasi dan dikoordinasikan Kementerian Olahraga.

David S. Burgess (kedua dari kanan) ketika berkerja di Kedutaan Besar Amerika Serikat di India pada 1958. Ia kemudian menjadi direktur Peace Corps Indonesia. (Repro Fighting for Social Justice).

Kebijakan Politis

Relawan Peace Corps angkatan pertama tiba di Jakarta pada 30 Mei 1963. Tantangan pertama menghampiri. Partai Komunis Indonesia (PKI), yang menuding Peace Corps hanyalah tunggangan CIA, menyambut mereka dengan demonstrasi.

“Saya membujuk menteri dalam negeri dan kepala polisi di Jakarta untuk menjaga bandara dengan tentara dan polisi, beruntung ini sebuah langkah yang tepat. Saat pesawat mendarat, bandara dipenuhi demonstran PKI yang mengejek-ejek kami; ‘Yankee go home’ dan ‘Down with the imperialist pig’,” ujar Burgess. Para relawan lalu dikawal ketat menuju van yang akan membawa mereka ke hotel. Di sana mereka disambut Menteri Olahraga Maladi.

Kecurigaan publik Indonesia sudah dipikirkan Shriver. Ia tak mengelak jika Peace Corps dianggap sebagai salah satu bagian dari strategi global AS, secara tidak langsung, dalam Perang Dingin. Namun, ia bekerja keras memastikan Peace Corps tetap independen.

“Shriver menggunakan koneksinya dengan presiden untuk menghalangi CIA ‘menancapkan orang-orangnya’ ke dalam Peace Corps, karena Peace Corps adalah kesempatan bagi dunia untuk tahu tentang Amerika yang sebenarnya,” tulis Robert D. Dean dalam Imperial Brotherhood: Gender and the Making of Cold War Foreign Policy.

Menurut Alexander Shakow, anggota staf pertama yang direkrut untuk program Peace Corps Indonesia, awalnya Indonesia meminta pengiriman 200 profesor universitas tapi ini dianggap terlalu politis. Sebagai gantinya, Peace Corps memilih pelatih olahraga. Tapi ternyata keputusan ini juga menjadi politis. Tak lama setelah kelompok pertama tiba, Presiden Sukarno memutuskan keluar dari Olimpiade dan bahkan membuat perhelatan tandingan Games of the New Emerging Forces (Ganefo).

“Pelatih dan guru Peace Corps mempersiapkan Indonesia untuk Games yang benar-benar merupakan saingan Olimpiade,” ujar Shakow kepada W. Haven North dari Association for Diplomatic Studies and Training (ADST) yang menghelat Foreign Affairs Oral History Project, tahun 1998. Shakow kemudian menjabat direktur Peace Corps Indonesia, menggantikan David S. Burgess yang hanya bertahan sekira enam bulan karena istrinya sakit.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Pengalaman menjadi Peace Corps Indonesia ini adalah titik balik kehidupan saya. Saya betul-betul belajar banyak hal tentang diri sendiri di sini.</div>

Selama di Indonesia, relawan Peace Corps tinggal di rumah penduduk setempat yang menjadi keluarga angkat mereka. Mereka diharuskan menjalani hidup sehari-hari laiknya orang Indonesia, dari cara makan, berbicara, hingga urusan di kamar mandi. Sebuah pengalaman yang menyenangkan.

“Pengalaman menjadi Peace Corps Indonesia ini adalah titik balik kehidupan saya. Saya betul-betul belajar banyak hal tentang diri sendiri di sini. Saya bahkan masih saling kontak dengan anak dan cucu dari keluarga angkat saya,” ujar Joe Chapon, yang tinggal di California, kepada Historia.

Joe Chapon bergabung sebagai relawan karena terinspirasi kata-kata dan semangat ala kaum muda yang diperlihatkan Kennedy. Ia ditugaskan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Philip Wyckoff, yang tinggal di Florida, tertarik bergabung sebagai relawan Peace Corps karena tak ingin mengikuti wajib militer ke Vietnam. Ia ditugaskan di Surabaya dan Aceh. Selama di Aceh, ia berkawan dekat dengan kepala polisi setempat yang membuatnya aman dari gangguan orang-orang PKI.

“Saya pernah menangani sebuah kelompok atlet dan kami berkompetisi dalam kejuaraan nasional di Surabaya tahun 1964,” kenangnya kepada Historia. “Salah satu atlet kami bahkan berhasil menang dalam cabang lari atletik 800 meter.”

Relawan Peace Corps melatih mahasiswa Universitas Sriwijaya bermain bola voli. (Repro Good Morning, Mr. Paul).

Pemulangan

Pada 23 November 1963, semua relawan Peace Corps berkumpul di Bandung untuk persiapan Konferensi Peace Corps Indonesia pertama yang bertujuan mengevaluasi kinerja sekaligus liburan. Suasananya begitu hangat. Diskusi dan berbagi pengalaman membuat suasana makin hidup. Namun di hari kedua suasana berubah murung ketika mereka mendengar kabar terbunuhnya Presiden Kennedy.

“Kami terdampar di Indonesia dengan tantangan untuk bersatu, berkomitmen, dan terus maju karena itulah yang Presiden Kennedy inginkan dari kami. Ia bangga melayani negara yang dicintainya; kami akan meneruskan jejaknya,” tulis Paul Burghdorf, mantan anggota Peace Corps Indonesia yang ditempatkan di Palembang, Sumatra Selatan, dalam otobiografinya Good Morning, Mr. Paul: A Memoir of Peace Corps Volunteer’s Journey into History.

Mangkatnya Kennedy tak membuat Peace Corps mandek. Bahkan relawan Peace Corps meningkat lebih dari dua kali lipat pada pertengahan 1964, “yang hingga kini tetap menjadi jumlah tertinggi relawan yang bertugas dalam satu waktu,” tulis Casey Malone Maugh dalam Peace Corps in the 21st Century: A Rhetorical Analysis.

Namun, serangan terhadap relawan Peace Corps, terutama dari PKI, tak jua reda. Di Semarang, Bob Dakan bahkan diseret dari kediamannya dan dipaksa meninggalkan kota. Tapi ia tetap ngotot untuk tinggal dan mendapat simpati dari murid-murid atletnya. “Kami membuat PKI kesal…hanya dengan bahasa Indonesia yang masih terbata-bata dan bersikap seperti orang baik,” ucap Bob seperti dikutip Theodore Friend dalam Indonesia Destinies.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Rongrongan PKI tak membuat relawan Peace Corps gentar. Selama dua tahun jadwal masa tugas, tak satu pun dari 50 relawan mengundurkan diri.</div>

Bahkan Bob jatuh cinta dengan Maya, atlet renang yang ternyata putri petinggi PKI di Jawa Tengah. Keduanya menjalin hubungan asmara secara sembunyi-sembunyi hingga akhirnya menikah di Belanda tahun 1965, tanpa restu kedua orang tua. Salah satu anak mereka kemudian masuk Peace Corps.

Rongrongan PKI tak membuat relawan Peace Corps gentar. Selama dua tahun jadwal masa tugas, tak satu pun dari 50 relawan mengundurkan diri. Namun, kampanye anti-AS kian memuncak. Konsulat AS di Medan dan perpustakaan United States Information Agency (USIA) di Surabaya menjadi sasaran unjuk rasa, dibakar, dan ditutup.

Pemerintah AS akhirnya mempertimbangkan keberlanjutan program Peace Corps di Indonesia. Presiden Lyndon B. Johnson mengutus Ellsworth Bunker, seorang diplomat, untuk mendiskusikannya dengan Sukarno. Keduanya bersepakat menghentikan program Peace Corps Indonesia per 15 April 1965. Sukarno menyampaikan terima kasih secara pribadi.

Selama 1963–1965, sekitar 50 relawan Peace Corps dikirim dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. 49 orang pelatih olahraga dan seorang pengajar bahasa Inggris untuk mengajar bahasa Inggris di Kementerian Luar Negeri Indonesia.

“Tidak ada masalah dan satu per satu relawan pergi dengan perasaan hangat mengenai rakyat Indonesia,” ujar Shakow.

Relawan Peace Corps diterima oleh Hartini, istri Presiden Sukarno pada 2 Juni 1963. (Repro Good Morning, Mr. Paul).

Datang Kembali

Di AS, animo pemuda-pemudi untuk bergabung dalam Peace Corps perlahan menurun. Mereka mulai mempertanyakan kebijakan luar negeri pemerintahnya, terutama keterlibatan AS dalam Perang Vietnam. Pada 1970, misalnya, relawan Peace Corps berunjuk rasa di Washington untuk menuntut penghentian perang. Di lapangan, para relawan kerap mendapat penolakan dari penduduk setempat. Pemerintah Somalia, Turki, dan Bolivia mengusir Peace Corps. Meski masih eksis, Peace Corps tak sepopuler di era Kennedy.

Ketika huru-hara di Indonesia mereda, pemerintah AS berkali-kali menawarkan kembali program Peace Corps, namun pemerintah Indonesia menolaknya. “Pemerintah Indonesia berpikir mereka sudah punya lebih dari cukup sarjana-sarjana pengangguran. Mereka sudah mempunyai relawan-relawan untuk pembangunan daerah sendiri dan tidak ingin meninggalkan kesan memanfaatkan Amerika untuk melakukan hal yang bisa dilakukan sendiri,” tulis Theodore Friend.

Baru pada 2009, kedua negara akhirnya sepakat untuk menghidupkan kembali Peace Corps. Nota kesepahaman ditandangani Peace Corps dengan Kementerian Agama serta Kementerian Pendidikan dan Budaya, dan efektif berjalan sejak 2011. Kali ini, kegiatan relawan difokuskan pada bidang pendidikan dan pengajaran, terutama untuk mata pelajaran bahasa Inggris.

“Saya betul-betul menyukai Peace Corps, saya harap saya bisa bekerja di sana setelah tugas saya di Indonesia selesai,” ujar Melanie.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
63ff1b7b71f3fd3681261dfd