Jejak Pejuang Jepang dalam Perang Kemerdekaan di Medan

Sejumlah eks tentara Jepang ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kesaksian dari beberapa veteran perang merekam kisah mereka.

OLEH:
Martin Sitompul
.
Jejak Pejuang Jepang dalam Perang Kemerdekaan di MedanJejak Pejuang Jepang dalam Perang Kemerdekaan di Medan
cover caption
Kuroiwa alias Kishi yang dipanggil Keuchik Ali oleh orang Aceh merupakan perwira artileri kebangsaan Jepang dalam pasukan meriam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA). (Dok. Yayasan Pelestarian Fakta Sejarah).

KAPAL-kapal besar bersandar di Pelabuhan Belawan, Medan, pada pengujung 1945. Ribuan tentara Jepang menanti dipulangkan ke negeri asalnya. Sesuai kesepakatan kapitulasi, tentara Jepang harus menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Sebagai pengganti, mereka dibekali sangu sebesar tiga bulan gaji. Namun, tidak semua dari tentara Jepang itu bersedia dipulangkan. Sebagian dari mereka kemudian menggabungkan diri dengan pejuang Indonesia.  

“[Tentara] Jepang ini dulu kawan kita. Banyak tentara Jepang yang masuk ke Tentara Republik Indonesia menjadi teknisi,” tutur mendiang Mayor (Purn.) Sumbat Sembiring dalam wawancara kepada saya beberapa tahun silam.  

Sumbat Sembiring merupakan ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Medan. Dia wafat pada 11 Januari 2021 dalam usia 91 tahun.

KAPAL-kapal besar bersandar di Pelabuhan Belawan, Medan, pada pengujung 1945. Ribuan tentara Jepang menanti dipulangkan ke negeri asalnya. Sesuai kesepakatan kapitulasi, tentara Jepang harus menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Sebagai pengganti, mereka dibekali sangu sebesar tiga bulan gaji. Namun, tidak semua dari tentara Jepang itu bersedia dipulangkan. Sebagian dari mereka kemudian menggabungkan diri dengan pejuang Indonesia.  

“[Tentara] Jepang ini dulu kawan kita. Banyak tentara Jepang yang masuk ke Tentara Republik Indonesia menjadi teknisi,” tutur mendiang Mayor (Purn.) Sumbat Sembiring dalam wawancara kepada saya beberapa tahun silam.  

Sumbat Sembiring merupakan ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Medan. Dia wafat pada 11 Januari 2021 dalam usia 91 tahun.  

Sumbat Sembiring tergabung dalam Laskar Nasional Pelopor Indonesia (Napindo) pimpinan Selamat Ginting di Pancur Batu, sekira 20 km dari Medan. Usianya baru menginjak 15 tahun ketika menjadi anggota Napindo. Meski remaja tanggung, Sumbat ikut angkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebab, pada saat itu, Belanda kembali untuk menegakkan kekuasaannya. Pada Oktober 1945, tentara Belanda telah menduduki Kota Medan.  

Selain kelompok laskar dan tentara Republik, Sumbat melihat sendiri orang-orang Jepang yang ikut bertempur menghadapi Belanda dalam Pertempuran Medan Area. Mereka punya keahlian khusus menangani bahan dan alat peledak. Kemampuan mereka dalam pertempuran membuat pemuda Sumbat kagum.  

“Kalau soal merakit bom, orang-orang Jepang inilah ahlinya. Bikin senjata meriam juga jago. Kita terbantu sekali karena mereka pandai,” terang Sumbat dengan logat Karonya yang khas.   

Kesaksian Sumbat senada dengan penuturan veteran yang lain, yaitu Tengku Abdul Karim Jakobi. Sewaktu Perang Kemerdekaan, Jakobi merupakan komandan resimen Tentara Pelajar Islam (TPI) berpangkat mayor di Banda Aceh. Dia juga mengakui eks serdadu Jepang turut andil dalam perang kemerdekaan Indonesia.

Menurut Jakobi, beberapa mantan tentara Jepang yang telah lama bertugas di Aceh melebur jadi warga setempat. Setelah Jepang kalah perang, para serdadunya dikumpulkan di Medan menunggu repatriasi ke Jepang. Mereka yang sudah memilih kewarganegaraan Indonesia, memilih untuk tetap tinggal. Orang-orang Jepang yang memihak ke kubu Republik ini bukanlah sembarang serdadu. Mereka terdiri dari para perwira yang mahir menggunakan senjata dan mampu melayani meriam penangkis serangan udara.  

“Di antara nama mereka adalah Kuroiwa, Rusli Higuchi, Maida Chui dan puluhan prajurit yang bertempur mati-matian di front Medan Area bersama TKR/TRI kita,” ungkap Jakobi dalam bukunya Aceh Daerah Modal: Long March ke Medan Area.

Kuroiwa menjadi semacam penasihat bagi Kapten Nukum dalam merancang strategi dan taktik tempur.
Pasukan meriam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA). (Repro Pasukan Meriam Nukum Sanany).

Di antara pemuka Jepang yang terlibat dalam Pertempuran Medan Area, Kuroiwa yang paling terkenal. Aslinya bernama Kishi. Semasa pendudukan Jepang, Kishi merupakan komandan Tokubetsu (Polisi Istimewa) yang lama bertugas di Lhoknga, Aceh Besar. Kenapa dipanggil Kuroiwa, lantaran sebagai komandan ia sering menghardik anak buahnya dengan berujar, “Ini, ini, ini,” yang dalam bahasa Jepang, “Kore, kore, kore”.  

“Belakangan ia masuk Islam dan mempunyai nama Indonesia, yaitu Keuchik Ali. Dalam bahasa Aceh, keuchik adalah kepala gampong, atau sama dengan kepala desa,” jelas Amran Zamzami tentang Kuroiwa dalam memoarnya Jihad Akbar di Medan Area.

Amran Zamzami juga seorang veteran Perang Kemerdekaan jebolan sekolah kadet Komando Militer Akademi (KMA) di Bireuen. Dialah yang merasakan secara langsung bertempur bersama Kuroiwa di palagan Medan Area. Kuroiwa, menurut Amran, tergerak untuk menebus dosa kepada rakyat Indonesia atas tindakan Jepang yang kejam dan bengis semasa pendudukan. Alasan itulah yang menuntunnya bertempur di pihak Indonesia dalam perang kemerdekaan.    

Pada 1947, Amran dan Kuroiwa tergabung dalam Pasukan Meriam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) yang dipimpin Kapten Nukum Sanany. Pasukan Meriam RIMA berbasis di Kampung Lalang. Dalam struktur pasukan, Kuroiwa berkedudukan sebagai komandan taktis. Ia menjadi semacam penasihat bagi Kapten Nukum dalam merancang strategi dan taktik tempur.

Pasukan meriam acapkali bikin tentara Belanda kocar-kacir. Dalam pertempuran, pasukan meriam melancarkan bombardir terhadap pertahanan Belanda di front barat Medan Area. Gempuran itu sekaligus menghentikan laju tentara memasuki wilayah Aceh dari Medan.  

Ketika Belanda hendak merebut kilang minyak di Pangkalan Brandan, pasukan meriam pula yang meledakkan. Terselip peran kelompok eks serdadu Jepang yang dipimpin Kuroiwa, dibantu anak buahnya Higuchi dan Shimizu. Seperti Kuroiwa, keduanya juga bersalin nama setelah memeluk Islam menjadi Rusli Higuchi dan Muhammad Shimizu.   

Kisah Kuroiwa, Higuchi, dan Shimizu tidak begitu diketahui dalam sejarah Perang Kemerdekaan. Mereka adalah orang-orang Jepang yang menolak menyerah. Di saat yang sama, perjuangan rakyat Indonesia menggugah simpati mereka untuk berpeluh bersama mempertahankan kemerdekaan.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
661761325c8f25436d93e7a4
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID