Monumen Sukarno-Hatta di Surabaya. (Priawan Tyasajie).
Aa
Aa
Aa
Aa
RUMAH pemimpin Sarekat Islam di Gang Peneleh VII No. 29–31 itu tampak suwung. Daun pintu yang bercat krem berpadu hijau tertutup rapat siang itu. Andai saja tak ada plang informasi yang berdiri di depan rumah, mungkin orang tak bakal mengira kalau rumah sederhana itu pernah jadi tempat tinggal bagi aktivis politik zaman pergerakan dari berbagai kalangan dan ideologi. Mulai Sukarno yang nasionalis sampai Musso yang komunis dan S.M. Kartosoewirjo yang mengusung gagasan negara Islam, pernah indekos di rumah itu.
Rumah yang pernah menjadi kediaman keluarga H.O.S. Tjokroaminoto itu kini memang tak lagi serupa sediakala. Bangunan asli rumah berdiri memanjang ke belakang dengan dua tembok yang menyekat sayap kiri dan kanan rumah sehingga menyisakan koridor yang memanjang di tengah rumah. Bagian utama rumah dengan deret kamar kos di belakang, yang salah satunya pernah ditempati oleh Sukarno, dibatasi tembok dapur dengan satu pintu yang kini telah ditutup.
RUMAH pemimpin Sarekat Islam di Gang Peneleh VII No. 29–31 itu tampak suwung. Daun pintu yang bercat krem berpadu hijau tertutup rapat siang itu. Andai saja tak ada plang informasi yang berdiri di depan rumah, mungkin orang tak bakal mengira kalau rumah sederhana itu pernah jadi tempat tinggal bagi aktivis politik zaman pergerakan dari berbagai kalangan dan ideologi. Mulai Sukarno yang nasionalis sampai Musso yang komunis dan S.M. Kartosoewirjo yang mengusung gagasan negara Islam, pernah indekos di rumah itu.
Rumah yang pernah menjadi kediaman keluarga H.O.S. Tjokroaminoto itu kini memang tak lagi serupa sediakala. Bangunan asli rumah berdiri memanjang ke belakang dengan dua tembok yang menyekat sayap kiri dan kanan rumah sehingga menyisakan koridor yang memanjang di tengah rumah. Bagian utama rumah dengan deret kamar kos di belakang, yang salah satunya pernah ditempati oleh Sukarno, dibatasi tembok dapur dengan satu pintu yang kini telah ditutup.
Satu set kursi kayu kuno terpasang di ruang tamu seluas 2x4 meter persegi. Sebuah foto pengantin remaja Sukarno dan Oetari terpampang di tembok dekat pintu masuk. “Itu pemberian bapaknya Mbak Maia,” ujar Eko Hadiratno, ketua RT II Kampung Peneleh sekaligus kuncen rumah Tjokroaminoto. Bapaknya Mbak Maia yang disebut Eko adalah Ir. Harjono Sigit, ayah penyanyi Maia Estianty, mantan istri rocker Ahmad Dhani. Harjono adalah cucu Tjokroaminoto dan pernah jadi rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS) periode 1982–1986.
Keaslian rumah itu mulai terabaikan saat Sukarno tak lagi jadi presiden. Setelah sempat digunakan oleh Wali Kota Surabaya Soekotjo, kunci rumah tersebut diserahkan kepada Sunarjo, ketua RT setempat. Lama tak pernah dikunjungi, baik oleh Sukarno maupun keluarga Tjokroaminoto sendiri, rumah tersebut dialihfungsikan menjadi kos-kosan. “Waktu itu Pak Sunarjo bikin (rumah Tjokro, red.) jadi kos-kosan. Baru tahun 1996 Pemda mengambil alih rumah ini. Anak-anak kos juga ndak tahu kalau ini rumah Pak Tjokro,” kata Eko.
Soekotjo pensiunan tentara berpangkat brigadir jenderal. Ketika berpangkat letnan dua, Soekotjo yang pernah bertugas di Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya, memerintahkan menembak mati Tan malaka pada 21 Februari 1949 di Desa Selopanggung, 20 kilometer sebelah barat kota Kediri.
Bekas kediaman H.O.S. Tjokroaminoto, tempat Sukarno indekos. (Priawan Tyasajie).
Saat dijadikan kos-kosan itulah beberapa ruangan dalam rumah diubah. Dapur yang semula berada di sayap kiri rumah, dipindahkan ke ujung koridor, tepat dekat pintu keluar ke pekarangan belakang di mana dulu kamar Sukarno terletak. Eko menjelaskan, “sekarang dapur ini mau dibongkar, mau dipindah lagi ke sebelah, kayak dulu.” Sebelah yang dimaksud Eko adalah ujung belakang sayap kiri ruangan yang agaknya dulu digunakan sekaligus sebagai ruang makan. Ruangan tersebut sempat disekat-sekat tembok, dijadikan kamar kos.
Rumah Tjokroaminoto baru diambil alih oleh Pemerintah Kota Surabaya pada 1996. Kemudian atas persetujuan ahli waris rumah diserahkan kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk dijadikan cagar budaya. Ketika Megawati Soekarnoputri menjadi presiden, mulai ada perhatian lebih terhadap rumah itu. Pemugaran pun dilakukan pada beberapa bagian dalam rumah, mengembalikan secara bertahap ke bentuk aslinya. Sejak 2008 sebuah plang informasi dipasang di sana.
Bentuk awal rumah bisa diketahui dari penuturan Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. “Pada seperempat jalan jauhnya masuk ke gang itu berdirilah sebuah rumah buruk dengan pavilyun setengah melekat. Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar-kamar kecil, termasuk ruang loteng. Keluarga Pak Cokro tinggal di depan; kami yang bayar-makan di belakang,” kata Sukarno. Loteng yang disebut-sebut Sukarno sampai hari ini masih terawat. Luas ruang atas sekira 2x4 meter itu dibiarkan kosong melompong. Lubang kecil di tembok menjadi satu-satunya celah sinar matahari untuk menerangi ruangan.
Kamarku tidak pakai jendela sama sekali. Dan tidak berpintu. Di dalam sangat gelap, sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus menerus sekalipun di siang hari.
Sukarno menceritakan bahwa suatu kali ia dan kawan-kawan satu indekosnya mengikuti sebuah permainan dalam pertunjukan sirkus. Seekor merpati dilepaskan dan apabila hinggap pada seseorang, maka dialah pemenangnya. Ternyata nasib mujur ada pada Suarli, kawan Sukarno, yang malam itu dihinggapi merpati. Hadiahnya adalah seekor kuda tua yang ringkih. Bingung tak tahu mau diapakan, akhirnya kuda itu dibawa ke rumah Tjokroaminoto. Tak ada jalan lain bagi Sukarno dan kawan-kawannya kecuali membawa kuda itu melintasi pintu masuk utama rumah, ke pekarangan belakang.
“Dengan tenang kami buka pintu serambi muka dari rumah Pemimpin Besar Rakyat Jawa dan mempawaikan kuda kami melalui kamar duduk, terus ke halaman belakang di mana ia ditambatkan ke batang (pohon) sawo,” kenang Sukarno.
Kini halaman belakang itu tak ada lagi, berganti jadi bagunan sekolah Muhammadiyah. “Di belakang dulu memang ada istal kuda. Sekarang nggak ada lagi,” kata Eko. Kamar Sukarno yang terletak di belakang rumah pun tak tersisa lagi. “Kamarku tidak pakai jendela sama sekali. Dan tidak berpintu. Di dalam sangat gelap, sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus menerus sekalipun di siang hari,” ujar Sukarno menggambarkan keadaan kamarnya. Bukannya tak ada listrik tapi Sukarno, menurut pengakuannya, tak mampu membeli bola lampu.
Sekarang hanya ada satu kamar orisinal, yakni kamar milik Tjokroaminoto. Kamar tersebut sempat digunakan oleh Bung Karno dan Oetari setelah mereka dinikahkan secara siri. Sukarno mengatakan pemindahan itu dilakukan karena Tjokroaminoto gembira menerima Sukarno sebagai menantunya. Kini tak ada ranjang di kamar itu. Hanya satu lemari antik dan satu meja rias kuno terletak di sudut ruangan. Sejak beberapa bulan lalu rumah Tjokroaminoto sedang direnovasi. Rencana tersebut sudah disusun semenjak setahun lalu untuk mengembalikan bangunan seperti sediakala.
Lokasi bekas kediaman H.O.S. Tjokroaminoto. (Priawan Tyasajie).
Jejak bersejarah lainnya di Surabaya adalah gedung sekolah SMA Negeri 2 Surabaya yang terletak di Jalan Wijaya Kusuma, belakang kantor Kota Surabaya. Pada gedung itulah Sukarno sekolah HBS (Hollandsch Burgere School) selama empat tahun di sana sejak 1918–1921. “Ia itu generasi pertama yang masuk ke HBS,” kata sejarawan Peter Kasenda.
Sebelum masa reformasi, ada beberapa tempat bersejarah, khususnya yang berkenaan dengan Sukarno, tak mendapat perhatian pemerintah. Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang, saat ingatan sejarah berbalik kepada Sukarno, muncul keinginan untuk merawat memorabilia semasa Sukarno hidup. Menurut Peter, bangunan SMA Negeri 2 Surabaya baru direnovasi empat tahun belakangan. “Sekira empat tahun lalu SMA 2 dipugar pemerintah Kota Surabaya dalam kaitan untuk mengenang Sukarno,” kata penulis buku Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926–1933 itu.
Selain rumah kos dan sekolahnya, beberapa waktu belakangan ini muncul kisah kontroversi tentang tempat lahir Sukarno. Versi tempat kelahiran Sukarno yang diketahui masyarakat sebelumnya adalah di Blitar. Namun kemudian muncul versi yang benar bahwa Sukarno lahir di Surabaya. Rumah tempat di mana ia lahir terletak di Jalan Pandean IV/40, tak jauh dari rumah kosnya di Jalan Peneleh. Pada rumah tersebut kini dipasang plang pengingat bahwa di rumah itulah jabang bayi Sukarno dilahirkan dari rahim Ida Ayu Nyoman Rai pada 6 Juni 1901.
Namun sejarawan Peter Kasenda punya versi lain. Ia mengatakan bahwa Sukarno lahir bukan di Blitar bukan pula di kampung Pandean, Surabaya. “Sukarno lahir di Kampung Lawang Seketeng, sekarang tempat itu jadi tugu monumen pahlawan Surabaya,” kata Peter.
Peter menuturkan kampung tempat kelahiran Sukarno mulai berubah wujud saat zaman Jepang. Waktu itu Jepang merombak kawasan Lawang Seketeng untuk membangun markas Kempetai di atas lahannya. Lawang Seketeng memang terletak di kawasan kota lama Surabaya, di mana gedung-gedung tua yang berdiri di sekitarnya masih bisa dilihat sampai sekarang.
SMAN 2 Surabaya, dulu gedung HBS tempat Sukarno bersekolah. (Priawan Tyasajie).
Saat masih di Surabaya, Sukarno mulai terjun ke dunia politik. Pertama kali mendengar istilah sosialisme dari Hartogh, gurunya di HBS Surabaya. Ia kemudian aktif di dalam kepengurusan Tri Koro Darma yang kemudian berubah menjadi Jong Java. Sukarno juga aktif menjadi anggota Sarekat Islam dan belajar banyak cara berpidato pada gurunya, Tjokroaminoto.
Selama menimba ilmu di HBS dan berguru ke Tjokroaminoto di Surabaya, Sukarno mulai menulis di media massa di bawah nama samaran Bima. Ia menuangkan gagasan-gagasannya untuk koran Oetoesan Hindia, koran Sarekat Islam. Setelah lulus HBS, Sukarno melanjutkan kuliahnya di THS (Technische Hoogeschool te Bandoeng). Namun, baru setahun kuliah, ia harus kembali ke Surabaya karena Tjokroaminoto ditahan pemerintah kolonial atas tuduhan keterlibatannya di dalam peristiwa afdeling B di Cimareme, Garut.
Menurut Peter Kasenda, Sukarno terpaksa pulang ke Surabaya untuk membantu anak-anak Tjokroaminoto yang telah jadi piatu, tak beribu. Sukarno menjadi petugas karcis di atas tram, yang melayani trayek dalam kota Surabaya. Dengan cara itulah ia bisa menghasilkan uang dan membiayai adik-adik iparnya.
Surabaya lebih dari sekadar Kota Pahlawan karena peristiwa 10 November 1945, tapi juga kota yang memiliki jejak-jejak sejarah kehidupan Putra Sang Fajar: Sukarno.*