Jejak Revolusi Filipina dalam Kemerdekaan Indonesia

Seberapa jauh gerakan nasionalisme dan kemerdekaan Filipina dan Indonesia saling terkait?

OLEH:
Ari A. Perdana
.
Jejak Revolusi Filipina dalam Kemerdekaan IndonesiaJejak Revolusi Filipina dalam Kemerdekaan Indonesia
cover caption
Jose Rizal Mercado (1861-1896). (Wikipedia).

SELAIN dekat secara geografis, Indonesia dan Filipina punya banyak kemiripan. Sejarah kedua negara menentang kolonialisme, yang membentang selama setengah abad, jadi bagian dalam gelombang nasionalisme dan dekolonialisme yang menandai abad ke-20. Seberapa jauh gerakan nasionalisme dan kemerdekaan di kedua negara saling terkait?

Pada 30 Desember 1896, otoritas Spanyol mengeksekusi Jose Rizal, intelektual Filipina yang dianggap menghasut pemberontakan. Pada tahun yang sama, sejumlah pemuda radikal lebih dulu melakukan aksi bersenjata menuntut kemerdekaan Filipina. Di penghujung abad ke-19, Republik Filipina merdeka berdiri pada 23 Januari 1899.

SELAIN dekat secara geografis, Indonesia dan Filipina punya banyak kemiripan. Sejarah kedua negara menentang kolonialisme, yang membentang selama setengah abad, jadi bagian dalam gelombang nasionalisme dan dekolonialisme yang menandai abad ke-20. Seberapa jauh gerakan nasionalisme dan kemerdekaan di kedua negara saling terkait?

Pada 30 Desember 1896, otoritas Spanyol mengeksekusi Jose Rizal, intelektual Filipina yang dianggap menghasut pemberontakan. Pada tahun yang sama, sejumlah pemuda radikal lebih dulu melakukan aksi bersenjata menuntut kemerdekaan Filipina. Di penghujung abad ke-19, Republik Filipina merdeka berdiri pada 23 Januari 1899.

Butuh waktu cukup lama sebelum apa yang terjadi di Filipina bisa dirasakan, apalagi diapresiasi, di Indonesia. Arus komunikasi adalah salah satu alasan. Menurut sejarawan Adrian Lapian, berita kemerdekaan Filipina sempat dimuat secara singkat di koran kolonial Java Bode, yang mendapat kabar dari sebuah kantor berita di Hong Kong. Sementara harian milik misionaris di Minahasa, Tjahaha Siang, mendapat kabar itu dari koresponden mereka yang membaca berita terkait di sebuah harian di Amsterdam, yang kemungkinan berdasarkan sumber lain di New York.

Kisah yang Menyebar

Literatur mengenai pergerakan nasionalisme dan kemerdekaan Filipina umumnya fokus pada tokoh utama: Jose Rizal Mercado (1861-1896). Dia dikenal sebagai seorang intelektual –lulusan sekolah kedokteran, menguasai sejumlah bahasa, penulis, pujangga, novelis, juga pelukis dan pematung. Dua karyanya yang monumental adalah novel berbahasa Spanyol Noli mi Tangere (1887) dan lanjutannya El Flibusterimo (1891). Dalam dua novel itu, Rizal menggambarkan penderitaan bangsa Filipina di bawah penjajahan Spanyol (dan Gereja Katolik).

Dua puluh tahun sebelum Noli mi Tangere ditulis, di Eropa Rizal membaca novel Max Havelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company karangan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. Besar kemungkinan dia membaca Max Havelaar versi terjemahan bahasa Inggris. Rizal menggambarkan novel itu sebagai sangat antikolonial, dan begitu bagus di saat yang sama. Max Havelaar agaknya menginspirasi Rizal untuk menulis novel dengan tema serupa.

Dua novel yang ditulisnya menjadikan Rizal sebagai ancaman bagi pemerintah kolonial, meski mereka belum punya cukup alasan untuk mengambil tindakan. Ketika kelompok prokemerdekaan yang lebih radikal melakukan serangan bersenjata pada Agustus 1896, pemerintah kolonial menyalahkan Rizal. Rizal sebenarnya tak terlibat dalam aksi tersebut. Tapi itu tidak penting karena Rizal sudah menjadi target. Rizal dieksekusi sehari sebelum akhir tahun 1896.

Memasuki dekade kedua abad ke20, gelombang nasionalisme merambah ke Indonesia yang saat itu bernama Hindia Belanda. Sebuah artikel berjudul “Als ik een Nederlander was” (Andai Aku Seorang Belanda) yang ditulis seorang bumiputra bernama R.M. Soewardi Soerjaningrat membuat pemerintah kolonial meradang. Artikel itu ditulis tahun 1913 saat pemerintah Hindia Belanda bersiap merayakan 100 tahun kemerdekaan Kerajaan Belanda atas Prancis.

Artikel itu dimuat di suratkabar De Express milik seorang Indo bernama Ernest François Eugène Douwes Dekker, yang masih keponakan Eduard Douwes Dekker. Soewardi Soerjaningrat, Ernest Douwes Dekker, bersama sahabat mereka dr. Tjipto Mangoenkoesoemo adalah tiga tokoh gerakan nasionalisme Indonesia periode awal. Mereka mendirikan Indische Partij, organisasi pertama yang menjadikan kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan.

Pada tahun yang sama, Ernest Douwes Dekker menulis sebuah esai berjudul “Rizal” di majalah dua mingguan Het Tijdschrift di mana dia menjadi pendiri. Esai itu menjadi artikel pertama di Hindia yang tercatat membahas Jose Rizal dengan detil. Masih pada tahun yang sama, Douwes Dekker juga memuat tulisannya tentang revolusi Filipina di harian De Express.

Douwes Dekker mengagumi Rizal karena dia merasa memiliki kesamaan latar belakang sebagai orang separuh Eropa separuh bumiputra; mestizo di Filipina atau Indo di Indonesia. Dia membayangkan orang-orang campuran yang lahir dan besar di tanah jajahan seperti dirinya dan Rizal –seperti juga Simon Bolivar di Amerika Latin– akan berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia. Meski pada akhirnya, posisi kaum Indo dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, juga nasib mereka pascakemerdekaan, tidak seperti apa yang dia harapkan, dan tidak seperti peran mestizo di Filipina. (Douwes Dekker bisa dilihat sebagai antitesis dari tokoh Robert Surhoff dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia; seorang Indo yang merasa lebih sebagai Eropa).

Adanya dua artikel itu menjadi acuan bahwa cerita Jose Rizal dan gerakan kemerdekaan Filipina cukup menyebar ke Indonesia. Tapi seberapa Filipina menjadi inspirasi para founding fathers?

Sulit untuk membayangkan bahwa aktivis pergerakan nasional Indonesia saat itu tidak menjadikan revolusi Filipina sebagai rujukan. Tapi memang, selain dua artikel Douwes Dekker pada 1913, tidak banyak rujukan lain untuk jadi dasar kita mengira-ngira seberapa besar pengaruh Jose Rizal dan revolusi Filipina. Rujukan kepada Filipina juga relatif absen dalam pembicaraan terkait Sumpah Pemuda 1928, sebuah momen penting lain dalam gerakan nasionalisme. Sukarno baru merujuk Jose Rizal dalam sebuah pidatonya tahun 1942, hampir setengah abad sejak Rizal dieksekusi.

Satu kemungkinan adalah karena revolusi Filipina bisa dikatakan berakhir antiklimaks. Republik Filipina yang merdeka dari Spanyol hanya berusia dua tahun. Pada 1901 republik muda kembali jatuh ke kekuasaan kolonial; kali ini bernama Amerika Serikat.  

Jalan Menuju Merdeka

Pada 1925, tujuh tahun sejak Revolusi Bolshevik, Tan Malaka pergi ke Filipina. Dia berencana menetap untuk beberapa tahun kemudian. Selain menjalin kontak dengan anggota Komunis Internasional lain di Asia Tenggara, dia mempelajari revolusi Filipina secara mendalam dari sumber langsung.  

Sejarawan Harry A. Poeze menggambarkan, Tan Malaka menaruh kekaguman pada Jose Rizal. Tapi dia menganggap Jose Rizal pada akhirnya adalah bagian dari kaum elite terdidik yang berjarak dari rakyat kebanyakan. Tan Malaka lebih melihat tokoh-tokoh seperti Andres Bonifacio atau Emilio Aguinaldo, yang melakukan revolusi secara terbuka kepada pemerintah kolonial, sebagai aktor penting.

Rizal memang sejak awal menjaga jarak dengan kelompok radikal yang tergabung dalam organisasi Katipunan. Namun demikian dia berhubungan cukup intensif dengan Bonifacio dan kawan-kawan, bahkan menjadikan Bonifacio anggota kehormatan kelompok yang dia dirikan. Tapi Rizal tak setuju dengan aksi bersenjata yang dilakukan Katipunan. Menurutnya, kondisi rakyat Filipina saat itu belum cukup matang bagi sebuah pemberontakan terbuka.

Uniknya, ketika Partai Komunis Indonesia melakukan pemberontakan di Jawa (1926) dan Sumatra (1927), Tan Malaka sejak awal tak setuju dengan langkah itu. Alasan yang dikemukakan mirip dengan apa yang disampaikan Rizal tiga dekade sebelumnya: kondisi belum cukup matang.  

Filipina praktis melewati awal abad ke-20 sebagai –kembali– sebuah koloni, meski berbentuk republik. Tahun 1935, Amerika Serikat memberikan status persemakmuran bagi Filipina. Status persemakmuran ini menjadi fase persiapan bagi Filipina untuk menjadi negara yang berdaulat penuh.

Pada 1936, sejumlah tokoh politik di Indonesia mengajukan petisi kepada pemerintah Hindia Belanda. Petisi itu dikenal sebagai “Petisi Soetardjo” yang isinya menuntut adanya pembicaraan tentang kemerdekaan Indonesia melalui proses gradual. Pembicaraan itu harus dilakukan antara Kerajaan Belanda dan Indonesia dalam posisi yang sejajar. Diskusi di antara para penggagas petisi sedikit banyak merujuk ke model Filipina. Petisi itu ditolak mentah-mentah oleh Kerajaan Belanda. Tapi pendudukan Jepang tahun 1942 mengubah peta politik. Indonesia akhirnya memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, kurang dari 10 tahun sejak Petisi Soetardjo. Setahun kemudian Republik Filipina mendapatkan kemerdekaannya secara penuh.

People Power

Delapan dekade sejak Rizal dieksekusi, Filipina kembali menyaksikan eksekusi seorang tokohnya oleh penguasa. Benigno Aquino Jr. ditembak oleh orang suruhan Presiden Ferdinand Marcos saat baru mendarat dari pengasingan tahun 1983. Peristiwa ini mendorong people power 1986 yang mengakhiri rezim Marcos.

Di Indonesia, dulu penguasa kolonial Belanda menyikapi revolusi Filipina dengan was-was. Pada 1980- an, Presiden Soeharto menyikapi people power juga dengan was-was. Jika pemerintah kolonial merespons dengan kebijakan politik etis, Soeharto merespons dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi plus sedikit keterbukaan pada 1990-an.

Jika politik etis hanya menunda kemerdekaan Indonesia selama dua dekade, Soeharto hanya bertahan dua belas tahun sejak people power. Seperti Marcos, dia tumbang menyusul sebuah gerakan massa. Sejarah Indonesia dan Filipina mungkin memiliki lebih banyak kesamaan dari yang kita pahami.*

Majalah Historia No. 34 Tahun III 2016

Penulis adalah ekonom, penyuka sejarah, tinggal di Manila, Filipina.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
670dd668a2d17f62f8149231