Lima tahun di Semarang, Henk Sneevliet meninggalkan pengaruh politik yang kuat. Meski demikian, kenangan terhadap dirinya serupa kepingan puzzle yang tak lengkap.
Henk Sneevliet (paling kiri, membelakangi kamera) di Semarang tahun 1915. (Henk Wakker/Herdenking Commite).
Aa
Aa
Aa
Aa
MEI 1913, kesempatan itu datang. Hanya tiga bulan setelah tiba di Hindia Belanda, dan sempat bekerja di Surabaya sebagai staf editor Soerabajaasch Handelsblad, Henk Sneevliet hijrah ke Semarang. Ia menyambut tawaran yang lebih menarik, menggantikan DMG Koch sebagai sekretaris Semarang Handelsvereeniging. Bagi Sneevliet, kepindahan ini punya arti penting. Bukan soal gaji besar, lebih dari itu, keinginan menemukan suasana yang cocok bagi aktivitas pergerakan.
Merujuk Ruth T. McVey, Semarang pada masa itu tumbuh menjadi pusat kepentingan komersial orang-orang Eropa yang hendak membangun pasar di Jawa. Kota ini tengah membentuk dirinya menjadi enclave industri besar yang menyerap banyak tenaga kerja dari wilayah hinterland. Keberadaan kelas buruh menciptakan suasana revolusioner lebih kental dari kota-kota besar lain di Hindia Belanda.
Sejarah mencatat, selama berada di Semarang, anggota Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP) itu aktif melakukan kerja-kerja revolusioner: menyokong aktivitas Serikat Pekerja Kereta Api dan Trem (VSTP), mendirikan Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDV), memerahkan Angkatan Laut dan tentara Belanda, serta menyusupkan paham marxisme di kalangan aktivis pergerakan nasional. Ikhtiar Sneevliet melahirkan manusia-manusia radikal seperti Semaoen, Darsono, dan Mas Marco Kartodikromo yang gencar melakukan perlawanan politik terhadap pemerintah kolonial.
MEI 1913, kesempatan itu datang. Hanya tiga bulan setelah tiba di Hindia Belanda, dan sempat bekerja di Surabaya sebagai staf editor Soerabajaasch Handelsblad, Henk Sneevliet hijrah ke Semarang. Ia menyambut tawaran yang lebih menarik, menggantikan DMG Koch sebagai sekretaris Semarang Handelsvereeniging. Bagi Sneevliet, kepindahan ini punya arti penting. Bukan soal gaji besar, lebih dari itu, keinginan menemukan suasana yang cocok bagi aktivitas pergerakan.
Merujuk Ruth T. McVey, Semarang pada masa itu tumbuh menjadi pusat kepentingan komersial orang-orang Eropa yang hendak membangun pasar di Jawa. Kota ini tengah membentuk dirinya menjadi enclave industri besar yang menyerap banyak tenaga kerja dari wilayah hinterland. Keberadaan kelas buruh menciptakan suasana revolusioner lebih kental dari kota-kota besar lain di Hindia Belanda.
Sejarah mencatat, selama berada di Semarang, anggota Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP) itu aktif melakukan kerja-kerja revolusioner: menyokong aktivitas Serikat Pekerja Kereta Api dan Trem (VSTP), mendirikan Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDV), memerahkan Angkatan Laut dan tentara Belanda, serta menyusupkan paham marxisme di kalangan aktivis pergerakan nasional. Ikhtiar Sneevliet melahirkan manusia-manusia radikal seperti Semaoen, Darsono, dan Mas Marco Kartodikromo yang gencar melakukan perlawanan politik terhadap pemerintah kolonial.
Meski menancapkan pengaruh politik yang kuat, jejak Sneevliet di Semarang nyaris tak berbekas. Kalaupun jejak itu ada, ia serupa kepingan puzzle yang tak lengkap. Tempat tinggal Sneevliet, misalnya, hanya tinggal kenangan belaka. Jangankan wujud, di mana letak persisnya pun tak ada yang tahu.
Liem Thian Joe dalam Riwajat Semarang menyebut, rumah lelaki bernama sandi Maring itu terletak di daerah Gergaji, tak jauh dari rumah konglomerat Oei Tiong Ham. Pada 10 Januari 1916, tulis Liem, Sneevliet mengadakan pertemuan dengan sepuluh aktivis pergerakan lain di rumahnya. Mereka adalah DJA Wasterveld (ISDV), GL Toope dan R. Pramoe (Insulinde), Zimmerman v Woesih dan Mohammad Joesoef (VSTP), Bransteder (Marinebond), Soeharijo (Porojitno), Tjipto Mangoenkoesoemo dan Darnakoesoema (IJB), serta KT Kwee (harian Djawa Tengah). Pertemuan untuk membentuk komite aksi kebebasan pers, menyusul penangkapan Mas Marco Kartodikromo yang tersandung persdelict.
Hal serupa juga terjadi pada bekas kantor VSTP dan ISDV, tempat Sneevliet pernah berkiprah. Buku Sedjarah Pergerakan di Semarang karya Soemardi, seperti dikutip Dewi Yuliati dalam disertasi “Dinamika Pergerakan Buruh di Semarang 1908–1926” memuat foto kantor pusat VSTP di Jalan Purwodinatan. Namun penelusuran Historia di lapangan tak menemukan wujud bangunan itu. Purwodinatan yang berjarak sepelemparan batu dari kawasan Kota Lama, saat ini telah menjelma permukiman padat. Terdapat tiga bangunan lama, dua di antaranya berupa gudang dan satu lainnya rumah tinggal. Namun wujud ketiga bangunan itu beda dari foto di buku Soemardi. Saat Historia menanyakan ihwal kantor VSTP, warga setempat tak ada yang tahu.
Setali tiga uang dengan bekas kantor ISDV Semarang. Di mana letaknya, sejauh ini belum terlacak. Sebuah foto yang diunggah di dunia maya menunjukkan Sneevliet bersama sejumlah pengurus ISDV Semarang berpose di depan sebuah rumah pada 1917. Namun tak dijelaskan apakah bangunan rumah itu merupakan kantor ISDV atau bukan.
Kepingan puzzle jejak Sneevliet yang masih bisa ditemukan adalah gedung bekas kantor Sarekat Islam (SI) Afdeling Semarang di Kampung Gendong, Kelurahan Sarirejo, Semarang Timur. Di tempat itulah dulu Sneevliet kerap bersemuka dengan murid-murid ideologisnya, yang selain aktif di VSTP dan ISDV juga menjadi tulang punggung SI.
Tak hanya berdiskusi, di gedung tempat penyelenggaraan Kongres VII ISDV yang menghasilkan perubahan nama ISDV menjadi Partai Komunis Indonesia pada 23 Mei 1920 itu, mereka juga terlibat rapat-rapat pembahasan agenda perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Bisa dikatakan, kantor SI menjadi salah satu ruang transformasi ideologi radikal kaum sosial demokrat Belanda kepada generasi pertama kelompok kiri di Indonesia.
Kondisi bangunan di tengah kampung itu sempat mengenaskan. Sejak mangkrak pada 2008, kerusakannya bertambah parah. Atap yang bolong di banyak tempat menjadi jalan masuk air hujan ke dalam bangunan. Air menggerus lantai ubin yang bertuliskan inisial “S.I.” Padahal inisial itu menjadi bukti otentik bangunan tersebut bekas kantor Sarekat Islam Afdeling Semarang. Beberapa waktu lalu, atap di bagian sayap kanan bangunan itu roboh. Kerusakan kian merajalela.
Selain faktor alamiah, gedung yang kini bernama Balai Muslimin itu juga terancam dibongkar. Sejumlah orang yang mengatasnamakan yayasan pengelola berencana merobohkan dan menggantinya dengan bangunan baru berlantai tiga. Mereka bahkan telah membuat gambar desain dan mengundang kontraktor yang siap membangun. Ikhtiar itu tentu harus dicegah. Perlu upaya sistematis dan cepat agar gedung yang pernah dipakai Tan Malaka untuk menyelenggarakan Sekolah Rakyat itu terselamatkan.
Situs lain yang berhubungan dengan petualangan politik Sneevliet di Semarang adalah gedung Raad van Justitie. Kini, bangunan megah yang berdiri persis di sebelah selatan Tugumuda itu telah beralih fungsi menjadi Museum Mandala Bhakti. Seperti dicatat sejarah, Sneevliet pernah menjalani persidangan lantaran dituduh menghasut rakyat Hindia untuk melawan Belanda. Lewat artikel di De Indier berjudul Zegepraal (kemenangan), Sneevliet mengajak mereka mengikuti jejak rakyat Rusia yang sukses menumbangkan Tsar.
Pengadilan terhadap Sneevliet berjalan alot. Terjadi debat sengit antara jaksa dengan terdakwa. Proses persidangan yang berlangsung antara 21 November hingga 7 Desember 1917 itu menyita perhatian publik dan media. Sinar Djawa, harian milik Sarekat Islam Semarang yang intens meliput persidangan, melaporkan, ruangan sidang selalu dibanjiri pengunjung. Mereka yang sebagian besar aktivis politik, dikabarkan tekun menyimak tiap kata yang keluar dari mulut Sneevliet.
Pada akhir November, Sneevliet membacakan pembelaan di hadapan hakim dan jaksa selama sembilan jam. Pledoi yang kelak diterbitkan menjadi buku setebal 366 halaman itu berhasil menyelamatkan Sneevliet. Meski jaksa menuntut sembilan bulan penjara, putusan hakim membebaskannya.
Kendati demikian, ada kemungkinan Raad van Justitie saat Sneevliet diadili bukan gedung yang terlihat sekarang ini. Buku Senarai Bangunan Bersejarah Kota Madya Daerah Tingkat II Semarang yang disusun Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro pada 1994–1995 memperkirakan, gedung tersebut baru dibangun sekitar tahun 1930. Itu didasarkan pada fakta, bangunan Raad van Justitie dirancang oleh Ir. Kuhr E, arsitek dari Firma Ooiman dan van Leeuwen yang berkarya di Indonesia pada 1930-an. Jika informasi itu benar, berarti Sneevliet diadili di gedung Raad van Justitie lama, sebelum dibangun kembali oleh Kuhr.
Bebas dari tuntutan jaksa, Sneevliet kian aktif bergerak. Politik pintu terbuka yang ia terapkan di ISDV beroleh sambutan rakyat. Melalui propagandis-propagandis lokal, ide sosialisme mengalir ke tengah masyarakat. Akibatnya, dalam tenggat tiga bulan, anggota ISDV bertambah tiga ribu orang.
Khawatir terhadap perkembangan organ radikal itu, Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum bertindak keras. Kebetulan Sneevliet berulah lagi. Tujuh artikelnya yang dimuat di Het Vrije Woord pada medio 1918 membuat pemerintah murka. Bagai menemukan momentum, aparat menangkap Sneevliet. Tak ingin kecolongan lagi, ia pun diusir dari Tanah Hindia.
Lima tahun di Jawa, Sneevliet paling banyak menghabiskan waktunya di Semarang. Kerja-kerja revolusioner yang ia lakukan membuat wajah kota ini memerah. Namun seiring waktu, semburat warna itu memudar. Sneevliet dan murid-muridnya yang radikal itu pun terasing dari panggung sejarah.*