Dari sebuah gambar kita bisa mengetahui dan mempelajari banyak hal. Dari gambar di kartu pos, kita bisa mengetahui peristiwa sejarah atau perubahan daerah.
Kartu pos gambar Gereja Baru yang dijuluki Gereja Ayam sekitar tahun 1920.
Aa
Aa
Aa
Aa
26 MARET 1867 perang Aceh meletus. Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah yang memimpin rakyat Aceh harus menghadapi keganasan sekira 3 ribu serdadu KNIL di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler. Serangan Belanda sukses dipatahkan, bahkan berakibat fatal. Sang jenderal, Kohler, tewas terbunuh di peperangan pada 14 April 1873.
Belanda memang akhirnya sukses menguasai Aceh pada 1904, ditandai penyerahan diri Sultan Muhammad Dawood, anak Sultan Muhammad Syah, kepada Belanda tahun 1903. Sebelum dia ditangkap, dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Tetapi kerugian besar baik dari sisi korban maupun materil akibat perang Aceh, harus pula ditanggung Belanda. Sebagai penghormatan bagi para prajuritnya yang meninggal selama perang, Belanda mendirikan Monument Atjeh (Monumen Aceh) di sekitar kompleks Taman Wilhelmina di Batavia. Saat Masjid Istiqlal dibangun pada 1951 dan memakan area taman, Monument Atjeh pun lebur jadi satu dengan tanah.
26 MARET 1867 perang Aceh meletus. Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah yang memimpin rakyat Aceh harus menghadapi keganasan sekira 3 ribu serdadu KNIL di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler. Serangan Belanda sukses dipatahkan, bahkan berakibat fatal. Sang jenderal, Kohler, tewas terbunuh di peperangan pada 14 April 1873.
Belanda memang akhirnya sukses menguasai Aceh pada 1904, ditandai penyerahan diri Sultan Muhammad Dawood, anak Sultan Muhammad Syah, kepada Belanda tahun 1903. Sebelum dia ditangkap, dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Tetapi kerugian besar baik dari sisi korban maupun materil akibat perang Aceh, harus pula ditanggung Belanda. Sebagai penghormatan bagi para prajuritnya yang meninggal selama perang, Belanda mendirikan Monument Atjeh (Monumen Aceh) di sekitar kompleks Taman Wilhelmina di Batavia. Saat Masjid Istiqlal dibangun pada 1951 dan memakan area taman, Monument Atjeh pun lebur jadi satu dengan tanah.
Di atas sebuah kartu pos hasil cetakan G. Kolff keluaran tahun 1907, foto Monument Atjeh itu masih terekam dengan baik. Dari gambar kartu pos itu, kita bisa tahu, sebelum Masjid Istiqlal berdiri di sekitar Jalan Medan Merdeka, sebuah monumen menyangkut soal perang Aceh pernah berdiri di sana. “Kan ada istilah, a picture paint a thousand words. Dari sebuah gambar kita bisa mengetahui dan mempelajari banyak hal,” kata Edwin H. Wiraatmaja, seorang kolektor kartu pos yang sehari-harinya bekerja sebagai pemilik Event Organizer Jendela Masa.
Kartu pos gambar Monumen Aceh sekitar tahun 1903.
Edwin lalu mengeluarkan sebuah kartu pos sekira cetakan tahun 1911-an bergambar sebuah rumah besar mirip istana. Taman di sekitar rumah itu begitu asri, banyak ditumbuhi pepohonan besar. “Tahu ini gambar rumah siapa? Ini gambar rumahnya pelukis Raden Saleh,” kata Edwin. Kini rumah Raden Saleh itu jadi Rumah Sakit PGI Cikini. Agak berbeda dengan koleksi Edwin lainnya, kartu pos bergambar rumah Raden Saleh itu sudah berwarna, tidak sekadar hitam putih. “Itu ditusir langsung di atas film foto, dulu kan masih pakai pelat jadi lumayan besar,” lanjut Edwin.
Dari sebuah album foto, Edwin kemudian mengeluarkan satu persatu koleksi kartu posnya. Setiap gambar yang dia tunjukan selalu susul dengan penjelasan yang meluncur cepat dari mulutnya. Dia menjelaskan, “Ini gambar Istana Presiden cetakan tahun 1920, yang ini gambar suasana Molenvliet yang sekarang Jalan Gajah Mada cetakan antara 1900–1907. Nah, yang ini gambar Jembatan Merah di Surabaya, sekira tahun 1920-an”.
Menekuni hobinya sejak 1992, Edwin yang pertama kali berkenalan dengan kartu pos lewat teman dekatnya, sedikit demi sedikit terus mengumpulkan koleksinya. Kini koleksinya sudah mencapai 3.200 lembar kartu pos. “Saya sudah lupa kartu pos apa yang saya beli pertama kali. Tapi asyiknya mengoleksi benda antik itu, benda-benda yang mahal saat ini, seperti mobil mewah misalnya, asal ada uang bisa punya. Tapi di antik tidak, walaupun duitnya ada tapi kalau barangnya tidak tersedia atau tidak ‘berjodoh’ ya tidak bisa”.
Bagi Edwin, mengoleksi kartu pos sama seperti menyusun kembali serpihan puzle sejarah yang tercecer. Menurut dia, bentuk fisik kartu tidak tergantikan oleh surat elektronik bergambar meskipun tempo pengirimannya menjadi jauh lebih cepat. Selain unsur kelangkaannya saat ini, kandungan nilai sejarah yang kental pada sebuah kartu pos membuat saya tertarik untuk mengoleksinya,” tutur Edwin.
Kartu pos gambar Jembatan Merah, Surabaya sekitar tahun 1920-an.
Kartu Pos dan Rekaman Sejarah
Di tahun 2012, Sudarsono Katam melalui bukunya yang dihubungkan dengan peringatan hari ulang tahun ke-200 kota Bandung mengangkat fungsi penting kartu pos yang mungkin terlewatkan banyak orang, yaitu kemampuannya merekam perubahan sebuah kota. Dalam buku setebal 316 halaman itu terdapat sebuah kartu pos bergambar Masjid Agung Bandung dengan tahun cetakan 1920-an. Di kartu pos itu terlihat pohon beringin di alun-alun sebagai latar depan. Barisan delman tampak ramai parkir di depan masjid yang masih berkubah gaya bale nyungcung.
Di halaman sebelahnya ada kartu pos yang diproduksi sekitar 1950-an dengan gambar masjid yang sama, tetapi bentuk kubahnya berubah menyerupai bawang. Dalam keterangan di bawah gambar kartu pos itu disebutkan, perubahan bentuk kubah merupakan usulan Presiden Sukarno sebagai persiapan Konferensi Asia Afrika 1955.
Sama halnya seperti Sudarsono, bagi Edwin sisi yang paling menarik dari sebuah kartu pos adalah kemampuannya merekam sebuah peristiwa atau perubahan sebuah daerah. “Selain gambar-gambar sebuah daerah atau bangunan, kartu pos juga kadang merekam sebuah peristiwa atau kejadian. Seperti halnya kartu pos bergambar merapatnya kapal perang Rusia di Jakarta, atau gambar parade tentara Belanda,” ujar Sudarsono, penulis buku Album Bandung Tempo Dulu.
Kartu pos gambar Kali Besar, Batavia, sekitar tahun 1920.
Saking gilanya pada lembaran kartu pos, pada 2004 Edwin pernah merelakan dua mobilnya, sebuah sedan Corolla dan Kijang, dilego guna memuaskan harsat hobinya. “Dua mobil saya jual, lalu hasilnya habis saya belikan kartu pos,” kenang Edwin seraya terkekeh riang. Untuk mendapatkan koleksi-koleksinya, menurut Edwin agak susah-susah gampang.
Susahnya, kartu pos antik kini menjadi barang yang cukup langka. Selama 20 tahun pengalamannya mengoleksi kartu pos, dari sebuah cetakan kartu pos antik kini rata-rata paling hanya tersisa lima buah saja. Gampangnya, adanya media internet memudahkan pencarian barang koleksi, tapi itu pun kalau berjodoh, karena telat menghubungi sang penjual sebentar saja, kartu pos melayang ke kolektor lain.
“Ya, di antik memang seperti itu. Pernah ada seorang teman mencari kartu pos tentang kota Batavia, selagi ia susah-susah mencari tiba-tiba ada orang yang menawarkan pada saya. Akhirnya justru saya yang dapat. Begitu pun waktu kartu pos bergambar kopi Warung Tingginya Tek Sun Hoo, saya kalah cepat sedikit dengan teman saya, jadi dia yang dapat. Sedih juga kalau ingat itu,” kata Edwin.
Kartu Pos yang pertama di dunia diterbitkan di Austria pada 1 Oktober 1869 dengan nama Correspondenz-Karte. Kartu pos biasanya dikirimkan orang-orang saat berkunjung ke luar negeri sebagai kenang-kenangan yang menandai bahwa mereka telah berkunjung ke negara tersebut. “Itu yang dilakukan oleh orang-orang Belanda yang di Hindia dulu, mereka mengirimkan gambar-gambar tentang Indonesia, jadi orang yang dikirimi dapat tahu soal Indonesia melalui gambar di kartu pos,” Kata Edwin.
Kartu pos gambar Pasar Baru, Batavia, sekitar tahun 1920.
Nama Correspondez-Karte sengaja dipilih karena sesuai dengan kegunaan dari kartu tersebut, yaitu sebagai alat untuk berkorespondensi. Banyak kelebihan dengan menggunakan kartu pos dibanding menulis sebuah surat. Kelebihannya antara lain menggunakan sedikit kertas dan tak perlu menggunakan amplop. Setelah kelahirannya itu, tak berapa lama ditemukan berbagai kegunaan lain. Artinya, tidak sekadar menyampaikan pesan singkat, tetapi sudah mulai jadi benda koleksi dengan penampilan yang menarik.
Fungsi lain ini dimulai pada Agustus 1870. Ketika itu, August Schwartz di Oldenburg, Jerman, menciptakan kartu pos dari potongan kayu. Kartu pos milik Schwartz itu adalah kartu pos bergambar pertama di dunia. “Saya mengoleksi kartu pos-kartu pos dari daerah Surabaya, Makassar, Bandung, tapi lebih fokus Batavia, karena posisinya waktu itu sebagai ibu kota. Kalau di Jakarta itu dulu biasa dicetak di G. Kollf atau di Visser & Co., kalau di Surabaya di percetakan Van Dorp,” kata Edwin.
Sejak menjalarnya penggunaan handphone di tengah masyarakat, kartu pos sebagai media korespondensi memang tidak lagi diminati. Padahal, di era 1980-an dan awal 1990-an, kartu pos selalu menjadi primadona setiap kali menjelang Lebaran. Orang-orang bakal antre di kantor pos untuk mengirim kartu pos berisi ucapan selamat Idulfitri. Tradisi itu kini sudah menghilang, pamor kartus pos sudah meredup. Tetapi tidak bagi Edwin, mengumpulkan puzle-puzle sejarah dalam sebuah kartu pos menjadi kenikmatan tersendiri. “Saya masih terus melengkapi koleksi saya. Bila dapat apa yang sedang kita cari, kepuasannya tak terungkapkan,” kata Edwin.*