Jiwa Raga Yanagawa

Mewakili sang pengusir kebo bule dalam ramalan Jayabaya. Menjadi guru bagi banyak jenderal Indonesia.

OLEH:
Petrik Matanasi
.
Jiwa Raga YanagawaJiwa Raga Yanagawa
cover caption
Ilustrasi: Yusuf Fadilah

Tengah malam, Yanagawa Motoshige, seorang perwira intel Jepang, mendarat di Merak, Banten. Bersama rombongannya, dia bergerak perlahan sembari menyelidiki jalan-jalan yang hendak dilalui pasukan Jepang.

“Dia pakai peci, menghitamkan muka,” ingat Shigemi Yanagawa, putri Yanagawa yang kini tinggal di Jakarta. Tujuannya agar terlihat seperti orang Indonesia. 

Di Leuwiliang, sebuah kecamatan di Bogor, dalam kondisi kelaparan, mereka bertemu seorang ibu tua yang tinggal bersama anak laki-laki dan cucunya di sebuah rumah bambu. Mereka bukan saja diberikan makanan tapi juga diceritakan tentang ramalan Jayabaya. Kata ramalan itu: akan datang orang katai berkulit kuning dan bermata sipit dari Utara yang mengusir kebo bule dari tanah Jawa dan memerintah seumur jagung. Orang katai oleh mereka yang percaya ramalan itu ditafsirkan sebagai orang Jepang, sedangkan kebo bule adalah Belanda. 

Yanagawa tak bisa berbahasa Indonesia. Cerita ibu itu diterjemahkan Togashi Takeomi, juru bahasa. Dalam memoarnya Kaputen Yanagawa Ryukonroku, Yanagawa bereaksi: “Aku tersungkur, meletakkan kepalaku di punggung kaki.” Ramalan Jayabaya terus tersangkut dalam benak Yanagawa. 

Setelah makan, diantar anak ibu tua itu, Yanagawa dan rombongan melanjutkan perjalanan. Yanagawa kagum dengan anak muda itu dan yakin bisa diandalkan jika mendapatkan pelatihan yang baik. Dari sinilah muncul idenya untuk membangun Pusat Pelatihan Pemuda (Seinen Dojo). Yanagawa juga dikenal sebagai otak di balik pembentukan tentara Pembela Tanah Air (Peta). 

Perjalanan hidup Yanagawa mirip dengan Shimazaki Takeo, tokoh utama dalam film Merdeka 17805 atau atau Murudeka 17805, film drama perang kolaborasi rumah produksi film dari Jepang dan Indonesia yang dirilis tahun 2001. Jika Shimazaki gugur dalam perang gerilya, Yanagawa sempat kembali ke Jepang sebelum memutuskan tinggal dan menjadi warga negara Indonesia.

Selama masa itu pula Yanagawa menyaksikan mantan anak-anak didiknya memainkan peran penting dalam militer dan politik di Indonesia.

Tengah malam, Yanagawa Motoshige, seorang perwira intel Jepang, mendarat di Merak, Banten. Bersama rombongannya, dia bergerak perlahan sembari menyelidiki jalan-jalan yang hendak dilalui pasukan Jepang.

“Dia pakai peci, menghitamkan muka,” ingat Shigemi Yanagawa, putri Yanagawa yang kini tinggal di Jakarta. Tujuannya agar terlihat seperti orang Indonesia. 

Di Leuwiliang, sebuah kecamatan di Bogor, dalam kondisi kelaparan, mereka bertemu seorang ibu tua yang tinggal bersama anak laki-laki dan cucunya di sebuah rumah bambu. Mereka bukan saja diberikan makanan tapi juga diceritakan tentang ramalan Jayabaya. Kata ramalan itu: akan datang orang katai berkulit kuning dan bermata sipit dari Utara yang mengusir kebo bule dari tanah Jawa dan memerintah seumur jagung. Orang katai oleh mereka yang percaya ramalan itu ditafsirkan sebagai orang Jepang, sedangkan kebo bule adalah Belanda. 

Yanagawa tak bisa berbahasa Indonesia. Cerita ibu itu diterjemahkan Togashi Takeomi, juru bahasa. Dalam memoarnya Kaputen Yanagawa Ryukonroku, Yanagawa bereaksi: “Aku tersungkur, meletakkan kepalaku di punggung kaki.” Ramalan Jayabaya terus tersangkut dalam benak Yanagawa. 

Setelah makan, diantar anak ibu tua itu, Yanagawa dan rombongan melanjutkan perjalanan. Yanagawa kagum dengan anak muda itu dan yakin bisa diandalkan jika mendapatkan pelatihan yang baik. Dari sinilah muncul idenya untuk membangun Pusat Pelatihan Pemuda (Seinen Dojo). Yanagawa juga dikenal sebagai otak di balik pembentukan tentara Pembela Tanah Air (Peta). 

Perjalanan hidup Yanagawa mirip dengan Shimazaki Takeo, tokoh utama dalam film Merdeka 17805 atau atau Murudeka 17805, film drama perang kolaborasi rumah produksi film dari Jepang dan Indonesia yang dirilis tahun 2001. Jika Shimazaki gugur dalam perang gerilya, Yanagawa sempat kembali ke Jepang sebelum memutuskan tinggal dan menjadi warga negara Indonesia.

Selama masa itu pula Yanagawa menyaksikan mantan anak-anak didiknya memainkan peran penting dalam militer dan politik di Indonesia.

Seleksi calon penerimaan tentara PETA pada masa lalu. ( Peter Post dkk (ed.), The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War )


Sekolah Intel

Yanagawa Motoshige lahir di Tokushima dan dibesarkan di Beppu, Prefektur Oita, pada 1914. Orangtuanya meninggal dunia ketika Yanagawa masih kecil. Dia tumbuh di bawah asuhan kakaknya. Tak banyak cerita dan catatan tentangnya, kecuali terkait perjalanan karier militernya.

Yanagawa kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Takushoku, Tokyo. Kampus ini didirikan tahun 1900 untuk menghasilkan lulusan yang bisa berkontribusi bagi pengembangan Formosa (Taiwan), koloni pertama Jepang. Setelah lulus tahun 1938, dia ikut milisi selama tiga bulan di daerah kelahirannya, Tokushima. 

Stephen C. Mercado dalam The Shadow Warriors of Nakano menyebut, pada musim gugur 1939, Yanagawa diperintahkan melapor ke Kementerian Perang. Ada tawaran untuk menjadi intel tempur yang dilatih di Nakano Gakko, sekolah untuk calon perwira intelijen. Yanagawa mengambil tawaran itu. Dia mendapat nama samaran Yanai Mamoru ketika menjalani pelatihan. Dia tak pernah tahu siapa nama asli ke-25 kawan yang belajar bersamanya di sekolah itu.

Sejumlah tentara Jepang saat berada di medan perang. Dengan menyerahnya Belanda pada tahun 1942 maka itu menjadi awal kependudukan Tentara Jepang di Indonesia ( usso-Japanese War: A Photographic and Descriptive Review of the Great Conflict in the Far East via Wikimedia Commons  )

Di Nakano Gakko, Yanagawa diperkenalkan trik penyamaran, penggunaan kamera kecil yang disamarkan sebagai kancing atau pemantik rokok, bahan peledak, bahkan bakteri untuk melumpuhkan musuh. Dia dilatih mengemudikan mobil, tank hingga pesawat terbang. Dia diajarkan seni beladiri seperti kendo, judo, dan karate. Setelah belajar kurang dari setahun, dia diterjunkan ke Hindia Belanda (Indonesia).

Gatot Mangkupradja, bekas aktivis Partai Nasional Indonesia yang pernah ditahan bersama Sukarno dan tinggal di Cianjur, sempat bertemu dan berbincang dengan beberapa perwira Jepang. ( wikimedia commons )

Yanagawa adalah perwira intelijen yang tergabung dalam organisasi Tokumu Kikan (gugus tugas khusus). Organisasi ini berada di bawah Divisi Ke-2, bagian dari Tentara Ke-16. William H. Newell dalam Japan in Asia, 1942-1945 menyebut Tokumu Kikan terdiri dari orang-orang yang dilatih spionase, intelijen, bahasa lokal, etnologi, geografi, dan lain-lain. Nama sandi untuk Divisi Ke-2 adalah Isamu Butai, sehingga gugus tugas khusus itu disebut Isamu Butai Tokumu Kikan. Organisasi ini punya seksi khusus (Bunshitsu) yang melibatkan beberapa ahli tentang Indonesia. 

Begitu mendarat di Merak, Yanagawa dan rombongan bergerak melewati Leuwiliang, Pacet, Cibeureum, kemudian Cianjur. Setiap pergerakan mereka diikuti gerak mundur pasukan Belanda. Mereka juga menyempatkan diri menemui pemimpin setempat. 

Gatot Mangkupradja, bekas aktivis Partai Nasional Indonesia yang pernah ditahan bersama Sukarno dan tinggal di Cianjur, sempat bertemu dan berbincang dengan beberapa perwira Jepang yang menyamar dengan pakaian Indonesia di rumah bupati Cianjur. Dalam pertemuan itulah, catat Gatot dalam tulisnya berjudul “The Peta and My Relations with The Japanese: A Correction of Sukarno’s Autobiography” di jurnal Indonesia 5, April 1968, dia diperkenalkan dengan Yanagawa. 

Dari Cianjur, Yanagawa bergerak menuju Bandung. Shigeru Sato dalam “The Peta”, dimuat The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War suntingan Peter Post dkk, menyebut ada kisah heroik yang legendaris mengenai Yanagawa. Di Bandung, dia menyelinap ke markas American-British-Dutch-Australian (ABDA) Command dan “mengintimidasi” Panglima Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) Hein ter Poorten untuk menyerah. Kebenaran kisah ini memang sulit dipastikan. Namun kisah itu berkontribusi pada ketenarannya yang melegenda. 

Belanda sendiri akhirnya menyerah tanpa syarat dengan menandatangani Perjanjian Kalijati pada Maret 1942, yang menandai awal pendudukan Jepang di Indonesia. Sementara bagi Yanagawa, ini menjadi awal dari kiprahnya dalam menggembleng para pemuda Indonesia.

Gatot Mangkupradja, bekas aktivis Partai Nasional Indonesia yang pernah ditahan bersama Sukarno dan tinggal di Cianjur, sempat bertemu dan berbincang dengan beberapa perwira Jepang . ( wikimedia commons )


Seksi Khusus

Di Bandung, Yanagawa ditempatkan di dalam seksi khusus yang dinamakan Isamu Bunshitsu –Isamu adalah nama kode untuk Divisi Ke-2. Joyce Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang menyebut Isamu Bunshitsu di Bandung pada awal 1942 terdiri dari dua perwira, dua tentara, enam juru bahasa, dua perempuan Jepang yang menikah dengan orang Belanda, serta satu orang Belanda yang pernah belajar di Osaka dan memiliki istri orang Jepang.

Ketika Divisi Ke-2 dipindahkan ke Guadalcanal, Kepulauan Solomon, Isamu Bunshitsu ditempatkan pada Johobu (Biro Intelejen) dari Staf Tentara ke-16. Setelah itu namanya diubah jadi Sambobu Tokubetsu Han yang disingkat Sambobu Beppan atau lebih singkat lagi Beppan. 

Setelah reorganisasi pada April 1942, kantor pusat Beppan dipindahkan ke Jakarta dan empat cabang didirikan di Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Selama masa perang, Beppan berfungsi sebagai badan intelijen. 

Menurut Nino Oktorino dalam Keris dan Katana: Ikhtisar Sejarah Barisan Peta dan Giyugun Pada Masa Pendudukan Jepang, Beppan memiliki koneksi tingkat tinggi dalam Angkatan Darat Jepang. “Bos besar” (o bosu) badan ini adalah Mayor Jenderal Kokubu Shinshichiro, kepala staf Satuan Darat ke-16. Kendati organisasinya kecil, hanya beranggotakan dua lusin perwira dan bawahannya di Jawa, Beppan memiliki otonomi besar yang membuatnya tak disukai oleh Kenpeitai, jawatan polisi militer. 

Kekuasaan Beppan dirasakan Gatot Mangkupradja. Setelah perkenalan di Cianjur, Gatot bertemu lagi dengan Yanagawa di Gedung Concordia Bandung. Ia kembali ke Cianjur dengan membawa surat jalan dari Yanagawa. “Dari segelnya terlihat bahwa perwira yang menandatanganinya adalah dari Sambo Beppan, sebuah badan yang lebih berkuasa dari Kenpeitai,” tulis Gatot. 

Gatot terus menjaga hubungan dengan para perwira Beppan, termasuk Yanagawa. Dia sering datang ke kediaman Yanagawa di Jalan Wastukentjana –sebelum pindah ke Jalan Merdeka–, tak jauh dari markas Beppan.

Pesepeda saat melintas di depan gedung Concordia Bandung. Di gedung inilah dulu Gatot bertemu langsung dengan Yanegawa tahun 1942. ( wikimedia commons )

Yanagawa adalah salah satu perwira intel dalam Beppan yang aktif dan menonjol. Djen Amar dalam Bandung Lautan Api menggambarkan Yanagawa bertubuh sedang dengan kulit warna kuning, mata tidak besar, dan orangnya simpatik. Jika sedang bertugas, sikapnya keras dan tegas. Tapi bila sedang bebas tugas di rumahnya, yang terletak di Jalan Merdeka Bandung, kelakuannya bak kanak-kanak. 

Djen Amar mencontohkan bagaimana Yanagawa tak suka ketika seorang mayor Kenpeitai hendak menganggu seorang istri pembesar tinggi Indonesia. Berkat laporannya, mayor Kenpeitai dipindahkan ke Medan. Pernah juga Yanagawa memarahi dan memaki tiga perwira Jepang yang melanggar lalulintas.

Apabila waktu senggang, Yanagawa mengajak temannya, seorang Indonesia, pergi ke kuburan untuk mencari setan. Karena tak ketemu, dia pulang. Di rumah, ketika hendak kencing, tiba-tiba dia berteriak minta tolong karena lehernya dicekik setan. “Saya akan melawannya,” demikian Yanagawa, ”tetapi setan itu tidaklah tampak.” Karena takut, atas saran temannya, Yanagawa membuat bubur merah putih.

Di Beppan, Yanagawa mewujudkan mimpinya untuk membagikan apa yang pernah didapatkannya di Nakano Gakko. Menurut Joyce Lebra, Yanagawa mengumpulkan enam pemuda Indonesia dan melatih mereka judo, sumo, dan kendo. Di malam hari dia mengajarkan bahasa Jepang. 

Dari mana Yanagawa mendapatkan pemuda Indonesia?

Suatu hari, Gatot diminta bantuan oleh Letnan Narusawa untuk mencari beberapa pemuda yang bersedia dan mampu menjalani instruksi militer di Bandung. Maka, Gatot mengirimkan sejumlah pemuda dari beberapa kecamatan ke Bandung untuk pelatihan di Jalan Merdeka. 

“Saya tidak tertarik lagi dengan usaha pelatihan ini, kadang di Bandung saya ikut dan kadang hanya melihat-lihat saja,” ujar Gatot. 

Pada kunjungan berikutnya ke Bandung, Gatot melihat Yanagawa memberikan pelatihan militer kepada para pemuda di halaman belakang rumahnya yang luas. Lalu, suatu hari Yanagawa menjelaskan bahwa dia tertarik dengan keinginan Indonesia untuk merdeka dan dia siap memberikan dukungan. Yanagawa juga menjelaskan bahwa Indonesia harus memiliki tentara yang kuat.

Pelatihan yang diberikan Yanagawa tampaknya memuaskan. Karena itulah Beppan diberi tugas untuk melatih sejumlah pemuda di kota kecil Tangerang, barat Jakarta. Pelatihan ini, sebut Djen Amar, merupakan pilot project untuk mengetahui dan menilai apakah pemuda-pemuda Indonesia mampu diserahi tugas pengamanan dan dapat membantu Jepang. 

Pelatihan Pemuda

Pada Januari 1943, Yanagawa pindah ke Jakarta dan mendirikan Seinen Dojo (Pusat Pelatihan Pemuda) di bekas penjara anak era kolonial di Tangerang. Di pintu masuknya, Yanagawa mengoreskan kuasnya dengan tulisan Seinen Dojo.

“Hari ini, mulai sekarang, saya akan tinggal di sini bersama Anda dan belajar bersama. Anda akan menjadi ‘pemuda Indonesia’ terpilih sesegera mungkin, sesegera mungkin, dan semua yang Anda dapat pelajari dari kami,” kata Yanagawa ketika pembukaan Seinen Dojo. 

Sebanyak 50 pemuda terpelajar terpilih, termasuk enam pemuda yang telah dilatih Yanagawa di Bandung, dikirim ke Tangerang untuk latihan militer. Di antara para siswanya adalah Zulkifli Lubis, Soeprijadi, Daan Mogot, Kemal Idris, dan Mufreini Mukmin.

Pemuda Indonesia dalam pelatihan di Seinen Dojo yang kemudian menjadi anggota PETA. ( Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via TroppenMuseum )

Sesuai dengan kurikulum di Seinen Dojo, mereka mendapatkan kuliah umum mengenai semangat juang, situasi dunia, sejarah perang; pelajaran khusus seperti spionase; pelajaran praktis seperti senam, gulat, sumo, dan berenang; hingga pengetahuan teknis seperti menembak. Selain itu mereka mendapatkan widya wisata ke perkebunan dan pabrik-pabrik serta kegiatan ekstrakurikuler seperti menyanyikan lagu-lagu perang.

Zulkifli Lubis, pemuda berdarah Mandailing kelahiran Aceh, terkesan dengan pelatihan itu. “Kalau boleh dibilang, itu sekolah akademi intelijen sebetulnya. Cuma dalam istilahnya disebut Seinen Dojo – Tempat Gemblengan Pemuda,” ujar Zulkifli Lubis kepada Tempo,  29 Juli 1989. 

Yanagawa Motoshige berpose bersama istri dan anak-anaknya. ( Historia/Fernando Randy )

Kemal Idris, pemuda kelahiran Bali, ingat apa yang didapatkannya dari latihan tersebut. Dia mendapatkan pelajaran tentang sejarah perang, politik dunia, taktik dan strategi, komunikasi dan lainnya. Pelatihan ala militer Jepang mengedepankan penguatan semangat juang. 

Kemal Idris juga tak melupakan pengalamannya memanjat pohon kelapa. Setiap siswa harus memanjat dan memetik lima kelapa; satu untuk diri sendiri dan empat untuk dapur. Kemal mengatasi tantangan itu. Tapi 15 siswa lainnya gagal memanjat dengan badan penuh luka. Yang gagal dihukum push up berjajar lalu 35 kawan mereka yang berhasil lari di atas mereka. 

“Dia bersikap keras bukan pada orang Indonesia saja, tapi juga kepada orang Jepang, tapi juga pada orang Jepang sendiri,” ujar Kemal Idris dalam Bertarung Dalam Revolusi

Yanagawa bersikeras agar mereka bisa menyelesaikan tantangan itu, meski harus menahan sakit. Bagi Yanagawa, jika orang Jepang bisa, orang Indonesia juga pasti bisa. “Dia bilang ke murid-muridnya harus bisa, kita bisa, tidak mungkin orang Indonesia tidak bisa. Jadi mendidiknya begitu,” kata Shigemi Yanagawa. 

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/6350fd0ce478f8762cd6db3e_daan-mogot-p-500.webp" alt="img"></div><figcaption>Daan Mogot (kanan) pahlawan nasional yang pernah menjadi murid Yanegawa di Seinen Dojo. ( wikimedia commons )</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/6350fccac11a78ebf9441a6f_SHIGEMI-YANEGAWA.jpeg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/33-yanagawa/PODCAST-SHIGEMI-YANEGAWA.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>SHIGEMI YANEGAWA</b><br>detail</span></div></div></div>

Yanagawa sendiri suka air kelapa muda. Sekali waktu dia coba memanjat. “Tangan, kaki dan dada saya luka,” ujarnya, dikutip Tempo, 26 Agustus 1978. Dia memanjat pohon kelapa itu ketika seisi tangsi sudah tidur lelap karena malu bila ketahuan. Tiga hari berturut-turut dia latihan memanjat pohon kelapa.

Suatu malam, tatkala nangkring di atas pohon kelapa, Yanagawa melihat ada yang keluar tangsi. Keesokan harinya, ketika apel, Yanagawa berteriak: “Siapa yang semalam keluar tangsi? Kamu orang jangan bohong ya.” Ternyata Kemal Idris dan Daan Mogot yang keluar diam-diam untuk membeli makanan. Yanagawa pun menghukum dengan tempeleng dan duduk bersila selama enam jam.

Shigemi Yanegawa putri dari Yanegawa saat ditemui historia untuk wawancara khusus. ( Historia/Fernando Randy )

Suatu hari, seorang siswa Seinen Dojo mematahkan alat pembersih senapan tapi tak ada yang mengakuinya. Maka ke-50 siswa pun dihukum. Mereka disuruh jongkok hingga pagi dan tak diberi makan. Mereka yang terjatuh karena tak kuat mendapat pukulan. Pukulan adalah hal biasa dalam militer Jepang. Termasuk tempelengan di wajah.

“Saya siswa yang tidak pernah dapat tempelengan Jepang. Karena saya memang tidak pernah dilihat bersalah,” ujar Zulkifli Lubis. 

Karena pelatihan dianggap sukses, “kelas” kedua pun disusun pada Juli setelah yang pertama menyelesaikan pelatihan. Angkatan kedua sekitar 30 siswa. Salah satunya Umar Wirahadikusumah, yang kelak menjabat wakil presiden.

Sebagai komandan Seinen Dojo, Yanagawa sering bersama murid-muridnya. Dia berusaha makan bersama murid-muridnya. Bukan hanya pada meja yang sama, tapi juga memakan makanan yang sama. “Dia cerita waktu itu dia makan soto kambing. Dia makan, melihat matanya (kambing), tidak bisa tidak makan. Dia paksa makan. Sesudah makan dia muntah di WC,” ujar Shigemi. 

Tentara Sukarela

Pada awal September 1943, Gatot Mangkupradja membaca berita pernyataan Soetardjo Kartohadikusumo mengenai wajib militer dalam kunjungannya di Tokyo. Alih-alih setuju wajib militer, Gatot mengusulkan pembentukan tentara sukarela, yang membuatnya diinterogasi Kenpeitai.

Keesokan harinya Gatot memenuhi undangan Yanagawa untuk datang ke kantor Beppan di Gambir 64, Jakarta. Dia ditanya usulannya mengenai tentara sukarela. Dia kemudian diminta membuat surat yang akan dikirimkan ke Gunseikan (kepala pemerintah militer) dan belakangan dimuat di suratkabar. Usulan ini menjadi salah satu dalih pembentukan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Jawa dan Gyugun di Sumatra.

Dalam tulisannya di jurnal Indonesia 5, Gatot menyebut setelah usulannya diterima oleh pemerintah Jepang, Yanagawa dan jajarannya mengatur segala urusan administrasi, organisasi, taktik, dan strategi. 

“Semua peran penting sepenuhnya berada di tangan Mr. Yanagawa (saat itu dia adalah seorang Kapten) dan stafnya. Saya hanya menjabat sebagai pengusul, promotor, dan terkadang sebagai asisten,” ujar Gatot.

Seorang tentara Jepang saat akan memberikan pelatihan kepada para pemuda Indonesia saat akan masuk ke dalam jajaran PETA. Satuan yang cikal bakalnya berasal dari Yanegawa. ( Historia/Fernando Randy )

Sejarah pembentukan Peta punya banyak versi. Tapi Jepang sendiri punya kepentingan dengan pembentukan tentara sukarela. Pada awal pendudukan, Jepang membentuk Seinendan (Barisan Pemuda) dan Heiho (Pembantu Tentara) untuk kepentingan perang. Namun itu belum cukup. Shigeru Sato menyebut, setelah Agustus 1942, kekuatan tempur Angkatan Darat ke-16 menurun tajam. Beberapa detasemen dan brigade dipindahkan dari Jawa ke Guadalkanal, Burma, Sumatra, dan Timor, dan pasukan di Jawa dikurangi menjadi dua garnisun dan delapan batalyon, sekitar 15.000 orang. 

Usulan pembentukan tentara sukarela digodok Tentara Wilayah Selatan. Menurut William H. Newell dalam Japan in Asia, 1942-1945, ketika Perdana Menteri Tojo Hideki mengadakan perjalanan inspeksi pada Juli 1943, Wakil Kepala Staf Tentara Wilayah Selatan Letnan Jenderal Inada Masazumi mempresentasikan rencana pembentukan pasukan pribumi di Asia Tenggara yang, tidak seperti Heiho, tak akan menjadi bagian integral dari Pasukan Kekaisaran Jepang. Indonesia jadi prioritas karena diyakini paling anti-Barat. Usulan ini mendapat lampu hijau dari Tojo.

Diorama Pasukan Pembela Tanah Air atau PETA tampak di dalam Museum PETA kota Bogor. PETA sendiri merupakan satuan militer yang dibentuk oleh Yanegawa kala itu. ( Historia/Fernando Randy )

Persiapan pun dilakukan oleh Beppan. Namun, agar pembentukan Peta seolah-olah usul dari orang Indonesia dan demi meminimalkan kompromi dengan kaum nasionalis, mereka mendekati Gatot Mangkupradja, yang dianggap bersimpati pada Jepang. 

Setelah diskusi intensif dengan Yanagawa, pada tanggal 7 September, Gatot mengajukan petisi pembentukan Peta. Setelah dipublikasikan, petisi itu membangkitkan reaksi antusias di seluruh Jawa. Petisi serupa pun bermunculan.

Panglima Tentara Ke-16 Letnan Jenderal Kumakichi Harada kemudian mengeluarkan Osamu Sirei (Undang-undang) No. 44 tanggal 3 Oktober 1943 yang menjadi dasar pembentukan Peta. Tugas pembentukan dipercayakan kepada Beppan, yang kemudian mendirikan Jawa Boei Giyugun Kanbu Rensentai (Pusat Latihan Calon Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). 

Pelatihan diadakan di bekas tangsi KNIL di dekat Istana Bogor. Para pemuda lulusan Seinen Dojo dijadikan sebagai inti dari kader Peta. Selain itu, direktur pula para pemuka masyarakat, guru-guru, dan pemuda lulusan sekolah dasar hingga menengah atas. Di antara para siswa terdapat bekas sersan KNIL seperti Ahmad Yani dan Gatot Soebroto –tapi bekas letnan KNIL tak diterima karena dianggap kolonialis. 

Pusat pelatihan di Bogor melaksanakan tiga sesi pelatihan intensif antara Oktober 1943 dan September 1944. Sesi untuk komandan batalyon (Daidancho) selama 1,5 bulan, komandan kompi (Chudancho) selama tiga bulan, dan komandan peleton (Shodancho) selama 18 bulan. Terdapat pula pelatihan untuk komandan regu (Bundancho) dan prajurit sukarela (Giyuhei). Latihannya keras. Tempelengan menjadi hal biasa. Jadwal latihan juga dan padat; dari pagi hingga malam. Dalam pelatihan ini, Yanagawa menjadi komandan kompi I. 

Setelah pelatihan, para perwira yang dididik di Bogor itu kembali ke daerah asal mereka untuk merekrut calon prajurit dari golongan rakyat biasa. Dari prajurit-prajurit yang dilatih sebentar dan diberi senjata itu terbentuklah batalyon (daidan) Peta di daerah-daerah. 

Setelah Peta, pemerintah militer Jepang memfasilitasi pembentukan organisasi semimiliter lainnya seperti Gakutotai (Korps Mahasiswa), Barisan Pelopor (Suishintai), Barisan Berani Mati (Jibakutai), dan Kaikyo Seinen Teishintai (Barisan Hizbullah Sabilillah), dan lain-lain.

Sejumlah tentara yang tergabung dalam PETA saat mengikuti kegiatan militer di Indonesia. ( wikimedia commons )

Yanagawa memimpin pelatihan Hizbullah, yang memulai latihan pada 28 Februari 1945 di Cibarusah, Bogor. Berbeda dari pelatihan Peta, Yanagawa melarang hukuman berupa memukul secara fisik karena dianggap dapat menyinggung perasaan umat Muslim. Sebagai gantinya, hukuman diberikan dalam bentuk kegiatan sumo (gulat tradisional Jepang).

Apa yang dilakukan orang macam Yanagawa itu menghasilkan 65 batalyon atau kira-kira 70.000 prajurit. Namun hasil dari pelatihan itu juga menjadi bumerang. Melihat penderitaan rakyat di bawah militer pendudukan Jepang Shodancho Soeprijadi memimpin pemberontakan Peta di Blitar pada 14 Februari 1945. 

Akibat pemberontakan itu, sebut Wolf Mendl dalam Japan and South East Asia: From the Meiji Restoration to 1945, Yanagawa mendapat kritikan. Dia disebut telah menciptakan sebuah instrumen yang digunakan untuk melawan Jepang. 

Dalam pembelaannya, Yanagawa menyatakan, “Keenam anakku di Bandung menjadi lima puluh orang, lalu seratus, seribu, sepuluh ribu, seratus ribu. Mereka yang berjuang dalam perang kemerdekaan berkembang seperti bunga, berjuang sampai akhir, dan meraih Indonesia merdeka. Untuk pencapaian ini saya masih merasa bangga. Pada akhirnya, saya tidak merasa bahwa Perang Pasifik tidak ada gunanya. Ini yang ingin saya katakan. Saya mencapai tujuan besar emansipasi rakyat.”

Tentara Peta didikan Yanagawa pula yang terlibat dalam Peristiwa Renggasdengklok, yang melatarbelakangi Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada 18 Agustus 1945, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para batalion Peta untuk menyerah dan meletakkan senjata. Sehari kemudian, Panglima Angkatan Darat Ke-16 di Jawa Letnan Jenderal Nagano Yuichiro mengucapkan pidato perpisahan kepada para anggota Peta. Perintah itu diabaikan oleh para tentara Peta. Justru mereka berada di garda depan dalam perang kemerdekaan.

Prajurit PETA saat berlatih untuk menghadapi serangan udara sekitar tahun 1944. ( Repro Majalah Djawa Baroe )

Menurut Shigeru Sato, pada 19 Agustus, Yanagawa didatangi Ichiki Tatsuo atau dikenal sebagai Momoki Tatsuo di masa mudanya dan Abdul Rahman di tahun-tahun terakhir hidupnya yang terlibat dalam pelatihan Peta, dan dua pemuda Indonesia. Dia diminta untuk bergabung dengan gerakan kemerdekaan. Tawaran itu ditolaknya karena bisa merugikan militer Jepang dan gerakan kemerdekaan Indonesia. Sebagai gantinya, Yanagawa memberi hormat dan memberi mereka gunpyō (naskah militer), pakaian, dan perhiasan.

Tentara Peta turut menjadi komponen militer Indonesia selama masa perang kemerdekaan. Mereka juga menjadi bagian penting dalam pembentukan TNI. Beberapa di antaranya kemudian menduduki posisi puncak seperti Soedirman yang terpilih sebagai panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) pertama dan Soeharto sebagai presiden. 

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/33-yanagawa/KAPTEN-YANAGAWA.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/33-yanagawa/KAPTEN-YANAGAWA.mp4"></video></div>

Indonesia Tanah Airnya

Setelah Jepang kalah perang dan Indonesia merdeka, hidup Yanagawa berbalik. Sebagai perwira di pihak yang kalah, Yanagawa harus menerima kemalangan. Dia jadi tawanan Sekutu. Gatot Mangkupradja menyebut, dia bertemu dengan Yanagawa di kamp interniran di Benda dan bertemu lagi di penjara Glodok.

Menurut Shigemi Yanagawa, ayahnya ditahan di penjara Glodok sekitar setahun. Selama itu Yanagawa mengisi waktunya dengan menulis puisi. Yanagawa juga mengalami siksaan fisik dalam tahanan Sekutu, yang berusaha mencari kesalahannya. Tapi bukti kejahatan Yanagawa tak pernah ditemukan. Hingga akhirnya dibebaskan. 

Pada 1947, Yanagawa kembali ke Jepang dan menjalani hidup barunya sebagai orang sipil. Dia mengalami kesulitan untuk membangun kembali hidupnya di tengah masyarakat Jepang pascaperang. “Untuk sementara dia tinggal di tempat kakaknya (yang seorang dokter gigi). Tidak ada kerjaan, istirahat saja dahulu. Soalnya kan lumayan dia ini kan kayak disiksa juga,” ujar Shigemi. 

Shigemi Yanegawa putri dari Yanegawa saat menjawab berbagai pertanyaan tentang ayahnya dari tim Historia. ( Historia/Fernando Randy )

Yanagawa, yang berusia sekitar 33 tahun, kemudian dijodohkan dengan Fusano Haraguchi. Selisih usia mereka lima tahun. Dari perkawinan ini Yanagawa dikaruniai dua anak: Shigemi dan Shigeo. 

Waktu berlalu tapi kenangan akan Indonesia tak pudar begitu saja. Yanagawa sempat berfoto dengan Presiden Sukarno yang berkunjung ke Jepang. Kesempatan untuk datang dan membantu Indonesia tiba ketika Sukarno menggagas Games of the New Emerging Forces (Ganefo), pesta olahraga tandingan Olimpiade. 

Yanegawa saat bertemu dengan Presiden Sukarno di Jepang. ( Peter Post dkk (ed.), The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War )

Mulanya beberapa atlet Jepang enggan ikut serta. Berkat Yanagawa, ada tim dari Jepang yang ikut Ganefo pada 1963. Yanagawa menjadi penasihat tim Jepang. Menurut Masashi Nishihara dalam Sukarno RatnasariDewi & Pampasan Perang, Yanagawa secara tulus merasa bahwa para pemuda di negara berkembang harus berusaha untuk meningkatkan semangat nasionalisme mereka melalui pesta olahraga.  

Yanagawa beberapa kali berkunjung ke Indonesia. Tapi lama-lama dia ingin tinggal di Indonesia. Keinginan itu terwujud berkat bantuan salah satu bekas muridnya, Gatot Soebroto yang waktu itu menjabat wakil kepala staf Angkatan Darat. Pada 1964, Yanawaga memboyong keluarganya ke Indonesia. Lima tahun kemudian dia memperoleh kewarganegaraan Indonesia.

Yanagawa Motoshige berpose bersama istri dan anak-anaknya. ( Historia/Fernando Randy )

“Ongkos masuk w.n. semua yang tanggung Pak Harto,” ujar Yanagawa, dikutip Ekspress tahun 1970.

Di Indonesia, Yanagawa mendapatkan uluran tangan dari bekas murid-muridnya. Menurut Soedardjo, veteran Peta, dalam Kenangan dari Medan Barat, Yanagawa menempati rumah di Pluit, tak jauh dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), sebagai sumbangsih dari para perwira eks Peta yang diprakarsai oleh Gatot Soebroto dan dilanjutkan oleh Soerono. 

Begitu pula ketika Yanagawa sakit parah. Dia dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto atas tanggungan sepenuhnya oleh Angkatan Darat. Kata Soedardjo, hal ini menunjukkan kebesaran jiwa dari para eks perwira Peta yang tahu bagaimana seharusnya menghormati bekas gurunya.

“Semua ongkos rumah sakit saya, Jenderal Umar Wirahadikusumah yang nanggung,” ujar Yanagawa.

Yanegawa Motoshige yang di masa tuanya tidak ingin minta-minta dan lebih memilih hidup mandiri. ( Historia/Fernando Randy )

Ketika terbaring di rumah sakit, Yanagawa kerap mengenang masa lalunya. Termasuk bagaimana dia menerapkan disiplin pada anak-anak didiknya. Semisal dengan menempeleng Kosasih dan Ahmad Yani.

“Tentang Soeprijadi, sebetulnya tidak dihukum mati.” Kata Yanagawa, dia menyuruh Soeprijadi lari ke Salatiga. “Sampai sekarang tidak ada beritanya. Padahal dia seorang pemimpin yang cinta pada tanah air dan bangsanya.” Kenapa Yanagawa melakukannya? “Karena sejak itu, saya sudah cinta pada negeri ini.” Yanagawa kemudian ikut terlibat dalam penelusuran jejak Soeprijadi, yang menghilang secara misterius usai pemberontakan Peta Blitar.

Di Indonesia, Yanagawa berusaha mandiri. “Saya tak mau minta-minta,” kata Yanagawa dikutip Kompas, 30 Mei 1972. Padahal bekas murid-muridnya sudah jadi orang penting. Banyak dari mereka tak melupakan jasanya dan kerap menemuinya.

Shigemi tak ingat siapa saja yang pernah menemui ayahnya. Beberapa di antaranya adalah Zulkifli Lubis, Gatot Soebroto, dan Surono Reksodimedjo. Shigemi juga kerap mendapat cerita dari sang ayah tentang murid-muridnya.

Yanagawa tinggal di rumah yang sederhana bersama keluarganya. Tak banyak kerjaan yang dilakukannya sehari-hari. Tapi istrinya punya toko perhiasan di Hotel Presiden –kini, Hotel Pullman.

Yanegawa Motoshige (kiri) yang walau tinggal sederhana kerap kali dikunjungi oleh mantan anak didiknya yang kebanyakan sudah menjadi petinggi di kemiliteran Indonesia. ( Historia/Fernando Randy )

Istri dan anaknya segera cocok di Indonesia. Keluarga ini menyerap banyak budaya Indonesia. Termasuk makanannya. Fusano dan Shigemi suka dengan masakan Indonesia yang mengandung santan. Tapi tidak dengan Yanagawa, yang pernah muntah setelah makan soto kambing bersama para muridnya di Seinen Dojo dulu.

Shigeo dan Shigemi menikahi orang Indonesia dan memberikan tujuh cucu untuk Yanagawa dan istrinya. Mereka seperti orang Indonesia kebanyakan, hanya berkulit putih seperti orang Jepang. Di antara cucu Yanagawa ada yang menjadi dokter dan pegiat kuliner. 

Shigeo barangkali layak dianggap sebagai jembatan orang Indonesia dengan Jepang. Dia adalah salah satu sosok di belakang acara Asia Bagus, ajang bakat tingkat Asia yang sohor di era 1990-an dan kerap disiarkan TVRI. Shigeo juga pernah menjadi pemandu acara belajar bahasa Jepang di RCTI.

Yanagawa Motoshige yang doyan menghisap rokok Commodore tutup usia pada 1986. Jenazahnya kemudian dikremasi. 

Shigemi masih menyimpan abu jenazah Yanagawa Motoshige dan Fusano Haraghuci. Ada keinginan dari Shigemi agar abu Yanagawa, Fusano dan Shigeo nantinya disatukan bersama kelak. Dia ingin abu-abu itu ditaburkan ke laut sekitar Indonesia.*

Yanegawa Motoshige (kiri) dan istirnya Fusano Haraguchi yang di masa tuanya tidak ingin minta-minta dan lebih memilih hidup mandiri. ( Historia/Fernando Randy )
Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
634e8aefdf3e2f7c8c433128