“BETA mau jadi kayak Muhammad Ali,” ucap Ellyas Pical muda di potongan film seri biopik Ellyas Pical.
Nama Muhammad Ali memang acap jadi junjungan petinju sekolong langit. Namun, sejatinya Ellyas Pical juga kerap jadi idola banyak petinju tanah air sejak 1980-an hingga kini, tak terkecuali Nico Thomas.
Film seri biopik Ellyas Pical, dengan eks pebasket Denny Sumargo sebagai pemeran sang legenda, sudah tayang di platform daring Prime Video sejak 21 Maret 2024. Selain mengungkit masa-masa kejayaannya sebagai petinju profesional Indonesia pertama yang menjadi juara dunia (kelas super terbang versi IBF), dramatisasinya juga mengangkat latar belakang tanah kelahirannya, Maluku.
“BETA mau jadi kayak Muhammad Ali,” ucap Ellyas Pical muda di potongan film seri biopik Ellyas Pical.
Nama Muhammad Ali memang acap jadi junjungan petinju sekolong langit. Namun, sejatinya Ellyas Pical juga kerap jadi idola banyak petinju tanah air sejak 1980-an hingga kini, tak terkecuali Nico Thomas.
Film seri biopik Ellyas Pical, dengan eks pebasket Denny Sumargo sebagai pemeran sang legenda, sudah tayang di platform daring Prime Video sejak 21 Maret 2024. Selain mengungkit masa-masa kejayaannya sebagai petinju profesional Indonesia pertama yang menjadi juara dunia (kelas super terbang versi IBF), dramatisasinya juga mengangkat latar belakang tanah kelahirannya, Maluku.
Pical berasal dari keluarga dengan ekonomi sulit asal Pulau Saparua, sementara Nico asli berasal dari Ambon. Jika Pical merebut sabuk gelar dunia IBF-nya pada 1985, Nico menjadi petinju pro Indonesia kedua yang juara dunia kelas terbang mini versi IBF pada 1989. Tentu ada kebanggaan tersendiri buat Nico bisa mengikuti jejak Pical meski di usia senjanya kedua petinju kidal asal “Kepulauan Rempah” itu berbeda jalan dan nasib.
“Sebelumnya kan Ellyas Pical juara dunia dulu. Dia juaranya [tahun] 1985 ya. Jujur saya menonton,‘wow, waktu Eli menang. Saya senang tapi campur iri. Bagaimana perasaan senang campur iri,” kenang Nico saat berbincang dengan Historia medio 2022.
“Saya pikir, Eli bisa [juara dunia], kenapa saya tidak bisa? Kita sama-sama kidal, sama-sama orang Ambon, sama-sama makan sagu. Motivasi itu datang dari situ,” lanjutnya dengan logat Ambonnya yang khas.
Saya merasa menang mutlak tapi kenapa bisa dibikin [keputusannya] draw. Saya pikir saya menang, makanya bingung.
Dari Ambon ke Panggung Dunia
Nicholas “Nico” Thomas lahir di Ambon pada 10 Juni 1966 di tengah keluarga petinju. Sebagai anak ke-12 dari 16 bersaudara pasangan Helena dan Julianus Thomas, Nico sudah mengenal tinju sejak dini karena kakak-kakaknya banyak berkecimpung di tinju amatir.
“Dari lingkungan [keluarga] ya. Abang saya pertama sekali, Nyong Thomas. Lalu ada Charles Thomas, Alex Thomas, seterusnya baru turun ke saya. Nyong Thomas yang pertama mengajari. Saya [saat kecil] belum tahu huruf [tetapi] saya sudah tahu jab, uppercut. Latihan benar-benar itu baru 1978 di Ambon. Saya [berkarier] amatir sampai 1986,” sambung Nico.
Sedari 1978, Nico mendaki tangga kariernya di level amatir mulai dari kejuaraan daerah kota Ambon. Ia mulai jadi jawaranya pada 1982. Prestasi serupa lantas ia torehkan di tingkat kejurnas yunior di Jakarta pada 1983, dan medali emas di pra kualifikasi Pekan Olahraga Nasional (PON) 1985.
Saat tampil mewakili kontingen Indonesia di cabang tinju SEA Games 1985, Nico ikut menyumbangkan medali perak. Menukil laporan BASOC (panitia pelaksana Thailand), 13th SEA Games Official Report, Nico yang bertarung di event -45 kg putra harus mengakui kekalahan dari petinju tuan rumah (Thailand) Teerachai Semanuson.
“SEA Games karena lawan tuan rumah [merasa dicurangi]. Kecuali saya pukul KO. Saya pikir salah satu dunia kotor di olahraga seperti begitu. Namanya home decision, keputusan tuan rumah, saya kalah,” kenang Nico pahit.
Pasca-PON 1985, tawaran untuk Nico beralih dari amatir ke jenjang pro datang dari Tinton Suprapto. Namun, setelah berdiskusi dengan kedua kakaknya, Nyong dan Charles, Nico memutuskan untuk menundanya hingga ajang Piala Presiden IX, 4–10 Februari 1986, di mana Nico juga sukses mengalungi emas di kelas 45 kg.
“Pak Tinton juga datang menonton. Waktu final itu [menang] emas. Saya kasih kalah Agus Maay. Lalu pertama kali [masuk pro] sama Pak Tinton di [sasana] Tonsco. Baik manajemen, promotor, beliau yang betul-betul kasih saya [terjun] ke dunia profesional,” lanjutnya.
Nico memulai debut profesionalnya di kelas terbang mini dengan menantang Kid Manguni di Malang pada 3 November 1986. Ia berhasil menang angka. Meski begitu, baru pada 24 Maret 1989 ia merebut gelar juara IBF. Itu diraihnya di Istora Senayan setelah mengalahkan juara bertahan asal Thailand, Samuth Sithnaruepol, lewat laga yang dipromotori Ferry Moniaga dan di bawah pengawasan Komite Tinju Indonesia (KTI).
“Waktu itu [pertarungan] 12 ronde, seluruh pasang mata di Indonesia melihat lewat televisi juga. Saya merasa menang mutlak tapi kenapa bisa dibikin [keputusannya] draw. Saya pikir saya menang, makanya bingung,” kenang Nico.
Menukil laman BoxRec, pertarungan Nico vs Samuth dipimpin wasit John Reilly dan dua juri yang sama-sama bersertifikat IBF: John Cauchi dan Leon Johannes. Usai 12 ronde, Cauchi memberi angka imbang: 115-115, Johannes memberi angka kemenangan untuk Nico: 117-113, akan tetapi wasit Reilly memberi keputusan hasil imbang atas keputusan mayoritas: 117-117.
“Menpora Akbar Tandjung sampai ngamuk besar. Beliau turun, dia panggil Tinton dan Boy Bolang. Waktu itu kita merasa dibohongi dan kita minta pertandingan ulang. Waktu itu kalau enggak ada intervensi menpora, enggak ada pertandingan ulang,” tuturnya.
“Saya sendiri enggak punya hak minta pertandingan ulang karena saya statusnya penantang dan Samuth juara bertahan. Lalu karena itu instruksi langsung dari menpora dan kebetulan di situ juga ada Presiden IBF, Robert Lee, enggak sampai tiga bulan kemudian langsung jadi [pertarungan ulang],” tambah Nico.
Laga ulang itu dihelat di Hall Senayan, 17 Juni 1989 dan dipromotori Martin Walenwangko. Dipimpin wasit Abraham Pacheco dan tiga juri: Hideo Arai, Louis Race, dan Alex Villacampa, pertarungan Nico kontra Samuth kembali tersaji dalam 12 ronde yang sengit.
Namun, kali itu perjuangan Nico berbuah manis. Nico menang angka mutlak hasil penilaian tiga juri: Arai 119-108, Race 115-111, dan Villacampa 115-111. Jadilah Nico melingkarkan sabuk juara dunia versi IBF di pinggangnya sekaligus mengikuti Pical menjadi petinju Indonesia yang meraih gelar juara dunia.*