Jurus Kalis Kaum Sosialis

Sukarno dianggap membunuh demokrasi. PSI berupaya menyelamatkannya dengan Liga Demokrasi. Gagal karena polah kawan sendiri.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Jurus Kalis Kaum SosialisJurus Kalis Kaum Sosialis
cover caption
Soedjatmoko bersama Djoeir Moehamad dan Soebadio Sastrosatomo. (Repro Memoar Seorang Sosialis).

UNTUK melapangkan jalan menuju Demokrasi Terpimpin, Sukarno mengajukan retooling DPR hasil Pemilu 1955. “...Retooling harus kita teruskan di semua lapangan, baik lapangan ekonomi maupun lapangan politik maupun lapangan kemasyarakatan,” kata Sukarno di hadapan sidang DPR, 25 Juli 1959, dikutip Herbert Feith dan Lance Castles dalam Pemikiran Politik Indonesia 1945–1965.

Celakanya DPR memberi ruang bagi Sukarno untuk melangkah lebih jauh saat mereka menolak RUU Anggaran Belanja usulan Sukarno pada Februari 1960. Sukarno pun membubarkan DPR pada 5 Maret 1960. Perlawanan muncul dari PSI. Mereka membangun aliansi dengan para penentang Sukarno. Untuk aksi ini ada dua nama menonjol: Soebadio Sastrosatomo dan Soedjatmoko.

UNTUK melapangkan jalan menuju Demokrasi Terpimpin, Sukarno mengajukan retooling DPR hasil Pemilu 1955. “...Retooling harus kita teruskan di semua lapangan, baik lapangan ekonomi maupun lapangan politik maupun lapangan kemasyarakatan,” kata Sukarno di hadapan sidang DPR, 25 Juli 1959, dikutip Herbert Feith dan Lance Castles dalam Pemikiran Politik Indonesia 1945–1965.

Celakanya DPR memberi ruang bagi Sukarno untuk melangkah lebih jauh saat mereka menolak RUU Anggaran Belanja usulan Sukarno pada Februari 1960. Sukarno pun membubarkan DPR pada 5 Maret 1960. Perlawanan muncul dari PSI. Mereka membangun aliansi dengan para penentang Sukarno. Untuk aksi ini ada dua nama menonjol: Soebadio Sastrosatomo dan Soedjatmoko. 

Tugas Soebadio berhubungan dengan partai politik, sedangkan Soedjatmoko memengaruhi perwira militer. Kerja mereka cukup lumayan. Masyumi, Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, dan segelintir tokoh Nahdlatul Ulama (NU) berkenan gabung ke aliansi mereka. Dari militer, mereka didukung Jenderal TNI A.H. Nasution, ketua partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Kolonel Soekendro dari Markas Besar Angkatan Darat. 

Presiden Sukarno dan Jenderal TNI A.H. Nasution. (Perpusnas RI).

Sukarno tak mau kalah. Dia bertemu Aidit (PKI), Ali Sastroamidjojo (PNI), dan Idham Chalid (NU) di Tampaksiring, Bali, 16 Maret 1960. Mereka membicarakan komposisi DPR baru tanpa memasukkan PSI, Masyumi, dan sejumlah partai kecil. Ini bukan kabar baik bagi aliansi penentang Sukarno dan PKI. 

Mereka gerak cepat dengan mendeklarasikan Liga Demokrasi pada 24 Maret 1960. Imran Rosjadi dari NU terpilih sebagai ketuanya, sementara Soedjatmoko tampil sebagai sekjen. Liga Demokrasi menilai Sukarno telah membunuh demokrasi. 

Menurut SM Amin dalam Indonesia Dibawah Rezim Demokrasi Terpimpin, Liga Demokrasi memiliki tuntutan tegas. “Untuk membentuk DPR yang demokratis, hendaknya dicari cara-cara dan jalan-jalan yang baik, demokratis dan konstitusional...,” tulis Amin mengutip manifesto Liga Demokrasi. 

Sukarno bersikap tenang. Dia memilih melawat ke luar negeri selama April–Mei 1960 ketimbang menanggapi tuntutan itu. Liga Demokrasi melihat celah dari kepergian Sukarno. “Strateginya adalah menarik NU dan PNI ke pihaknya dan untuk memperoleh lebih banyak dukungan dari tentara,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945–1967. Liga Demokrasi kecele. PNI dan NU bersetia pada Sukarno. 

Komponen PSI dalam pimpinan Liga Demokrasi menyarankan saatnya sudah tiba bagi Angkatan Darat untuk mengambil alih pemerintahan.

Mendengar Liga Demokrasi mendekati PNI, NU, dan militer, Sukarno mulai bersikap tegas. Dari Tokyo, Jepang, Sukarno bilang, “Sebagian dari mereka yang duduk dalam Liga Demokrasi adalah mereka yang pernah menginjak-nginjak demokrasi.” 

Liga Demokrasi berkesimpulan perlu tindakan radikal untuk mengatasi polah Sukarno. “...Komponen PSI dalam pimpinan Liga sekarang secara terang-terangan menyarankan bahwa saatnya sudah tiba bagi Angkatan Darat untuk mengambil alih pemerintahan,” tulis Ulf Sundhaussen. 

Angkatan Darat gamang menghadapi masukan itu. Mereka mulai bersikap mendua terhadap Liga Demokrasi: mendukung atau meninggalkannya. “Tentara melihat ke arah lain,” menurut Arnold Brackman, dikutip Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Penyebabnya, menurut Ulf Sundhaussen, tentara ingin menghancurkan PKI, tapi tidak berniat menjatuhkan Sukarno.

Kemenduaan sikap tentara berpengaruh besar bagi Liga Demokrasi. Pimpinan Liga Demokrasi bergerak ragu-ragu. Keadaan makin sulit setelah Sukarno membubarkan PSI dan Masyumi pada Agustus 1960. Tak ada lagi kejelasan struktur dan komando dari dua partai dominan itu dalam Liga Demokrasi. 

Pimpinan Liga Demokrasi memandang tak ada guna lagi mempertahankan organisasi ini. A.H. Nasution bahkan mulai jelas berbalik membela Sukarno. Mereka akhirnya membubarkan diri pada 27 Februari 1961. Sukarno melarangnya pada 2 Maret 1961.*

Majalah Historia No. 18 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65b0c20616686ac752e351bf