Penguasa Orde Baru melakukan penelitian khusus untuk membersihkan aparatur negara, sipil maupun militer, dari anasir komunis. Skrining ini dikenal dengan kebijakan bersih diri dan bersih lingkungan.
Anggota dan simpatisan PKI digiring ke sebuah lapangan di Surakarta untuk kemudian diinterogasi oleh tentara. (Repro Indonesia in the Soeharto Years).
Aa
Aa
Aa
Aa
SETAMAT studi ilmu pendidikan di salah satu universitas swasta di Salatiga, Jawa Tengah, tahun 1992, Haning berniat mengajar di sebuah sekolah negeri. Namun, ada satu hal yang bakal membuyarkan niatnya: masa lalu ayahnya. “Bapak kandung saya pernah di Buru saat saya berusia setahun,” kenang Haning, berusia 46 tahun, kepada Historia. Pulau Buru, sejak Orde Baru berkuasa, dikenal sebagai salah satu tempat pembuangan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Haning pun mencari akal. Dia bikin kartu keluarga baru, ikut saudara ipar dari pamannya. Siasatnya berhasil. Dia menjadi guru, abdi negara, setelah melewati penelitian khusus (litsus), dikenal juga dengan kebijakan “bersih diri dan bersih lingkungan”. Setelah tujuh tahun sebagai guru tidak tetap, dia diangkat menjadi guru tetap di sebuah sekolah menengah negeri yang terletak di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah.
Litsus menjadi alat militer dan pemerintah Orde Baru untuk membersihkan aparatur negara, sipil maupun militer, dari apa yang mereka sebut anasir komunis. Langkah ini diambil tak lama setelah Gerakan 30 September 1965 (G30S). Lembaga yang kemudian memegang peranan ini adalah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Lembaga ini dibentuk Soeharto pada 10 Oktober 1965 untuk membersihkan orang-orang kiri, termasuk tahanan politik, dan kemudian menangani oposisi.
SETAMAT studi ilmu pendidikan di salah satu universitas swasta di Salatiga, Jawa Tengah, tahun 1992, Haning berniat mengajar di sebuah sekolah negeri. Namun, ada satu hal yang bakal membuyarkan niatnya: masa lalu ayahnya. “Bapak kandung saya pernah di Buru saat saya berusia setahun,” kenang Haning, berusia 46 tahun, kepada Historia. Pulau Buru, sejak Orde Baru berkuasa, dikenal sebagai salah satu tempat pembuangan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Haning pun mencari akal. Dia bikin kartu keluarga baru, ikut saudara ipar dari pamannya. Siasatnya berhasil. Dia menjadi guru, abdi negara, setelah melewati penelitian khusus (litsus), dikenal juga dengan kebijakan “bersih diri dan bersih lingkungan”. Setelah tujuh tahun sebagai guru tidak tetap, dia diangkat menjadi guru tetap di sebuah sekolah menengah negeri yang terletak di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah.
Litsus menjadi alat militer dan pemerintah Orde Baru untuk membersihkan aparatur negara, sipil maupun militer, dari apa yang mereka sebut anasir komunis. Langkah ini diambil tak lama setelah Gerakan 30 September 1965 (G30S). Lembaga yang kemudian memegang peranan ini adalah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Lembaga ini dibentuk Soeharto pada 10 Oktober 1965 untuk membersihkan orang-orang kiri, termasuk tahanan politik, dan kemudian menangani oposisi.
Kopkamtib memiliki kekuasaan luar biasa yang memungkinkannya memainkan peran menyeluruh di dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuannya, Kopkamtib menggunakan momok hantu PKI. Salah satunya dengan mengeluarkan aturan skrining.
“Berbagai ketetapan dan keputusan pasca-1965 yang menyangkut atau dikeluarkan oleh Kopkamtib telah melegitimasi keberadaan ‘Departemen Propaganda dan Teror’,” tulis Julie Southwood dan Patrick Flanagan dalam Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965–1981. “Departemen ini mengendalikan sebagian besar instrumen kekuasaan bahkan ikut campur dalam setiap tahapan sistem hukum –ia sendiri adalah salah satu sistem kekerasan yang paling efektif dan mengagumkan.”
Litsus di DPP Golkar tahun 1991. (Editor, 21 September 1991).
Menyapu Jalur Kiri
Langkah pembersihan sudah dimulai tak lama setelah G30S. Pada 15 November 1965, Soeharto selaku Pangkopkamtib/Kastaf KOTI, atas nama Sukarno, meneken Instruksi No. 22/KOTI/1965 tentang penertiban dan pembersihan aparatur negara. Kemudian diikuti dengan Instruksi Presiden No. 09/KOGAM/5/1966 yang memberikan pedoman pelaksanaan sekaligus menjadi dasar pembentukan lembaga termasuk Team Screening Pusat (Teningpu).
Aturan ini pun segera memakan korban. Hingga 1968 saja, di beberapa departemen seperti Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan Departemen Perhubungan, dari pusat sampai daerah, terdapat 25.331 pegawai yang dipecat dan 28.963 orang dimutasi.
Setelah memegang Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar, Soeharto membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, yang dituduh berada di balik pembunuhan sejumlah perwira Angkatan Darat dalam G30S. Sejak itu, dimulai episode kelam dalam sejarah Indonesia. Orang-orang yang dituduh menjadi anggota, simpatisan, atau memiliki keterkaitan dengan PKI mengalami pembunuhan, penangkapan, hingga pemecatan dari pekerjaan. Stigma disematkan pada mereka, bahkan keluarga dan keturunannya.
Skrining kian digalakkan, bahkan diperluas. Termasuk diberlakukan di kampus-kampus. Di Universitas Indonesia, misalnya, rektorat mewajibkan mahasiswanya mengisi formulir skrining, sejak Juni 1966, di masing-masing fakultas. Hasilnya, catat Kompas, 4 Agustus 1966, UI memecat 13 mahasiswa, 264 mahasiswa terkena larangan mengikuti kuliah hingga awal 1967, dan 760 mahasiswa terkena wajib lapor dan indoktrinasi.
Namun, langkah skrining terutama ditujukan bagi pegawai negeri sipil maupun militer. Sebagai dampak pembersihan PKI, banyak pegawai yang dibunuh maupun ditahan. Rezim baru membutuhkan tenaga segar yang loyal dan “bersih” demi mengkonsolidasikan kekuasaannya.
Pada 15 Oktober 1968, kedua instruksi presiden mengenai pembersihan aparatur negara dicabut melalui Keppres No. 295/1968. Namun, tiga hari kemudian, terbit Keputusan Pangkopkamtib No. Kep-028/ Kopkam/10/1968 –kemudian diubah menjadi Keputusan Pangkopkamtib No. Kep-010/Kopkam/3/1969 yang berlaku surut. Keputusan ini mengatur lebih lanjut kebijakan penertiban dan pembersihan personel dan anggota sipil Angkatan Bersenjata di dalam aparatur pemerintahan dan Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Investigasi Kopkamtib ini berujung pembersihan besar-besaran... di kalangan rakyat sipil dan tubuh Angkatan Bersenjata.
Keputusan Pangkopkamtib itu mengelompokkan orang-orang yang terlibat dalam G30S dalam tiga golongan –kelak ada penambahan H, G, F. Golongan A, untuk yang terlibat langsung, bisa dikenai hukum pidana dan sanksi administratif dengan bentuk pemberhentian (dipecat) tidak hormat. Golongan B, untuk yang secara langsung tidak terlibat, juga terkena tindakan serupa. Sementara golongan C, untuk orang yang punya indikasi atau patut diduga terlibat secara langsung maupun tidak langsung, bisa dipecat dengan tidak hormat, pembatasan promosi jabatan, dan diharuskan menjalani indoktrinasi.
Keputusan itu, tulis Southwood dan Flanagan, “menunjukkan betapa Kopkamtib memiliki kekuatan untuk menentukan ‘hantu komunis’ dan memutuskan tindakan yang harus segera diambil.”
Kopkamtib mulai memainkan peranan lebih luas. Skrining bagi aparat negara menjadi lebih sistematis. Tim seleksi khusus dibentuk di setiap wilayah di bawah pengawasan kantor penyaringan pusat di Jakarta. Tim yang bertindak antara 1965–1975 memberi Kopkamtib keleluasaan menembus sistem birokrasi, satuan-satuan militer, lembaga pendidikan dan industri-industri vital di seluruh lapisan masyarakat.
“Investigasi Kopkamtib ini berujung pembersihan besar-besaran... di kalangan rakyat sipil dan tubuh Angkatan Bersenjata,” tulis Southwood dan Flanagan.
Pada 25 Juni 1975, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 28/1975 tentang perlakuan terhadap aparat pemerintahan yang terlibat G30S golongan C, yang dibagi menjadi C1, C2, dan C3. Mereka akan mendapat tindakan administratif. Golongan C1 diberhentikan dengan tidak hormat, sementara C2 dan C3 dikenakan tindakan administratif lainnya dengan memperhatikan berat ringan keterlibatan mereka.
Untuk melaksanakan Keppres tersebut, dua bulan kemudian, Soeharto, yang kembali menjabat sebagai Pangkopkamtib selepas pengunduran diri Soemitro akibat Peristiwa Malari tahun 1974, mengeluarkan Keputusan Pangkopkamtib No. Kep-03/Kopkam/VIII/1975. Isinya antara lain mewajibkan setiap pegawai negeri atau calon pegawai negeri untuk mendapatkan surat keterangan tidak terlibat G30S. Keputusan ini diikuti dengan surat edaran Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Untuk menjalankan skrining, Kopkamtib membentuk Satuan Tugas Screening di Tingkat Pusat (satgasningpu) maupun daerah (satgasningda). Satgasningpu berada di bawah Pangkopkamtib, sementara Satgasningda di bawah Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda). Maka, dimulailah penilaian terhadap pegawai dan calon pegawai negeri yang menyangkut banyak aspek, dari data diri dan keluarga hingga pergaulan.
“Ketentuan Kopkamtib inilah yang oleh masyarakat ditafsirkan dengan bersih lingkungan, bersih diri. Sementara dalam Juklak tidak disebutkan istilah tersebut,” seperti dikutip dalam juklak Nomor Juklak-15/Kopkam/V/1982 yang diteken Kas Kopkamtib Widjojo Soejono, atas nama Pangkopkamtib. Juklak tersebut mengatur skrining mental ideologi terhadap pelamar pegawai negeri sipil/pengusahaan swasta vital, yang meliputi aspek lingkungan, sikap hidup, ideologi negara Pancasila dan UUD 1945, politik, pengabdian, dan agama.
Unjuk rasa Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan Persatuan Pelajar Islam (PII) menolak konferensi "Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” di Goethe Institute, Jakarta, 18 Januari 2011. (Bonnie Triyana/Historia.ID).
Lembaga Baru
Pada September 1988, Presiden Soeharto membubarkan Kopkamtib yang telah berumur 23 tahun. Sebagai gantinya, pada bulan yang sama, Presiden membentuk Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). “Semua file dari Kopkamtib, baik dari politik hingga segala macam, memang akan dioper ke badan tersebut,” ujar Menko Polkam Sudomo, dikutip Editor, Juli 1988.
Bubarnya Kopkamtib tak berpengaruh pada litsus. Pada 17 April 1990, Soeharto meneken Keppres tentang penelitian khusus bagi pegawai negeri, baik pegawai negeri sipil maupun militer. Kali ini, litsus bukan hanya ditujukan kepada korban langsung tapi juga berlaku bagi anak dan/atau cucu korban yang dituduh terlibat G30S. Bakorstanas mendapat amanat untuk melaksanakannya.
“Seingat saya, tahun 1995, skrining itu jadi satu dengan proses wawancara. Kala itu, pewawancara ada tiga, satu dari instansi Perpusnas, sementara dua lainnya kemungkinan dari unsur tentara,” kenang Atika, karyawan Perpustakaan Nasional Jakarta, kepada Historia.
Biasanya, pewawancara memegang formulir yang sudah diisi calon pegawai. Formulir tersebut, menurut Sidney Jones dalam Injustice, Persecution, Eviction: A Human Rights Update on Indonesia and East Timor, disebut dengan ‘Lembar D’. Formulir ini terdiri atas tiga lembar, berisi data diri dan keluarga serta, yang terpenting, pekerjaan serta aktivitas sebelum dan sesudah tahun 1965. Dari sinilah tim pewawancara menilai apakah calon pegawai tersebut punya indikasi terlibat G30S dan pengaruh ideologi anti-Pancasila, serta sikap mental positif terhadap Pancasila, UUD 1945, dan kebijakan pemerintah. Jika tak ada, lolos tes litsus.
Di bawah kendali Bakorstanas (pusat) dan Bakorstanasda (daerah), todongan litsus tetap tajam. Pada 1995, bidikan litsus menimpa tiga pengajar Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (UKSW): Kuwat Triyanto (ilmu pendidikan), Harsono (matematika), dan Lie Sing Tew (hukum). Mereka dianggap tidak bersih lingkungan. Ketiga dosen tersebut akhirnya memilih tidak mengajar di UKSW.
Kuwat Triyanto, 75 tahun, mengelak tuduhan tidak bersih lingkungan. “Saya memilih mengajar di rumah, sebab situasi di UKSW tidak kondusif. Gaji pun masih saya terima hingga saya pensiun di usia 60 tahun,” ujarnya kepada Historia.
Saya tidak suka dilitsus. Saya dapat penghargaan militer, ikut menumpas DI/TII. Jadi mengapa saya dilitsus?
Yang menarik, litsus juga menyasar calon anggota legislatif (caleg). Kendati bukan hal baru karena sudah dijalankan di awal Orde Baru, suara penolakan mulai bermunculan. Josef Mattheus Mailoa, pensiunan Angkatan Darat (AD) dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal, gagal menjadi caleg dari Partai Demokrasi Indonesia sebab tak lolos litsus. Padahal, dia turut menyusun konsep litsus saat bertugas di staf umum AD tahun 1971.
Sementara Solihin GP, yang menjabat Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang), memilih mundur sebagai caleg dari Golkar. “Saya tidak suka dilitsus. Saya dapat penghargaan militer, ikut menumpas DI/TII. Jadi mengapa saya dilitsus? Apa saya dicurigai? Diragukan? Jika saya dilitsus, kepercayaan dari negara yang ditandatangani Presiden Sukarno dan Soeharto kan artinya dinolkan lagi,” ujarnya gusar, dikutip Editor, 5 Oktober 1991.
Menjelang Pemilu 1997, penolakan kembali muncul. Mustofa Bisri alias Gus Mus, pengasuh ponpes Raudhatut Thalibin, Rembang, menolak litsus sebab dirinya salah satu penatar P-4. Terhadap penolakan itu, Kassospol ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid menjawab enteng. Seperti dikutip Kompas, 4 September 1996, dia mengatakan: “Litsus jangan diartikan menakutkan. Wajar saja. Kan misalnya Anda menjadi pimpinan, mau menerima pembantu. Kan mesti dilihat, pembantu yang loyalitasnya terjamin, tidak akan berkhianat atau segala macam.”
Kelompok oposisi juga terkena imbas. Mulyana Wira Kusuma, aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sekaligus sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dituduh pernah bergabung dengan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), organisasi pelajar yang lekat dengan PKI, saat masih SMA. Tuduhan ini dikeluarkan kantor Sosial Politik daerah Bogor pada April 1996. Mulyana menyangkal tuduhan tersebut dan menganggapnya sebagai upaya pemerintah mendiskreditkan KIPP.
Suara penolakan itu tak menggoyahkan pemerintah. Tapi di sisi lain, rezim Soeharto mulai goyah. Krisis ekonomi mulai menghampiri Indonesia dan kemudian ikut andil dalam menjatuhkan kekuasaannya. Namun, butuh dua tahun hingga pada 10 Maret 2000, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur meneken dua Keppres yang membubarkan Bakorstanas dan litsus. Namun, bagaimana dengan hak-hak para korban?
Pemulihan Hak?
Pada 2005, korban stigma G30S, termasuk yang terkena dampak litsus, meminta bantuan LBH. Segera LBH melayangkan gugatan perwakilan kelompok (class action) yang diwakili 16 orang yang terbagi dalam tujuh kelompok. Mereka menggugat presiden dan semua mantan presiden atas perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan hak ekonomi, sosial, dan budaya terampas. Mereka menuntut rehabilitasi nama baik, mencabut stigmatisasi, serta ganti rugi material dan immateriil.
Pada persidangan tanggal 3 Agustus, anggota Front Pembela Islam dan Pelajar Islam Indonesia (PII) berdemo di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka mendesak pengadilan tak mengabulkan gugatan class action. Selain berorasi, mereka bahkan nyaris merobohkan gerbang pengadilan. Di ruang sidang, mereka mengecam dan mengejar tiga pengacara dari LBH. Gagal mendapatkan ketiganya, mereka memeriksa setiap kendaraan yang meninggalkan pengadilan.
Pada pertengahan September 2005, pengadilan memutuskan menolak gugatan class action dengan alasan tak berwenang memeriksa perkara itu. Beberapa korban litsus, semuanya mantan pegawai negeri sipil/guru SD, mengajukan hak uji materiil atas Keppres No. 28/1975 dan Keputusan Kopkamtib No. Kep.03/Kopkam/VIII/1975 ke Mahkamah Agung pada Oktober 2007.
Mahkamah Agung menolak permohonan itu dengan alasan pengajuan permohonan keberatan atas dua Keppres itu telah melampaui tenggang waktu 180 hari sesuai disyaratkan Peraturan Mahkamah Agung No. 01/2004. Angin segar berembus dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung No. 01/2011 yang menghapus batas waktu pengajuan hak uji materiil. Upaya serupa terus dilakukan tapi gagal. Hak-hak mereka yang selama ini dirampas negara pun tak bisa dipulihkan.*