Tedjo Sumarto ketika muda di Belanda. (Dok. Pribadi).
Aa
Aa
Aa
Aa
RUMAH di Jalan Radio IV Jakarta Selatan itu seolah tak berpenghuni. Catnya kusam, di beberapa bagian mengelupas. Eternitnya bolong-bolong. Taman yang terawat, lantai traso halus dan bersih, serta penataan yang rapi saja yang menyiratkan masa kejayaan pemiliknya. “Waktu itu banyak yang iri,” ujar Tedjo Sumarto yang menempati rumah itu sejak 1959.
Usianya sudah lanjut, 87 tahun; ia meninggal dunia tahun 2020. Rambutnya merah. Jalannya agak payah sejak mengalami gangguan lutut sehingga harus ditopang sebuah tongkat. Namun, suaranya tetap tegas, jelas, dan khas; mengingatkan kita pada siaran radionya dengan salam pembuka: “Selamat berjumpa kembali dalam acara Forum Negara Pancasila bersama Tejo Sumarto Sarjana Hukum.”
RUMAH di Jalan Radio IV Jakarta Selatan itu seolah tak berpenghuni. Catnya kusam, di beberapa bagian mengelupas. Eternitnya bolong-bolong. Taman yang terawat, lantai traso halus dan bersih, serta penataan yang rapi saja yang menyiratkan masa kejayaan pemiliknya. “Waktu itu banyak yang iri,” ujar Tedjo Sumarto yang menempati rumah itu sejak 1959.
Usianya sudah lanjut, 87 tahun; ia meninggal dunia tahun 2020. Rambutnya merah. Jalannya agak payah sejak mengalami gangguan lutut sehingga harus ditopang sebuah tongkat. Namun, suaranya tetap tegas, jelas, dan khas; mengingatkan kita pada siaran radionya dengan salam pembuka: “Selamat berjumpa kembali dalam acara Forum Negara Pancasila bersama Tejo Sumarto Sarjana Hukum.”
Lahir di Solo, Jawa Tengah pada 1925, Tedjo Sumarto dikenal sebagai remaja cerdas dan rajin. Ia giat belajar ilmu beladiri dan beragam bahasa. Ia bertekad bisa bersekolah setinggi-tingginya namun keadaan berkata lain. Ia harus memberikan kesempatan bagi adik-adiknya untuk sekolah.
Jika ingin melanjutkan sekolah, ayahnya menyarankan Tedjo mencari pekerjaan. “Waktu itu saya mau nangis juga nggak bisa. Rasanya sedih,” ujarnya.
Tedjo putar otak. Ia mendapat ide ketika melihat papan tulis kecil dan sebatang kapur yang tak terpakai di rumahnya. Dengan papan tulis itulah ia membuat plang kursus poliglot. Tedjo tak peduli kemampuan bahasanya yang pas-pasan. Tak lama, ia mendapatkan 12 murid. Tiap murid ia kenakan tarif Rp3.
Suatu siang, ketika sedang berkeliling di Kepatihan, Tedjo melihat sebuah bangunan dengan papan nama bertuliskan Madjelis Penerangan dan Pendjelasan (MPP), yang baru didirikan Direktorium Surakarta, pemerintah daerah, sebagai respons terhadap kemerdekaan –di kemudian hari, MPP diakuisisi Kementerian Penerangan sebagai Jawatan Penerangan Keresidenan Surakarta. Penasaran, ia masuk dan menanyakan tugas-tugas pegawai di sana. Hari itu juga ia melamar dan diterima. Tugasnya, memberi penerangan kepada masyarakat. “Ya tentang macem-macem, sejarah perjuangan Indonesia, tatanegara Indonesia, dasar negara Pancasila,” ujarnya.
Selama bekerja di MPP, Tedjo sempat menjadi penerjemah Local Joint Committee, cabang Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI) di Surakarta. Setelah pengakuan kedaulatan, Tedjo terpilih menjadi guru di Sekolah Menengah Peralihan yang menampung mantan pemuda pejuang. Ia juga menimba ilmu di Balai Pengetahuan Umum dan lulus dengan predikat terbaik. Pada 1952 Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Tengah menariknya. “Saya di situ diberi posisi yang bergengsi, yaitu kepala pendidikan pegawai,” ujarnya.
Hasratnya untuk mengenyam pendidikan tak pernah surut. Sambil bekerja Tedjo menyempatkan kuliah di Akte B1, pendidikan tiga tahun pasca-SMA, dan sekali lagi Tedjo menjadi lulusan terbaik. Atas rekomendasi dari mantan dosennya, Tedjo melanjutkan studi ke Universiteit Indonesia, mengambil jurusan hukum. Kala itu ia sudah pindah ke Kementerian Penerangan Pusat, menjadi kepada seksi ketatanegaraan.
Setelah lulus dan mendapat gelar Meester in de Rechten (Mr. atau sarjana hukum), Tedjo mendapat banyak tugas baru. Antara lain menjadi anggota tim yang belajar ilmu pertelevisian guna pendirian TVRI, dan pengacara Kementerian Penerangan ketika menghadapi gugatan Rosihan Anwar-Harmoko dalam kasus perpecahan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1970-an. Kala itu, meski Rosihan Anwar mendapat suara terbanyak, pemerintah merestui B.M. Diah sebagai ketua PWI. “Perkara itu diselesaikan dengan dading, artinya dengan permufakatan,” ujarnya.
Dari Siaran hingga Penataran
Sejumlah alumni Akademi Penerangan mendatangi rumah Tedjo Sumarto pada 1980. Mereka mengutarakan hasil rapat dengan Menteri Penerangan Ali Moertopo. Menteri minta program penerangan politik, hukum, dan tatanegara melalui RRI yang disiarkan tiap pekan dan tak boleh kehabisan bahan. Tak ada yang sanggup menangani acara ini. Setelah Tedjo menyanggupi, akhirnya delegasi mengusulkan namanya. Ali Moertopo setuju. Siaran pertama mengudara pada Februari 1981.
Awalnya siaran ini belum punya nama. Tedjo lalu menamakannya Forum Negara Pancasila (FNP). Pertimbangannya, forum jangan sampai tergantung pada kabinet. Forum harus tetap berdiri meski kabinetnya sudah berganti. “Selama negara ini berdasarkan Pancasila, Forum Negara Pancasila ini bisa berjalan terus,” ujarnya.
Menteri Penerangan Ali Moertopo merupakan jenderal kepercayaan Soeharto dan salah satu think tank Orde Baru. Banyak desain dan program kerja Orde Baru lahir dari lembaga yang ia dirikan bersama Soedjono Hoemardani, yakni Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Sebagai lembaga penelitian kebijakan pemerintah, CSIS terlibat dalam mengembangkan dan mempromosikan interpretasi mengenai Pancasila. Bagi Ali Moertopo, Pancasila adalah “ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Siaran FNP tak lepas dari upaya pemerintah Orde Baru untuk apa yang disebut Presiden Soeharto pada 1978 sebagai upaya “memasyarakatkan Pancasila dan mem-Pancasila-kan masyarakat”. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kemudian menetapkan melalui Ketetapan MPR No. II/ MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Tokoh utama yang merancang program ini adalah Roeslan Abdulgani, ketua tim penasihat presiden mengenai pelaksanaan P-4 yang kemudian dikenal dengan nama P-7.
Dibentuklah sejumlah badan pengelola bagi pengembangan dan penyelenggaraan program itu. Selain P-7, ada sebuah tim yang menyusun program dan melatih para instruktur. Sementara yang mengawasi seluruh program adalah Badan Pengawas Pelaksanaan Pengarahan untuk Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 10 tahun 1979. BP-7 menempati kantor di Pejambon, Jakarta Pusat. Mereka juga membuka cabang di daerah. Mereka menggelar kursus-kursus atau penataran mengenai Pancasila bagi pegawai sipil, mahasiswa, guru, anggota militer, hingga petani.
Tedjo sendiri merupakan manggala tingkat nasional. Ia menjadi narasumber dari BP-7 Pusat untuk memberikan penataran P-4 di beberapa tempat. “Penataran P-4 itu hanya untuk memudahkan orang mengucapkan saja. Nama resminya itu Penataraan Mengenai Hasil-Hasil Sidang Umum MPR,” ujarnya.
Namun nama Tedjo lebih populer sebagai pembawa acara FNP. Meski kerja sendiri namun Tedjo tak pernah kewalahan. Ia kerap merekam siaran sekaligus untuk beberapa edisi. Setiap kali siaran, Tedjo mendapat jatah 10 menit, meski acapkali ia lewati. Toh RRI tak peduli. Sebagai dosen di beberapa kampus, ia juga menugaskan mahasiswanya merekam minimal 20 edisi FNP untuk mata kuliah Pancasila.
Setelah berjalan sekira empat bulan, respons pendengar mulai bermunculan. Salah satu pendengar setia FNP adalah Presiden Soeharto. Ia mendapat informasi itu dari istrinya kala bertemu dengan Ibu Tien Soeharto. Selain memuji, presiden menganjurkan para menterinya untuk mendengarkan FNP. “Kalau dianjurkan kan setengah perintah, jadi semua mengikuti,” ujar Tedjo.
Orang-orang Indonesia di luar negeri kepingin juga mendengarkan siaran FNP. Mereka minta Departemen Penerangan dan RRI membuatkan siaran serupa. Sekira edisi ke-60, FNP punya “adik”: Indonesia Negara Pancasila (INP). “Jadi saya membuat selalu dua macam naskah,” ujar Tedjo.
Suara Tedjo tak hanya bisa didengarkan melalui RRI. Di masa Menteri Penerangan Harmoko, melalui SK Menteri Penerangan No. 226/1984, semua radio swasta Indonesia wajib merelai acara tersebut, selain programa RRI lainnya seperti Berita Ekonomi yang melaporkan harga sayur-mayur hingga cabe keriting dan Warta Berita. Wajib relai ini bikin gerah stasiun-stasiun radio swasta.
Rekor Siaran
Pada Mei 1998 Soeharto jatuh dari kekuasaannya. Semua hal yang berbau Orde Baru dihilangkan. MPR mencabut ketetapan MPR No. II/ MPR/1978 yang menjadi pijakan pelaksanaan P-4. Setahun kemudian Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menerbitkan Keppres yang mencabut Keppres No. 10 tahun 1978 tentang BP-7.
Pada 1999 Tedjo menerima surat pemberitahuan dari RRI bahwa siaran FNP untuk sementara dihentikan sambil menunggu wadah baru. Namun wadah baru itu tak pernah muncul. Departemen Penerangan sendiri dibubarkan Presiden Abdurrahman Wahid. Praktis, FNP tak lagi mengudara. Tak lagi mengasuh FNP, Tedjo jadi pakar di Dewan Ketahanan Nasional –dulunya Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional– dan Pusat Pengkajian Strategi Nasional.
Selama membawakan acara FNP, Tedjo menerima anugerah Bintang Mahaputra dari pemerintah dan Cincin Ananta Kupa, lambang penghargaan tertinggi Departemen Penerangan dari Menteri Penerangan Harmoko. Hingga FNP ditutup, ia telah mengudara lebih dari 1.000 edisi selama 18 tahun. Museum Rekor Indonesia mencatatkan namanya sebagai narasumber dan pengasuh tunggal seri penerangan di radio terlama pada 20 Mei 2005.
Setelah pensiun, di rumahnya yang teduh, Tedjo mengisi usia senjanya dengan mengikuti perkembangan tanah air melalui televisi. Ia gerah atas perkembangan korupsi yang kian mewabah di Indonesia. “Korupsi itu boleh dikatakan sumber dari segala kesulitan dan kemunduran kita,” ujarnya.
Akhir-akhir ini muncul lontaran untuk kembali memasukkan Pancasila dalam kurikulum nasional. Suatu saat mungkin akan muncul Tedjo Sumarto lain yang membuka acara dengan nada khas: “Selamat berjumpa kembali dalam acara Forum Negara Pancasila.” Tidak di radio-radio, tapi di kelas-kelas.*