Lukisan (1890) menggambarkan Amangkurat II menghukum mati Trunajaya, sekutu dan menantu Kajoran, dengan cara ditusuk dengan keris. (KITLV).
Aa
Aa
Aa
Aa
ALUN-alun Keraton Pleret, satu pagi di tahun 1670. Lapangan besar di depan keraton disesaki ulama beserta sanak keluarga. Mereka, sekira berjumlah 5.000 orang, berkumpul di alun-alun atas undangan Amangkurat I, raja Mataram. Di tepi alun-alun, satu legiun tentara bersiap dengan senjata terhunus.
Suasana mencekam. Hingga terdengarlah dentuman meriam bernama Kyai Sapu Jagad. Sesaat sesudahnya, ribuan ulama dan keluarga mereka meregang nyawa terbantai.
Amangkurat I punya dalih. Dia curiga para ulama bersekongkol dengan adiknya, Pangeran Alit, akan merongrong singgasananya. Sebelum pembantaian itu, Pangeran Alit sudah terlebih dahulu menemui ajal di tangan kakaknya.
ALUN-alun Keraton Pleret, satu pagi di tahun 1670. Lapangan besar di depan keraton disesaki ulama beserta sanak keluarga. Mereka, sekira berjumlah 5.000 orang, berkumpul di alun-alun atas undangan Amangkurat I, raja Mataram. Di tepi alun-alun, satu legiun tentara bersiap dengan senjata terhunus.
Suasana mencekam. Hingga terdengarlah dentuman meriam bernama Kyai Sapu Jagad. Sesaat sesudahnya, ribuan ulama dan keluarga mereka meregang nyawa terbantai.
Amangkurat I punya dalih. Dia curiga para ulama bersekongkol dengan adiknya, Pangeran Alit, akan merongrong singgasananya. Sebelum pembantaian itu, Pangeran Alit sudah terlebih dahulu menemui ajal di tangan kakaknya.
Kabar pembantaian ulama itu sampai ke telinga Raden Kajoran atau Kyai Kajoran, ada juga yang menyebut Panembahan Rama, yang tinggal di daerah Kajoran, wilayah kabupaten Klaten sekarang. 1670 menjadi tahun pilu bagi Kajoran. Bukan saja karena pembantaian ulama. Anak menantunya, Wiramenggala, saudara Purbaya yang masih berkerabat pula dengan Sultan Agung, pun dibunuh atas perintah Amangkurat I. Dia tak mau tinggal diam.
“Raden Kajoran –juga dipanggil Panembahan Rama– adalah tokoh kunci dalam pemberontakan Trunajaya, yang meruntuhkan keraton Mataram pada 1677,” ujar sejarawan Merle Calvin Ricklefs kepada Historia.
Ulama-Bangsawan
Kajoran memiliki darah keluarga Mataram. Ibunya, Wangsacipta, adalah putri dari Panembahan Senapati, pendiri wangsa Mataram. Bahkan, dalam buku silsilah berjudul Serat Candra Kanta yang ditulis Raden Ngabehi Candra Pradana dari Sala tahun 1923, Kajoran disebut memiliki pertalian darah dengan Kyai Ageng Pandan Arang yang kemudian dikenal sebagai Sunan Tembayat. Kelak, keturunan Sunan Tembayat yang bernama Wanakusuma juga menyatakan berontak kepada Mataram.
Melacak masa muda dan sepakterjang Kajoran cukup sulit. Hubertus Johannes de Graaf, dalam bukunya Kajoran Vraagstuk, juga kesulitan menemukan nama Kajoran dalam laporan-laporan kolonial. “Baru dalam catatan harian tanggal 27 April 1677, namanya disebut untuk pertama kali, tatkala ia tentunya sudah lama beraksi,” tulis de Graaf dalam bukunya yang kemudian diterjemahkan Suwandi, seorang pensiunan kepala Lembaga Sejarah dan Antropologi Yogyakarta, dengan judul Masalah Kajoran.
Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan Kajoran memiliki bakat rohani yang berlebih. Sekali waktu, Ratu Anem, istri kedua Amangkurat I, melahirkan seorang putra yang berkepala bungkus. Pihak keraton membawa bayi itu ke Kajoran, yang berhasil menghilangkan “pembungkus” tersebut.
Sementara dari pihak Belanda, catat de Graaf, memandang Kajoran memiliki sifat rohani yang mengandung kesaktian berupa kemampuan mengusir setan dan meramal. “Nabi setan itu bahkan sudah meramalkan bahwa di Mataram harus memerintah raja yang lain,” tulis Cornelis Janzoon Speelman, pemimpin ekspedisi militer ke Surabaya untuk menumpas pemberontakan Trunajaya yang kemudian jadi gubernur jenderal Hindia Belanda ke-14, dalam daghregister (laporan harian) 1677, dikutip de Graaf.
Puing-puing Kraton Pleret. (jogjaprov.go.id).
Percobaan yang Gagal
Tak hanya Kyai Kajoran. Adipati Anom sakit hati kepada ayahnya, Amangkurat I. Bagaimana tidak, Rara Oyi, kekasihnya yang berasal dari Surabaya, harus meregang nyawa di tangannya sendiri atas perintah sang ayah. Ayah dan anak ini ternyata mencintai perempuan yang sama. Adipati Anom lalu diasingkan di daerah Lipura, sekitar Bantul.
Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Sejarah Perlawanan-perlawanan Terhadap Kolonialisme, Adipati Anom berniat merebut kekuasaan ayahnya, namun tak punya keberanian. Maka dia memanggil Kyai Kajoran ke tempat pengasingannya untuk dimintai pendapat. Kajoran menyarankan supaya Adipati Anom meminta bantuan Trunajaya, bangsawasan dari Madura. Mereka bertiga lalu melakukan persekutuan rahasia untuk mengakhiri kekuasaan Amangkurat I. Bahkan, pertalian Kajoran dengan Trunajaya meningkat menjadi mertua dan menantu.
Trunajaya, bersama laskar Maduranya dan bantuan dari Makassar, mulai mengacau di pesisir utara Jawa. Pada 13 Oktober 1676 terjadi pertempuran di daerah Gogodog, sebuah daerah di daerah pesisir timur laut; ujian pertama persekutuan Adipati Anom-Trunajaya-Kajoran. Amangkurat I mengirimkan Adipati Anom untuk memimpin pasukan, ditemani Pangeran Singasari yang diketahui sudah lama tak akur dengan Adipati Anom.
“Kemungkinan, raja mengirimkan putra mahkota, Adipati Anom, untuk mati dalam pertempuran. Mungkin pula putra mahkota yang semula melakukan pertempuran pura-pura dengan pasukan Trunajaya dapat dicegah dengan kehadiran pangeran lainnya,” tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008.
Selepas pertempuran Gogodog, nama Trunajaya kian harum. Pasukannya menguasai beberapa pelabuhan penting di pesisir seperti Cirebon. Bahkan, menurut de Graaf, dia mulai disebut panembahan dan memproklamasikan diri sebagai keturunan raja Majapahit.
Pada Februari 1677, laskar dari Kajoran bersama pasukan Trunajaya sudah berada di daerah Taji, sebuah gerbang bea masuk Mataram di dekat Prambanan. Mereka siap menduduki Mataram. Sekali lagi, Amangkurat I mengirimkan Adipati Anom bersama seratus ribu tentara Mataram. Pasukan pemberontak terdesak. Kajoran mengundurkan diri ke Kediri, daerah timur. Sementara daerah asalnya, Kajoran, dibumihanguskan pasukan Mataram.
“Percobaan terlalu berani untuk menggulingkan Mataram ini tidak berhasil, dan ini bagi Kajoran maupun Trunajaya berarti suatu kekalahan yang besar. Kalau orang ingin mencapai hasil di Jawa Tengah, maka segala sesuatu diselenggarakan secara lain,” tulis de Graaf.
Ditipu Menantu
Kajoran beserta keluarganya bergeser ke timur, Surabaya. Dia bertemu Trunajaya, menantu sekaligus sekutunya. Trunajaya lalu pindah dari Surabaya ke Kediri dan membangun pertahanan di sana.
Belajar dari kekalahan sebelumnya, Kajoran dan Trunajaya berembug sekira Maret 1677. Mataram harus diserang dari dua sisi, penguasaan Semarang secara cepat, dan pembicaraan mengenai pembagian kerajaan jika serangan tersebut berhasil. Mengenai pembagian wilayah, seperti tertera dalam surat Kajoran kepada Martapura (penguasa Jepara), bagian barat gunung Lawu menjadi miliknya dan sisi timur menjadi milik Trunajaya.
Memasuki April 1677, pasukan pemberontak sudah memasuki Semarang dan kemudian bergerak ke selatan hingga ke daerah Trayem, dekat Kedu. Sementara pasukan dari timur bergerak dari Grobogan hingga ke gerbang Taji, dekat Prambanan.
“Susunan penyerbu Mataram beragam. Pasukan dari Madura tidak lebih dari 1000 orang dan selanjutnya orang Jawa dari pesisir pantai hingga ke pedalaman, yang semuanya hingga berjumlah 25 ribu orang,” ujar Astrayuda, saksi mata yang diinterograsi Speelman, dikutip Masalah Kajoran.
Kajoran dengan mudah mendapat pengikut karena dia adalah ulama dari kelompok bangsawan. “Ideologinya jelas berdasarkan Islam gaya Sufi, tapi masih banyak hal mengenai ajarannya tidak diketahui. Informasi mengenai ideologi itu mungkin tercantum dalam beberapa naskah bahasa Jawa yang disimpan di perpustakaan Universitas Leiden, tapi naskah-naskah itu belum pernah dikaji,” ujar Ricklefs.
Kekuatan Kajoran dan Trunajaya bertambah dengan bergabungnya sekutu lain, seperti Pangeran Sampang, Pangeran Purbaya, dan para pangeran dari Cirebon. Ketiganya, tulis de Graaf, memiliki beberapa alasan membantu Kajoran. Purbaya, misalnya, masih ada pertalian darah dengan Kajoran. Pangeran Sampang, yang kemudian disebut Cakraningrat II, berhubungan erat dengan masa kecil Trunajaya. Sementara para pangeran dari Cirebon adalah anak-anak dari Panembahan Girilaya yang mati di Mataram pada 1660 dan tidak diizinkan pulang ke Cirebon.
“Raden Kajoran bukan tokoh agama saja, melainkan juga memimpin prajurit-prajurit sendiri,” ujar Ricklefs.
Puing-puing Kraton Pleret. (jogjaprov.go.id).
Pada 2 Juni 1677, keraton Pleret direbut pasukan Kajoran yang dibantu pasukan Trunajaya. “Sunan Amangkurat I melarikan diri ke Batavia dan meminta bantuan kepada Belanda,” tulis Adaby Darban dalam The Fight of Kyai Kajoran Against Susuhunan Amangkurat First.
Saat kabur, Amangkurat I mengajak putera mahkota Adipati Anom, yang kembali berpihak padanya karena sadar posisinya terancam oleh Trunajaya. Keraton Pleret dipercayakannya kepada Pangeran Puger, adik Adipati Anom. Dalam pelariannya, Amangkurat I menemui ajal di desa Tegalwangi, sekitar Tegal, pada 1677. Puger sendiri tak mampu menahan gempuran pasukan pemberontak sehingga mundur ke Bagelen.
Keraton Pleret dijarah pasukan Trunajaya. Harta benda kerajaan diangkut ke Kediri, termasuk mahkota Majapahit yang terbuat dari emas. Pengikut Kajoran kecewa, karena penjarahan ini tidak termasuk yang dirundingkan; hanya pembagian wilayah. Trunajaya rupanya tak tertarik menguasai keraton, sebab satu-satunya keuntungan yang langsung dapat dirasakan adalah rampasan perang dari Mataram. Kajoran juga tak masuk keraton melainkan kembali ke Kediri.
“Trunajaya tidak menginginkan ayah mertuanya di Mataram, ia lebih suka melihat sebagai tawanan yang terhormat di dekatnya. Karena itu ia tidak boleh bertempat tinggal terlalu jauh dari Kediri,” tulis de Graaf.
Trunajaya hanya sekejap menikmati kemenangannya. Demi merebut mahkota Mataram dari tangan Trunajaya, Adipati Anom yang dikukuhkan jadi Amangkurat II bersekutu dengan VOC dan memburu Trunajaya hingga ke pedalaman. Dengan susah payah, pada November 1678, Kediri dapat direbut tentara gabungan VOC-Jawa. Trunajaya pun menyingkir.
Tanpa bantuan VOC, tulis Onghokham dalam “Penelitian Sumber-sumber Gerakan Mesianis” yang dimuat majalah Prisma edisi Januari 1977, keraton Mataram sebenarnya tidak akan sembuh kembali dari pemberontakan ini. Kelangsungan hidup Mataram selanjutnya benar-benar bergantung dari bantuan militer VOC.
Trunajaya terus menghindari dari kejaran pasukan Mataram. Pada akhirnya, tulis Babad Trunajaya-Surapati edisi Sudibyo HZ, Trunajaya menyerah, dibawa ke hadapan Amangkurat II, dan mati ditusuk dengan keris Kyai Belabar.
Lalu bagaimana nasib Kajoran dan pengikutnya?
Basis Perlawanan
Dalam daghregister Desember 1678, seperti ditulis de Graaf, lepas dari Trunajaya, Kajoran kembali ke daerah kelahirannya. Dia berjalan melalui Ponorogo menuju Sala. Namun, ketika sampai di Sala, pengikutnya terlibat bentrok dengan pasukan Pangeran Puger yang kembali ke keraton setelah ditinggalkan pasukan pemberontak dan mengangkat diri sebagai sunan.
Amangkurat II semula akan kembali ke Pleret tapi mengurungkan niatnya, sebab kala itu di Pleret terjadi wabah penyakit –kelak, pada 1681, dia mendirikan keraton baru di Kartosuro. Akibatnya, selain Kajoran, dia harus berhadapan dengan Puger. Puger akhirnya bersedia berdamai dan melepaskan hak-haknya sebagai raja. Tinggallah Kajoran sebagai musuh utamanya.
Memasuki 1679, posisi Kajoran semakin sulit. Banyak pengikutnya menyeberang ke pihak Puger, yang memerintah Pleret dengan bijak dan suka mengobral jabatan. Kajoran putar otak untuk mendapatkan sekutu baru. Akhirnya, Namrud, penyamun petualang dari Makassar, menjadi sekutu bahkan tangan kanannya.
Mulanya, catat de Graaf, Namrud menjalani hidup sebagai budak belian dari Makassar ke Batavia. Dia berhasil kabur dan menetap di Bagelen bersama para bromocorah di sana. Saat pecah pemberontakan Trunajaya, dia sudah beroperasi di daerah Cirebon hingga Tegal. Baru pada awal 1679, dia bergerak ke timur dan bertemu Kajoran. Kajoran dan Namrud bahu-membahu mengganggu daerah Mataram, seperti di sekitar Semarang dan daerah Jipang.
Khawatir dengan masalah Kajoran, pemerintah agung Batavia mengirim 60 serdadu Belanda dan 120 orang laskar Bugis yang dipimpin Jan Albert Sloot untuk menumpas Kajoran. Awal Agustus 1679, ekspedisi Sloot berangkat dari Semarang dan pada akhir bulan sudah sampai di daerah Wanakerta atau Kartasura. Mereka bersekutu dengan Sindureja, salah satu pemimpin perang andalan Amangkurat II.
Mendengar kabar ekspedisi Sloot dan sekutu Bugis dan Mataram, Namrud menjadi ciut. Dia kabur ke barat, sekitar Bagelen, lalu mendirikan basis di daerah Slinga, dekat Purbalingga.
Tinggallah Kajoran sendiri. Dia bersama sisa pengikutnya mundur ke daerah Melambang, wilayah Gunung Kidul, dan membangun basis perlawanan di sana.
Permulaan September 1679, pasukan Sloot bermarkas di Wanakerta. Dari sana, mulailah pergerakan untuk mempersempit ruang gerak Kajoran. Dalam sebuah gerakan, Sloot membawa 12 serdadu Eropa, 300 orang Bugis, dan beberapa ratus pasukan Jawa yang dipimpin Sindureja.
Pada 14 September, ekspedisi militer ini menemukan perbentengan yang kuat di desa Melambang. Serangan hebat dimulai. Kajoran beserta keluarga dan pengikutnya gigih bertahan. Akhirnya benteng itu jebol, terbakar.
“Kajoran menaiki kuda, sembari memboncengkan saudara perempuannya, mengamuk bersenjatakan keris dan tombak pendek. Berusaha melepaskan diri dari kepungan musuhnya,” catat de Graaf. Kajoran berusaha keluar dari kepungan namun gagal menembus rapatnya barisan Bugis.
Sadar bahwa kondisinya terjepit, Kajoran menyerah. Sloot, yang sejak awal pertempuran hanya memberi komando, beringsut masuk ke perbentengan. Dia kemudian berdiri di hadapan Kajoran. “Di mana harta benda emas, perak dan uang yang kau bawa dari Susuhunan Mataram?” tanya Sloot.
“Saya tidak pernah mengangkut harta itu, atau bahkan menyimpannya,” Kajoran mengelak.
Sloot segera mengambil keputusan: Kajoran dan pengikutnya ditumpas mati.
Seorang pemimpin Bugis maju menghampiri Kajoran dan meminta izin memenggal kepalanya. Kematiannya diikuti eksekusi mati 30 pengikut yang tersisa. Tak berapa lama, perbentengan Melambang diobrak-abrik pasukan Sloot untuk mencari harta rampasan dari Pleret. Namun, mereka tak menemukan barang berharga apapun.
Kepala Kajoran, catat de Graaf mengutip laporan harian bulan November 1679, kemudian dikirim ke hadapan Amangkurat II yang masih berada di Surabaya. Amangkurat II memerintahkan kepala “ulama ningrat” itu dipasang pada tiang yang tinggi. Sementara potongan badannya dimakamkan di daerah asalnya, Kajoran.
Meski sudah mati, sisa pengikut Kajoran yang tersebar terus merongrong Mataram.*