Kala Hak Imunitas Anggota DPR Kandas

Presiden Sukarno jadi sasaran pembunuhan. Dua anggota DPR mempertanyakan kenapa alat-alat negara kecolongan. Alih-alih mendapatkan jawaban, seorang anggota DPR justru ditahan tentara.

OLEH:
Zalfaa Rizqi Nuraulia
.
Kala Hak Imunitas Anggota DPR KandasKala Hak Imunitas Anggota DPR Kandas
cover caption
Ilustrasi Imam Soeparni Handoko Widjojo dan H.J.C. Princen. (Betaria Sarulina/Historia.ID).

SABTU malam, 30 November 1957, Perguruan Cikini menggelar lustrum ke-3. Presiden Sukarno, sebagai orangtua dari Guntur Soekarnoputra dan Megawati Soekarnoputri, hadir dan memberikan sambutan.  

Pukul 21.00, Sukarno meninggalkan ruangan resepsi, sementara kedua anaknya tak ikut karena ingin menonton film. Sukarno berjalan menuju halaman gedung sekolah dengan diantar oleh Kepala Sekolah Sumadji dan Ketua Panitia Nyonya Sudardjo.  

Tiba-tiba terdengar ledakan granat sekira lima meter dari belakang Sukarno. Menyusul kemudian ledakan kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Sukarno, yang hendak menaiki mobil, langsung diselamatkan oleh pengawalnya.

SABTU malam, 30 November 1957, Perguruan Cikini menggelar lustrum ke-3. Presiden Sukarno, sebagai orangtua dari Guntur Soekarnoputra dan Megawati Soekarnoputri, hadir dan memberikan sambutan.  

Pukul 21.00, Sukarno meninggalkan ruangan resepsi, sementara kedua anaknya tak ikut karena ingin menonton film. Sukarno berjalan menuju halaman gedung sekolah dengan diantar oleh Kepala Sekolah Sumadji dan Ketua Panitia Nyonya Sudardjo.  

Tiba-tiba terdengar ledakan granat sekira lima meter dari belakang Sukarno. Menyusul kemudian ledakan kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Sukarno, yang hendak menaiki mobil, langsung diselamatkan oleh pengawalnya.

Pengumuman Istana yang disiarkan berulang-ulang melalui RRI menyebut Presiden Sukarno dan anak-anaknya dalam keadaan sehat.

Namun, ledakan itu menyebabkan 11 orang meninggal dunia dan sekira 144 orang menderita luka-luka, termasuk perempuan dan anak-anak. Para korban dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat.  

Pada 3 Desember, Presiden Sukarno menjenguk para korban di rumahsakit. Pada hari bersamaan, Overste (Letkol) Dachjar Sudiawidjaja, komandan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR) sekaligus Penguasa Militer Jakarta Raya, melaporkan bahwa para pelempar granat yang berasal dari Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), sudah ditahan dan siap diadili.  

Bagi anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), persoalan tak selesai sampai di sini. Dua anggota DPR menggunakan “hak menanya” yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Imam Soeparni Handoko Widjojo dari Partai Nasional Indonesia (PNI) dan H. Johannes Cornelis Princen atau kerap dipanggil Poncke Princen dari Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) mengajukan pertanyaan melalui surat kepada pemerintah. Surat keduanya tersimpan dalam Inventaris Arsip Sekretariat Negara Kabinet Perdana Menteri Tahun 1950–1959, masing-masing dengan No. 1214 dan No. 2361.  

Presiden Sukarno mengunjungi para korban Peristiwa Cikini pada 27 Agustus 1958. (Perpusnas RI).

Meminta Keterangan

Surat Imam Soeparni diterima oleh Sekretariat DPR tanggal 3 Desember 1957. Keesokan harinya surat itu dikirimkan oleh Ketua DPR Sartono kepada Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja dengan nomor surat 19193/DPR-RI/57.

Imam Soeparni bertanya terkait tiga hal:

“Sediakah pemerintah dengan waktu yang pendek menyampaikan keterangan kepada parlemen mengenai Peristiwa Cikini?”

“Apakah peristiwa itu tidak ada hubungannya dengan kegagalan perjuangan Irian Barat di PBB atau dikemudikan oleh ‘anasir’ luar negeri?”

“Mengingat situasi dalam negeri (SOB) dan guna menjaga keselamatan PJM Presiden Sukarno lebih lanjut, apakah pemerintah tidak sependapat dengan penanya, bahwa kunjungan Presiden ke luar negeri, yang akan berangkat besok tanggal 25 Desember 1957, itu dibatalkan (ditunda lebih dahulu)?”

Jawaban pemerintah dikirim oleh Wakil Perdana Menteri II Idham Chalid kepada ketua DPR dengan nomor surat 5440/58 tanggal 18 Februari 1958.  

Isinya, pemerintah belum bersedia menyampaikan keterangan kepada DPR. Alasannya, usaha penyelesaian mendekati tahap akhir dan dalam waktu dekat perkara diajukan ke pengadilan. Pemerintah juga belum dapat memberikan keterangan apakah peristiwa itu ada berkaitan dengan kegagalan perjuangan Irian Barat di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau dikemudikan oleh anasir-anasir luar negeri.

Terkait perjalanan presiden ke luar negeri sudah terjawab dalam keterangan lisan Perdana Menteri Djuanda kepada DPR dalam rapat pleno terbuka pada 11 Desember 1957.  

Sebelum itu, DPR memang mengajukan resolusi untuk menunda perjalanan Presiden Sukarno ke luar negeri. Resolusi itu ditandatangani oleh anggota-anggota fraksi IP-KI: Lucas Kustarjo, Katamsi Sutisna Sendjaja, Sumitro Kolopaking, Daeng Ardi Winata, dan H.J.C. Princen. Diberitakan Indonesia Raya, 12 Desember 1957, kabinet pun telah memutuskan pembatalan perjalanan Presiden Sukarno ke Roma, Paris, dan beberapa negara di Amerika Selatan.

Imam Soeparni Handoko Widjojo dan surat pertanyaan yang diajukan kepada pemerintah mengenai Peristiwa Cikini.

Mempertanyakan Pengawalan Presiden

Surat Princen diterima oleh Sekretariat DPR pada 3 Desember 1957. Pada hari yang sama, isi suratnya dimuat oleh koran Pedoman dan Indonesia Raya. Keesokan harinya surat tersebut dikirimkan kepada Perdana Menteri Djuanda dengan nomor surat 19192/DPR-RI/57.  

Princen menanyakan beberapa hal:

“Apa sebabnya bahwa alat-alat negara dengan dinas intelijen, security, dan control intelligence-nya tidak dapat menghindarkan kejadian yang menyedihkan itu, apalagi apabila diingat bahwa Presiden Sukarno selain menjabat Kepala Negara juga menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang?”

“Apakah pemerintah tidak sependapat dengan saya bahwa terhadap pejabat-pejabat yang mungkin lalai dalam menunaikan tugasnya harus diambil tindakan setimpal, sehingga kejadian semacam itu tak terulang lagi?”

“Apakah pemerintah tidak sependapat dengan saya, bahwa adalah sebaiknya, apabila selain dari penyelidikan yang saksama terhadap pelempar-pelempar granat harus juga dilakukan pemeriksaan yang teliti terhadap para petugas yang terbukti kurang waspada?”

“Bersediakah pemerintah untuk melakukan penjaringan yang tajam dalam semua badan yang langsung bertanggung jawab atas keselamatan pribadi Yang Mulia Presiden dan Panglima Tertinggi Sukarno?”

“Bersediakah pemerintah untuk merenungkan berapa jumlah biaya yang setiap tahun dikeluarkan untuk pengawalan PJM Presiden Sukarno?”

Alih-alih mendapatkan jawaban, Princen justru ditangkap.  

Pada 5 Desember 1957, pukul 09.00, rumahnya di Jalan Tjirandjang 17, Blok Q, Kebayoran Baru didatangi oleh lima polisi militer yang menanyakan keberadaannya. Saat itu Princen sedang berada di DPR. Kemudian pukul setengah enam sore datang kembali dua polisi militer membawa surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh Overste Dachjar.

Penahanan dilakukan karena Princen mengkritik tentara dan alat-alat negara yang bertanggung jawab atas keamanan presiden.

H.J.C. Princen dan surat pertanyaan kepada pemerintah mengenai Peristiwa Cikini.

Hak Kekebalan

Dalam otobiografi Poncke Princen Kemerdekaan Memilih, Princen menyebut dirinya marah atas percobaan pembunuhan presiden di Cikini. Padahal banyak uang yang telah dikeluarkan untuk menjamin keamanan presiden. Karena itulah selaku anggota DPR dia mengajukan pertanyaan kepada pemerintah

“Ini pertanyaan biasa dari seorang anggota DPR. Karena aku tahu betul banyak uang yang disalahgunakan. Ini pun harus dilihat sebagai kritik terhadap cara tentara mempergunakan anggaran,” tutur Princen.

Princen heran kenapa dirinya ditangkap dan ditahan.  

“Kepala dinas intel tentara menjadi marah. Mereka menangkap aku, suatu tindakan yang sangat tidak wajar terhadap hak mengajukan suatu pertanyaan oleh seorang anggota Parlemen.”

Princen juga mengaitkan penahanannya dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan pemulangan orang-orang Belanda. Keluarga Princen yakin, alasan penangkapan karena Princen adalah orang Belanda yang harus disingkirkan dan tak boleh menetap di negeri ini.  

Mendengar kabar penangkapan Princen, Wakil Ketua I DPR H. Z. Arifin mengirimkan surat kepada Jaksa Agung pada Mahkamah Agung tanggal 7 Desember 1957 dengan nomor surat 19519/DPRRI/57.

Isi pertanyaan: “Adapun alasan penahanan itu, menurut keterangan yang kami terima adalah berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya kepada pemerintah mengenai percobaan pembunuhan terhadap diri PJM Presiden Soekarno, seperti yang kami lampirkan pada surat ini. Berhubung dengan itu kami ingin mendapat keterangan dari Saudara, sampai di mana kebenaran kabar tersebut di atas.”

Gedung Perguruan Cikini setelah pelemparan granat dan rumah keluarga A.F. Andries yang jadi tempat perlindungan Presiden Sukarno. (Pedoman, 4 Desember 1957).

Arifin juga mengirimkan surat kepada Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan tanggal 7 Desember 1957 dengan nomor 19520/DPRRI/57. Arifin mengharapkan bantuan Djuanda agar Princen dibebaskan jika tak ada alasan yang mengharuskan penahanan lebih lama lagi.  

Namun, kedua surat tersebut tak mendapat jawaban.

Janneke Marckmann, istri Princen, mencoba mencari tahu kejelasan nasib suaminya. Dalam surat berisi “Laporan tentang Penangkapan Anggota Dewan Perwakilan Rakjat Hadji J.C. Princen, Akibat Pekerjaannya” kepada perdana menteri, ketua DPR, dan pressroom DPR tertanggal 9 Desember 1957, Janneke menyebut penangkapan itu dilakukan atas dasar politik. Padahal, sebagai anggota DPR, suaminya memiliki hak kekebalan (immuniteit parlementer).

“Pada tanggal 8 Desember saya menjumpai suami saya di Rumah Tahanan Militer di Jl. Budi Utomo, setelah memperoleh izin dari pihak yang berwajib. Suami saya terangkan bahwa penangkapannya hanya dilakukan berhubung dengan pertanyaan tertulis yang disebut di atas dan bahwa dia telah minta perhatian pihak militer bahwa dia dalam hal ini dilindungi oleh immuniteit parlementer.”  

Janneke juga meminta kepada ketua DPR untuk membantu pembebasan suaminya dengan segera, “mengingat bahwa penangkapannya semata-mata dilakukan berhubung dengan pekerjaan parlementernya.”

Setelah mendekam di penjara selama satu minggu, Princen akhirnya dibebaskan berkat bantuan dari Abdul Harris Nasution, Djuanda, dan beberapa menteri. Jenderal Nasution adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang juga pendiri partai IP-KI.

Pembebasan Princen belum cukup memuaskan. Dalam rapat Panitia Permusyawaratan DPR tanggal 11 Februari 1958, Arifin memperingatkan pemerintah agar segera memberikan penjelasan. Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Kolonel Hidajat Martaatmadja kemudian mengirim surat kepada KSAD tanggal 20 Februari 1958 untuk segera menjawab pertanyaan Princen dan Arifin. Namun, surat ini tak beroleh jawaban.  

Presiden Sukarno menjenguk korban Peristiwa Cikini di Rumah Sakit Umum Pusat (Pedoman, 4 Desember 1957 dan Indonesia Raya, 5 Desember 1957).

Dan Terjadi Lagi

Setelah dibebaskan, Princen melanjutkan aktivitas politiknya sebagai anggota DPR. Para pelaku pelemparan granat, yang terkait dengan DI/TII Kartosoewirjo, diadili dan dijatuhi hukuman. Namun alarm yang disampaikan Princen mengenai keamanan presiden seolah diabaikan begitu saja. Akibatnya, setelah Peristiwa Cikini, setidaknya ada enam kali upaya pembunuhan terhadap Presiden Sukarno.  

Tahun 1962 menjadi titik terendah terkait pengamanan presiden. Percobaan pembunuhan terjadi di Jalan Cenderawasih Makassar yang dilintasi rombongan presiden pada 7 Januari 1962. Para pelaku menamakan diri Resimen Pertempuran Koordinator Angkatan Darat Revolusioner (RPKAD Rev). Lalu terjadi lagi pada 9 Maret 1962, bertepatan dengan Hari Raya Idulfitri, yang dilakukan oleh sembilan anggota DI/TII. Tak menyerah, para anggota DI/TII kembali berupaya membunuh presiden saat salat Iduladha di Istana pada 14 Mei 1962.

Saat itu, Princen dalam perjalanan ke Sukabumi. Mendengar berita dari radio mobil, Princen meyakini dirinya akan ditangkap lagi. “Lihat saja, aku tentu ditangkap lagi,” ujar Princen dalam otobiografinya.

Benar saja, keesokan harinya Princen dibawa ke markas pusat dinas rahasia untuk diperiksa dan dipenjara.  

“Apa yang aku ketahui tentang percobaan pembunuhan itu? Siapa yang aku kenal dari para pembangkang daerah yang sering keluar-masuk di kamp penampungan? Aku tak bisa memungkiri bahwa aku mengenal banyak tokoh di negeri ini dan pengakuan itu mereka gunakan untuk memasukkan aku lagi ke dalam tahanan.”  

Kali ini, Princen ditahan bukan karena mempertanyakan soal pengamanan presiden melainkan kritiknya terhadap Demokrasi Terpimpin. Dia terlibat dalam Liga Demokrasi, yang dibentuk oleh tokoh-tokoh partai politik oposisi tahun 1960 dan dibubarkan setahun kemudian. Princen ditahan selama empat tahun.  

Setelah percobaan pembunuhan tersebut, Presiden Sukarno akhirnya membentuk Resimen Tjakrabirawa pada 6 Juni 1962. Resimen ini merupakan pasukan gabungan dari TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara serta Kepolisian yang bertugas khusus menjaga keamanan presiden.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6698d30b63162ec52f278c04