Suka duka prajurit kita di tengah perang gerilya. Kalau mujur, mereka dapat banyak makanan dari rakyat. Tapi, kalau lagi apes, bersiaplah kena omelan pemilik kebun.
Ilustrasi prajurit TNI mengambil pisang di kebun rakyat. (M.A. Yusuf/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
MENDIANG Mayor (Purn.) Sumbat Sembiring berkisah tentang perjuangannya sewaktu ikut Perang Kemerdekaan. Dia angkat senjata sejak 1945, di usia 15 tahun, di kampungnya di Pancur Batu, sekira 20 km dari Medan. Semula Sumbat menjadi anggota Laskar Napindo pimpinan Selamat Ginting. Saat itu, Kota Medan sudah dikuasai tentara Belanda. Kelompok laskar berpencar-pencar melancarkan gerilya.
“Dengan kita bergerilya ini, itulah kekalahan Belanda,” ujar Sumbat kepada saya pada 2015 silam. Usianya waktu itu 85 tahun dan menjabat sebagai ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) di Medan.
Menurutnya, tentara Belanda acapkali direpotkan oleh pejuang Indonesia yang bergerilya di front Medan Area. Saban kali berpatroli dari Medan ke Pancur Batu, banyak tentara Belanda yang jadi korban bidikan tembakan pasukan laskar. Begitu pula dengan rute patroli dari Medan ke Binjai. Paling tidak iring-iringan tentara Belanda bakal mendapat gangguan sebagaimana ciri khas perang gerilya “tembak dan lari”. Sumbat juga menekankan pentingnya peran rakyat dalam mendukung pejuang bergerilya.
“Kita tidak mau perang total. Sampai sana (di tempat yang aman, red.) nanti ada ubi orang kita masak, baru kita makanlah,” tutur Sumbat dengan logat Karonya yang kental. “Waktu itu tidak ada kita pikir mau sekolah, entah jadi mahasiswa. Yang penting usir habis penjajahan Belanda.”
MENDIANG Mayor (Purn.) Sumbat Sembiring berkisah tentang perjuangannya sewaktu ikut Perang Kemerdekaan. Dia angkat senjata sejak 1945, di usia 15 tahun, di kampungnya di Pancur Batu, sekira 20 km dari Medan. Semula Sumbat menjadi anggota Laskar Napindo pimpinan Selamat Ginting. Saat itu, Kota Medan sudah dikuasai tentara Belanda. Kelompok laskar berpencar-pencar melancarkan gerilya.
“Dengan kita bergerilya ini, itulah kekalahan Belanda,” ujar Sumbat kepada saya pada 2015 silam. Usianya waktu itu 85 tahun dan menjabat sebagai ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) di Medan.
Menurutnya, tentara Belanda acapkali direpotkan oleh pejuang Indonesia yang bergerilya di front Medan Area. Saban kali berpatroli dari Medan ke Pancur Batu, banyak tentara Belanda yang jadi korban bidikan tembakan pasukan laskar. Begitu pula dengan rute patroli dari Medan ke Binjai. Paling tidak iring-iringan tentara Belanda bakal mendapat gangguan sebagaimana ciri khas perang gerilya “tembak dan lari”. Sumbat juga menekankan pentingnya peran rakyat dalam mendukung pejuang bergerilya.
“Kita tidak mau perang total. Sampai sana (di tempat yang aman, red.) nanti ada ubi orang kita masak, baru kita makanlah,” tutur Sumbat dengan logat Karonya yang kental. “Waktu itu tidak ada kita pikir mau sekolah, entah jadi mahasiswa. Yang penting usir habis penjajahan Belanda.”
Pada 1948, setelah Perjanjian Renville, Sumbat bergabung dengan TNI, di bawah komando Resimen IV Divisi X pimpinan Letkol Djamin Gintings. Sumbat ditempatkan di kompi perusak yang bertugas membawa alat-alat peledak. Sumbat mengenang ketika dirinya pernah meledakkan jembatan untuk memperlambat laju tentara Belanda. Kalau sudah begitu, tentara Belanda biasanya melakukan operasi pembersihan ke kampung-kampung. Rakyat diancam, bahkan diintimidasi dengan kekerasan untuk memberitahu keberadaan pasukan Kiblik.
“Sengsara kalilah rakyat ini. Ada ubinya kita habisin, ada berasnya kita habisin. Tapi, kita minta kok. Dikasih. Mereka rela kita makan di situ. Sudah siap kita makan, kita pergilah. Jangan kita lama di situ, datang pulak nanti tentara Belanda, mampus kita,” terangnya sambil tergelak.
Waktu itu tidak ada kita pikir mau sekolah, entah jadi mahasiswa. Yang penting usir habis penjajahan Belanda.
Setelah Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua, Sumbat bersama kompinya bergerilya di Kutacane, Aceh Tenggara. Selain senjata, bekal yang ada padanya hanyalah dua setel pakaian dan garam. Apa saja bahan makanan yang ditemui selama gerilya, asalkan sudah kena garam niscaya bakal lebih terasa nikmat.
Bertempur sambil gerilya mengharuskan mereka menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Logistik kadang menipis. Makanan serba terbatas, bahkan tiada sama sekali. Kalau sudah begitu, makan kedebong pisang yang biasa ditemui di kebun-kebun rakyat jadi santapan lumrah bagi Sumbat dan kawan-kawan seperjuangannya. Yang penting ada energi untuk meneruskan perjuangan bergerilya.
“Lubangi batangnya di sana-sini, kasih garam, bakar. Kalau selesai masak, kita buka, lalu makan. Enak itu,” jelas Sumbat.
Sumbat paling girang bila singgah di kebun rakyat yang menanami jelok (labu). Baginya, labu adalah makanan mewah di tengah perang. Cara mengolahnya pun terbilang sederhana. Labu kuning yang sudah matang dilubangi, kemudian dimasukkan garam. Labu yang sudah digarami bagian dalamnya itu lantas dibakar di atas api.
“Baru tahu aku di situ. Rupanya yang enak ini labu kuning. Paling enak ini. Rakyat yang banyak menanam di kebunnya. Dikasihnya itu. Tak usah kau kasih apa-apa, sudah enak kali lah itu,” demikian kisah Sumbat yang wafat 11 Januari 2021 silam.
Letnan Jenderal TNI Djamin Gintings. (Repro Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir).
Namun, pengalaman apes justru dirasakan oleh Djamin Gintings, komandan Resimen IV. Bersama anggota Markas Resimen IV, Djamin Gintings hilir-mudik naik-turun bukit setelah Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua pada akhir 1948. Mereka bergerilya melalui sawah, ladang, kebun jeruk, hutan-hutan, dan keluar-masuk kampung.
Pada 31 Maret 1949, Djamin Gintings bersama pasukannya berada di Tanjung Morawa, Deli Serdang, sekira 25 km dari Medan. Seperti Medan, kawasan Tanjung Morawa di masa kolonial merupakan lahan perkebunan tembakau. Rombongan Djamin Gintings beristirahat di gubuk di tengah-tengah perkebunan tembakau. Di dalam pondok, pasukannya mendapati dua tandan pisang yang telah matang. Mata mereka saling berpandangan, pertanda lambung minta diisi dengan apa yang baru saja dilihat.
“Tentunya saja pisang ini dengan segera diserbu oleh anggota-anggota, karena sebenarnya sudah agak lama juga tak bertemu dengan pisang, apalagi pisangnya masak tua,” tutur Djamin Gintings dalam buku hariannya yang diterbitkan berjudul Bukit Kadir.
Pada keesokan hari, datang seorang ibu bersama seorang anak gadisnya. Si ibu itu meronta seketika begitu melihat pisangnya telah habis. Hanya kulit-kulit pisang yang tampak berserakan di luar pondok. Naik pitam si ibu pemilik kebun pisang. Dimaki-makinya pasukan Djamin Gintings. Terus-menerus dia melontarkan perkataan yang tidak sedap di dengar telinga. Anak gadisnya yang malu berusaha menenangkan sang ibu.
“Enggo me nande, enggo me nande,” katanya dalam bahasa Karo yang artinya, “Sudahlah ibu, sudahlah ibu.” Namun, sang ibu tidak menghiraukan anak gadisnya.
Djamin Gintings jadi iba melihat raungan ibu pemilik pisang. Namun, dia juga memahami kondisi anak buahnya yang sedang kelaparan. Djamin Gintings lantas memerintahkan ajudannya Letnan Iwan Matsum untuk membereskan keadaan. Pada waktu itu, Letnan Iwan membawa sejumlah uang gulden Belanda dari Divisi X untuk dana-dana perjalanan Resimen IV di daerah di mana uang Belanda berlaku. Sebagian dari uang itu diberikan kepada ibu pemilik pisang sebagai ganti rugi atas pisangnya yang dimakan anak buah Djamin Gintings.
“Karena Letnan Iwan Matsum memberikan tidak banyak, maka dianggapnya Letnan ini terlampau pelit,” ungkap Gintings.
Kendati demikian, Djamin Gintings tidak memandang ibu pemilik pisang dengan rasa jengkel. Pisang itu memang sengaja disembunyikan pemiliknya menunggu hari pekan tiba di pasar Tiganderket, Tanah Karo. Menurut Djamin Gintings, ibu itu barangkali dalam keadaan kesulitan uang. Itulah sebabnya dia tidak memboyong pisangnya ke rumah, takut diserbu oleh anak atau cucu-cucunya. Alih-alih peristiwa memalukan, Gintings dalam catatan hariannya menuliskan kejadian itu sebagai sebuah pengalaman berkesan bersama anak buahnya di tengah perang gerilya menghadapi Belanda.*