“Kalau Soal Kemanusiaan Bung Karno Lebih Hebat”

Wawancara dengan Farid Prawiranegara tentang sepak terjang ayahnya, Sjafruddin Prawiranegara, petinggi Masyumi yang bergabung dengan PRRI.

OLEH:
Bonnie Triyana
.
“Kalau Soal Kemanusiaan Bung Karno Lebih Hebat”“Kalau Soal Kemanusiaan Bung Karno Lebih Hebat”
cover caption
Farid Prawiranegara. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

RUMAH bercat putih di bilangan Tulodong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu tak mudah ditemukan. Tak ada nomor rumah di pintu pagarnya. Ia terapit dua rumah tetangganya yang lebih terlihat dominan. Setelah beberapa kali menekan tombol bel yang terselip di sisi kiri dalam tembok pagar, sang tuan rumah keluar membuka pintu. Dia sendiri. “Ibu sedang keluar, dia baru pulang dari Melbourne”. 

Empunya rumah, Farid Prawiranegara, anak keempat Sjafruddin Prawiranegara. Ayahnya adalah petinggi Partai Masyumi. Sjafruddin pernah jadi ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) saat Sukarno ditahan Belanda dan gubernur Bank Indonesia sebelum bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pernah dicap sebagai pemberontak, Sjafruddin mendapat gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah pada 10 November 2011. 

RUMAH bercat putih di bilangan Tulodong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu tak mudah ditemukan. Tak ada nomor rumah di pintu pagarnya. Ia terapit dua rumah tetangganya yang lebih terlihat dominan. Setelah beberapa kali menekan tombol bel yang terselip di sisi kiri dalam tembok pagar, sang tuan rumah keluar membuka pintu. Dia sendiri. “Ibu sedang keluar, dia baru pulang dari Melbourne”. 

Empunya rumah, Farid Prawiranegara, anak keempat Sjafruddin Prawiranegara. Ayahnya adalah petinggi Partai Masyumi. Sjafruddin pernah jadi ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) saat Sukarno ditahan Belanda dan gubernur Bank Indonesia sebelum bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pernah dicap sebagai pemberontak, Sjafruddin mendapat gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah pada 10 November 2011. 

Kepada Bonnie Triyana, M.F. Mukthi, dan juru foto Micha Rainer Pali dari Historia, Farid berkisah mengenai sepak terjang ayahnya. Dia juga menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun ikut gerilya keluar-masuk hutan Sumatra karena Masyumi, partai ayahnya, berseberangan dengan pemerintahan Sukarno. Berikut petikan wawancaranya pertengahan November lalu.

Ayah Anda tokoh Masyumi. Apa yang membuatnya melawan Sukarno?

Ada satu hal yang sering terloncat soal kenapa Masyumi berhadapan dengan Bung Karno? Masyumi menilai Bung Karno telah melanggar UUDS 1950.

Saat itu demokrasi parlementer, presiden tak punya kekuasaan eksekutif. Tapi Bung Karno tak sabar dengan pertengkaran partai-partai lantas mengangkat dirinya menjadi formatur kabinet. Ketika itu kita ribut sama PKI, Bung Karno kemudian mengambil sikap menentang kita, mengambil sikap menguasai semuanya, kembali ke UUD 1945, membubarkan parlemen, kemudian mengangkat dirinya menjadi presiden-perdana menteri. Tapi kemudian dia bilang: nggak, presiden saja. Perdana menterinya diangkat sendiri, yaitu Djuanda. Kenapa dia angkat Djuanda? Karena nggak ada yang menang pemilihan umum. 

(Catatan: sejak 1957 Presiden Sukarno sering kali memanggil pemimpin partai, menawarkan konsepsinya membentuk kabinet berkaki empat yang terdiri dari PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Kemudian dia menggagas pembentukan DPR-GR yang terdiri dari perwakilan partai Nasakom dan mengusulkan penghapusan demokrasi parlementer) 

Bagaimana sikap Pak Sjaf terhadap Presiden Sukarno? 

Saya kadang-kadang suka nggak ngerti ayah saya ini. Seharusnya dia benci sama Bung Karno. Ketika Bung Karno digulingkan oleh Soeharto, dia minta pemerintah Orde Baru mengadili Bung Karno. Kemudian dia, Pak Roem, Pak Kasman (Kasman Singodimedjo, red.) dan beberapa lawyer orang Masyumi yang tua-tua, membentuk tim Pembela Bung Karno. Kenapa? Yang mereka inginkan adalah kebenaran. Sebenarnya gimana sih ceritanya Bung Karno ini, dia sebenarnya berkhianat kepada kita apa nggak. Ini hal-hal yang menurut saya nggak pernah terbuka. Kenapa kok Soeharto kemudian bilang mikul duwur mendhem jero. Itu sama sekali nggak membuka. Dan itu kemudian dijadikan dasar untuk berikutnya, ketika Soeharto turun, SBY melakukan hal yang sama.

Mulai kapan ayah Anda bergabung dengan PRRI di Sumatra? Bagaimana keadaan saat itu?

Di Jakarta ini, anytime kita bisa dilempar granat. Orang melempar granat itu nggak ada urusannya. Yang kita tahu, Pak Roem (Mohamad Roem, red.) rumahnya digranat, Pak Prawoto (Prawoto Mangkusasmito, red.) rumahnya digranat. Itu sudah dekat-dekat rumah semua. Rumah kita diancam berkali-kali mau digranat, tapi nggak kesampaian. Ketakutan itu luar biasa. Sehingga ayah memutuskan kita pergi ke Palembang. Kebetulan adik ipar ibu kerja di Stanvac. Tahun 1958 kita menyusul ke Palembang. Ceritanya piknik ke luar kota. Kita tinggal di sana. Ayah kemudian kirim surat buat Bung Karno dari Pendopo (sebuah kecamatan di Muara Enim, Sumatra Selatan, red.). Surat itu menceritakan Bung Karno melanggar konstitusi. 

Apakah waktu itu sudah menyatakan diri bergabung dengan PRRI?

Jadi dari Palembang itu kita dengar dari radio (berita) proklamasi PRRI, deklarasi sebetulnya. Ayah pun nggak ada di situ. Karena dari Palembang dia ke Sungai Dareh. Dari Sungai Dareh baru dia ke Sumatra Barat. Kan deklarasinya (PRRI) di Kota Padang. Setelah dari situ kita agak nggak ngerti kenapa ayah pisah dari kita. Kemudian kita menyusul ke Sumatra Barat, tahun itu juga (1958). Tapi setelah itu ayah ke Padang, kita menyusul ke Padang. Sampai ke Padang, kita ke Bukittinggi. Tidak lama di Bukittinggi itu, di bawah Bukit Singgalang, kemudian kita ke Payakumbuh. Jembatan-jembatan sudah dihancurkan oleh PRRI, supaya tentara (TNI) nggak bisa masuk. 

Sjafruddin Prawiranegara (kedua dari kanan) bersama Presiden Sukarno (tengah) dan Fatmawati (kanan) berfoto bersama di depan Gedung Agung, Yogyakarta, 1949. (IPPHOS/ANRI).

Apa benar kalau Masyumi dapat sokongan dari Amerika Serikat untuk memerangi komunis?

Begini, ayah itu waktu sebelum berangkat ke Padang (bergabung dengan PRRI, red.), Bank Indonesia dikuras emasnya sama dia. Emas batangan dibawa ke Padang. Ketika di Padang, kita tahu bahwa kita akan dapat bantuan (senjata) dari Amerika. Yang dia nggak tahu, kita nggak perlu bayar. Itu rupanya deal antara CIA sama Soemitro (Soemitro Djojohadikusumo, red.). Tapi ayah nggak mau kalau kita nggak bayar.

Jadi tentara dikasih emas untuk bayar senjata. As far as his concern, “saya sudah kasih uangnya kok, tinggal bayarin aja.” Nggak mungkin lebih, nggak mungkin kurang. Cukup itu uang untuk beli senjata sebanyak itu. Tapi apakah itu kemudian dibelikan senjata atau nggak, kita nggak tahu. Begitu pulang dari PRRI/Permesta, nomor satu (yang dilakukan ayah) adalah kembalikan sisa emas yang ada ke Bank Indonesia. Tapi yang lain-lain nggak pernah kembalikan. 

Jadi bantuan uang Amerika lewat Soemitro nggak pernah ke bawah?

Saya nggak tahu apakah uang yang jatuh ke Mitro itu sampai ke bawah apa nggak. Yang kita dengar terakhir adalah (uang itu) jadi Hotel Sari Pan Pacific (terletak di Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat, red.). Itu kan kejadiannya tahun 1958. Jadi pikiran ayah saya, uang itu sudah diserahkan ke Amerika buat bayar senjata. Kenyataannya nggak. Itu salah satu hal yang saya selalu perdebatkan sama ayah: percaya sama orang itu, orang itu nipu. Ayah saya kadang-kadang suka polos saja. 

Kemudian waktu itu siapa yang memutuskan untuk ikut ayah Anda bergerilya? 

Yang luar biasa ketika itu adalah ibu. Karena ibu yang mendukung sepenuh hati, kita semua di-brain wash sama ibu dan ayah. 

Bapak-bapak kita itu luar biasa. Nggak ada duanya! Mana ada kejadian begitu sama Pak Harto? Tapi sama Bung Karno begitu. Politik boleh beda, tapi anak-istri nggak boleh terlantar.

Waktu itu berapa usia Anda? Bagaimana dengan saudara-saudara yang lain?

Saya waktu itu umur sepuluh tahun, kira-kira. Sudah cukup ingat. Kita delapan (bersaudara). Kita ikut semua (bergerilya), sampai yang kecil juga ikut. Yazid itu umur enam tahun, yang paling kecil. Bayangin, masih enam tahun begitu ikut ke hutan (bergerilya)! Dia nggak mau diajak pulang. Lantas ditanya kenapa nggak mau pulang? Dia jawab, “Kalau kita pulang kan kalah ayah. Ayah nggak boleh kalah dari Bung Karno.” 

Bagaimana dengan sekolah Anda dan saudara-saudara selama ikut keluar masuk hutan? 

Total nggak sekolah walaupun kita ada guru. Jadi di kampung-kampung itu kita sekolah sebentar. Ada sekolah kampung, kayak sekolah rimba sekarang ya. Kemudian waktu turun dari gunung, di Padang Sidempuan kita masuk sekolah, beda dua tahun karena kita nggak sekolah dua tahun. Jadi waktu kita pulang ke Jakarta, saya mestinya sudah SMA kelas 2, tapi saya baru masuk SMP. Semua kita berdelapan. Tapi nggak gila aja udah bagus. 

Kapan turun gunung dan berhenti ikut gerilya?

Tahun 1963. Waktu itu sudah kepepet. Posisi waktu itu di Mahat, daerah Riau. Sebetulnya waktu itu ada perundingan, ada Kolonel Hasibuan diutus oleh ayah untuk menemui Abdul Haris Nasution. Ketika itu Bung Karno lagi pergi ke Jepang.

Jadi kesempatan itu dipergunakan untuk perundingan sama Abdul Haris Nasution. Nasution bilang begini: kita tentara nggak suka PKI, tapi pada saat yang sama kita nggak suka juga kalau Bung Karno digulingkan. Oleh sebab itu kita harus bekerjasama ini, bagaimana caranya supaya mengusir PKI (sekaligus) memenangkan kita. Nasution berjanji akan membela bapak-bapak ini (pemimpin PRRI, red.). Apalagi kemudian dia juga yang mengusulkan kepada Bung Karno untuk memberikan amnesti, abolisi. Setelah amnesti-abolisi diberikan, tetap ditangkap juga. 

Presiden Sukarno melantik Sjafruddin Prawiranegara sebagai menteri keuangan, 1950. (ANRI).

Ketika ayah Anda ditahan, bagaimana keadaan di rumah?

Ada sahabat-sahabat ayah yang membantu. Ketika ayah ditahan memang berantakan. Anak-anaknya dititipkan ke saudara-saudara. Saya dititipkan di salah satu ponakannya ayah. Adiknya ayah menjaga kakak saya. Jadi kita dipisah-pisah, kecuali kakak saya yang paling tua dan dua anak yang paling kecil, laki-laki, Rasid sama Yazid. Mereka tinggal di Jalan Pattimura, di rumahnya Bapak Zainal Abidin Ahmad, ketua fraksi Masyumi di Konstituante. Jadi ibu dapat garasi sama kamar pembantu. Garasi diubah jadi ruang tamu. 

Bagaimana dengan sikap penguasa? Apakah ada intimidasi dari penguasa saat itu? 

Waktu itu, pernah ada intel dari Biro Pusat Intelijen (BPI) pimpinannya Dr. Soebandrio. Mereka meminta agar Ibu Zainal nggak lagi memberi tumpangan buat keluarga kami. Kalau masih memberi tempat tinggal kepada keluarga Sjafruddin, rumah akan dibeslag (disita, red.). Kebetulan kakak saya yang nomor dua, Pipi, itu berteman sama Erik Leimena, anak Waperdam Leimena. Pipi ditemani kakak saya yang lain, Icah, nekat pergi ke rumah Waperdam Leimena, alasannya mau ketemu Erik. Sampai di rumahnya, Erik sedang keluar. Tapi dia menunggu. Kemudian Pak Leimena waktu itu bangun tidur siang dan kaget liat Pipi. Dia ceritakan semua yang terjadi. Lewat bantuan Leimena, Pipi bisa bertemu Soebandrio keesokan harinya. Kemudian Soebandrio menelepon Gubernur BI Jusuf Muda Dalam, minta agar rumah keluarga Sjafruddin yang disita BI dikembalikan. Padahal itu rumah punya kakek saya, bukan rumah ayah saya. Berkat Oom Leimena dan Soebandrio, mereka berdua konspirasi mengembalikan rumah kami. Rupanya Bung Karno dengar. Padahal, Oom Leimena udah bilang sama kakak saya, “Awas kamu cerita-cerita. Bilang sama ayah, jangan cerita-cerita! Kalau cerita, kita semuanya grrkkk (sambil mempraktikkan leher digorok, red.).”

Setelah Bung Karno mendengar hal itu apa yang dia lakukan?

Suatu pagi dia makan pagi, bersama tokoh nasional. Salah satunya Dasaad, kita panggilnya Opa Dasaad. Dasaad Musin Concern itu baru dapat keagenan Mazda kotak untuk Asian Games. Saat itu Bung Karno bilang, “Eh, itu Lili... Lili...”, begitu kata Bung Karno menyebut nama panggilan ibu saya, “itu nggak punya mobil. Padahal suaminya kita tahan. Jadi dia ke mana-mana kasian juga. Itu Leimena sama Bandrio kasih sembilan bahan pokok sama duit. Kita kasih dua mobil ya. Anda kan dapat keagenan Mazda kotak itu, tolong kasih dua mobil sama Lili.” 

Bapak-bapak kita itu luar biasa. Nggak ada duanya! Mana ada kejadian begitu sama Pak Harto? Tapi sama Bung Karno begitu. Politik boleh beda, tapi anak-istri nggak boleh terlantar. Dia pula yang ngasih mobil. Kita kan bingung, dari mana ini. Baru belakangan Opa Dasaad kasih tahu kalau mobil itu dari Bung Karno. Ini yang harus dicontoh sama anak-anak muda sekarang, jangan hendaknya masalah politik menjadikan silaturahmi itu putus sama sekali. Banyak orang bilang Soeharto hebat. Saya bilang, kalau soal kemanusiaan sih Bung Karno lebih hebat. 

Menurut Anda apa yang membedakan Partai Masyumi dengan partai lainnya? Khususnya partai yang berideologi Islam?

Masyumi itu kosmopolitan. Nggak norak. Contoh, (kader) Masyumi tidak pernah bilang beristri empat itu haram. Tidak pernah mengatakan nggak boleh beristri empat. Jadi boleh aja. Tapi, tokoh Masyumi nggak ada satu pun yang beristri empat. Itu bedanya sama orang. Untuk mereka itu masalah pribadi.*

Majalah Historia No. 16 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65c7499fa5c750d90ceeecd6