Kesaksian eks tentara Jepang tentang ianfu dan penyesalannya ikut dalam Perang Pasifik. Wawancara dilakukan Koichi Kimura sebelum Mitsuhiro Tanaka meninggal dunia tahun 1991.
Penobatan Kaisar Hirohito tahun 1928. (Wikimedia Commons).
Aa
Aa
Aa
Aa
MENANG jadi arang, kalah jadi abu. Perang bukan saja menyisakan kisah pedih bagi pihak yang diserang. Sesungguhnya, pihak penyerang pun merupakan korban secara tidak langsung, korban dari kepentingan politik terselubung penguasa.
Ketika masih tinggal di Jepang, Mitsuhiro Tanaka berprofesi sebagai penebang pohon. Setelah mendapat panggilan wajib militer, dia dilatih di Manchuria (Tiongkok) pada usia 20 tahun. Dia kemudian ditugaskan sebagai ahli mesin kapal perang di Indonesia.
Ketika Jepang kalah perang, Tanaka datang ke kota Magelang, lalu memutuskan tinggal dan menikah dengan perempuan Tionghoa. Tanaka beralasan, waktu itu kapal yang mengangkuti tawanan perang sudah tak ada lagi. Seandainya pulang pun, dia yakin akan dibunuh Sekutu.
MENANG jadi arang, kalah jadi abu. Perang bukan saja menyisakan kisah pedih bagi pihak yang diserang. Sesungguhnya, pihak penyerang pun merupakan korban secara tidak langsung, korban dari kepentingan politik terselubung penguasa.
Ketika masih tinggal di Jepang, Mitsuhiro Tanaka berprofesi sebagai penebang pohon. Setelah mendapat panggilan wajib militer, dia dilatih di Manchuria (Tiongkok) pada usia 20 tahun. Dia kemudian ditugaskan sebagai ahli mesin kapal perang di Indonesia.
Ketika Jepang kalah perang, Tanaka datang ke kota Magelang, lalu memutuskan tinggal dan menikah dengan perempuan Tionghoa. Tanaka beralasan, waktu itu kapal yang mengangkuti tawanan perang sudah tak ada lagi. Seandainya pulang pun, dia yakin akan dibunuh Sekutu.
Keluhan Ianfu
Tanaka tahu perempuan-perempuan Indonesia dijadikan pemuas seks militer Jepang di Magelang. Mereka ditempatkan di sekitar 20 rumah yang dikelola orang lokal. Khusus untuk militer, ada ianjo di Semarang dan Surabaya. Di Surabaya dibangun banyak ianjo karena basis Kaigun (Angkatan Laut). Sedangkan di Flores terdapat dua rumah yang dibangun militer Jepang. Perempuan-perempuan dari Jawa dikirim dan ditempatkan di sana. Setelah satu bulan, mereka dipindahkan ke Timor Leste atau pulau-pulau lain dan dikembalikan ke Flores setelah dua atau tiga bulan kemudian.
Usia mereka 15–20 tahun. Kebanyakan perempuan dari Manado karena berkulit putih mirip perempuan Jepang. Satu ianjo diisi sekitar 50 perempuan. Atas perintah militer Jepang, gonzoku (sipil yang bekerja untuk militer) mengelola fasilitas itu. Tanaka ditugaskan mengangkut tentara, sedangkan pekerjaan mengangkut perempuan dilakukan petugas lain. Untuk mengangkut perempuan-perempuan, tentara Jepang memakai kapal kayu yang mampu memuat sekitar 500 orang.
Tanaka menduga perempuan-perempuan itu tak setuju menjadi pemuas seks karena ketika dia kunjungi ada yang menangis. Dia sempat bertanya kepada perempuan itu, “Kenapa menangis? Bukankah sudah dibayar dengan uang? Bukankah sudah ada perjanjian?”
Sembari sesenggukkan perempuan itu menjawab, “Seharusnya saya tak bekerja seperti ini. Saya datang dari tempat yang jauh bukan untuk menjadi seperti ini. Kenapa saya harus melayani tentara Jepang sehari 10 sampai 20 orang. Saya ditipu. Saya tidak dapat menerima pekerjaan semacam ini.”
Namun, menurut Tanaka, di antara mereka ada yang menyukai profesi ini, karena ada perempuan yang tersenyum dan mendekati tentara Jepang (Koichi Kimura yang mewawancarai Tanaka menyatakan bahwa Tanaka tak memiliki perspektif gender).
Ditipu Kaisar
Tanaka merupakan satu dari sekitar 2.000 tentara Jepang yang memilih tak pulang ke negerinya dan melawan perintah Kaisar Hirohito untuk menyerah kepada Sekutu. Dia mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan melibatkan diri dalam perang gerilya. Tanaka mengajarkan taktik berperang kepada kawan-kawan Indonesia seperti Sarbini, Ahmad Yani, dan Gatot Subroto. Jenderal Soedirman memberikan nama Indonesia: Soeroto.
Tanaka tak merasa kalah sekalipun militer Jepang kalah perang, karena dia ikut membangun Indonesia merdeka dengan kawan-kawan Indonesia. Dia tak menyesal melakukannya. “Saya boleh memuji diri sendiri, inilah orang Jepang yang patut dipuji. Kami, tentara Jepang telah ditipu oleh Kaisar, katanya dia adalah dewa, kita tidak bolah melihat dia. Kami sangat bodoh sampai ditipu. Kaisar harus bertanggung jawab atas perang ini.”
“Kalau saja saya paham sejak dulu masalah ini, saya tidak akan mau pergi ke Indonesia.”*