Engkin Zainal (EZ) Muttaqien dalam rapat umum rehabilitasi GPII, 1968. (Repro Ajengan dalam Perubahan Zaman: Biografi Dr. (HC) KH E.Z. Muttaqien).
Aa
Aa
Aa
Aa
ATAS dorongan sesepuh Masyumi, mahasiswa Sekolah Tinggi Islam yang didirikan Masyumi, mengonsep pembentukan organisasi pemuda Islam. Setelah matang, pada 2 Oktober 1945, mereka menghelat pertemuan di Balai Muslimin di Kramat Raya 19 Jakarta. Hadir tokoh-tokoh Islam seperti Wahid Hasyim (NU), Anwar Tjokroaminoto (PSII), dan Mohammad Natsir.
Dalam pertemuan itu diresmikanlah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Harsono Tjokroaminoto menjadi ketua pertamanya. GPII merekrut pemuda dan pemudi berusia 15–35 tahun, dan mengembangkan sayap khusus pemudi: GPII Putri.
Dalam anggaran dasar GPII, pengurus pusat berkedudukan di tempat Pengurus Besar Masyumi dan GPII berjuang di bawah pengawasan Masyumi. Namun, hubungan GPII dengan Masyumi mengalami dinamikanya sendiri.
ATAS dorongan sesepuh Masyumi, mahasiswa Sekolah Tinggi Islam yang didirikan Masyumi, mengonsep pembentukan organisasi pemuda Islam. Setelah matang, pada 2 Oktober 1945, mereka menghelat pertemuan di Balai Muslimin di Kramat Raya 19 Jakarta. Hadir tokoh-tokoh Islam seperti Wahid Hasyim (NU), Anwar Tjokroaminoto (PSII), dan Mohammad Natsir.
Dalam pertemuan itu diresmikanlah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Harsono Tjokroaminoto menjadi ketua pertamanya. GPII merekrut pemuda dan pemudi berusia 15–35 tahun, dan mengembangkan sayap khusus pemudi: GPII Putri.
Dalam anggaran dasar GPII, pengurus pusat berkedudukan di tempat Pengurus Besar Masyumi dan GPII berjuang di bawah pengawasan Masyumi. Namun, hubungan GPII dengan Masyumi mengalami dinamikanya sendiri.
“Pada permulaannya, GPII menyatakan dirinya onderbouw Partai Masyumi. Kemudian dalam kongresnya yang kedua, GPII menyatakan berdiri sendiri,” tulis Anwar Harjono dalam Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam.
Namun, pernyataan itu hanya dikeluarkan GPII, sementara Masyumi tak pernah menyatakan apapun tentang GPII. Masalah utamanya, belum ada kejelasan bentuk kerja sama keduanya.
Dinamika itu terlihat ketika Masyumi menarik menteri-menterinya dari Kabinet Amir Sjarifuddin terkait Perjanjian Renville. Segera GPII di Yogyakarta berdemonstrasi menuntut pengunduran diri Amir Sjarifuddin sebagai perdana menteri dan menuntut pembentukan kabinet presidensial. Sebaliknya, ketika beberapa orang Masyumi terlibat dalam Kabinet Hatta dan meneruskan perundingan, GPII ikut mengkritik Masyumi dan bahkan memilih lepas dari Masyumi.
Sejalan
GPII lebih banyak berkiprah di bidang pendidikan: menuntut pengakuan dan subsidi pemerintah terhadap sekolah-sekolah agama dan perubahan kurikulum agar pelajaran agama menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri.
Namun, GPII juga menyuarakan sikap politiknya. Ini terlihat dari pernyataan sikap GPII terkait persoalan dalam dan luar negeri: mendukung upaya Liga Arab dalam masalah Palestina serta perjuangan rakyat Aljazair, Mesir, dan Hongaria, menggalang kampanye pembebasan Irian Barat, mendesak Prancis menghentikan represi terhadap gerakan pembebasan Islam di Maroko, bahkan menuntut pembubaran Kabinet Ali Sastroamidjojo.
GPII juga menyesalkan keputusan NU meninggalkan Masyumi, bahkan menuntut pembentukan fraksi tunggal Islam di DPR hasil pemilihan umum 1955.
“Kegiatan GPII yang beragam memungkinkan GPII tampil sebagai perwakilan pemuda muslim Indonesia secara keseluruhan, dan bukan sekadar pergerakan pemuda Masyumi,” tulis Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral.
Masa Kritis
GPII mengalami masa kritis di bawah kepemimpinan E.Z. Muttaqien yang menggantikan Anwar Harjono sejak tahun 1956. Beberapa anggota GPII ditangkap dengan tuduhan terlibat upaya pembunuhan Presiden Sukarno dalam Peristiwa Cikini tahun 1957. Lima tahun kemudian, hal yang sama terjadi dalam Peristiwa Iduladha.
Melalui Keppres No. 139/1963, Presiden Sukarno melarang GPII termasuk cabang-cabangnya di seluruh Indonesia terhitung 30 hari setelah dikeluarkan keputusan tersebut pada 10 Juli 1963.
Alasannya, selain keterlibatan anggota GPII dalam dua upaya pembunuhan presiden, GPII tak pernah secara resmi menyalahkan atau menyesalkan perbuatan anggotanya. GPII juga dianggap tak pernah mendasarkan program kerjanya pada Manipol dan Sosialisme Indonesia.
Pada 1969, GPII direhabilitasi menjadi Gerakan Pemuda Islam (GPI), yang bertahan hingga sekarang.*