Kampung Indis Suasana Belandis

Indische Buurt didirikan sebagai penyangga ibukota Amsterdam. Permukiman ini diberi nama sebagai cara mengenang tanah jajahan Hindia Belanda.

OLEH:
Muhammad Yuanda Zara
.
Kampung Indis Suasana BelandisKampung Indis Suasana Belandis
cover caption
Indische Buurt dilihat dari udara. (Muhammad Yuanda Zara/Historia.ID).

ORANG Indonesia belum afdol ke Belanda kalau belum mengunjungi Amsterdam. Kunjungan ke Amsterdam pun dibilang belum sah bila belum mengunjungi Dam Square, distrik lampu merah, rumah Anne Frank, kanal bersejarah, dan tentu saja Rijksmuseum. Dari sekian tujuan wisata, ada sebuah tempat yang kerap terlewat oleh wisatawan, tetapi cukup menarik untuk dikunjungi, yakni Indische Buurt (Permukiman Hindia).  

Lantas apa istimewanya tempat itu? Pada daerah yang bisa dicapai sekira tujuh menit perjalanan kereta dari Stasiun Amsterdam Centraal ke arah timur Amsterdam tersebut kita akan menemukan nama jalan, lapangan, bahkan taman bermain anak berdasarkan nama kota atau pulau di Indonesia.  

Dilihat sepintas, orang akan menganggap wilayah permukiman seluas 147 hektar itu hanya area penyangga Amsterdam, tempat bermukim para pekerja dan mahasiswa. Namun, tempat tersebut berakar jauh ke masa silam, gabungan dari kisah perluasan pemukiman, kolonialisme Belanda, nasib orang Yahudi, serta kehadiran para imigran Maroko dan Turki dan mahasiswa dari Indonesia hingga Tiongkok.

ORANG Indonesia belum afdol ke Belanda kalau belum mengunjungi Amsterdam. Kunjungan ke Amsterdam pun dibilang belum sah bila belum mengunjungi Dam Square, distrik lampu merah, rumah Anne Frank, kanal bersejarah, dan tentu saja Rijksmuseum. Dari sekian tujuan wisata, ada sebuah tempat yang kerap terlewat oleh wisatawan, tetapi cukup menarik untuk dikunjungi, yakni Indische Buurt (Permukiman Hindia).  

Lantas apa istimewanya tempat itu? Pada daerah yang bisa dicapai sekira tujuh menit perjalanan kereta dari Stasiun Amsterdam Centraal ke arah timur Amsterdam tersebut kita akan menemukan nama jalan, lapangan, bahkan taman bermain anak berdasarkan nama kota atau pulau di Indonesia.  

Dilihat sepintas, orang akan menganggap wilayah permukiman seluas 147 hektar itu hanya area penyangga Amsterdam, tempat bermukim para pekerja dan mahasiswa. Namun, tempat tersebut berakar jauh ke masa silam, gabungan dari kisah perluasan pemukiman, kolonialisme Belanda, nasib orang Yahudi, serta kehadiran para imigran Maroko dan Turki dan mahasiswa dari Indonesia hingga Tiongkok.

Javastraat saat Koninginnedag atau peringatan hari lahir Ratu Belanda.

Pembentukan Kawasan Indische Buurt

Pembukaan kawasan di Amsterdam bagian timur ini dimulai pada abad ke-13, bersamaan dengan dibangunnya kanal St. Anthonisdijk (kini Zeeburgerdijk). Baru pada abad ke-17, abad keemasan Belanda, kawasan ini mendapat perhatian warga kota, saat mereka menjadikannya tujuan untuk pelesir. Bahkan, pelukis ternama Belanda, Rembrandt (1606–1669), membuat beberapa lukisannya saat mengunjungi tempat ini.  

Butuh sebuah revolusi industri untuk benar-benar menjadikan kawasan Indische Buurt ini hidup. Pada 1874, pemerintah membuka jalur kereta Amsterdam-Amersfoort yang melintasi salah satu bagian Zeeburgerdijk. Pembangunan jalur kereta diiringi dengan pembukaan akses transportasi lainnya, termasuk pelabuhan yang semakin sibuk di area pinggiran kawasan ini, seperti Oostelijk Havengebied.  

Kawasan Indische Buurt akhirnya terbentuk pada 1900, sebagai upaya pemerintah kota Amsterdam mengembangkan pemukiman baru setelah pusat kota semakin padat. Keinginan untuk mengabadikan koloni Belanda di Timur yang alamnya indah nan kaya dalam memori penduduk Belanda, mendorong pemakaian nama kota dan pulau Hindia Belanda di Indische Buurt.

Oosterpark di musim panas.

Suasana Ramai Citarasa

Kawasan pertama yang dibangun di Indische Buurt adalah Javastraat (Jalan Jawa), yang hingga kini masih menjadi urat nadi perekonomian warga Amsterdam Timur, dengan barisan warung kelontong, kios kebab, kafe, penjual roti, toko sayur, dan rumah potong halal. Uniknya, baik Jawa di Indonesia maupun Javastraat di Belanda, keduanya merupakan pusat perekonomian di kawasannya masing-masing, di mana sebagian besar uang beredar.  

Pada salah satu jalan paling multikultural di Belanda ini, dapat ditemui deretan kios sayur Turki Yakhlaf, rumah potong Maroko Lange Mes, atau toserba Tiongkok Rongseng. Jangan lupa singgah ke toko kelontong Suriname Man Li Ho. Pemiliknya, orang Suriname keturunan Tiongkok, mahir berbahasa Jawa, walau cuma satu kata: apik. Di tokonya beragam macam bahan makanan khas Indonesia bisa dibeli, mulai dari rempeyek, bumbu pecel, lontong, kecap, saos sambal sampai mi instan.  

Kawasan lain yang hampir sama tuanya dengan Javastraat adalah De Eerste dan Tweede Atjehstraat (Jalan Aceh Pertama dan Kedua) dan Makassarplein (Lapangan Makassar). Di Jalan Aceh pengunjung dapat menyaksikan rumah-rumah lama yang dikenal sebagai ikon perumahan Indische Buurt. Uniknya, hanya Acehlah, menurut Rogier Schravendeel dalam Indische Buurt: 2 wandelingen door 8 eeuwen geschiedenis, satu-satunya kota Hindia Belanda yang dijadikan nama dua jalan berbeda di Indische Buurt. Ini ada kaitannya dengan dua momen krusial dalam Perang Aceh, perang Belanda menghadapi perlawanan keras dari orang Aceh. Pertama, pada 1874 saat Perang Aceh pecah dan kedua pada 1914, kala perang akhirnya usai.

Tweede Atjehstraat.

Sementara itu, Makassarplein salah satu tempat terfavorit anak-anak dan remaja Indische Buurt menghabiskan waktu sorenya. Fasilitasnya lengkap dan beragam, mulai dari lapangan bola mini dengan rumput sintetis, lapangan basket, jungkat-jungkit hingga kolam pasir. Menariknya, Makassarplein awalnya dinamakan Niasplein (Lapangan Nias), merujuk kepada satu pulau kecil di Sumatra. Pembangunan perumahan di sini dimulai pada dekade 1920-an. Pusat keramaian seperti taman pun turut dibangun. Lama-kelamaan Niasplein menjadi ramai sehingga nama “Nias” dianggap terlalu kecil untuk sebuah pusat aktivitas yang tengah berkembang pesat. Maka, digantilah namanya dengan Makassarplein, yang saat itu melambangkan sebuah kota pelabuhan besar di Hindia Belanda.

Salah satu jalan di Indische Buurt yang tak boleh dilewatkan adalah Insulindeweg (Jalan Insulinde). Mengapa dinamakan dengan nama yang merujuk kepada kepulauan Indonesia dan bukan nama kota? Insulindeweg adalah jalan utama Indische Buurt yang ramai dengan lalu lalang orang dan kendaraan. Penggunaan istilah “Insulinde” terinspirasi dari Multatuli, orang pertama yang menyebut “Insulinde” melalui novelnya, Max Havelaar, yang terbit tahun 1860. Menurut Multatuli, Insulinde, yang merujuk kepada Hindia Belanda, adalah tanah yang prachtig (indah) dan rijk (kaya).

Sumatrastraat dan Palembangstraat.

Tak selesai sampai di situ, di Indische Buurt dapat ditemui nama jalan-jalan lainnya, antara lain Molukkenstraat (Jalan Maluku), Padangstraat (Jalan Padang), Djambistraat (Jalan Jambi), Madurastraat (Jalan Madura), Lampongstraat (Jalan Lampung), Soendastraat (Jalan Sunda), Semarangstraat (Jalan Semarang), Kramatweg (Jalan Kramat), Soembawastraat (Jalan Sumbawa), dan Gorontalostraat (Jalan Gorontalo). Selain pemukiman, di sini terdapat beragam fasilitas ibadah, sosiokultural, dan ekonomi seperti gereja, masjid, sekolah, kantor, toko, kantor pos, dan taman.  

Komposisi penduduk Indische Buurt mencerminkan keragaman etnis dan bangsa di Belanda: dari Eropa hingga Afrika, dari Asia hingga Karibia, dari Amerika hingga Somalia. Menurut data tahun 2011, hanya 33 persen penduduknya yang orang Belanda asli. Sisanya pendatang dari Maroko, Turki, Suriname, Antilen, dan lain-lain.  

Yang menarik, tidak semua penduduknya tahu apa makna dari nama jalan tempat mereka tinggal. Saya, yang lahir dan besar di Padang, tertarik bertanya kepada seorang mekanik Maroko yang tinggal di Padangstraat, apakah ia tahu apa dan di mana itu Padang. Ia menjawab tak tahu; bahkan, tentang Indonesia, paling jauh yang ia tahu hanyalah bahwa penduduk muslimnya banyak, bahwa Bali adalah destinasi wisata utamanya, dan bahwa nasi gorengnya enak. Cukup sampai di sana.  

Lampongstraat dan Padangstraat.

Ada banyak pilihan makanan di Indische Buurt. Yang praktis adalah sandwich ala Belanda di Sumatrastraat (Jalan Sumatra) dan kebab Turki di Javastraat. Kalau mau sedikit lebih berat, ada tom yum goong Thailand, masakan Irak atau makanan Tiongkok-Suriname, juga di Javastraat. Coba pula rendang Padang ala Belanda yang dijual di lemari pendingin supermarket Albert Heijn di Molukkenstraat.

Dulunya, di tempat di mana Albert Heijn Molukkenstraat ini berdiri ada sebuah sinagog Yahudi. Tempat ibadah itu dibangun oleh komunitas Yahudi Indische Buurt yang dibentuk tahun 1925, Rechouwous. Kegiatannya antara lain pengajaran agama dan gaya hidup Yahudi kepada ratusan orang Yahudi yang tinggal di Indische Buurt. Kesulitan finansial kemudian membuat lembaga ini mengurangi aktivitasnya. Pendudukan Belanda oleh Nazi tahun 1940 menghilangkan dengan seketika orang-orang Yahudi di Indische Buurt karena para penduduk Yahudi ini dideportasi ke kamp-kamp Nazi.

Javastraat saat musim dingin.

Transformasi Indische Buurt

Di Jalan Bali (Balistraat) dapat ditemui sekolah dasar yang bernama J.P. Coenschool. Nama sekolah ini memang diambil dari nama J.P. Coen (1587–1629), pendiri Batavia. Ironisnya, dia juga yang memerintahkan pemusnahan masyarakat Banda demi menguasai stok pala di sana. Meski Coen kemudian menjadi perdebatan, saat sekolah ini berdiri pada 1911, sosok Coen dianggap sebagai pahlawan bangsa Belanda yang berjasa dalam mempelopori dominasi ekonomi Belanda di Nusantara. Kini sekolah ini menjadi melting pot, baik bagi autochtoon (penduduk pribumi) maupun allochtoon (pendatang).  

Di sisi lain Balistraat ada kantor polisi, yang didirikan tahun 1989, saat Indische Buurt berada dalam salah satu fase terburuknya. Kala itu, penduduk aslinya pindah ke kawasan pemukiman modern yang baru tumbuh di luar Amsterdam. Rumah-rumah lama mereka kosong dan ditinggalkan begitu saja. Kriminalitas, jual beli heroin, dan prostitusi merajalela di Indische Buurt. Kawasan ini berubah menjadi dunia hitamnya Amsterdam.  

Pendirian kantor polisi di Balistraat dan usaha pemerintah untuk mengubah gambaran buruk Indische Buurt berbuah sekitar satu dekade kemudian. Awal era 2000-an adalah masa kelahiran kembali kawasan ini. Tandanya? Sebuah bangunan bernama Borneohof yang berlokasi di Borneostraat (Jalan Borneo). Bangunan 10 lantai setinggi 37 meter ini merupakan ikon baru Indische Buurt karena merepresentasikan pemukiman dan pusat aktivitas modern. Di bagian bawah ada perpustakaan, toko bunga, gym, dan kafe, sedangkan di bagian atas merupakan apartemen. Pada 2012, Borneohof bahkan memenangkan salah satu penghargaan arstitektur bergengsi, Amsterdamse Nieuwbouwprijs.

Pameran sejarah Indische Buurt di Perpustakaan Indische Buurt.

Dari Keti-koti sampai An Nasr Moskee

Seperti di berbagai kota besar di Eropa, musim panas di Amsterdam pun dipenuhi dengan festival. Bila menghadiri festival musik sudah terlalu biasa, festival budaya Afro-Belanda, Keti-koti, di Oosterpark mungkin patut dipertimbangkan. Festival ini diadakan pada Juli setiap tahunnya, menyuguhkan pertunjukan musik dan dansa ala Afrika dan Suriname.  

Lebih dari sekadar untuk menikmati matahari di musim panas, festival Keti-koti (verbroken ketenen atau rantai yang putus) ini membawa pesan budaya dan politik yang kental. Salah satu acaranya adalah upacara peringatan bebasnya Suriname dari perbudakan pada 1 Juli 1863. Pemrakarsa Keti-koti, NiNsee atau Institut Nasional Belanda untuk Perbudakan di Masa Lalu dan Warisannya, menghelat festival ini dengan tujuan memperingati penghapusan perbudakan di Belanda sekaligus merayakan kebudayaan Afro-Belanda.  

Kaum muslimin yang hendak menunaikan salat pun tak perlu risau. Di dekat persimpangan yang menuju ke Insulindeweg akan ditemukan Moskee (Masjid) An Nasr. Masjid yang sanggup menampung seribu jamaah itu dibangun pada 1995 oleh komunitas muslim asal Maroko. Mereka datang ke Belanda sebagai imigran pekerja sejak 1970-an. Saat ini mereka merupakan salah satu kelompok masyarakat mayoritas di Indische Buurt.  

Indische Buurt adalah buku hidup yang menyuguhkan cerita tentang satu milenium nasib manusia dari bermacam-macam tempat yang hidup di sana. Mengunjungi Amsterdam tanpa singgah ke Indische Buurt serupa mengunjungi Jakarta zonder napak tilas ke Oud Batavia (Kota Tua)!

Penulis adalah sejarawan dan staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Mendapatkan gelar sarjana di Universitas Gadjah Mada, gelar master di Universiteit Leiden, dan gelar doktor di Universiteit van Amsterdam.

Foto-foto oleh Muhammad Yuanda Zara

Majalah Historia No. 27 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6666744753bd09728f307112