Kampung-Kota Kolonial

Kampung tempat bermukim warga berpenghasilan rendah menjalin keakraban sosial dan menyusun siasat bertahan di kota. Tergusur oleh beragam alasan.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Kampung-Kota KolonialKampung-Kota Kolonial
cover caption
Kampung di bantaran kali di Glodok, Batavia, akhir abad 19. (Repro Scott Merrillees, Greetings from Jakarta: Postcard of a Capital 1900–1950).

DUA kelompok bentrok. Ratusan aparat merangsek ke permukiman padat penduduk di Kampung Pulo, Jakarta Timur, pada 20 Agustus 2015. Warga kampung mengadang dengan lemparan batu. Aparat membalas, melempar gas air mata. Warga memegang mata, menjerit perih, dan akhirnya menyingkir. Alat berat masuk kampung, merobohkan rumah-rumah warga Kampung Pulo di bantaran Kali Ciliwung.  

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, gubernur DKI Jakarta, mengatakan penggusuran bertujuan menormalisasi lahan milik negara di sekitar Kali Ciliwung. Ahok menilai permukiman di sana terlalu padat dan kumuh. Kondisi ini berdampak pada penurunan kemampuan Kali Ciliwung menampung air hujan. Akibatnya air kali meluap pada musim hujan, membanjiri Kampung Pulo dan sekitarnya. Ahok merelokasi warga ke rumah susun.

DUA kelompok bentrok. Ratusan aparat merangsek ke permukiman padat penduduk di Kampung Pulo, Jakarta Timur, pada 20 Agustus 2015. Warga kampung mengadang dengan lemparan batu. Aparat membalas, melempar gas air mata. Warga memegang mata, menjerit perih, dan akhirnya menyingkir. Alat berat masuk kampung, merobohkan rumah-rumah warga Kampung Pulo di bantaran Kali Ciliwung.  

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, gubernur DKI Jakarta, mengatakan penggusuran bertujuan menormalisasi lahan milik negara di sekitar Kali Ciliwung. Ahok menilai permukiman di sana terlalu padat dan kumuh. Kondisi ini berdampak pada penurunan kemampuan Kali Ciliwung menampung air hujan. Akibatnya air kali meluap pada musim hujan, membanjiri Kampung Pulo dan sekitarnya. Ahok merelokasi warga ke rumah susun.  

Warga kukuh menolak penggusuran kampung. Mereka berpendapat tanah Kampung Pulo milik mereka. Sah secara hukum berdasarkan Eigendom Verponding, sistem kepemilikan tanah zaman Belanda, dan Undang-Undang Agraria tahun 1960. Mereka menghuni kampung itu turun temurun sejak 1930-an. Selama itu mereka menciptakan lingkungan keakraban sosial sendiri. Bertahan hidup dengan segala cara dalam balutan kemiskinan dan ketidaksehatan lingkungan.  

Aparat pemerintah yakin masalah kemiskinan, ketidakteraturan, dan kepadatan di kota bersumber dari kampung. Pemecahannya dengan menggusur kampung. Upaya seperti ini bukan kali pertama. Pemerintah kolonial telah melakukannya berkali-kali.

Satu keluarga di kampung miskin kota. (Repro Scott Merrillees, Greetings from Jakarta: Postcard of a Capital 1900–1950).

Kota Berwajah Dua

Kemunculan kampung di kota bermula dari kebijakan Regeeringsreglements pada 1854. Peraturan ini berisi pemisahan ras penduduk menjadi tiga golongan sesuai tingkatannya, dari atas ke bawah: Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra.  

Penggolongan ras berdampak pada kebijakan pemukiman penduduk kota. “Segregasi ras secara fisik diterapkan dalam permukiman mereka yang sengaja dipisah-pisah dan tidak boleh membaur,” kata Purnawan Basundoro, dosen Sejarah Kota pada Universitas Airlangga, Surabaya.  

Hak-hak istimewa Gubernur Jenderal (exhorbitance rechten) memperkuat kebijakan memukimkan penduduk berdasarkan ras. Orang Eropa dan sejumlah Timur Asing bermukim di wilayah sehat dengan limpahan fasilitas seperti pagar, sanitasi, jalan, dan rumah permanen. Sebaliknya, Bumiputra menempati wilayah minim fasilitas dan rawan penyakit; biasanya wilayah sekitar pantai dekat pelabuhan di utara kota.

“Bagian utara di kota Semarang, Surabaya, dan Batavia sangat memikat orang untuk menghuninya karena dekat dengan pelabuhan,” tulis W.F. Wertheim dan The Siauw Giap dalam “Social Change in Java, 1900–1930”, termuat di jurnal Pacific Affairs Volume 35, Nomor 3, 1932. Mereka memandang pelabuhan sebagai tempat bekerja paling pas: dekat, tak mensyaratkan pendidikan tinggi, dan tak perlu keluar ongkos transportasi.  

Memasuki awal abad ke-20, kampung-kampung di kota mulai bertambah padat penduduk. Kebanyakan mereka migran dari desa untuk mencari kesempatan hidup lebih baik. “Tekanan penduduk atas tanah dan menurunnya kesempatan kerja di daerah pedesaan, khususnya dari tahun 1920-an, memaksa para petani untuk pindah ke kota,” tulis Lea Jellinek dalam Seperti Roda Berputar.

Kota tujuan para migran antara lain Batavia, Semarang, dan Surabaya. “Tiga kota ini menjadi kota terpenting di Jawa, menggabungkan fungsi pelabuhan, pusat pemerintahan, perdagangan dan jasa,” tulis Wertheim dan The Siauw Giap. Di sinilah gula berserakan, menarik semut-semut dari desa. Akibatnya, pertumbuhan penduduk di tiga kota itu sangat cepat. Lalu berdampak pada kampung-kampung di sana.

Satu keluarga dalam sebuah rumah bambu di Batavia, 1901. (Repro Scott Merrillees, Greetings from Jakarta: Postcard of a Capital 1900–1950).

Saat bersamaan, orang-orang Eropa juga mulai deras berdatangan ke Batavia, Semarang, dan Surabaya. Pembukaan Terusan Suez mempermudah akses mereka ke Hindia Belanda. Di negeri jajahan ini, mereka butuh permukiman.  

Di Batavia, pemerintah kota berusaha menambah permukiman orang Eropa di wilayah selatan kota (Weltevreden). Sebab wilayah utara kota (Kota Inten) kian padat dan kumuh. Perluasan permukiman orang Eropa ke selatan mempertemukan dua kehidupan berbeda: permukiman Eropa baru dengan kampung-kampung bumiputra di wilayah selatan.

Permukiman Eropa serba rapi, jalan beraspal, dan rumah dari batu; menunjukkan perhatian besar dari pemerintah kota. Sedangkan kampung-kampung bumiputra berantakan, tanpa perencanaan, padat, jalan-jalannya becek kala musim hujan dan berdebu saat kemarau, rumah menyerupai gubuk, dan bersanitasi buruk. Pertanda kurang perhatian pemerintah kota. “Mengakibatkan banyak penulis menyebut sebagai ‘kota berwajah dua’,” tulis Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal.

Para penghuni kampung bekerja sebagai kuli, petani, dan pedagang keliling. Penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari, membeli kebutuhan sandang sekadarnya, dan membayar pajak. “Mereka sering kekurangan makan, tinggal berjubel bersama orangtua tak berdaya yang masih bekerja maupun yang menganggur,” tulis Bob Hering dalam Mohammad Hoesni Thamrin, mengutip laporan Achmad Djajadiningrat, bupati Batavia.  

Warga kampung tak memiliki kemampuan keuangan memadai untuk membangun rumah layak. Dinding terbuat dari anyaman bambu dan atap berbahan jerami. Tak ada jendela dan hanya sedikit ventilasi. Satu rumah bisa terdiri atas 6–8 orang.

Kampung-kampung kelas menengah bawah ini merentang dari Kota Tua, Gambir, Tanah Abang, dan Meester Cornelis (Jatinegara sekarang). Warga beroleh otonomi khusus dari pemerintah kota untuk mengatur sendiri kehidupan di dalamnya. Mengandalkan jalinan keakraban sosial, warga kampung mengusahakan pembangunan fasilitas penunjang secara swadaya: masjid, makam, pasar, dan jalan.  

“Kampung kurang terencana karena mereka biasanya muncul sebagai kampung perdesaan, yang kemudian terserap oleh perluasan kota,” tulis Freek Colombijn dalam “Kampong Improvement in Colonial Indonesia” termuat di Linking Destinies: Trade, Towns, and Kin in Asian History editan Peter Boomgaard dkk.

Dua warga kampung miskin kota di rumah bambu. (Repro Freek Colombijn, Under Construction...).

Pertumbuhan populasi penduduk Batavia merapatkan jarak antara kampung pinggiran dan kota. “Daerah-daerah yang dahulu adalah desa, kini dikelilingi oleh perluasan kota baru dan berubah menjadi kampung kota. Kampung-kampung ini sering memiliki kepadatan yang tinggi,” tulis Cor Passchier dalam “Arsitektur Kolonial di Indonesia Rujukan dan Perkembangan”, termuat di Masa Lalu dalam Masa Kini suntingan Peter JM Nas.  

Sebagian warga meninggalkan kampungnya pada 1918 lantaran kebijakan pemerintah kota. Warga kampung-kampung sekitar Menteng merelakan tanah mereka untuk permukiman baru orang Eropa. Abdoel Moeis, anggota Sarekat Islam, memprotes kebijakan pemerintah kota terhadap warga di kampung-kampung miskin.  

“Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa mantan penghuni Menteng dipaksa meninggalkan daerahnya dan hanya diberikan sedikit kompensasi,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun.

Suara protes lain datang dari Mohammad Hoesni Thamrin, anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dan Dewan Kota pada 1920-an. Thamrin meminta pemerintah kota lebih mencurahkan perhatian untuk perbaikan kondisi kampung. “Ia menyarankan untuk memperbaiki pengelolaan distribusi beras, mengadakan fasilitas drainase yang layak serta pasokan air bersih ke kampung-kampung,” tulis Bob Hering.  

Dua orang Belanda turut menyerang kebijakan orang Belanda terhadap warga kampung miskin. Roelof Schotman, anggota kelompok sosial-demokrat di Dewan Kota, mengkritik rekan-rekannya sesama anggota Dewan Kota. V.J. Marle, rekan Thamrin di Dewan Kota, meminta walikota Batavia berkeliling kampung, melihat sendiri keadaan di dalamnya. Dia mengatakan kampung-kampung di Batavia sebagai kampung terjorok dan terburuk di antero Hindia Belanda. Begitu banyak kampung kotor lahan kuman berkembang biak. Antara lain di kampung Tanah Tinggi, Gang Sekolah, Gang Ajudan, Kampung Kepuh, Kampung Pulau Kramat, Kampung Pejambon, dan Kampung Petojo.

Kampung di Batavia sebelum program perbaikan kampung, 1930-an. (Repro Freek Colombijn, Under Construction...).

Setali Tiga Uang

Kampung-kampung miskin merebak pula di Semarang. Keadaannya setali tiga uang dengan kampung di Batavia, berdebu saat kemarau dan banjir ketika musim penghujan. Jalan-jalan belum beraspal dan saluran airnya kurang lebar. Minim perawatan pula. Warga kampung bahu-membahu mendirikan tempat berteduh sebisanya, biarpun sama sekali tak menyerupai rumah. “Di situ gubuk-gubuk sangat buruk, tidak layak disebut tempat tinggal manusia,” kata D.J.A. Westerveld, anggota Dewan Kota Semarang ketika melaporkan kunjungannya ke kampung-kampung pada 4 Mei 1914, dikutip Amir Karamoy dalam “Program Perbaikan Kampung: Harapan dan Kenyataan” termuat di Prisma No. 6, 1984.

Laporan lain mengenai kampung miskin di Semarang berasal dari H.F. Tillema, seorang apoteker. Dia melihat kampung dari segi kebersihan dan instalasi teknis yang bisa membuat permukiman dinilai layak huni atau tidak pada 1913. Tillema menyimpulkan kebersihan kampung sangat rendah. Gubuk berderetan tanpa jarak. Warga minum air langsung dari sumur dekat saluran air. Airnya memang jernih, tapi terkontaminasi bakteri dari kotoran manusia.  

“Permukiman bumiputra di ibukota Semarang tidak memenuhi syarat-syarat kebersihan, ventilasi, dan pencahayaan sehingga pernah suatu kali wabah penyakit masuk, membunuh banyak orang di permukiman itu,” tulis Tillema, dikutip James L. Cobban dalam “Kampungs and Conflicts in Colonial Semarang”, termuat di Journal of Southeast Asian Studies Vol. 19 No. 2, 1988.

Kampung pinggir kali di Semarang, 1930. (Repro Freek Colombijn, Under Construction...).

Harian De Locomotief menambah jelas gambaran kehidupan warga kampung miskin pada 1915. Penulisnya menyusuri kampung-kampung itu. Dia berjalan di labirin-labirin membingungkan. Labirin tak berpola sehingga mudah membuat orang dari luar kampung tersasar. Hujan semalam masih terasa, menyisakan genangan air di sepanjang labirin, dan mengeluarkan bau busuk. “Dia berkesimpulan bahwa sebagian besar penduduk hidup dalam lingkungan tak sehat,” tulis Cobban.  

Bergerak ke arah timur Jawa, situasi kampung tak kunjung berubah. Surabaya, kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, memiliki kampung miskin tak kalah banyak dari Batavia dan Semarang. “Permukiman bumiputra biasanya menggerombol dan membentuk perkampungan di banyak tempat,” kata Purnawan. Perkampungan itu menyebar dari Pegirian, Slompretan, Belakan Kidul, sampai di sisi barat Kali Mas.  

Hampir seluruh perkampungan bumiputra terdiri atas gubuk dari bambu dengan atap dedaunan. “Jalan-jalan yang menghubungkan satu kampung bumiputra dengan kampung bumiputra lain sebagian besar berupa jalan tanah,” tulis Purnawan Basundoro dalam Merebut Ruang Kota. Sangat kontras dengan permukiman-permukiman orang Eropa: rumah batu, atap tanah liat, dan jalan beraspal.  

Warga kampung miskin di Surabaya terdiri atas kaum migran, petani, pedagang informal, kusir sado, dan pengayuh becak. Purnawan menjelaskan daya tawar mereka sangat lemah dalam perebutan ruang hidup di kota. Mereka tak punya pendidikan mencukupi dan pengetahuan perihal haknya sebagai warga kota. Pendapatan mereka rendah, tapi tetap harus membayar aneka pajak. Kota menjadi jebakan bagi mereka.  

“Namun, bertahan di kota menjadi satu-satunya cara untuk bisa bertahan hidup, mengingat jika mereka kembali ke desa-desa asal justru akan menghadapi situasi yang lebih buruk,” tulis Purnawan.  

Gang di kampung miskin Surabaya, 1910-an. (Freek Colombijn, Under Construction...).

Pemerintah kota Surabaya dan pemilik tanah partikelir sempat menggusur beberapa kampung dan menyulapnya menjadi kawasan berstandar Eropa. Pembebasan lahan kadang alot. Lebih sering lagi berujung pada ketidakpuasan warga kampung menyangkut kompensasi untuk pindah.

Kesabaran warga kampung habis. “Penduduk kampung melakukan aksi dengan cara menduduki lahan-lahan yang sudah dibersihkan dan siap dibangun, pohon-pohon ditebangi, kemudian mereka mendirikan gubuk-gubuk di kawasan tersebut,” tulis Purnawan.  

Gerakan protes warga kampung berlangsung sejak 1910-an hingga 1940. Dan terus meluas ke berbagai kampung di Surabaya. Tuan-tuan tanah ketakutan. Polisi enggan bertindak jauh. Pemerintah kota hanya bisa mengimbau agar warga menghentikan aksinya.  

Kegigihan warga kampung mempertahankan lingkungannya beroleh simpati banyak tokoh dan organisasi pergerakan nasional. Mereka mendapat sokongan hukum. Masalah mereka masuk dalam sidang-sidang Dewan Kota.

Sejumlah anggota Dewan Kota mendorong pemerintah kota memperbaiki kehidupan warga di kampung miskin, bukan menggusurnya. Mereka meminta pemerintah kota melihat kampung sebagai potensi bersama pembangunan kota, bukan sumber masalah. Entah itu kriminalitas, prostitusi, kemiskinan, atau persebaran penyakit.

Kampung di Batavia setelah program perbaikan kampung, 1930-an. (Repro Freek Colombijn, Under Construction...).

Kebijakan Setengah-Setengah

Secara serentak, desakan memperbaiki kehidupan kampung terjadi di tiga kota besar: Batavia, Semarang, dan Surabaya. Pemerintah pusat tak berkutik. Mereka menyepakati tuntutan memperbaiki kampung. Bersama pemerintah kota, mereka siap menyediakan dana. Syaratnya, warga kampung bersedia melepas status otonomi kampung.  

Sekelompok warga kampung mencurigai upaya pencabutan otonomi kampung hanya siasat pemerintah untuk memudahkan penguasaan atas kampung. Tetapi sebagian warga lainnya menerima tawaran pemerintah demi perbaikan kualitas kampung mereka. “Program perbaikan kampung pun berlangsung dengan dana patungan dari pemerintah pusat dan kota,” tulis Freek Colombijn dalam Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during Decolonization of Indonesia 1930–1960.  

Perbaikan kampung belum memecahkan masalah kampung-kampung kota. Thamrin mengkritik kebijakan setengah-setengah ini. Dia menganggap program ini hanya menyentuh segi fisik dari kampung. Belum sampai meresap ke dalam perbaikan kualitas hidup warga kampung.  

Hingga menjelang kedatangan Jepang, kampung-kampung miskin masih bermunculan di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Banyak orang juga tetap menilai mereka sebagai sumber masalah di kota berupa kriminalitas, prostitusi, ketidakteraturan, persebaran penyakit, dan kemiskinan. Mereka melihat warga kampung sebagai orang tak berperadaban.

“Itulah bagian-bagian pinggir masyarakat. Pinggir kesopanan, pinggir kemanusiaan. Di situlah biasanya terdapat manusia-manusia terkutuk, yang rendah, jahat, dan miskin… masih banyak kampung-kampung demikian di Betawi,” tulis Clobboth dalam Pertjatoeran Doenia & Film, 1 Agustus 1941.  

Puluhan tahun berikutnya pandangan ini masih lestari pada pikiran pejabat kota. Dan menjadi legitimasi atas penggusuran kampung dengan mengabaikan jejaring kehidupan sosial di dalamnya.*

Majalah Historia No. 25 Tahun III 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66547a8fe65c35e58baea245
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID