Gang Afrikan II di Purworejo, Jawa Tengah. (Petrik Matanasi/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
KERAMAIAN sama-sama terlihat di kampung Pangenjurutengah maupun Sindurejan siang 15 Maret 2024 itu. Kedua kampung sama-sama berada di pusat kota Purworejo, Jawa Tengah. Jarak titik terdekat keduanya, yang dibatasi SMAN 7 Purworejo, tak sampai 500 meter.
Jarak tersebut tidaklah jauh untuk berjalan kaki. Anak-anak awal abad 20 tentu kuat berjalan kaki menjelajahi kedua kampung tersebut.
Suatu hari, seorang anak sekolah dasar memimpin kawan-kawannya dari Sindurejan di dekat alun-alun kota. Daerah yang mereka tuju adalah Pangenjurutengah, sebuah kampung yang berisikan anak-anak keturunan Afrika.
“Mereka adalah anak-anak dari perkampungan negro yang menduduki tempat yang cukup luas di kota Purworejo. Hampir tanpa kecuali anak-anak negro itu bicara bahasa Belanda dengan tepat tanpa aksen,” catat Rohmah Soebroto dalam Oerip Soemahardjo: Letnan Jenderal TNI 22 Febuari 1893–17 Nopember 1948.
KERAMAIAN sama-sama terlihat di kampung Pangenjurutengah maupun Sindurejan siang 15 Maret 2024 itu. Kedua kampung sama-sama berada di pusat kota Purworejo, Jawa Tengah. Jarak titik terdekat keduanya, yang dibatasi SMAN 7 Purworejo, tak sampai 500 meter.
Jarak tersebut tidaklah jauh untuk berjalan kaki. Anak-anak awal abad 20 tentu kuat berjalan kaki menjelajahi kedua kampung tersebut.
Suatu hari, seorang anak sekolah dasar memimpin kawan-kawannya dari Sindurejan di dekat alun-alun kota. Daerah yang mereka tuju adalah Pangenjurutengah, sebuah kampung yang berisikan anak-anak keturunan Afrika.
“Mereka adalah anak-anak dari perkampungan negro yang menduduki tempat yang cukup luas di kota Purworejo. Hampir tanpa kecuali anak-anak negro itu bicara bahasa Belanda dengan tepat tanpa aksen,” catat Rohmah Soebroto dalam Oerip Soemahardjo: Letnan Jenderal TNI 22 Febuari 1893–17 Nopember 1948.
Di sana, anak-anak Jawa itu berteriak. “Londo Ireng tunteng, irunge mentol, suarane bindeng,” begitu kata mereka.
Teriakan itu bermaksud mengolok anak-anak keturunan Afrika yang dimusuhi gerombolan anak-anak Jawa. Arti dari teriakan itu adalah: “orang Belanda hitam legam, hidungnya besar, suaranya sengau.”
Beberapa kali pengepungan itu terjadi. Beberapa orang dewasa pun risih sehingga kemudian pangreh praja turun tangan membereskan masalah anak-anak kecil itu.
Seorang guru kepala pun harus dipanggil ke Kepatihan Purworejo. Guru kepala itu mendapat teguran bahwa perbuatan anaknya yang mengepung kampung orang-orang keturunan Afrika itu adalah perbuatan yang salah. Anak guru kepala itu dulunya bernama Mohamad Sidik, tetapi ketika bersekolah dasar namanya menjadi Oerip Soemohardjo.
Oerip saat itu sedang belajar di sekolah dasar berbahasa Belanda, Europeesche Lagere School (ELS) di Purworejo. Oerip bareng dengan anak-anak keturunan Afrika itu di sekolah tersebut. Oerip kurang pandai berbahasa Belanda sehingga sebagian anak Afrika yang jahil pun menjadikannya bahan cemoohan.
“Alangkah senangnya mereka mencemooh ucapan yang buruk daripada Oerip, si inlander kecil,” kisah Rohmah.
Cemoohan itulah yang mendorong Oerip menggerakkan kawan-kawannya melakukan pengepungan. Kisah pengepungan perkampungan itu kemudian menghilang dan hanya ditemukan dalam biografi Oerip yang ditulis istrinya, Rohmah Soebroto.
Kampung Penghasil Serdadu
Nyali Oerip bocah tentu besar. Kampung orang keturunan yang diserbunya bukan sembarang kampung. Jika sekadar berkelahi, lawannya juga bisa. Apalagi lawan-lawannya itu umumnya keturunan serdadu juga. Di Purworejo tentu bukan orang keturunan Afrika saja yang serdadu. Daerah Bagelen sejak dulu adalah penghasil serdadu.
Kehidupan anak Afrika itu tidak jauh daru dunia serdadu. Dalam Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831–1945, Inneke van Kessel menulis anak laki-laki dari kampung tersebut setelah berusia 15 atau 16 tahun masuk dinas militer tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Mereka disamakan statusnya dengan orang Belanda dan merasa lebih tinggi derajatnya daripada orang pribumi karena politik rasis kolonial. Di sekolah, anak-anak Afrika itu lebih banyak bergaul dengan anak Belanda atau Tionghoa daripada dengan anak pribumi.
Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan Perang Jawa (1825–1830) berakhir, makin banyak orang Afrika datang ke Hindia Belanda sebagai serdadu. Di antara mereka berasal dari Ghana. Selain di Purworejo, serdadu Afrika dulunya banyak pula di Jakarta dan Semarang. Umumnya yang datang ke Nusantara adalah laki-laki, sehingga setelah merasa mapan, banyak serdadu Afrika kemudian kawin dengan perempuan-perempuan pribumi. Jadi, kebanyakan penghuni kampung yang diserbu Oerip dkk. masih punya darah Indonesia.
Dulu banyak anak-anak Afrika yang disekolahkan, sehingga setelah masuk militer, karier mereka lebih baik daripada kebanyakan pribumi yang buta huruf. Banyak yang meraih pangkat sersan, tetapi beberapa ada pula yang mencapai pangkat letnan, seperti Doris Land.
Orang-orang yang tinggal di situ kan orang-orang Afrika zaman penjajahan. Jadi, ada yang bilang Londo Ireng.
Di masa tuanya, Doris Land pernah menjadi kepala kampung di daerah yang disebutnya Kamp Afrika tersebut. Dia tak menyebutnya kampung agar tak terkesan udik seperti orang pribumi Indonesia kebanyakan. Doris adalah anak Govert Land, orang Danko asal Grunshi. Setelah pensiun dari KNIL, Govert tinggal di kampung yang kadang disebut Kampung Afrika tersebut. Doris lahir ketika Govert sudah pensiun di Kampung Afrika Purworejo.
Menurut arsip studbook-nya, Doris lahir di Purworejo pada 9 Februari 1890. Sekitar tahun 1909, ia masuk dinas militer. Setelah lama bertugas di KNIL, ia baru mencapai pangkat letnan dua infanteri KNIL pada 30 November 1932. Lalu ia naik pangkat lagi menjadi letnan satu KNIL pada 29 November 1935.
Ketika Doris pensiun, Oerip yang pernah menyerbu kampung Doris, juga sudah pensiun dini dari KNIL. Oerip, yang tiga tahun lebih muda daripada Doris, mencapai pangkat mayor di KNIL.
Seperti Oerip, Doris juga belajar di sekolah dasar dan bisa bahasa Belanda. Doris aktif lagi di KNIL waktu tentara Jepang hampir menduduki Indonesia. Setelah Hindia Belanda menyerah, keduanya sama-sama menjadi tawanan perang Jepang.
Namun, setelah 1945 Oerip menjadi letnan jenderal di Tentara Nasional Indonesia (TNI), sementara Doris berada di KNIL. Sekitar tahun 1947, Doris naik pangkat menjadi kapten KNIL.
Orang-orang Kampung Afrika di masa lalu merupakan alat politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kedekatan orang-orang Afrika dari Kampung Afrika dengan Belanda tentu membuat orang-orang pribumi Jawa menyebut mereka sebagai Londo Ireng atau Belanda Hitam.
“Dulu kan disebut Kampung Londo Ireng,” ujar Harto, penjaga makam Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo yang letaknya tidak jauh dari Kampung Afrika. “Orang-orang yang tinggal di situ kan orang-orang Afrika zaman penjajahan. Jadi, ada yang bilang Londo Ireng.”
Tak Ada yang Tersisa
Perkampungan itu terletak di sisi timur kompleks Rumah Sakit Umum Daerah dr. Tjitrowardojo. Nama rumah sakit itu diambil dari leluhur Presiden B.J. Habibie. Pada sisi timur rumah sakit itu terdapat dua gang dengan nama yang unik: Gang Afrikan I dan Gang Afrikan II. Di antara kedua gang itu bagian dalamnya ada jalan penghubung. Mulut gang tersebut berada di Jalan Jenderal Sudirman. Jalan itu menghubungkan alun-alun dengan Kutoarjo yang ramai.
Saat ini, di dalam Gang Afrikan I dan Gang Afrikan II masih terdapat rumah-rumah lawas nan luas. Rumah-rumah di Kampung Afrika tampak lebih modern dibanding rumah orang-orang Indonesia. Dulunya ada barak-barak di tengah kampung tersebut. Bagian pinggirnya adalah rumah-rumah besar.
“Tapi anehnya setiap rumah itu ada saluran airnya,” ujar Widyarsana Garjita yang biasa disapa Toto dan tinggal tidak jauh di luar Kampung Afrika. Saluran air itu berfungsi sebagai saluran pembuangan air rumah tangga.
Rumah-rumah besar masih bisa ditemukan hingga kini di dalam Gang Afrikan tersebut. Hingga saat ini, di utara kampung tersebut masih terdapat persawahan. Di timur laut kampung itu kini makin banyak rumah penduduk yang cukup rapi. Di masa lalu, kampung ini mungkin terkesan eksklusif.
“Dulu [daerah] situ kan dipagar,” ujar Gunardi, salah seorang warga sepuh Panjurutengah.
Pagar umumnya diadakan untuk keamanan warga yang ada di dalamnya. Menurut Inneke van Kessel, meski merasa derajatnya lebih tinggi dari orang Indonesia, orang-orang Afrika itu terasing juga di kampung tersebut. Pagar memisahkan kehidupan orang keturunan Afrika itu dengan orang-orang Jawa di kampung sekitar mereka.
Meski bernama Afrikan, sebagai nama dua gang di sana, kini sulit sekali menemukan keturunan Afrika di kampung tersebut. Penghuni kampung tersebut saat ini bukan lagi keturunan Afrika, tetapi orang-orang dari berbagai sudut Purworejo. Beberapa di antaranya bahkan ada orang yang berasal dari luar Purworejo. Kebanyakan yang tinggal di sana tidak memiliki memori tentang Kampung Afrika.
Beberapa keturunan Afrika yang dulu tersisa juga sudah membaur dengan orang Jawa kebanyakan. Keturunan Afrika tersebut sudah berpindah ke daerah lain. Salah seorang saudara Gunardi menikah dengan salah seorang keturunan Afrika tersebut. Tak heran jika, menurut Gunardi, “keturunannya gak ada” di sana.
Toto bercerita, pernah ada sepasang suami-istri bernama Jarno dan Evelyn. Jarno orang Jawa dan Evelyn masih terhitung keturunan Afrika. Pasangan ini punya empat anak. Yang pertama mati muda menjadi korban Petrus, pembunuhan misterius yang dilancarkan pemerintah Orde Baru. Yang kedua, berjilbab dan menghilang. Dialah yang menjual tanah orang tuanya. Yang nomor tiga, berpindah-pindah di beberapa kampung di Purworejo. Seingat Toto, nama anak itu Sumarah. Yang terakhir namanya Slamet, menjadi tukang sapu dan agak stres. Dia tinggal di sekitar rumah sakit tentara. Slamet sering bertemu Toto.
“Kadang-kadang jalan ke sini. Hampir sebulan sebulan sekali ke sini,” ujar Toto. “Kadang kalau ke sini saya kasih makan.”
Begitulah kisah yang tersisa dari Kampung Afrika di Purworejo.*