Kanker Payudara dari Masa ke Masa

Kanker payudara telah merenggut kebahagiaan banyak orang, termasuk Adolf Hitler yang ditinggal pergi sang ibu.

OLEH:
Mira Renata
.
Kanker Payudara dari Masa ke MasaKanker Payudara dari Masa ke Masa
cover caption
Klara Hitler, ibu Adolf Hitler, meninggal dunia karena kanker payudara. (Wikimedia Commons).

ARTIS komedi televisi Amerika Serikat Christina Applegate gemetar ketika pada April 2008 dokter rumah sakit menelepon dan mengabarkan hasil diagnosis keberadaan sel kanker di payudara sebelah kirinya. Kata-kata itu adalah mimpi buruk bagi semua perempuan.

Applegate saat itu berusia 36 tahun. Sebagai anak seorang survivor kanker payudara, ia dengan sadar rutin melakukan pemeriksaan tahunan dengan mammogram (alat pemindai kanker pada payudara) sejak berusia 30 tahun. Hingga 2008, dokter memintanya menjalani screening MRI (Magnetic Resonance Imaging, alat diagnostik) dan tes biopsi sebagai tambahan. Vonis dokter membenarkan ketakutannya.

ARTIS komedi televisi Amerika Serikat Christina Applegate gemetar ketika pada April 2008 dokter rumah sakit menelepon dan mengabarkan hasil diagnosis keberadaan sel kanker di payudara sebelah kirinya. Kata-kata itu adalah mimpi buruk bagi semua perempuan.

Applegate saat itu berusia 36 tahun. Sebagai anak seorang survivor kanker payudara, ia dengan sadar rutin melakukan pemeriksaan tahunan dengan mammogram (alat pemindai kanker pada payudara) sejak berusia 30 tahun. Hingga 2008, dokter memintanya menjalani screening MRI (Magnetic Resonance Imaging, alat diagnostik) dan tes biopsi sebagai tambahan. Vonis dokter membenarkan ketakutannya.

Seminggu kemudian Applegate segera menjalani operasi pengangkatan tumor payudara (lumpektomi) dan dijadwalkan mengikuti serangkaian terapi radiasi. Namun perjuangan sesungguhnya baru dimulai. Hasil tes genetik kanker menunjukkan ia juga positif memiliki gen BRCA, yang dikenal sebagai gen pembawa kanker payudara. Keberadaan gen ini memperbesar potensi kembalinya kanker di kedua payudaranya (bukan hanya sebelah kiri). Dokter memberikan dua pilihan: menjalani radiasi dan terapi terus-menerus atau melakukan operasi pengangkatan kedua payudara (mastektomi). Ia memilih mastektomi.

“Keputusan ini terjadi sangat cepat, karena saya merasa itu merupakan pilihan paling tepat untuk dilakukan. Saya tak ingin berurusan lagi dengan hal ini (kanker) dan saya merelakan keduanya diangkat,” ujar Applegate dalam wawancara pascaoperasi dengan Oprah Winfrey pada Oktober 2008.

Meski tegar, air mata Applegate luruh ketika menyampaikan keputusannya di depan dokter dan ahli bedah. Perasaannya juga campur aduk setelah operasi. “Selama beberapa waktu saya selalu menangis minimal sekali dalam sehari karena sulit untuk tak melihatnya ketika sedang bercermin. Ia seolah terus mengingatkan saya akan hal ini, kanker yang saya alami.”

Namun Applegate bersyukur bisa menjalani semuanya. “Kini saya mendapat kesempatan untuk menghargai hidup; tak membuang waktu dengan meributkan masalah kecil ataupun besar. Kanker memberikan saya kesempatan untuk memprioritaskan hidup saya.”

Setelah sempat merahasiakan penderitaannya dari media massa dan publik, Applegate akhirnya menjadi penggiat kesadaran deteksi dini kanker payudara untuk perempuan usia muda. Ia aktif menyuarakan agar tes MRI dan genetik kanker ditanggung perusahaan asuransi (di Amerika) sehingga perempuan dari berbagai kalangan dapat mengaksesnya.

Applegate mengalami gelombang emosi antara takut, sedih, dan pada saat yang sama kekuatan dan harapan untuk mengalahkan kanker seperti setiap perempuan dari berbagai zaman yang pernah mengalaminya.

Papirus Edwin Smith, dokumentasi medis tertua kanker payudara. (Wikimedia Commons).

Benjolan Atossa

Catatan tertua mengenai pasien kanker payudara tertulis dalam sebuah papirus Mesir pada abad 2500 SM (dikenal sebagai papirus Edwin Smith) yang ditulis Imhotep, ahli medis kerajaan Mesir. “Sebuah gumpalan massa yang membengkak di payudara, besar, menyebar, dan keras. Menyentuhnya dapat dibandingkan dengan buah hemat, yang terasa keras dan dingin di tanganmu,” tulis Imhotep untuk kasus nomor 45, pasien dengan kanker payudara yang tak disebut namanya.

Melalui papirus itu Imhotep mendeskripsikan 48 jenis penyakit yang dialami masyarakat Mesir Kuno. Setiap penyakit diberi deskripsi dan dibagi dalam kategori “pemeriksaan” dan “pengobatan”. Khusus kanker payudara, Imhotep hanya menulis “Tidak Ada” di kolom pengobatan. Belum ditemukan dokumentasi lain yang menjelaskan nasib pasien ini di kemudian hari.

Setelah lama tenggelam oleh berbagai bencana penyakit lainnya, benjolan payudara kembali muncul dalam tulisan sejarawan Yunani Herodotus, Histories, sekitar 440 SM. Herodotus menceritakan benjolan payudara Ratu Atossa dari Persia, istri Raja Darius. Awalnya, Atossa berusaha menutupi benjolan itu karena rasa malu. Ia tak memberi tahu seorang pun tentang kondisinya dan memilih mengasingkan diri. Benjolan itu lalu membengkak dan berdarah. Rasa sakit menjalar dan kian tak tertahankan. Atossa pun memutuskan memperlihatkan benjolan itu kepada Democedes, seorang budak Yunani yang juga ahli medis terkemuka. “Democedes berjanji menyembuhkan Atossa dengan syarat sang ratu mengabulkan permintaannya setelah ia beroleh kesembuhan,” tulis Herodotus.

Sebagian ilmuwan, termasuk Siddharta Mukherjee penulis The Emperor of All Maladies: Biography of Cancer, menyamakan benjolan Atossa dengan jenis kanker yang menyebabkan pembengkakan massa jaringan. Herodotus tak menjelaskan secara rinci proses penyembuhan yang dilakukan Democedes; sementara Mukherjee menyimpulkan Democedes melakukan pengirisan tumor secara sederhana.

Meski Herodotus tak menceritakan lebih lanjut kondisi kesehatan Atossa usai operasi, sejarah mencatat Atossa hidup hingga lanjut usia dan melahirkan empat anak. Atossa juga menepati janji dengan mengabulkan permintaan Democedes, yaitu kembali ke Yunani. Ia bahkan meminta suaminya, yang berambisi memperluas wilayah kekuasaan Persia, untuk mengalihkan invasi militer ke Yunani. Permintaan Atossa dituruti. Democedes pun ikut dalam rombongan prajurit dan perahu militer Persia yang memantau situasi di Yunani. Democedes kemudian melarikan diri dari rombongan dan kembali ke kampung halamannya di Croton.

Ratu Atossa dari Persia. (iranchamber.com).

Pembiaran atau Pembedahan

Pengetahuan kanker secara medis baru muncul pada periode 400 SM ketika Hippocrates memperkenalkan teori humor atau empat cairan esensial dalam tubuh manusia: darah, dahak, empedu kuning, dan empedu hitam. Kanker payudara, dan berbagai kanker lainnya, menurut Hippocrates adalah hasil dari produksi empedu hitam yang tak seimbang. Ia menyarankan kanker “sebaiknya dibiarkan tanpa perawatan apapun, karena pasien akan hidup lebih lama dengan cara ini.”

Pandangan Hippocrates mempengaruhi banyak ilmuwan masa berikutnya, termasuk Claudius Galen, ilmuwan abad 2 Masehi di Romawi. Seperti Hippocrates, ia mendefinisikan kanker sebagai produksi empedu hitam yang berlebih di suatu lokasi dan bersifat statis sehingga menjadi benjolan massa. Sama seperti sang mentor, ia juga tak menyarankan pengobatan dengan alasan empedu hitam akan terus berproduksi dalam tubuh manusia meski benjolan kanker dibuang.

Hingga pertengahan abad ke-16–17, pengetahuan mengenai kanker payudara masih dipengaruhi pandangan Hippocrates dan Galen. Belum berkembangnya teknik anestesi (pembiusan) dan tingkat infeksi yang tinggi dari luka operasi pada masa itu membuat pengobatan kanker menjadi sesuatu yang langka.

Beberapa lukisan dengan model perempuan pada masa Renaissance, seperti La Fornarina oleh Raphael, Batsheba oleh Rembrandt, dan Three Graces oleh Paul Rubens menjadi perdebatan di antara para ilmuwan masa kini. Sebagian ilmuwan mengindentifikasi abnormalitas menyerupai tumor ganas di payudara model-model perempuan itu. Kondisi ini, menurut mereka, sesuai dengan pandangan medis masa itu yang cenderung membiarkan kasus kanker payudara. Sebagian lainnya menolak pandangan ini. Salah satunya ilmuwan forensik Adam Gross yang berargumen bahwa ketiga model perempuan itu, Margherita Luti (La Fornarina), Hendrickje Stoeffels (Rembrandt), dan Helene Fourment (salah satu model Three Graces), masih hidup selama bertahun-tahun setelah berpose untuk lukisan sehingga dianggap bukan menderita kanker payudara.

Meski operasi payudara jarang dilakukan di abad pertengahan, beberapa kasus kanker payudara mulai ditangani dengan pembedahan “brutal” akibat keterbatasan pengetahuan dan fasilitas medis. Operasi diawali dengan mengikat payudara agar bagian kulit lentur tertarik. Setelah itu proses pemotongan payudara agar lubang luka mengucurkan darah selama beberapa menit. Dokter kemudian mematikan jaringan lokasi kanker dan menutup luka dengan besi panas atau asam kimia, yang dikenal sebagai teknik cauterization. Untuk melakukan proses pembedahan ini, sebagian besar pasien melakukannya dengan privasi di rumah mereka sendiri.

Johannes Scultetus dalam Armentarium Chirurgicum (1741) memperlihatkan ilustrasi proses pembedahan dengan teknik cauterization ini. Wajah si pasien ditutup selembar kain. Tangannya yang terikat atau dipegangi asisten dokter mengekspresikan si pasien menahan rasa sakit tak terkira. Asisten lainnya menampung kucuran darah dalam baskom.

Operasi brutal berakhir setelah penemuan anestesi oleh dokter gigi Amerika William Morton pada 1846 dan antisepsis atau zat pencegah infeksi oleh ahli bedah Joseph Lister pada 1865. Proses operasi menjadi lebih manusiawi sekaligus memungkinkan dokter melakukan bedah kompleks.

Klara Hitler, ibu Adolf Hitler. (Wikimedia Commons).

Mastektomi Radikal Klara Hitler

Untuk kanker payudara, ahli bedah mulai melakukan pengangkatan bukan hanya pada organ, namun juga otot tipis pectoralis minor yang terletak di bawah payudara agar bersih dari sel-sel kanker. Namun beberapa peneliti masa itu melihat peningkatan kasus kanker payudara pascaoperasi dan menyimpulkan jika tak benar-benar dibersihkan hingga ke akarnya, sel-sel kanker payudara akan tumbuh kembali.

Berangkat dari pandangan inilah William Halsted, ahli bedah Amerika, memperkenalkan metode operasi pengangkatan payudara (mastektomi) secara radikal sekitar 1885. Dalam metodenya, Halsted tak hanya berhenti di pectoralis minor. Tanpa ragu ia mengangkat otot tebal di bawah payudara (pectoralis major), benjolan kecil dalam kelenjar tiroid (nodule), hingga tulang selangka yang membentuk bahu dan menghubungkan lengan atas pada batang tubuh. Halsted berargumen teknik radikal ini diperlukan untuk mencegah kembalinya sel-sel kanker.

Namun metode Halsted mendapat kecaman karena tak mempertimbangkan segi estetik maupun masa depan pasien. Selain membutuhkan waktu lama untuk pemulihan, sebagian besar pasien Halsted mengalami cacat fungsi tangan dan bahu untuk selamanya. Meski bertahan pada prinsip medisnya, Halsted sebetulnya prihatin dengan kondisi pasiennya. “Pasien ini adalah seorang perempuan muda dan saya sungguh berat hati membuatnya menjadi buruk,” tulis Halsted dalam salah satu catatan medis seorang pasien kanker payudara yang ia bedah hingga daerah leher.

Metode Halsted menjadi acuan internasional hingga awal abad ke-20, termasuk di Jerman. Pada masa inilah kepedihan menghampiri Adolf Hitler muda. Pada 14 Januari 1907, Klara, ibunda Hitler, menemui dokter keluarga bernama Eduard Bloch. Ia mengeluhkan sakit di bagian dada yang membuatnya sulit tidur. Bloch, seorang keturunan Yahudi, terkejut melihat kondisi Klara. Sel-sel kanker ganas telah menggerogoti sebelah payudaranya hingga ke bagian kulit, dan menimbulkan luka yang menyengat. Bloch segera merujuk Klara ke seorang ahli bedah (yang tak diketahui namanya) di Linz. Dokter tersebut melakukan mastektomi radikal dengan mengangkat satu payudara Klara.

Sempat sembuh beberapa saat, kanker payudara kembali menyerang Klara pada September 1907. Kali ini, Bloch memutuskan mengobati infeksi luka kanker Klara yang sudah terbaring lemah di rumah dengan cairan iodine atau yodium. Mendengar kondisi kritis sang ibu, Hitler yang kala itu berusia 18 tahun kembali ke Jerman, disertai rasa frustrasi karena kegagalannya mengikuti tes universitas di Wina, Austria. Nyawa Klara tak terselamatkan. Ia meninggal dunia pada 21 Desember 1907. Hitler pun terguncang.

“Ini merupakan akhir dari sebuah penyakit berkepanjangan dan ganas yang sejak awal tak memiliki setitik harapan akan kesembuhan. Meski demikian, kejadian ini merupakan guncangan hebat, terutama untukku. Aku menghormati ayahku namun ibukulah yang aku cintai,” tulis Hitler mengenang kematian Klara dalam Mein Kampf.

Eduard Bloch, dokter keluarga Hitler, di kliniknya di Linz tahun 1938. (Bundesarchiv/Wikimedia Commons).

Metastasis dan Tindakan Medis Kini

Para ilmuwan pada pertengahan abad ke-19 juga mulai menguak pola kerja kanker yang tak hanya menyerang lokasi organ original, namun bisa terulang kembali dan menyebar ke jaringan organ tubuh lainnya. Pada 1829, dalam publikasi penelitian “Recherces sur le traitment du cancer”, ilmuwan Prancis J.C.A Recamier menunjukkan bahwa sel kanker menyebar melalui aliran darah dan menyerang sel jaringan organ lainnya. Recamier menamakan proses penyebaran ini sebagai metastasis.

Teori Recamier diperluas Stephen Paget, ahli bedah Inggris, yang menjabarkannya dengan konsep “benih” dan “tanah” pada 1889. Analisis Paget membuktikan bahwa metastasis tak terjadi secara random (acak), melainkan karena sel tumor (benih) memiliki kedekatan tertentu terhadap jaringan organ lainnya (tanah). Jika terjadi kecocokan di antara keduanya, metastasis terjadi. Sel kanker payudara biasanya menyebar ke tulang dan hati.

Seperti dialami Klara Hitler, sel kanker payudara kembali menyerangnya dan menyebar luas hingga ke dinding dada. Mastektomi radikal terbukti tak menghentikan laju penyebaran sel-sel kanker. Penelitian sel kanker Rudolf Virchow sekitar 1840–1860 juga mengkonfirmasi bahwa kanker berasal dari satu sel, yang kemudian menjadi sel baru dan sel baru lainnya (omni
cellula et cellula et cellula
). Tak hanya beregenerasi, penelitian lanjutan kemudian membuktikan bahwa setiap sel baru bisa mengalami mutasi dan menjadi kebal terhadap jenis-jenis tindakan medis tertentu.

Mastektomi radikal akhirnya ditinggalkan dalam penanganan kanker payudara. Sejumlah penelitian dan pengetahuan memungkinkan tindakan medis yang sesuai untuk berbagai tahapan kanker payudara dan kecepatan penyebaran sel kanker. Pembedahan tak lagi menjadi satu-satunya pilihan di antara berbagai terapi yang tersedia seperti kemoterapi, radioterapi, terapi hormon, dan terapi target area (biologi). Pemeriksaan rutin dengan mammogram serta USG kini membantu deteksi dini keberadaan tumor payudara sebelum berkembang ke tahap lanjutan. Kemajuan dalam bedah rekonstruksi pascaoperasi juga membantu para survivor menjalani hidup mereka.

“Satu-satunya hasil mastektomi yang saya lihat adalah pada ibu saya, yang menjalaninya pada 1970-an. Sebelum memutuskan operasi, saya berpikir, alangkah buruknya keadaan, saya akan dijagal! Namun setelah melakukan beberapa riset, saya menjadi tenang karena kini mereka (ahli bedah) bisa menciptakan payudara buatan yang cukup indah,” kenang Applegate.*

Ilustrasi mastektomi radikal Halsted dalam buku The Emperor of All Maladies: A Biography of Cancer karya Siddharta Mukherjee.

Upaya Mengalahkan Kanker

Kanker adalah sebuah invasi yang telah berlangsung berabad-abad. Benjolan aneh yang mendatangkan penderitaan dan kematian itu membingungkan ahli-ahli medis di masa lalu. “Pengobatan tak ada untuk kasus ini,” tulis Imhotep, ahli medis Kerajaan Mesir, dalam sebuah papirus setelah mempelajari benjolan pada payudara seorang pasien sekitar 2500 SM.

Bukti fosil tertua pengidap kanker ditemukan dalam fosil perempuan pada zaman Perunggu (1900–1600 SM) yang memiliki bercak kanker di sekitar tulang leher dan tengkorak. Sejak itu hingga kini, ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu terus berusaha menemukan upaya pasti untuk mengalahkannya.

Kilas balik ini menunjukkan upaya manusia memahami dan mengalahkan laju kanker yang kini menjadi salah satu penyebab terbesar mortalitas (kematian) modern.

290–230 SM Peneliti menemukan lesi/bercak yang menunjukan tanda penyebaran kanker prostat tahap akhir pada tulang kerangka mumi di Siberia dan Mesir yang berasal dari masa ini.

400 SM Hippocrates, Bapak Ilmu Kedokteran, memperkenalkan teori humor atau komposisi empat cairan utama dalam tubuh manusia: darah, dahak, empedu kuning, dan empedu hitam. Menurutnya, kanker adalah akibat produksi empedu hitam yang berlebihan atau tak seimbang. Pada masa Hippocrates, kata karkinos kali pertama disebut untuk mendeskripsikan benjolan yang tampak.

657 Dalam volume keenam dari tujuh volume Epitome of Medicine, Paul dari Aegina, ahli medis Kerajaan Byzantium, menyarankan pengangkatan bagian jaringan yang terkena kanker payudara. Sementara untuk kanker di rahim, ia menyerankan untuk tidak dioperasi.

1600 Claudius Galen, ahli medis Romawi sekaligus penerus teori humor Hippocrates, menyebut kanker adalah empedu hitam yang terperangkap di satu lokasi dalam tubuh dan menjadi padat. Ketimbang melakukan operasi, Galen menyarankan untuk membiarkannya karena empedu hitam akan kembali berproduksi meski jaringan sel kanker diangkat. Pada masa Galen, kata onkos dari bahasa Yunani untuk massa/beban mulai digunakan untuk mendeskripsikan tumor dan kini menjadi nama disiplin ilmu onkologi.

1790 Moses Maimonides, filsuf, ilmuwan, dan ahli medis Yahudi yang berdiam di Mesir, menulis sepuluh ulasan mengenai kesehatan. Dalam salah satu ulasan ia menyarankan pembuangan tumor dengan mengangkat seluruh jaringan hanya bisa dilakukan selama dalam kondisi sehat.

1713 Dalam De Morbis Artificum Diatriba (Diseases of Workers), ahli medis Paduan bernama Bernardino Ramazzini menganalisis berbagai penyakit dengan perilaku dan aktivitas manusia. Istilah morbis artificum kelak digunakan oleh Percival Pott untuk mengidentifikasi agen penyebab kanker (carcinogen) pada anak-anak penyapu cerobong di Inggris.

1750 John Hunter, seorang ahli bedah kelahiran Skotlandia, memperkenalkan metode untuk mengidentifikasi tahapan tumor yang dapat dioperasi. “Jika ia belum menyebar ke jaringan terdekat dan masih bisa bergerak untuk dipindah, saya tak melihatnya sebagai sebuah ketidakpantasan untuk membuangnya.”

1761 Giovanni Morgagni, pakar anatomi kelahiran Italia sekaligus Bapak Anatomi Patologi Modern, memperkenalkan otopsi untuk menyimpulkan hubungan atau proses suatu penyakit dengan patologi (penelitian dan diagnosis organ, jaringan, cairan, dan seluruh tubuh). Pendekatannya kelak menjadi prinsip dasar penelitian kanker.

1775 Penelitian Percival Pott, ahli bedah Inggris, mengidentifikasi bahwa partikel kimiawi asap cerobong yang meresap dalam kulit anak-anak penyapu cerobong menyebabkan kanker skrotum.

1779 Rumah sakit kanker pertama dibangun di Reims, Prancis. Lokasinya berada jauh dari kota karena kekhawatiran masyarakat masa itu yang meyakini kanker sebagai penyakit menular.

1829 Joseph Claude Anthelm Recamier, ginekolog Prancis, menemukan pola penyebaran sel kanker melalui aliran darah ke lokasi jaringan dan organ lainnya, dan untuk itu, mulai memakai istilah metastasis.

1838 Penelitian Johannes Muller, ahli patologi Jerman, menyatakan bahwa kanker terdiri atas sel yang bukan berasal dari sel normal.

1840–1860 Salah satu murid Muller, Rudolf Virchow mengembangkan teori kanker yang berawal dari pertumbuhan satu sel yang tak terkontrol dan berkelanjutan (omnis cellula e cellula). Teori Virchow menjadi dasar perkembangan teori kanker selanjutnya. Virchow juga merupakan peneliti pertama yang mengidentifikasi abnormalitas sel darah putih dalam seorang pasien kanker serta menamakan penyakit ini leukemia, dari bahasa Yunani, leukos artinya putih.

1878 Theodore Billroth, ahli bedah Jerman, sukses melakukan operasi pengangkatan kanker di lambung.

1889 Stephen Paget, ahli bedah Inggris, menjabarkan pola metastasis dalam teori “benih dan tanah”. Paget menganalisis hampir seribu dokumen otopsi jenazah pasien kanker, dan menyimpulkan bahwa metastasis tak terjadi secara random. Penelitan Paget membuktikan bahwa sel tumor (benih) memiliki kedekatan tersendiri dengan beberapa organ spesifik (tanah). Hanya jika terjadi kecocokan di antara keduanya, maka metastasis terjadi.

1890 William Stewart Halsted, profesor bedah di beberapa universitas terkemuka di Amerika, mempopulerkan teknik mastektomi radikal untuk penyembuhan kanker payudara dengan mengangkat seluruh payudara, termasuk otot dan sistem lymphatic payudara.

1899 Tage Anton Ultimus Sjogren adalah dokter pertama yang berhasil mengobati kanker dengan X-ray, yang ditemukan Wilhelm Conrad Rontgen empat tahun sebelumnya.

1915 Katsusaburo Yamagiwa, peneliti Jepang yang juga murid Rudolf Virchow, berhasil melakukan penelitian pertama kanker dengan menggunakan binatang (kelinci) sebagai objek uji coba. Dengan memantau reaksi kelinci yang dioles aspal batu bara ke bagian dalam telinganya selama beberapa waktu, penelitian Yamagiwa membuktikan iritasi kronis sebagai penyebab kanker.

1933 Untuk kali pertama operasi pneumonectomy (pengangkatan sebagian/seluruh paru-paru) untuk pasien dengan kanker di paru-paru berhasil dilakukan oleh ahli bedah Evarts Graham dan Jacob Singer di Amerika.

1939 Ilmuwan Amerika Charles Brenton Huggins menemukan peran hormon dalam perkembangan kanker melalui penelitiannya atas kanker prostat dan level hormon androgen pada anjing. Temuan Huggins menjadi dasar pengobatan terapi hormon untuk beberapa jenis kanker.

1946 Penelitian Louis Goodman dan Alfred Gilman, ilmuwan farmakologi Amerika, menunjukan manfaat kimia nitrogen mustard (yang dipakai sebagai senjata kimia pada Perang Dunia II) dalam mengobati kanker kelenjar getah bening (lymphosarcoma). Keberhasilan penelitian ini membuka jalan untuk berbagai penelitian agen kimiawi untuk kemoterapi.

1970 Penelitian Howard Temin dan David Baltimore di Amerika menemukan adanya enzim transcriptase reversa dalam virus RNA sehingga RNA (genom virus) bisa mentransfer informasi genetiknya ke dalam sebuah struktur DNA (genom sel host). Penemuan ini melandasi berbagai penelitian selanjutnya tentang teori virus dalam kanker.

1986 Penelitian Stephen H. Friend dan tim ilmuwan biologi kanker di Amerika membuktikan adanya gen penekan (supresor) tumor yaitu Rb (diambil dari retinoblastoma atau kanker retina). Jika gen Rb bermutasi atau mengalami kelainan fungsi, ia akan membelah dan bertumbuh sebagai kanker.

1990 hingga kini Berbagai penelitian DNA (termasuk microarray chip) dan pembuatan sel tumor di laboratorium terus dilakukan untuk mempelajari pertumbuhan kanker dan metode pengobatan.*

Majalah Historia No. 2 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6433e2539fd61155b90bd8a5
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID