Jauh dari tanah leluhur, komunitas Maluku terasing di negeri Belanda. Mewujudkan kemerdekaan Republik Maluku Selatan tak cukup dengan dialog. Pemuda Maluku menempuh jalan kekerasan.
Pembajakan kereta api jurusan Groningen-Zwolle di desa Wijster, Drenthe, Belanda. (Dok. Museum Maluku).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEBUAH undangan tertanggal 1 Juni 1981 dari Badan Persatuan Republik Maluku Selatan (RMS) dilayangkan ke segenap pengurus cabang. Isinya ajakan untuk memperingati gugurnya enam pejuang Maluku empat tahun silam “oleh tindakan kekejaman pemerintah Belanda”. Bendera kebangsaan dinaikkan satu tiang.
Tak ada paksaan untuk datang. Tapi mereka menekankan pentingnya menghargai pengorbanan para pejuang untuk nusa dan bangsa.
“Tanggal 11 Juni adalah satu tanggal jang sudah tertulis dengan tinta emas dalam sedjarah perdjuangan Republik Maluku Selatan. Maka dari itu tanggal tsb harus diperingati oleh kami semua, biarpun dengan sederhana sadja,” demikian bunyi undangan itu.
SEBUAH undangan tertanggal 1 Juni 1981 dari Badan Persatuan Republik Maluku Selatan (RMS) dilayangkan ke segenap pengurus cabang. Isinya ajakan untuk memperingati gugurnya enam pejuang Maluku empat tahun silam “oleh tindakan kekejaman pemerintah Belanda”. Bendera kebangsaan dinaikkan satu tiang.
Tak ada paksaan untuk datang. Tapi mereka menekankan pentingnya menghargai pengorbanan para pejuang untuk nusa dan bangsa.
“Tanggal 11 Juni adalah satu tanggal jang sudah tertulis dengan tinta emas dalam sedjarah perdjuangan Republik Maluku Selatan. Maka dari itu tanggal tsb harus diperingati oleh kami semua, biarpun dengan sederhana sadja,” demikian bunyi undangan itu.
Bersama surat itu dilampirkan susunan acara peringatan. Acara akan dihelat petang hari. Dengan kendaraan, peserta bergerak menuju kuburan di Bovensmilde. Di sana, mereka melakukan tabur bunga, menyanyikan lagu kebangsaan, dan mengheningkan cipta. Dari sana, mereka menuju kuburan Boskamp di Assen dan melakukan upacara yang sama. Acara diakhiri dengan kebaktian di gereja di Assen.
Potret wajah enam pemuda Maluku juga dipasang. Mereka, semuanya kelahiran Schattenberg, adalah Max Djoni Papilaja (25), Hansina Frederika Uktolsjea (perempuan, 21), George Alexander Matulessij (22), Dominggus Rumahmorij (17), Ronald Lodewijk Paulus Lumalessil (22), dan Matheos Tunij (26). Mereka tewas di De Punt, Glimmen, Belanda, setelah melakukan aksi heroik dengan membajak kereta api dan menduduki sebuah sekolah dasar.
Komunitas Maluku di Belanda tengah menghadapi situasi politik yang tak menentu. Keinginan mereka mewujudkan RMS tak juga terealisasi, sementara pemerintah Belanda seolah menafikan masa lalu mereka.
Buntut Dekolonisasi
Orang-orang Maluku punya hubungan yang unik dengan Belanda. Karena faktor sejarah, status penduduk Maluku disamakan dengan Belanda di mata hukum kolonial. Banyak orang Maluku bergabung dengan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Namun, status mereka jadi tak menentu menyusul penandatanganan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.
Selain pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia, KMB menghasilkan keputusan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan 15 negara bagian. Maluku menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT). RIS tak berumur panjang. Negara-negara bagian, termasuk NIT, akhirnya bergabung dengan Republik Indonesia.
Johannes Alvarez Manusama, mantan anggota Zuid-Molukken Raad atau Dewan Maluku Selatan, dan Christiaan Robbert Steven Soumokil, mantan jaksa agung NIT, tak setuju dengan langkah itu. Dengan dukungan tentara KNIL dan sebagian penduduk Maluku, mereka mendesak Ketua Dewan Maluku Selatan J.H. Manuhutu untuk memproklamasikan kemerdekaan RMS. Pada 25 April 1950, RMS diproklamasikan oleh Manuhutu. Soumokil jadi presidennya.
Pemerintah Indonesia bereaksi dengan menggelar operasi militer di Ambon pada November 1950, yang memaksa pemerintahan RMS beserta pasukannya mundur ke Seram dan berjuang secara gerilya.
Nasib eks tentara KNIL menjadi perhatian Belanda. KNIL dibubarkan pada 26 Juli 1950 dan tentara-tentaranya diberi status sementara sebagai militer Kerajaan Belanda sebelum didemobilisasi. Karena batas waktu Belanda di Indonesia akan habis pada April 1951, pemerintah Belanda akhirnya mengangkut 12.500 orang Maluku, sebagian besar eks tentara KNIL, beserta keluarga mereka ke Negeri Kincir Angin.
Di Belanda, mereka ditempatkan di tempat-tempat penampungan yang tak layak di pinggiran kota: dari barak militer hingga bekas kamp konsentrasi Nazi; dari vila hingga biara yang kosong. Para eks tentara KNIL langsung dipecat dari dinas militer, yang berarti tak ada lagi gaji, dan sebagai gantinya mereka menerima tunjangan dalam jumlah tak seberapa. Untuk mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah. Pengisolasian dan perlakuan ini mengubah cara pandang mereka terhadap Belanda.
Di antara komunitas Maluku sendiri, yang tinggal dalam kamp-kamp terpisah dan berada dalam beragam organisasi sosial-politik, terdapat perbedaan pandangan. Pertikaian kerap terjadi. Beberapa organisasi kemudian melebur dalam sebuah organisasi gabungan. Salah satunya Badan Perwakilan Rakjat Maluku Selatan (BPRMS), yang dibentuk pada 1952. BPRMS dan Perwakilan Politik RMS di Belanda mulai bekerjasama setelah Manusama tiba di Belanda pada 1953 sebagai ketua misi politik untuk mencari dukungan luar negeri. Manusama kemudian menjadi pemimpin Perwakilan Politik RMS. Sejak itu pula dukungan terhadap gerakan RMS menguat.
“Kendati pemerintah Belanda tidak pro-RMS, kebijakannya pada 1950-an menciptakan situasi di mana gerakan RMS dapat berkembang. Kamp-kamp dan organisasi-organisasinya menciptakan sebuah infrastuktur di mana mobilisasi pendukung akar rumpur bisa terjadi,” tulis Nienke Daniëlla Offerman dalam “One People, One Flag”, tesis di Universitas Utrecht tahun 2009.
Selama bertahun-tahun, komunitas Maluku memendam harapan masa tinggalnya di Belanda hanyalah sementara hingga terwujudnya RMS yang merdeka.
Menurut Gert Oostindie dalam Postcolonial Netherlands: Sixty-five Years of Forgetting, Commemorating, Silencing, awalnya politisi Belanda, terutama dari sayap kanan, bersimpati pada orang-orang Maluku dan perjuangan untuk RMS. “Namun, hal itu tak disertai dengan bantuan nyata dan pada 1960-an Den Haag mulai menerapkan kebijakan integrasi. Hal ini menimbulkan frustrasi yang cukup besar di masyarakat Maluku...,” tulis Gert Oostindie.
Sebagai bagian dari kebijakan integrasi, pemerintah Belanda menghancurkan kamp-kamp penampungan dan mulai memindahkan orang-orang Maluku ke perumahan-perumahan yang terpecah-pecah di tengah-tengah daerah permukiman orang Belanda. Yang terbesar berada di woonwijken (distrik) Assen dan Bovensmilde.
Ketidakjelasan situasi politik dan integrasi yang tak mudah di lingkungan baru membuat orang-orang Maluku mulai mencari identitas diri mereka. Mereka bukanlah imigran, pengunjung, tapi bukan pula warga negara Belanda maupun Indonesia. Di sisi lain, pemerintah Belanda justru menganggap mereka sebagai warga negara Indonesia sehingga tak memberikan perlakuan khusus.
Sementara itu di Seram, RMS terdesak dan akhirnya perlawanan mereka berakhir pada 1963/1964. Soumokil ditangkap dan dieksekusi pada 1966.
Di Belanda, Manusama mengambil alih kepemimpinan dan bertindak atas nama pemerintahan RMS. Upaya lain untuk menyatukan organisasi-organisasi dilakukan Pendeta Samuel Metiary pada 1966 dengan membentuk Badan Persatuan RMS dengan tujuan menyalurkan kepentingan komunitas Maluku dan mewujudkan gagasan RMS. Baik Manusama maupun Metiary kemudian jadi juru bicara komunitas Maluku. Namun, posisi pemerintah Belanda jelas tak mau mengakui RMS.
Aksi Generasi Kedua
Pada akhir 1960-an, muncul aktivis-aktivis muda Maluku generasi kedua, yang lahir atau besar di Belanda. Mereka rutin menggelar pertemuan dan diskusi, termasuk membahas sejarah tanah leluhur mereka. Mereka berkesimpulan Belanda kurang bisa dipercaya dibandingkan yang diajarkan orangtua mereka. Mereka juga mencermati persaingan dan perpecahan di kalangan elite Maluku dan muak dengan pendekatan lembut yang diambil. Menyebut diri sebagai De Vrije Molukse Jongeren (Pemuda Maluku Merdeka), mereka mulai merencanakan tindakan yang radikal.
“Generasi kedua ini menemukan inspirasinya dalam gerakan-gerakan seperti Black Panthers di Amerika Serikat dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina, juga dari Castro di Cuba. Terinspirasi oleh semangat saat itu, ketika diyakini bahwa tindakan kekerasan dapat mempengaruhi perkembangan politik, anak-anak Maluku beralih ke kegiatan teror,” tulis Fridus Steijlen dalam “Closing the ‘KNIL Chapter’: A Key Moment in Identity Formation of Moluccans in the Netherlands”, termuat di Post-Colonial Immigrants and Identity Formations in the Netherlands yang disunting Ulbe Bosma.
Pada 31 Agustus 1970, mereka menduduki Wisma Indonesia, kediaman duta besar Indonesia Letjen TNI (Purn.) Taswin Natadiningrat, di Wassenaar, dekat Den Haag. Aksi ini dilakukan pada malam menjelang kunjungan resmi Presiden Soeharto ke Belanda dan memaksa Soeharto memundurkan kunjungan dua hari kemudian. Jalan itu diambil setelah tuntutan mereka mengenai diadakannya pertemuan antara Soeharto dan Manusama tak membuahkan hasil.
“Pertemuan antara Perdana Menteri Piet de Jong dan Manusama memang berlangsung belakangan, namun tak banyak berpengaruh. Ini mungkin berkontribusi pada tindakan kekerasan yang diikuti kemudian,” tulis Gert Oostindie.
Selama aksi pendudukan, mereka membunuh seorang polisi Belanda, Hans Molenaar, dan menyandera 14 orang, termasuk istri duta besar dan kedua anaknya serta staf. Duta besar sendiri lolos dari kepungan dan tiba di Kasteel Oud Wassenaar. Mereka mendesak agar isu RMS dibicarakan. Pemerintah Belanda menolak bahkan membujuk mereka menyerahkan diri. Perdana Menteri Piet de Jong menyatakan bahwa soal RMS “is een verloren zaak”, suatu tuntutan yang sudah kalah.
Sore harinya para aktivis RMS akhirnya menyerahkan diri. Mereka dihukum penjara dari empat bulan hingga tiga tahun. “Popularitas mereka di kalangan orang Maluku cukup besar,” tulis Gert Oostindie.
Kegagalan itu tak menyurutkan langkah para pemuda Maluku radikal. Ketika pemerintah Belanda tak merealisasikan janjinya, kisruh persoalan permukiman, dan pernyataan Ratu Juliana yang memberikan kemerdekaan bagi Suriname, mereka melontarkan ancaman kepada pemerintah Belanda.
Dalam surat tertanggal 27 Desember 1972, De Vrije Molukse Jongeren menyatakan: “Bila hak orang Maluku Selatan dilanggar. Jangan takut, oh, pemerintah Belanda, hak Anda juga bisa dilanggar!” Manusama juga mengirimkan surat yang memperingatkan pemerintah Belanda bahwa dia tak memaafkan kekerasan, tapi dia tak dapat menahan aktivis muda jika pemerintah menolak memberikan sedikit pun.
“Melihat surat-surat itu ke belakang, tampaknya mengejutkan bahwa pemerintah hanya sedikit memperhatikan orang-orang Maluku,” tulis Hieke van der Voort dalam “The History of the Moluccans in the Netherlands: a Constested Past?”, riset tesis master di Universitas Amsterdam tahun 2014.
Ancaman itu bukanlah gertak sambal. Mereka sempat berencana menculik Ratu Juliana, tetapi gagal. Pada 2 Desember 1975, tujuh pemuda Maluku bersenjata menghentikan dan membajak kereta api jurusan Groningen-Zwolle di Desa Wijster, Drenthe. Mereka menuntut pemerintah Belanda melakukan upaya negosiasi dengan pemerintah Indonesia untuk menjamin Republik Maluku Selatan yang merdeka. Ketika pemerintah Belanda tak memenuhi tuntutan itu, mereka menembak masinis, Hans Braam, dan dua penumpang, Leo Bulter dan Bert Bierling –yang terakhir selamat– dan melemparkan tubuh mereka keluar kereta.
Dua hari kemudian, sekelompok pemuda Maluku lainnya menduduki kantor Konsulat Jenderal (Konjen) Republik Indonesia di Amsterdam dan menyandera konjennya.
“Pemerintah Indonesia mengancam akan membalas dendam terhadap keluarga mereka di kepulauan Maluku. Dalam situasi seperti ini, delegasi pemimpin Maluku, yang dipimpin presiden RMS di pengasingan Manumasa akhirnya membujuk para pembajak untuk meninggalkan kereta,” tulis Beatrice de Graaf dalam Evaluating Counterterrorism Performance: A Comparative Study.
Pendudukan Konjen berakhir pada 19 Desember 1975 setelah adanya jaminan pertemuan antara Manusama dan pemerintah Belanda. Para pembajak kereta dihukum 14 tahun penjara, sementara pelaku pendudukan Konjen dihukum tujuh tahun penjara.
Pada Januari 1976, pemerintah Belanda setuju bertemu dengan Manusama. Dalam pembicaraan, baik Menteri Kebudayaan, Rekreasi, dan Pekerjaan Sosial (CRM) Harry van Doorn dan Perdana Menteri Joop den Uyl mengulangi posisi pemerintah: tak mungkin mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa di dalam bekas koloni. Namun, untuk memecahkan persoalan Maluku, pemerintah akhirnya membentuk Inspraakpunt Welzijn Molukkers (IWM) dan Commissie van Overleg Zuid-Molukkers-Nederlanders atau lebih dikenal dengan nama Komisi Köbben-Mantouw.
IWM, beranggotakan orang-orang Maluku, dibentuk untuk memberikan masukan atas kebijakan pemerintah terkait orang-orang Maluku. Namun, IWM tak pernah berfungsi dengan baik karena kurangnya anggaran dan sumber daya.
Sementara Komisi Köbben-Mantouw, beranggotakan lima orang Belanda dan lima orang Maluku, ditugaskan Kementerian CRM (kini Kementerian Pendidikan, Budaya, dan Ilmu Pengetahuan atau OCW) untuk melakukan penelitian mengenai masa lalu Maluku. Dinamakan demikian karena diketuai André Köbben, profesor antropologi di Universitas Leiden, dan Mr. Mantouw, seorang pekerja sosial Maluku. Menurut Hieke van der Voort, Komisi ini lebih disukai pemerintah, mendapat anggaran yang besar, sehingga menimbulkan kemarahan IWM.
Belum adanya hasil kerja Komisi Köbben-Mantouw, ditambah evakuasi penuh kekerasan atas kamp Maluku di Vaassen pada Oktober 1976, membuat para pemuda Maluku menjadi frustrasi. Pada 1977, bersama kawan-kawannya, Max Papilaya, seorang aktivis yang pandai bergaul, merencanakan teror baru yang lebih militan: membajak kereta api dan menduduki sekolah dasar.
Aksi Penghabisan
Pada 23 Mei 1977, mereka bergerak. Kelompok pertama, terdiri dari sembilan pemuda, delapan laki-laki dan seorang perempuan, menyasar kereta api Express 747 jurusan Assen-Groningen. Ketika kereta melintas di Desa De Punt, mereka menarik kabel darurat. Setelah kereta berhenti, mereka merangsek masuk dan menyandera penumpang. Jendela kereta ditutup agar apa yang terjadi di dalam kereta tak bisa dipantau dari luar. Bendera RMS dikibarkan di depan lokomotif.
Pada saat hampir bersamaan, empat pemuda Maluku lainnya menduduki sebuah sekolah dasar di Desa Bovensmilde, tak jauh dari jalur kereta. Setelah membebaskan 15 anak Maluku, mereka menyandera lebih dari 100 murid plus empat guru dan menempatkan mereka dalam dua ruangan yang jendelanya ditutupi koran.
Keesokan harinya, para penyandera membacakan tiga tuntutan lewat siaran stasiun televisi NOS: pemerintah Belanda harus memenuhi janji mengenai RMS, memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia, dan membebaskan 21 tahanan Maluku. Mereka memberi tenggat waktu hingga tanggal 25 Mei pukul 14.00. Apabila tuntutan itu tak diindahkan, mereka mengancam akan meledakkan kereta dan sekolah. Untuk memuluskan tuntutan itu, para pembajak meminta dua negosiator. Josina, janda Soumokil, dan Hasan Tan, bekas menteri urusan sosial dalam kabinet Manusama, berunding dengan para pembajak tapi menemui jalan buntu.
Perdana Menteri Joop den Uyl tak ingin gegabah. Namun, dia juga siap menggunakan kekerasan jika diperlukan. Sekira 2.000 tentara dan polisi yang tergabung dalam Bijzondere Bijstandseenheden (BBE) atau Unit Pendukung Khusus ditempatkan untuk mengawasi kereta maupun sekolah yang dikuasai pembajak.
Ketika tenggat yang ditentukan berakhir, alih-alih mewujudkan ancamannya, para pembajak mengajukan tuntutan baru, yaitu meminta disediakan sebuah pesawat untuk membawa mereka keluar dari Belanda bersama 21 teman mereka yang ditahan.
Pemerintah Belanda, atas saran Menteri Kehakiman Dries van Agt, tetap tak mengindahkan tuntutan itu. Namun, waktu berjalan sudah lebih dari dua minggu. Para sandera sudah mulai lelah. Masyarakat Belanda juga tak sabar dengan sikap lamban pemerintah. Pada 10 Juni 1977, Joop den Uyl pun mengambil sikap.
Keesokan harinya, pada pukul lima pagi, jet-jet tempur Angkatan Udara Belanda membuka operasi penyerangan. Personel BBE pun langsung merangsek ke sasaran. Hanya dalam waktu seperempat jam, mereka melumpuhkan para pembajak. Enam pembajak tewas. Sementara penyerbuan ke sekolah dasar oleh pasukan anti huru-hara dibantu empat kendaraan lapis baja cuma makan waktu lima menit.
Para pembajak kereta yang selamat diseret ke pengadilan. Junus Ririmasse dan Rudi Lumalessil dihukum delapan tahun penjara, Andreas Luhulima enam tahun penjara. Sementara para pelaku pendudukan sekolah diganjar sembilan tahun penjara.
Kendati tak setuju dengan aksi kekerasan tersebut, masyarakat Maluku bersimpati dengan gagasan untuk memaksa pemerintah Belanda mendengarkan cita-cita Maluku. Hal ini ditunjukkan dengan menghadiri prosesi pemakaman. Gugurnya keenam pejuang itu diperingati setiap tahun dan dijadikan hari nasional.
Beberapa pemuda Maluku tak terima dengan kekerasan yang dilakukan pemerintah. Pada Juni 1978, tiga pemuda Maluku menduduki gedung pemerintah provinsi di Assen dan menembak dua sandera, Ko de Groot dan Anggota Eksekutif Provinsi J. Trip. Aksi dihentikan dua hari kemudian. Para pelakunya dihukum 15 tahun penjara.
Menurut Gert Oostindie, aksi-aksi tersebut kian memperkuat kebijakan pemerintah Belanda. “Tindakan ini disambut dengan ketidakpercayaan dan penolakan menyeluruh terhadap spektrum politik dan menghasilkan kebijakan domestik yang ditujukan untuk meningkatkan integrasi ke masyarakat Belanda. Pemerintah mewaspadai hubungan yang rapuh dengan Indonesia yang berisiko mengenai RMS, yang dipandangnya sebagai mimpi yang sama sekali tidak realistis,” tulis Gert Oostindie.
Museum Maluku
Hasil kerja Komisi Köbben-Mantouw diterbitkan pada 1978 dengan judul Molukkersnota, atau nota tentang isu-isu minoritas Maluku di Belanda.
Menurut Hieke van der Voort, dengan pilihan kata-kata yang hati-hati, Molukkersnota menandakan adanya perubahan dalam kebijakan pemerintah. Molukkersnota adalah dokumen resmi pertama di mana pemerintah menyatakan telah membuat kesalahan dan kebijakannya tak membantu integrasi orang-orang Maluku. Di sisi lain, ia mengakui orang-orang Maluku merasa “dikesampingkan secara kasar oleh pemerintah Belanda”, dibawa ke dalam situasi ketergantungan total, tanpa mendapatkan status dan harga diri, sehingga mengeluarkan kemarahan dan rasa terhadap pemerintah Belanda.
Molukkersnota langsung dimentahkan dengan sebuah memo oleh IWM melalui Inspraaknota (Nota Partisipasi). Nota Partisipasi amat berpengaruh dan mengubah cara Molukkersnota dibahas dalam Tweede Kamer (Majelis Rendah). Setelah upaya menjalin saling percaya berjalan lamban dan bertahun-tahun, terbit Gezamenlijke Verklaring (Pernyataan Bersama) antara Badan Persatuan dan pemerintah Belanda pada 1986. Salah satu realisasinya adalah pembangunan Museum Moluks Historisch atau lebih dikenal dengan sebutan Museum Maluku (MuMa) –yang, sayangnya, terpaksa tutup pada 2012 karena kekurangan dana.
“Setelah bertahun-tahun menentang masa lalu, pemerintah Belanda akhirnya memberi komunitas Maluku sebuah ruang resmi untuk mempresentasikan perspektif mereka mengenai sejarah,” tulis Hieke van der Voort.
Museum Maluku, terletak di persimpangan Jalan Kruisstraat dan Jalan Biltstraat, tak jauh dari stasiun pusat kota Utrech, dibuka untuk umum pada November 1990. Museum Maluku bukan hanya memungkinkan masyarakat Maluku memvisualisasikan ingatan budaya mereka, tapi juga mengumpulkan banyak arsip dan sejarah Maluku.
“Saya berpendapat bahwa pembuatan Museum Sejarah Maluku merupakan langkah penting dalam menormalisasi sejarah bersama Maluku dan Belanda,” tulis Hieke van der Voort.
Integrasi Maluku membaik. Tapi yang tak kalah penting, ujar Gert Oostinde, integrasi demografis. “Semakin banyak orang Maluku menemukan pasangan hidup di luar masyarakat Maluku.”
Aksi para pemuda Maluku mengubah cara pandang orang-orang Maluku. Gagasan RMS, yang masih dipegang generasi tua, memudar. Para pemimpinnya mulai kehilangan dukungan. Bagi banyak orang Maluku, kesejahteraan dan masa depan mereka di Belanda lebih penting. Mereka mulai memikirkan tinggal permanen dan beradaptasi dengan lingkungan Belanda.
Toh, cita-cita RMS tak sepenuhnya pudar. John Wattilete, presiden RMS di pengasingan saat ini, berulang kali menuntut hak menentukan nasib sendiri. Isu RMS tetap menjadi duri dalam daging.*