Ny. Tauchid, istri Mochamad Tauchid, anggota PSI, memimpin rapat Gerakan Wanita Sosialis pada Kongres II PSI di Jakarta, 5-11 Juni 1955. (Repro Suara Sosialis; Maret 1958).
Aa
Aa
Aa
Aa
PEMILU 1955 sudah dekat. Siti Wahjunah Sjahrir, istri Sutan Sjahrir, biasa disapa Poppy Sjahrir, berkeliling Jawa untuk kampanye Partai Sosialis Indonesia (PSI). “Saya berkunjung ke daerah-daerah karena di sana banyak perempuan tidak tahu sama sekali soal organisasi dan politik,” kata Poppy kepada Erwiza Erman, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam proyek sejarah lisan di Arsip Nasional Republik Indonesia, 3 Mei 1984.
Poppy mengatakan paham soal organisasi tapi buta politik. “Saya terpaksa belajar politik karena Pemilu 1955,” kata Poppy.
Poppy masuk struktur PSI pada September 1954 sebagai penasihat untuk Seksi Wanita. Rekannya antara lain Maria Ullfah, Sunarjati Sukemi, Suwarni Pringgodigdo, dan Susilowati Riekerk. Mereka bertugas merancang taktik dan strategi untuk menarik kaum perempuan ke PSI. Tapi kendala menghadang: keterbelakangan kaum perempuan, pandangan bahwa politik hanya milik laki-laki, hingga kungkungan adat setempat.
PEMILU 1955 sudah dekat. Siti Wahjunah Sjahrir, istri Sutan Sjahrir, biasa disapa Poppy Sjahrir, berkeliling Jawa untuk kampanye Partai Sosialis Indonesia (PSI). “Saya berkunjung ke daerah-daerah karena di sana banyak perempuan tidak tahu sama sekali soal organisasi dan politik,” kata Poppy kepada Erwiza Erman, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam proyek sejarah lisan di Arsip Nasional Republik Indonesia, 3 Mei 1984.
Poppy mengatakan paham soal organisasi tapi buta politik. “Saya terpaksa belajar politik karena Pemilu 1955,” kata Poppy.
Poppy masuk struktur PSI pada September 1954 sebagai penasihat untuk Seksi Wanita. Rekannya antara lain Maria Ullfah, Sunarjati Sukemi, Suwarni Pringgodigdo, dan Susilowati Riekerk. Mereka bertugas merancang taktik dan strategi untuk menarik kaum perempuan ke PSI. Tapi kendala menghadang: keterbelakangan kaum perempuan, pandangan bahwa politik hanya milik laki-laki, hingga kungkungan adat setempat.
Untuk mengatasinya, Seksi Wanita meminta perempuan kader PSI di daerah agar membentuk organisasi. Namanya berbeda di tiap tempat. Di Bandung ada Gerakan Pembela Rumah Tangga dan Gerakan Wanita Kerakjatan; di Jakarta, Cikampek, Karawang, Cirebon, Indramayu, dan Kuningan ada Istri Sedar; di Tegal ada Gerakan Wanita Sedar; di Surabaya ada Ikatan Wanita Indonesia; dan di Malang ada Persatuan Wanita Indonesia.
Mereka bergiat dalam kursus organisasi, administrasi, dan urusan kewanitaan. Tapi mereka tak mampu beroleh massa. Ketidakteraturan program dan ketiadaan koordinasi jadi penyebabnya. PSI pun kehilangan lumbung suara perempuan dalam Pemilu 1955.
Belajar dari Lawan
Usai pemilu, Seksi Wanita masih menilai penting pembentukan organisasi perempuan sosialis, “untuk dapat menampung, melancarkan dan menyalurkan wanita-wanita ke arah perjuangan partai,” tulis Suara Sosialis, Februari 1956. Mereka berkumpul di Jakarta pada 17 Oktober 1955 dan membentuk Gerakan Wanita Sosialis (GWS). Poppy terpilih sebagai ketuanya.
Di bawah Poppy, GWS aktif berkegiatan. “Kami mempunyai cabang-cabang di semua sektor di Jakarta dan memulai program kerja dengan pemberantasan buta huruf di kampung-kampung dan memberikan pelajaran menjahit kepada para anggota organisasi kami dan kepada gadis-gadis yang tidak mampu,” kenang Mien Soedarpo, anggota GWS, dalam Kenangan Masa Lampau II.
GWS juga berkembang di sejumlah daerah. Ini lantaran mereka sudah punya pondasi berupa organisasi perempuan sosialis lokal. Mereka kini melebur ke GWS.
Untuk memperbanyak anggota, para pimpinan GWS dan PSI menyeru perempuan sosialis di kota untuk terjun ke desa-desa. “Dalam hal ini kita dapat lebih banyak belajar dari organisasi wanita lawan kita ialah Gerwani,” tulis Suara Sosialis, Juni 1957.
Mengkritik Konsepsi Presiden
Berbeda dari ranah sosial, GWS sering berseberangan dengan Gerwani dalam politik. Dalam kasus Konsepsi Presiden 21 Februari 1957 tentang Demokrasi Terpimpin misalnya. Sementara Gerwani mendukung, GWS menolak ide Presiden Sukarno untuk merombak sistem demokrasi parlementer.
“Dituduhnya demokrasi sebagai sumber segala ketidakberesan. Disalahkannya hak keleluasaan mendirikan partai dan organisasi sebagai sumber keburukan, dan orang mencari jawabnya pada ‘sistim pimpinan mutlak...’,” tulis Ny. K. Tauchid, pengurus GWS dalam Suara Sosialis, Oktober 1957. Tapi Konsepsi itu tak terbendung. Sistem demokrasi parlementer runtuh. GWS pun terpuruk bersama bubarnya PSI.
“GWS tak pernah dibubarkan karena tak punya hubungan organisatoris dengan PSI. Tapi kemudian kegiatan kami lumpuh,” kata Poppy kepada Erwiza Erman, 20 Juni 1984. Mereka aktif lagi pada 1974 dalam Sekber Golkar. Nama GWS berubah jadi Gerakan Wanita Sejahtera.*