KOLABORASI PNI dengan gerakan perempuan sudah berlangsung sejak awal mula partai itu berdiri. Kongres pertama PNI pada Mei 1928 di Surabaya menuai simpati yang besar dari golongan wanita. Terlebih karena dalam putusan kongres PNI mengupayakan perbaikan derajat kaum wanita: memerangi perkawinan anak, perkawinan paksa, dan memajukan perkawinan dengan satu istri (monogami). Putusan tersebut ditetapkan menjadi bagian AD/ART PNI saat itu.
“Pemimpin-pemimpin kaum wanita muda tampil ke muka seperti nona Suwarni Djojoseputro mula-mula dari Puteri Indonesia,” tulis Soenario dalam Banteng Segitiga.
Puteri Indonesia adalah organ perempuan dari Pemuda Indonesia (Jong Indonesia). Propaganda tokoh-tokoh nasionalis PNI, terutama Sukarno, mempengaruhi aktivisme pemuda-pemudi dalam gerak organisasi itu. Kendati tidak termasuk dalam struktur PNI, “persatuan batin dengan PNI tidak disembunyikan dan dikatakan berterus terang,” tulis A.K. Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.
KOLABORASI PNI dengan gerakan perempuan sudah berlangsung sejak awal mula partai itu berdiri. Kongres pertama PNI pada Mei 1928 di Surabaya menuai simpati yang besar dari golongan wanita. Terlebih karena dalam putusan kongres PNI mengupayakan perbaikan derajat kaum wanita: memerangi perkawinan anak, perkawinan paksa, dan memajukan perkawinan dengan satu istri (monogami). Putusan tersebut ditetapkan menjadi bagian AD/ART PNI saat itu.
“Pemimpin-pemimpin kaum wanita muda tampil ke muka seperti nona Suwarni Djojoseputro mula-mula dari Puteri Indonesia,” tulis Soenario dalam Banteng Segitiga.
Puteri Indonesia adalah organ perempuan dari Pemuda Indonesia (Jong Indonesia). Propaganda tokoh-tokoh nasionalis PNI, terutama Sukarno, mempengaruhi aktivisme pemuda-pemudi dalam gerak organisasi itu. Kendati tidak termasuk dalam struktur PNI, “persatuan batin dengan PNI tidak disembunyikan dan dikatakan berterus terang,” tulis A.K. Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.
Pada 1929, Suwarni menggelar pertemuan pengurus besar Puteri Indonesia di Bandung. Pertemuan yang juga dihadiri oleh Sukarno itu membicarakan dua hal: cita-cita persatuan Indonesia dan kesetaraan gender. Tujuan Puteri Indonesia selaras dengan pandangan Sukarno dan program PNI.
“Bahwa kaum wanita di Indonesia hendaknya menetapkan tujuan yang lebih tinggi yaitu tercapainya kemerdekaan nasional. Setelah itu, kaum wanita dapat menemukan persamaan yang mereka damba dengan terlebih dahulu bahu-membahu bersama kaum pria dalam perjuangan nasional,” tulis Colijn Brown, “Sukarno on the Role of Women in the Nationalist Movement”, termuat dalam Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 15 Januari 1981.
PNI mereduksi peran perempuan hanya dalam rumah tangga agar dapat membantu laki-laki yang harus memimpin perempuan.
Namun, kolaborasi dengan gerakan perempuan terputus tatkala pemerintah kolonial menangkap pemimpin PNI. Ketika Sukarno ditahan, Suwarni membentuk organisasi Istri Sedar yang tidak berafiliasi dengan PNI. Namun, komitmen perjuangan Istri Sedar dikenal paling nasionalis dan organisasi paling radikal hingga masa pendudukan Jepang.
Memasuki era kemerdekaan, perjuangan perempuan dalam tubuh PNI mendapat tempat melalui pembentukan organisasi Wanita Demokrat Indonesia (WDI). WDI didirikan oleh para Wanita Marhaenis pimpinan Nyonya Yusuphadi pada 1 Januari 1951.
Dalam aktivitasnya, “Wanita Demokrat berupaya menjamin posisi perempuan berdasarkan hak yang sama, khususnya dalam perkawinan, pendidikan, tenaga kerja, dan pertanian; memberi pendidikan dan bimbingan bagi wanita untuk pengembangan diri di segala bidang, khususnya posisi sebagai ibu dan istri,” tulis Elizabeth Martyn dalam The Women’s Movement in Postcolonial Indonesia: Gender and Nations in a New Democracy.
Saat kampanye pemilihan umum tahun 1955, WDI berperan signifikan di balik sukses PNI mendulang suara pemilih wanita. Selama satu dekade semenjak pendiriannya, sebanyak 350 cabang WDI telah berdiri di seluruh Indonesia. Namun, gerakan WDI hanya terpaut pada bidang dan aksi sosial. Dalam ranah politik, ia tak sepopuler Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) – organisasi perempuan yang disebut berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)– yang lebih progresif menggalang massa wanita saat itu.
“Kendati Wanita Demokrat merupakan organ perempuan penting dalam pemilu 1955, namun pamor dan perannya tetap tak bisa mengalahkan Gerwani,” ujar Satya Graha, mantan pemimpin redaksi surat kabar PNI, Suluh Indonesia.
PNI pun seolah setengah hati membesarkan WDI. Menurut sejarawan J. Elisio Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1945–1965, perhatian PNI terhadap pengembangan organisasi perempuan tidak banyak tercurahkan. Predikat partai priayi yang melekat pada PNI turut menulari WDI yang juga elitis. Pimpinan dan kebanyakan anggotanya ditarik dari kalangan istri dan putri anggota partai.
“Meski beberapa pimpinan puncaknya mempunyai kedudukan di parlemen dan dewan-dewan pimpinan partai, organisasi tersebut secara keseluruhan tidak mengembangkan sumber dukungan yang mandiri,” tulis Rocamora.
Salah satu tokoh politik perempuan PNI yang duduk di Parlemen dan Majelis Konstituante adalah Supeni. Dia bergabung dengan PNI cabang Madiun sejak 1946. Dari biografinya, Supeni: Wanita Utusan Negara karya Paul Tista diperoleh informasi bahwa pada 1949, Supeni sudah diangkat menjadi anggota Dewan PNI. Di masa Demokrasi Parlementer itu dia mendapat tugas mempersiapkan pemilihan umum 1955. Kerja kerasnya membuahkan hasil gemilang: PNI memenangi pemilihan umum.
Tak hanya Supeni, di Sumatra Utara ada Ani Idrus, wartawati kota Medan yang menjadi aktivis PNI. Bersama tokoh wanita Medan lainnya, Ani Idrus menghimpun kaum wanita dalam WDI cabang Sumatra Utara. “Kegiatan organisasi ini cukup banyak, antara lain menyokong perjuangan Republik Indonesia untuk keutuhan negara. Juga memperjuangkan hak-hak kaum wanita dalam setiap lapangan,” tulis Tridah Bangun dalam Hajjah Ani Idrus: Tokoh Wartawati Indonesia.
Namun demikian, menurut sejarawan Saskia Eleonora Wirenga, setelah kemerdekaan Indonesia, posisi PNI terhadap wacana perempuan mendua. PNI mereduksi peran perempuan hanya dalam rumah tangga agar dapat membantu laki-laki yang harus memimpin perempuan. “Diterimanya secara umum dominasi alamiah laki-laki pada gilirannya menyebabkan pembiaran penyalahgunaan praktik-praktik seperti poligami yang seharusnya dalam teori gerakan nasionalis ditolak,” tulis Saskia dalam Pengahancuran Gerakan Perempuan.
Pada 1964, WDI mengubah namanya menjadi Gerakan Wanita Marhaenis. Organisasi ini kian meredup pasca terjadinya prahara 1965, lama-lama menghilang seiring domestikasi peran perempuan semasa rezim Soeharto.*