Pelantikan dan pengambilan sumpah Perdana Menteri Burhanuddin Harahap di Istana Negara, 12 Agustus 1955. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
PADA 20 Agustus 1955, sembilan hari setelah kabinet terbentuk, Perdana Menteri Burhanuddin Harahap menyatakan kepada media: “Banyak orang kaya mendadak harus buktikan ia tidak korupsi.”
Selain mempersiapkan pemilu, pemberantasan korupsi menjadi salah satu program Kabinet Burhanuddin demi memulihkan kewibawaan serta kepercayaan rakyat dan tentara terhadap pemerintah. Maklum, kabinet sebelumnya dikecam karena kebijakan lisensi mengakibatkan korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat pemerintah –kebijakan yang juga dikecam Masyumi, partai Burhanuddin, yang tak masuk kabinet.
PADA 20 Agustus 1955, sembilan hari setelah kabinet terbentuk, Perdana Menteri Burhanuddin Harahap menyatakan kepada media: “Banyak orang kaya mendadak harus buktikan ia tidak korupsi.”
Selain mempersiapkan pemilu, pemberantasan korupsi menjadi salah satu program Kabinet Burhanuddin demi memulihkan kewibawaan serta kepercayaan rakyat dan tentara terhadap pemerintah. Maklum, kabinet sebelumnya dikecam karena kebijakan lisensi mengakibatkan korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat pemerintah –kebijakan yang juga dikecam Masyumi, partai Burhanuddin, yang tak masuk kabinet.
Untuk memperbaiki keadaan yang tak sehat itu, pemerintah menganggap perlu menjalankan tindakan keras dan tegas terhadap orang-orang yang korupsi. “Apabila korupsi yang mulai merajalela di berbagai kalangan itu dibiarkan saja, akan sangat merugikan rakyat dan negara,” kata Burhanuddin.
Kabinet Burhanuddin berhasil menggelar pemilu pada 1955, yang pertama setelah Indonesia merdeka. Namun hasil pemilu menjadi pukulan telak bagi Masyumi. Meski perolehan suaranya tak mengecewakan, namun masih kalah banyak dari Partai Nasional Indonesia yang berada di urutan pertama. Sementara menimbang perimbangan kekuatan berdasarkan hasil pemilu, kabinet menemukan keterbatasan hukum dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi. Untuk mengatasinya, tulis Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, kabinet merancang sebuah RUU yang akan memungkinkan pembentukan pengadilan terpisah untuk menggelar kasus korupsi dan memaksa terduga korupsi menjawab pertanyaan yang diajukan selama jalannya proses pemeriksaan di pengadilan ini.
Menteri Kehakiman Lukman Wiriadinata menyatakan UU ini akan menganut prinsip pembuktian terbalik dan berlaku surut. Sejumlah pengadilan khusus antikorupsi juga akan dibentuk di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Selain itu, Burhanuddin akan menghapus pembatasan terhadap kerja-kerja Jaksa Agung agar bisa bertindak leluasa terhadap siapa saja atas dasar hukum.
Pada 30 September 1955, sehari setelah pemilu dan setelah melalui perdebatan panjang, kabinet memutuskan memasukkan perubahan itu dalam bentuk UU darurat, yang hanya membutuhkan persetujuan parlemen yang tak berlaku surut (post factum). UU darurat, yang setingkat dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan UU, dimungkinkan berdasarkan UUD Sementara 1950.
“Harahap malah ingin mengeluarkan undang-undang antikorupsi itu sebagai undang-undang darurat agar pekerjaan dapat segera dimulai. UU antikorupsi diharapkan dapat membantu melancarkan prosedur pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak-tindak pidana korupsi,” tulis Deliar Noer dalam Partai Islam dalam Pentas Nasional.
Mendengar rencana itu, partai oposisi bereaksi negatif dan berusaha menghalangi niat pemerintah. PNI dan PKI meminta pemerintah tak mengeluarkan UU darurat tanpa persetujuan parlemen, untuk menghilangkan kecurigaan terhadap pemerintah.
Pemerintah mafhum, bila diajukan ke parlemen, UU antikorupsi akan melewati prosedur panjang dan memakan waktu. Kabinet Burhanuddin sebentar lagi akan demisioner dan tak punya kesempatan untuk bertindak lebih agresif menindak para koruptor. Karena itu, Kabinet Burhanuddin tetap meneruskan niatnya. Apalagi mereka mendapatkan dukungan dari beberapa partai koalisi seperti PSI, Partai Katolik, dan Partai Buruh. Sayangnya, keputusan itu mendapat tentangan dari Nahdlatul Ulama (NU), yang beberapa anggotanya oleh pers dituduh korupsi.
Namun, menurut Masdar F. Masudi dan Syafiq Hasyim, penulis profil K.H. Mohammad Iljas, menteri agama di masa Kabinet Buhanuddin, NU keberatan karena RUU tersebut tak punya dasar keadilan hukum. Berdasarkan RUU tersebut, seseorang bisa ditangkap dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi tanpa terlebih dulu melalui pengadilan. “NU juga mencium adanya gelagat tidak baik di balik RUU ini, yakni dijadikannya senjata untuk menyingkirkan saingan politik dalam pemilu. Alasan ini cukup masuk akal mengingat waktu diajukannya RUU tersebut bertepatan dengan masa menjelang pemilu,” tulis Masdar dan Syafiq dalam Menteri-Menteri Agama RI.
Bukan hanya menolak. “NU berencana menarik menteri-menterinya dari kabinet bila Burhanuddin Harahap mempercepat usaha pemberantasan korupsi dengan mengeluarkan undang-undang darurat itu,” tulis harian Merdeka, 10 November 1955.
Apabila korupsi yang mulai merajalela di berbagai kalangan itu dibiarkan saja, akan sangat merugikan rakyat dan negara.
Burhanuddin tetap mengajukan RUU antikorupsi ke presiden untuk ditandatangani. Presiden menunda penandatanganan dan ternyata kemudian memberikan penolakan kepada kabinet. Sejak awal kabinet ini terbentuk, presiden tak begitu setuju dengan komposisi kabinet yang dibentuk Burhanuddin atas penunjukkan Mohammad Hatta.
Dihadapkan pada posisi sulit, kabinet menerima saran presiden untuk menyerahkan RUU itu ke parlemen dengan konsekuensi mereka kehilangan waktu dan momentum. Menurut Herbert Feith, mereka punya alternatif: meminta tanda tangan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang diyakini mau menandatangani ketika presiden lagi di luar ibu kota. Tapi untuk ini, mereka butuh dukungan dari militer, yang para pemimpinnya terus mengecam korupsi Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Namun mereka tak yakin militer mendukung karena memperhitungkan empat partai besar pemenang pemilu.
Kabinet pun pasrah. Pada 8 November 1955, kabinet menyerahkan RUU antikorupsi untuk menjadi agenda komite di parlemen. RUU itu tak pernah dibahas. Konsekuensi lainnya, dua menteri dari NU mengundurkan diri: K.H. Mohammad Iljas mengundurkan diri sebagai menteri agama pada 19 Januari 1956 dan Mr. Sunarjo sebagai menteri dalam negeri.
Kabinet Burhanuddin Harahap mengembalikan mandatnya kepada presiden pada 3 Maret 1956, setelah hasil pemilu diresmikan.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II, hasil pemilu, atas dorongan Menteri Kehakiman Muljatno, kembali menggulirkan RUU antikorupsi. “Dalam rencana undang-undang antikorupsi yang baru itu saya bermaksud memasukan pengalaman-pengalaman yang telah diperoleh di luar negeri di lapangan ini, seperti di Mesir. Juga sewaktu kabinet yang lalu, ketika saya masih menjabat guru besar dalam hukum pidana di Yogyakarta (Universitas Gadjah Mada), saya telah memperhatikan soal ini dan timbul pendapat-pendapat saya sendiri yang mungkin akan dapat saya pakai,” kata Muljatno, dikutip Indonesia Raya, 14 April 1956.
Pada saat inilah terjadi kasus korupsi di Percetakan Negara yang menyeret nama Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani. Muljanto mendapat momentum untuk mengajukan RUU antikorupsi. Namun suara dalam kabinet terbelah. Hanya setelah Muljatno mengancam akan mengundurkan diri, kabinet menerima RUU yang disusun Muljatno. Dewan Pengawas Keuangan menambahkan anggapan umum tentang kebobrokan negara ketika mengeluarkan pernyataan bahwa sejumlah kementerian tak memberikan penjelasan atas pengeluaran mereka hingga puluhan juta rupiah. RUU antikorupsi Muljatno disetujui kabinet dan dikirimkan ke parlemen pada Oktober 1956.
Namun, menurut Daniel S. Lev dalam Legal Evolution and Political Authority in Indonesia, tentangan keras justru datang dari kalangan jaksa dan polisi. Asosiasi Kejaksaan menganggap RUU itu akan mensubordinasi jaksa agung di bawah menteri kehakiman dan mengizinkan campur tangan politik terhadap proses peradilan. Begitu pula Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) menentangnya karena RUU itu memberikan kontrol penuntutan dari kerja-kerja represif dan preventif kepolisian kepada menteri kehakiman. Pada November 1956, P3RI yang meminta kabinet mempertimbangkan kembali persetujuan RUU itu, mengancam mogok jika pemerintah tak mau berkonsultasi dengan P3RI.
“Oposisi mereka mungkin telah menggagalkan RUU itu, tapi ia berakhir setelah kabinet mengundurkan diri pada pertengahan Maret 1957,” tulis Lev.
Setelah jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Presiden Sukarno menetapkan keadaan darurat (SOB), yang memberikan kewenangan bagi militer untuk masuk dalam persoalan sipil. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI A.H. Nasution pun punya dasar hukum untuk menjalankan program pemberantasan korupsi yang sebelumnya hanya ditujukan untuk internal Angkatan Darat dan berjalan tersendat-sendat.
Pada 9 April 1957, Nasution selaku Penguasa Perang Pusat mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi untuk menerobos kemacetan dalam melancarkan usaha memberantas korupsi. Ia kemudian juga mengeluarkan peraturan No. Prt/PM/08/1957 tentang Penilikan Harta Benda yang memberikan wewenang kepada penguasa militer untuk menyelidiki harta benda setiap orang atau badan yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan. Untuk melengkapinya, dibuatlah peraturan Prt/PM/011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-Barang.
SOB berakhir setahun kemudian, berakhir pula peraturan penguasa militer. Sebagai gantinya, muncul Peperpu Angkatan Darat No. Prt/Peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Pidana Korupsi dan Penilikan Harta Benda serta Peperpu Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April 1958.
Menurut dua Peperpu itu, ada dua macam perbuatan korupsi. Pertama, perbuatan korupsi pidana, yang bisa dikenai hukuman badan dan/atau denda selain perampasan harta benda hasil korupsinya. Kedua, perbuatan korupsi lainnya di mana terdapat unsur “perbuatan melawan hukum”. Hukumannya tak diancam dengan hukum pidana melainkan pengadilan tinggi bisa merampas harta benda hasil perbuatan korupsi.
Pada 9 Juni 1960, pemerintah mencabut dua Peperpu tersebut dan menggantikannya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 5 Perpu ini mewajibkan setiap tersangka memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan yang diurusnya, apabila diminta oleh jaksa. Pasal ini juga mengatur bahwa bank hanya memberi keterangan tentang keadaan keuangan tersangka yang diminta oleh jaksa sesuai peraturan tentang rahasia bank.
Karena parlemen belum mengesahkan hingga 31 Desember 1960, melalui UU No. 1 tahun 1961, presiden memutuskan bahwa sejak 1 Januari 1961 Perpu ini menjadi UU No. 24 Prp tahun 1960.
Setelah proses panjang serta penuh perdebatan dan kepentingan politik, Indonesia akhirnya memiliki undang-undang pemberantasan korupsi. Ia menjadi penyejuk di tengah iklim korupsi yang merajalela dan menghancurkan.*