Kembalinya Si Burung Camar

Kepribadiannya unik. Lukisannya dibeli oleh Presiden Sukarno dan menjadi salah satu koleksi Istana Kepresidenan.

OLEH:
Budi Setiyono
.
Kembalinya Si Burung CamarKembalinya Si Burung Camar
cover caption
Ilustrasi Wen Peor. (M.A. Yusuf/Historia.ID).

IBARAT burung camar, pelukis Wen Peor mencari kebebasan sekaligus mencoba mengatasi situasi sulit dengan cara yang anggun. Ketika situasi di Indonesia tak menentu pasca-Peristiwa 1965, dia memutuskan pergi, menetap, dan berkarya di tanah leluhurnya.

“Ayah saya selalu menganggap dirinya sebagai burung camar yang kembali dari utara bersama seni,” ujar Wen Hai, “sehingga karyanya... menjadi jembatan antara Tiongkok dan Indonesia.”

Wen Hai menyampaikan hal itu pada pembukaan pameran lukisan karya Wen Peor bertajuk Hometown and Second Hometown yang digelar di Museum Seni Zhuhai Gu Yuan pada Juni 2017. Pameran ini diadakan oleh Akademi Seni Lukis Guangdong dan Museum Seni Zhuhai Gu Yuan untuk memperingati 20 tahun berdirinya Daerah Administratif Khusus Hong Kong dan 10 tahun meninggalnya Wen Peor.

IBARAT burung camar, pelukis Wen Peor mencari kebebasan sekaligus mencoba mengatasi situasi sulit dengan cara yang anggun. Ketika situasi di Indonesia tak menentu pasca-Peristiwa 1965, dia memutuskan pergi, menetap, dan berkarya di tanah leluhurnya.

“Ayah saya selalu menganggap dirinya sebagai burung camar yang kembali dari utara bersama seni,” ujar Wen Hai, “sehingga karyanya... menjadi jembatan antara Tiongkok dan Indonesia.”

Wen Hai menyampaikan hal itu pada pembukaan pameran lukisan karya Wen Peor bertajuk Hometown and Second Hometown yang digelar di Museum Seni Zhuhai Gu Yuan pada Juni 2017. Pameran ini diadakan oleh Akademi Seni Lukis Guangdong dan Museum Seni Zhuhai Gu Yuan untuk memperingati 20 tahun berdirinya Daerah Administratif Khusus Hong Kong dan 10 tahun meninggalnya Wen Peor.

Kepada wenweipo.com, Wen Hai mengatakan ayahnya lahir di Indonesia dan identitas sosialnya secara bertahap berubah jadi seniman progresif yang bersimpati pada kelompok kiri. Dia meninggalkan Indonesia setelah perubahan politik tahun 1960-an. Tapi hal ini tak memutuskan hubungannya dengan Indonesia, seperti terlihat pada karya-karyanya.  

Kampung halaman dan kampung halaman kedua merupakan konsep hidup berdampingan yang tidak dapat dipisahkan dalam diri Wen Peor.

Wen Peor (Repro Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works).

Pelukis Progresif

Wen Peor menapak karier sebagai pelukis di usia 22 tahun. Setelah menghasilkan cukup banyak karya, dia menggelar sejumlah pameran, baik tunggal maupun bersama pelukis lain.

Pada 1947, bersama Chia Choon Khui, Wen Peor mengadakan pameran bersama di Hotel des Indes Jakarta. Dalam ulasannya di koran Het Dagblad, 18 Juni 1947, penulis M.H. menyebut, kendati tak ada kemiripan sedikit pun pada karya-karya mereka, kedua pelukis punya banyak kesamaan. Yang paling menonjol: belum bisa memaksimalkan penggunaan linen, cat, dan kuas untuk menciptakan apapun selain gambaran tentang apa yang ditawarkan alam dan dunia kepada mata.  

“Karya mereka hanya bersifat ilustratif, tidak lebih.”

Namun, M.H. tetap memberikan apresiasi atas kehalusan cara melukis Wen Peor, warna kanvasnya yang hangat, dan gambar bagus yang mendasari lukisannya. Diyakini Wen Peor akan mencapai titik dapat “menciptakan” dan menjadi seorang pelukis penting.

Pada Oktober 1949, Wen Peor kembali mengadakan pameran bersama di Hotel des Indes. Kali ini bersama pelukis Siauw Tik Kwie. Setahun kemudian barulah dia menggelar pameran tunggal pertamanya di Padang. Sejak itu, Wen Peor mulai diperhitungkan.

"Kota Djakarta Seabis Oedjan", lukisan cat air (Pantjawarna, September 1949).

Dalam majalah Pantjawarna terbitan September 1949, penulis G.B.W. memberi gambaran mengenai seniman-seniman muda Tionghoa. Menurutnya, kebanyakan seniman yang masuk golongan western school belum bisa melepaskan diri dari cara-cara konvensional. Lukisan yang dihasilkan tak berbeda dari objek aslinya alias kurang mengandung imajinasi. Bukan hanya karena kurang keberanian tapi sebagian dipengaruhi oleh kemauan publik.

G.B.W. menyebut seniman-seniman muda Tionghoa masih naif. Tapi, untungnya, masih ada cahaya terang. Kendati jumlahnya sedikit, masih ada seniman muda progresif yang melakukan kerja kesenian lukis dengan sepenuh hati. Lebih berani dan tahu perbedaan antara menggambar dan melukis. Di antara pelukis yang progresif itu adalah Wen Peor.

G.B.W. mengulas beberapa lukisan cat air karya Wen Peor. Antara lain “Kembang Mata-Hari”, yang menurutnya penuh dan hidup; “Pintoe Gerbang Klenteng Toasebio” yang memberikan kesan kuat; serta “Kota Djakarta Seabis Oedjan” dengan goresan-goresan pensil yang tak terbatas, sementara warna-warnanya menarik hati dan harmonis.

Masa depan cemerlang sebagai pelukis profesional terbentang di depan mata. Namun, panggilan sosial mengetuk hatinya. Pada 1950, Wen Peor memutuskan kembali ke Bukittinggi. Dengan kebesaran hati, dia menggunakan penghasilan dari pameran lukisannya untuk membantu sebuah sekolah Tionghoa. Sembari tetap melukis, dia juga mengajar dan memimpin sekolah tersebut.

Delegasi Yin Hua bersama para pemimpin Tiongkok. Di barisan depan tampak Mao Zedong dan Zhou Enlai (Repro Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works).

Perjalanan ke Tiongkok

Wen Peor menghabiskan waktu di Bukittinggi selama lima tahun. Setelah itu, dia kembali ke Jakarta dan ikut membentuk Yin Hua Meishu Xiehui (Lembaga Seniman Indonesia Tionghoa) pada April 1955. Yin Hua dipimpin oleh Lee Man Fong. Wen Peor sendiri mula-mula anggota dan setahun kemudian jadi wakil ketua.

“Hidup saya sangat berarti waktu itu,” ujar Wen Peor dalam pengantar buku Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works.

Yin Hua, dipimpin oleh Lee Man Fong, bertujuan “melakukan penyelidikan dalam ilmu seni serta memperkembangkan kesenian dan mempertinggi kebudayaan.” Menariknya, persyaratan untuk menjadi anggota Yin Hua tak membedakan kewarganegaraan dan terbuka bagi semua orang Tionghoa yang hidup dan tinggal di Indonesia.

Yin Hua rutin menggelar pameran seni setiap tahun. Pada 7–14 Januari 1956, setahun setelah berdiri, Yin Hua menyelenggarakan pameran bersama pertama di Hotel Des Indes Jakarta. Pameran menampilkan 242 buah lukisan cat minyak, cat air, pastel, tinta cina, dan beberapa cukil kayu dalam beragam aliran seni.  

Beberapa bulan kemudian Wen Peor ikut pameran yang diadakan Himpunan Pelukis Muda II di Gedung Sin Ming Hui, Jakarta, pada 14 hingga 22 Juli 1956. Dalam rubrik seni di Star Weekly edisi 21 Juli 1956, Oei Sian Yok yang menulis dengan byline “pembantu senilukis kita” mengulas beberapa karya yang dipamerkan, termasuk karya Wen Peor. Tanpa menyebut judul lukisannya, Sian Yok menyebut karya Wen Peor mencolok karena gayanya yang khas dan warnanya yang tepat.

“Cuma, persoonlijk [secara pribadi] penulis ini berpendapat bahwa beberapa warna biru dalam pemandangan-pemandangannya adalah terlalu egaal [polos, rata] dan menyolok, tidak sesuai dengan keseluruhannya yang dilukiskan secara levendig [hidup, nyata],” catat Sian Yok, seorang perempuan kritikus seni Indonesia.

Ulasan-ulsan seni Sian Yok dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Tulisan Oei Sian Yok 1956–1961 yang disunting Brigitta Isabella.

Ketika pameran itu berlangsung, Wen Peor mengikuti perjalanan seniman Yin Hua ke Tiongkok dari Juni hingga Oktober 1956 atas dukungan Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok. Ini adalah kunjungan balasan atas kedatangan misi kebudayaan Tiongkok ke Indonesia pada Juli–Agustus 1955.

"Sekolah Tionghoa di Bukittinggi, Pulau Sumatera 1951", sketsa di atas kertas, 29 x 23 cm (Repro Homeland and Second Homeland: Wen Peor’s Works).

Kedatangan mereka disambut hangat oleh Persatuan Seniman Tiongkok cabang Kanton dan para pemimpin Tiongkok. Mereka juga menghadiri perayaan Hari Nasional Tiongkok.  

Selama di sana, Wen Peor meluangkan waktu untuk mengunjungi kerabat-kerabatnya di Meixian, sebuah distrik di Kota Meizhou, Guangdong. Dari kunjungan ini dia membuat lukisan cat minyak berjudul “Terang Bulan di Kampung Halaman”.

Untuk memenuhi permintaan tuan rumah, di akhir perjalanan Yin Hua menggelar pameran di Paviliun Ning Taman Beihai di Beijing. Mereka memamerkan 141 karya, baik yang dibawa dari Indonesia maupun karya baru yang dibuat selama tur Yin Hua.  

Dalam “Navigating and Exhibiting Ambivalence: Yin Hua Artist Organization and Sino-Indonesian Relations in the 1950s to 1960s” di jurnal Indonesia April 2024, Brigitta Isabella mencatat, delegasi Yin Hua tampil sebagai aktor paradiplomatik transnasional. Karya-karya mereka menampilkan indahnya kehidupan di daerah tropis Indonesia dan kemajuan Tiongkok sebagai wujud cinta terhadap kedua negara.  

“Yang saya maksud dengan paradiplomatik adalah menekankan posisi ganda Yin Hua sebagai orang yang ambigu di dalam dan di luar batas kewarganegaraan, sebagai subjek yang berasal dari kedua negara namun pada saat yang sama juga merupakan orang asing dan pengamat jauh terhadap lanskap budaya dan sosial di Tiongkok dan Indonesia,” catat Isabella.

Wen Peor adalah pengecualian. Dia menunjukkan gambaran yang berbeda tentang Indonesia. Karyanya (lama) dalam bentuk cukil kayu berjudul Lapar dan Penyanyi Jalanan terlihat menonjol di antara sajian gambar-gambar indah perempuan Indonesia pada pameran Yin Hua.  

Ada juga lukisanKami Harus Kembali ke Tanah Kami”. Menggambarkan orang-orang yang tak punya rumah untuk kembali, sehingga memahami rumah sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan, yang memungkinkannya untuk mengukir rasa kepemilikan politik di luar kebanggaan budaya artifisial negara-bangsa.

“Wen Peor adalah ciri kepribadian unik yang sangat jarang ditemui dalam kondisi sosial dan politik yang genting sebagai orang Indonesia keturunan Tionghoa pada tahun 1950an hingga 1960an,” catat Isabella.

"Terang Bulan di Kampung Halaman" (1956), cat minyak di atas kanvas, 100 x 77cm.

Kampungku

Sepulang dari Tiongkok, Yin Hua menggelar pameran lukisan di Hotel des Indes pada Juni 1957. Sembilan pelukis memamerkan 190 karya dari hasil perjalanan ke Tiongkok. Wen Poer sendiri menghadirkan 10 buah tangannya. Salah satu lukisannya, “Terang Bulan di Kampung Halaman”, dibeli oleh Presiden Sukarno dan menjadi salah satu koleksi Istana Kepresidenan.  

Dalam rubrik seni Star Weekly edisi 29 Juni 1957, Oei Sian Yok secara khusus mengulas karya Lee Man Fong dan Wen Poer. Sian Yok menyebut Wen Peor tampak melukis karena terdorong oleh perasaan seniman. Garis-garisnya menunjukkan lebih dari kepandaian tangan semata, seperti pada sketsa “Istana Yangkohung, Peking”.  

“Alangkah sederhana garis-garis itu, tetapi penuh dengan arti; suasananya dilukis tanpa warna, tanpa bayang-bayang dan alat-alat penolong lain.”

Warna-warna dalam lukisan cat minyaknya juga merupakan dunia fantasi yang mengagumkan dan menyentuh perasaan. Lebih mendalam daripada kesenangan yang mudah hilang. Kombinasi warna orisinil umpamanya terlihat pada karya “Pemandangan di Huang-tun, Anhwei”; dengan gunung merah jambu dan biru pada langit yang coklat muda serta pada bagian muka tanah keungu-unguan dengan jalanan kuning.  

“Meskipun stijl-nya sama, masing-masing lukisan menjadi lain karena mengandung hasil ilham dan pikiran seorang pelukis,” catat Sian Yok.  

Namun, yang menggugah perhatian, Wen Peor memberi dua judul lukisan hasil kunjungannya ke Tiongkok sebagai “Kampungku”. Brigitta Isabella dan Yerry Wirawan dalam tulisan “Praktik Seni Rupa Seniman Tionghoa Indonesia 1955–1965” di Jurnal IVAA, Agustus–Oktober 2015, menganalisis bahwa persoalan dwikewarganegaraan bagi kaum Tionghoa bukan hanya perkara memilih lokasi geografis untuk hidup dan tinggal tapi juga perasaan sense of belonging.  

“Pemahaman tentang apa itu ‘kampung halaman’ bukanlah sekadar soal tanah kelahiran atau tempat tinggal tapi juga perasaan memiliki dan dimiliki.”  

Setelah Jakarta, Yin Hua mengadakan pameran serupa di Panti Budaya Bandung pada September 1957. Pembukaan pameran dihadiri oleh Pj. Wali Kota Bandung, R. Basarah Ardiwinangun. Seluruh hasil penjualan lukisan disumbangkan untuk korban banjir di Priangan Timur.

Koran de Preangerbode, 17 September 1957, mencatat tujuh pelukis memamerkan karya-karya yang mereproduksi kesan perjalanan mereka dalam segala jenis teknik dan genre. Namun, gaya tradisional Tiongkok mendominasi. Sebagian besar lukisan menampilkan pemandangan alam.

“Wen Peor, yang lebih menyimpang dari tradisional dan mencari arah modern, muncul dengan beberapa kreasi yang sangat mencolok karena warnanya, di mana ia banyak bekerja dengan warna pink,” catat de Preangerbode yang mengambil contoh karya “Makam Dr. Sun Yat Sen” dan “1 Oktober di Beijing”.

“Lukisan terakhir sangat mencolok karena penggambarannya yang sugestif.”

Penjelajahan kreativitas berkesenian Wen Peor tak pernah mandeg. Kedekatannya dengan seniman-seniman kiri dan “kepulangannya” ke Tiongkok kemudian mewarnai karya-karyanya.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
66ad9225024be3aa44e1dc04
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID