SEBUAH pahatan bertulis Tanamur di sisi kanan atas bangunan itu masih terbaca jelas. Pagarnya tertutup rapat. Hampir tak ada celah untuk mengintip. Tak ada juga tanda-tanda aktivitas manusia di dalamnya. Sepi. Hanya keadaan sekitar yang ramai pedagang makanan dan warung asongan. Kontras dengan suasana 40 tahun lalu saat hentakan musik disko memenuhi Tanamur, diskotek pertama dan tertua di Jakarta.
“Kuping saya sampai pengang seharian setelah mengunjungi Tanamur malam itu,” kenang Firman Lubis.
Firman, kini lebih dikenal sebagai penulis buku tentang sejarah Jakarta, saat itu baru menjadi dosen muda di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia dan kawan-kawannya mengunjungi Tanamur pada 1971. “Waktu itu saya ingin tahu seperti apa diskotek Tanamur,” kata Firman.
SEBUAH pahatan bertulis Tanamur di sisi kanan atas bangunan itu masih terbaca jelas. Pagarnya tertutup rapat. Hampir tak ada celah untuk mengintip. Tak ada juga tanda-tanda aktivitas manusia di dalamnya. Sepi. Hanya keadaan sekitar yang ramai pedagang makanan dan warung asongan. Kontras dengan suasana 40 tahun lalu saat hentakan musik disko memenuhi Tanamur, diskotek pertama dan tertua di Jakarta.
“Kuping saya sampai pengang seharian setelah mengunjungi Tanamur malam itu,” kenang Firman Lubis.
Firman, kini lebih dikenal sebagai penulis buku tentang sejarah Jakarta, saat itu baru menjadi dosen muda di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia dan kawan-kawannya mengunjungi Tanamur pada 1971. “Waktu itu saya ingin tahu seperti apa diskotek Tanamur,” kata Firman.
“Di sana, orang lebih bisa menikmati musik dan berjoget ajojing,” ujar Teguh Esha, penulis cerita bersambung “Ali Topan Anak Jalanan”, kemudian jadi buku dan film, di majalah Stop tahun 1972.
Tanamur merupakan akronim dari Tanah Abang Timur, lokasi diskotek ini. Ia didirikan pada 12 November 1970 oleh seorang pengusaha muda keturunan Arab, Ahmad Fahmy Alhady –suami aktivis-cum-seniman Ratna Sarumpet, sebelum akhirnya bercerai pada 1985. Bermula dari ketidakbetahan Fahmy kuliah teknik industri di Jerman, ia pun berniat menjadi pengusaha di Jakarta. Cita-citanya hampir sesuai dengan keinginan bapaknya, pengusaha tekstil di Pasar Tanah Abang. Hanya bidang usahanya yang berbeda.
Fahmy melihat peluang bisnis di hiburan malam (night club). Tapi ia jenuh dengan tempat hiburan malam di Jakarta yang suasananya terlalu formal. Ia ingin menyodorkan suasana yang lebih santai dan bebas. Iklim investasi dan peluang pasar terbuka lebar.
Demam Disko
Jakarta kala itu tengah dilanda demam kelab malam seiring dibukanya keran investasi asing di Indonesia dan tumbuhnya kelas menengah. Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta, menopangnya. Baginya, kelab-kelab malam dapat menjadi sumber pemasukan provinsi, sedangkan para pengusaha melihat ibu kota sebagai pasar yang lagi bergeliat.
Berdirilah sejumlah kelab malam seperti LCC (La Cassa Cosindo) di sekitar Lapangan Merdeka, Latin Quarter di Harmoni, dan Tropicana di Senayan. Di sana pertunjukan live music disuguhkan tiap malam bersama minuman keras di bawah temaram sinar lampu. Selain itu, untuk menarik pengunjung, kelab-kelab malam menyediakan hostes (pramuria perempuan yang dapat diajak berkencan) dan tari telanjang.
“Kebanyakan pengunjung night club itu orang tua, pejabat, atau pengusaha,” kata Teguh Esha. Sebagai wartawan, ia beberapa kali mengunjungi kelab-kelab malam itu. “Untuk bahan menulis di majalah Stop karena tempat itu menjadi sentra gosip,” katanya.
Inilah celah yang dimasuki Fahmy. Tak seperti kelab malam, Tanamur awalnya hanya menyuguhkan musik dari pelat atau piringan hitam dan kaset. Konsep ini diadopsi Fahmy dari tempat hiburan malam di Amerika, Jerman, dan Paris. Di sana, diskotek mewabah bersama dengan demam musik disko. Di diskotek, orang bisa mendengarkan musik yang diputar disc jockey atau DJ. Mereka juga bisa berjoget ajojing sesukanya di tengah ruangan tanpa khawatir melanggar aturan formal seperti di kelab malam.
Mulanya banyak orang heran dengan konsepnya. Bahkan tak sedikit yang baru kenal kata “diskotek”. Seorang pejabat provinsi Jakarta bahkan menanyakan perihal kata itu ketika Fahmy meminta izin pendirian diskoteknya. Setelah mendapat izin, dengan merogoh kocek Rp20 juta, Fahmy menyulap bekas rumah tua menjadi diskotek. Bangunannya bercat hitam. Jendela dan pintunya menyerupai ornamen di gereja. Di dalamnya, ada lengkung atap yang dapat dijumpai di masjid.
“Arsitektur bangunan diskoteknya cukup eksentrik. Ini karena Fahmy juga rada-rada eksentrik,” kata Firman yang mengenal Fahmy dari salah satu temannya.
Ketika memasukinya, orang akan melewati pintu merah bercorak klasik lalu menuruni tangga. Bar mini terbuat dari kayu segera menyambut. Ruang ajojingnya cukup luas. Bangku-bangku berbantal kulit kambing. “Mungkin gaya inilah yang menarik anak muda dan bule datang,” kata Firman.
Gulung Tikar
Berbeda dari pengunjung kelab malam, sekira 60 persen pengunjung Tanamur merupakan anak muda dan orang asing. Meski masih tergolong mahal, biaya masuk (cover charge) Tanamur lebih murah ketimbang kelab malam atau diskotek lain yang kemudian bermunculan. Ini lantaran Fahmy menginginkan diskoteknya juga didatangi mahasiswa atau anak muda “tongpes” alias kantong kempes. Bahkan Tanamur menyediakan Tanamur Student Club, kartu anggota untuk mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki kartu itu mendapat potongan biaya masuk.
Tanamur bukan tanpa pesaing. Beberapa hotel menyediakan diskotek seperti Guwa Rama di Hotel Indonesia dan The Oriental Club di Jakarta Hilton. Berdiri juga diskotek Mini Disco dan Pitstop. Karena persaingan inilah, juga keinginan pengunjung, Tanamur sempat mengubah konsep. Akhirnya, belum genap setahun berdiri, Tanamur mulai menyediakan hostes. Konsep ini bertahan lima tahun. Sejak 1976 Tanamur tersohor sebagai diskotek tanpa menu hostes dan tari telanjang.
“Tanamur hanya menyediakan pramuria biasa, bukan hostes seperti umumnya di kelab-kelab malam,” ujar Zeffry Alkatiri, seorang penulis buku, saat mengunjunginya tahun 1976.
“Sepanjang saya mengunjungi Tanamur sedari 1980 sampai 1993, Tanamur tak pernah menyediakan itu,” ujar Wawan, berusia 54 tahun, seorang pengunjung setia Tanamur.
Kala itu, beberapa tempat hiburan malam gulung tikar karena kejenuhan masyarakat. Namun Tanamur masih bertahan, bahkan kian berkibar. Pengunjungnya mulai beragam. Wawan mengatakan masa itu merupakan masa keemasan Tanamur. Sederet nama beken dalam dunia hiburan dan seni pernah di Tanamur. “Peter Gontha, Sardono W, Nurul Arifin beserta Mayong, almarhum Bagong, sampai Setiawan Djodi pernah datang ke Tanamur. Meski banyak high class, kelas jelata juga banyak yang datang,” ujar Wawan.
“Muhammad Ali, Bee Gees, Ruud Gullit, dan pemain sepakbola Sampdoria setahu saya juga pernah datang ke sini. Pokoknya, dari yang berjas sampai yang bersandal jepit ada di sini,” ujar Vincent, berusia 59 tahun, mantan DJ Tanamur pada 1982–2005.
Beberapa bule suka datang ke Tanamur. Sampai-sampai, suatu kali, ketika sedang jalan-jalan di London, seorang bule mengenalinya sebagai DJ Tanamur. Malamnya, ia mengajak Vincent tampil sebagai DJ di sebuah diskotek London. “Dia bilang ia sering ke Tanamur saat ke Jakarta,” katanya.
“Waktu itu ada istilah enggak ke Jakarta kalau enggak ke Tanamur. Itu karena mereka senang dengan acara-acara di Tanamur seperti Haloowen Party, Ladies Night, dan Foam Party (pesta busa),” ujar Firdaus Alhady, mantan manajer gudang Tanamur tahun 1992 sekaligus kerabat Ahmad Fahmy.
Lampu disko Tanamur terus berkelap-kelip kendati razia ekstasi dan krisis ekonomi pada 1990-an mengurangi jumlah pengunjung dan membuat kolaps beberapa diskotek. Situasi sulit justru muncul setelah peristiwa Bom Bali 2002. “Memang Tanamur mulai sepi karena isu keamanan dan terorisme. Tamu kami menurun meski tidak bisa dibilang kosong,” kata Firdaus.
Pada 2005, Fahmy berkata kepada Firdaus yang saat itu telah menjadi GM Tanamur. “Apa kita istirahat saja? Kita capek,” ujar Fahmy seperti ditirukan Firdaus.
Lampu disko Tanamur pun meredup. Dua tahun kemudian Fahmy meninggal dunia karena stroke. “Terlampau banyak kenangan di Tanamur,” ujar Firdaus.*