Pemerintah Indonesia menjalankan hukuman mati berdasarkan hukum peninggalan Belanda. Dari dulu hingga kini muncul suara untuk menghapuskannya. Kenapa gagal?
Eksekusi dua terpidana mati pada masa kolonial di depan Balai Kota Batavia, 1895-an. (Tropenmuseum).
Aa
Aa
Aa
Aa
AKHIR Juli 2016, pemerintah kembai melakukan eksekusi mati terpidana narkotika. Pro dan kontra pun kembali bergema mengenai masih pantaskah hukuman mati diterapkan di Indonesia.
Pemerintah berdalih hukuman mati masih diperlukan untuk menimbulkan efek jera, terutama dalam kasus narkoba, dan juga demi kepastian hukum mengingat hukum positif di Indonesia masih menganut hukuman mati. Sementara pegiat hak asasi manusia (HAM), yang menolak hukuman mati, beranggapan hukuman itu melanggar HAM. Sejumlah negara di dunia sudah menghapus praktik tersebut. Mereka juga menyebut bahwa hukuman mati menimbul efek jera adalah mitos, terbukti dengan meningkatnya pengguna narkoba.
“Pada 1988 dan 1996, penelitian PBB menunjukan bahwa efek jera tidak terbukti,” kata Arif Maulana, kepala Bidang Fair Trail Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Bersama Komnas HAM, Elsam, Imparsial, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH menggiatkan kampanye penghapusan hukuman mati di Indonesia.
AKHIR Juli 2016, pemerintah kembai melakukan eksekusi mati terpidana narkotika. Pro dan kontra pun kembali bergema mengenai masih pantaskah hukuman mati diterapkan di Indonesia.
Pemerintah berdalih hukuman mati masih diperlukan untuk menimbulkan efek jera, terutama dalam kasus narkoba, dan juga demi kepastian hukum mengingat hukum positif di Indonesia masih menganut hukuman mati. Sementara pegiat hak asasi manusia (HAM), yang menolak hukuman mati, beranggapan hukuman itu melanggar HAM. Sejumlah negara di dunia sudah menghapus praktik tersebut. Mereka juga menyebut bahwa hukuman mati menimbul efek jera adalah mitos, terbukti dengan meningkatnya pengguna narkoba.
“Pada 1988 dan 1996, penelitian PBB menunjukan bahwa efek jera tidak terbukti,” kata Arif Maulana, kepala Bidang Fair Trail Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Bersama Komnas HAM, Elsam, Imparsial, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH menggiatkan kampanye penghapusan hukuman mati di Indonesia.
Kehebohan ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, pada 2015, terjadi pro dan kontra pelaksanaan hukuman mati, terutama terhadap warga negara asing. Bahkan, Australia dan Brasil sempat mempertimbangkan pemutusan hubungan diplomatiknya dengan Indonesia karena warga negara mereka dieksekusi mati.
Praktik hukuman mati di Indonesia berlangsung sejak berabad-abad lalu. Pro dan kontra kerap mewarnainya. Tak heran jika ada anggapan bahwa hukuman mati adalah salah satu jenis pidana tertua dan paling kontroversial di dunia.
Pelaksanaan hukuman gantung Tan Bung Tjian alia SImpeh, terdakwa pembunuhan Njonja Assam, 1896. (historiek.net).
Hukuman Bagi Oposan
Di Asia Tenggara, pelaksanaan hukuman mati sudah dilakukan sebelum masa kolonial. Menurut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Waktu Niaga, 1450–1680 Jilid I: Negara di Bawah Angin, hukuman mati sudah diterapkan pada abad ke-15 sampai 16.
“Di Asia Tenggara, setiap upaya pengkhianatan pada kekuasaan raja dijatuhi berbagai jenis hukuman mati yang mengerikan seperti pemenggalan kepala, dipaku di tiang kayu, pemotongan anggota badan, dibakar hidup-hidup, diinjak-injak gajah, atau dimakan harimau,” tulis Reid.
Di Jawa, misalnya, hukuman mati ditemukan di kerajaan Mataram. Sejarawan Wilson menyebut struktur politik feodal mendukung penerapan praktik ini. Raja mengatur segala hal dalam kehidupan masyarakat, termasuk otoritas menjatuhkan hukuman mati pada sesorang. Bentuk hukuman mati yang paling mengerikan adalah diadu dengan harimau dan picis –disayat lalu diolesi garam atau asam sampai tersangka meninggal dunia. Hukuman picis dan hukuman potong dihapus Paku Buwono IV atas usul Letnan Gubernur Raffles.
Hukuman mati bukan hanya diterapkan pada rakyat biasa. Orang di lingkungan kerajaan bisa terkena hukuman itu jika berseberangan atau menentang raja. Amangkurat I, misalnya, menghukum mati mertuanya, Pangeran Pekik, tahun 1663.
Hukuman mati juga diterapkan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) melalui sejumlah peraturan dalam bentuk plakat. Mulanya hanya berlaku di Batavia. Setelah daerah yang dikuasainya bertambah, peraturan itu diperlakukan di daerah-daerah lain. Plakat-plakat itu kemudian dikumpulkan dalam satu himpunan yang disebut Statuta Batavia pada 1642. Dalam peraturan itu, gubernur jenderal memiliki kekuasaan atas hukum, termasuk hukuman mati.
“Berbagai bentuk kejahatan dari pencurian, perzinahan, pembunuhan, hingga oposisi politik dapat dijatuhi hukuman mati oleh gubernur jenderal. Tidak ada aturan baku, dihukum sesuai tingkat kejahatan dan kerugian yang ditimbulkan,” tulis Wilson dalam “Warisan Sejarah Bernama Hukuman Mati,” termuat di Politik Hukuman Mati di Indonesia yang disunting Robertus Robet dan Todung Mulya Lubis.
Oposisi politik atau usaha makar menjadi hal yang sering diganjar dengan hukuman mati. Misalnya, rencana pemberontakan Pieter Erberveld, pengusaha turunan Belanda-Jerman. Erberveld dihukum mati pada April 1722.
Di masa Herman Willem Daendels, hukuman mati baru bisa dilakukan setelah dikukuhkan gubernur jenderal, kecuali hukuman mati yang dijatuhkan penguasa militer karena kondisi pemberontakan. Caranya bermacam-macam, dari dibakar hidup-hidup hingga ditikam keris. Hukuman mati secara keji dihapus setelah berlaku politik liberal di Hindia Belanda. Ia digantikan dengan hukuman tembak atau gantung.
Hukuman mati kemudian dilegalkan dalam Wetboek van Strafrecht voor European untuk orang Eropa yang berlaku pada 1867 dan Wetboek van Strafrecht (Wv.S) untuk bumiputra pada 1873. Hal ini terbalik dengan kondisi di Belanda, yang sudah menghapuskannya pada 1870. Suara untuk menghapuskan hukuman mati di Hindia Belanda bukannya tak bergema, kendati kandas.
“Alasannya munafik. Orang yang tinggal di Indonesia budayanya berbeda, belum beradab, dan belum siap merombak sistem pidananya,” tulis Jan Pronk dalam “Hukuman Mati Tidak Punya Tempat di Abad ke 21”, termuat di Politik Hukuman Mati di Indonesia.
Snouck Hurgronje. (Tropenmuseum).
Usul Penghapusan
Pada Agustus 1915 dan Februari 1916, apa yang disebut sebagai “Panitia Pusat untuk mencegah penegakan hukuman mati dalam Kitab Hukum Pidana yang baru di Hindia Belanda dan untuk memperbaiki sistem pidana Hindia” mengirim surat permohonan kepada Ratu Belanda yang mendesak penghapusan hukuman mati di Hindia Belanda.
Soal ini tampaknya butuh pertimbangan yang rumit. Sampai-sampai sekretaris jenderal Departemen Daerah Jajahan berkirim surat kepada Snouck Hurgronje, penasihat urusan Hindia dan Arab, pada November 1917 untuk meminta saran. Dalam surat itu disebutkan, Dewan Hindia terpecah belah tentang masalah tersebut. Sementara gubernur jenderal, seperti juga Direktur Kehakiman Mr. Sonneveld ingin melestarikan hukuman mati untuk Hindia Belanda.
“Sebelum mengambil keputusan berkenaan dengan hal ini Menteri ingin mendengar pendapat Anda tentang pertanyaan apakah hukuman mati untuk penduduk pribumi bersifat menjerakan? Dan kesan apakah yang akan timbul pada penduduk tersebut terhadap penghapusan hukuman itu?”
Dalam balasannya, sebagaimana dimuat dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936 Jilid V, Snouck menyebut kesan atas kematian pada hati pribumi tak begitu kuat dibandingkan orang Eropa dan terhapus lebih cepat. Ini karena adanya kepercayaan akan takdir atau, untuk wilayah-wilayah non-Islam, kekuasaan lebih tinggi yang menentukan hidup-mati manusia.
Menurut Snouck, pribumi punya banyak alasan untuk melawan penegakan hukuman mati. Namun, ada juga yang membela dengan alasan bahwa dalam sistem pidana pribumi mana pun hukuman mati itu ada dan umumnya dianggap sudah dengan sendirinya.
“Sementara itu hukum pidana kita dan penerapannya mengandung banyak unsur yang di dunia Hindia Belanda, bukan tanpa alasan, dirasakan sebagai pernyataan hukum menurut golongan atau ras. Meskipun orang semakin keras mengimbau agar diadakan pembaruan, namun dari pihak itu tidak pernah terdengar suara yang minta penghapusan hukuman mati,” tulis Snouck.
Snouck melanjutkan, di parlemen “kita” terdapat banyak penganjur hukuman mati karena alasan agama atau oportunis. Sementara gubernur jenderal bersama beberapa penasihatnya menganggap penghapusannya berbahaya. “Oleh karena itu, agaknya jalan tengahlah yang pantas ditempuh untuk sementara, yaitu menegakkan hukuman mati secara teori, disertai dengan penetapan asas bahwa pemberian grasi akan menjadi kebiasaan, seperti keadaan yang berlaku di negeri Belanda selama bertahun-tahun sebelum penghapusan hukuman mati. Dengan demikian, penghapusannya akan dipersiapkan dengan cara yang tidak akan menimbulkan keberatan di beberapa kalangan,” tulis Snouck Hurgronje.
Maka, sejak Januari 1918, diberlakukanlah Wetboek van Strafrecht untuk Eropa dan bumiputra. Hukuman mati masih diterapkan untuk dua hal, tindak kriminal dan oposisi politik. Hukuman mati tak bisa dilakukan sebelum gubernur jenderal diberi kesempatan memberikan grasi.
Hukuman mati antara lain diterapkan pada pemberontakan November 1926 di Jawa dan awal 1927 di Sumatra oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sekitar 20 ribu orang ditangkap. Sebagian besar tahanan dibuang ke Digul. Sisanya mendapat berbagai hukuman, dari kurungan sampai hukuman mati. Pelaksanaan hukuman mati itu menuai protes dari kalangan pemuda Belanda. Tapi pemerintah bergeming.
Warisan yang Langgeng
Setelah merdeka, bahkan hingga kini, Indonesia tetap menerapkan hukuman mati yang tertera dalam hukum peningalan Belanda yang kini bernama Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam tataran global, penghapusan hukuman mati menjadi pembahasan serius setelah tercapainya Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia pada 1948. Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian menetapkan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada 1966. Pada dua peraturan internasional itu, manusia memiliki hak untuk hidup. Peraturan tersebut membawa perubahan di dunia internasional: 160 dari 193 negara menghapus hukuman mati. Namun, Indonesia masih menerapkannya, terutama untuk kasus narkotika.
Beberapa upaya dilakukan untuk menghapus praktik ini. Pada 2007, misalnya, beberapa terpidana mati narkotika seperti Edith Yunita Stantiri, Rani Andriani, Myuran Sukumuran, dan Andrew Chan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menggunakan Pasal 28a UUD 1945 tentang hak untuk hidup sebagai dasar. Mahkamah Konstitusi menolaknya.
Menurut Arif Maulana, penghapuskan hukuman mati melalui jalur hukum cukup berat. Sebab, pidana mati termuat dalam KUHP pasal 10 sebagai pidana pokok. “Kalau pasal ini diubah maka hukuman mati akan dihapus,” kata Arif Maulana.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHP yang dimulai sejak 1964 akhirnya selesai tahun 2023. KUHP warisan kolonial Belanda menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok, sedangkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP status pidana mati menjadi pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif.
Selain itu, Arif juga menyoroti pola pikir yang telah tertanam lama di benak masyarakat. “Publik harus memahami bahwa hukuman mati tidak memberi jera terhadap kriminalitas. Selain itu, ada hak untuk hidup yang dijamin Undang-Undang Dasar,” ujarnya.
Zaman memang sudah berlalu. Tapi suara Snouck Hugronnje tentang sikap “pribumi” seolah masih menggema.*