Kenapa Sepakbola Indonesia Kalah Melulu?

Prestasi timnas Indonesia bikin geregetan. Dulu dijuluki “Macan Asia”, sekarang Asia Tenggara saja tak bisa ditaklukkan.

OLEH:
Randy Wirayudha
.
Kenapa Sepakbola Indonesia Kalah Melulu?Kenapa Sepakbola Indonesia Kalah Melulu?
cover caption
Ilustrasi: Betaria Sarulina

KERUTAN di wajah. Kumis dan janggut lebat. Tatapan mata tajam. Suaranya yang berat dan tegas. Di usia 79 tahun, I Gusti Kompyang Manila masih memendam gairah terhadap persepakbolaan Indonesia. Dia ingin tim nasional (timnas) Indonesia kembali berjaya seperti dulu.

Ingatannya melayang ke masa 30 tahun silam. Pada SEA Games 1991 di Filipina, Manila menjadi manajer timnas sepakbola Indonesia. Di babak penyisihan grup, Indonesia menyapu kemenangan dengan mengalahkan lawan-lawannya: Malaysia, Vietnam, dan tuan rumah Filipina. Di semifinal, Indonesia berjibaku menghadapi Singapura. Pertandingan berjalan ketat dan harus diselesaikan dengan adu penalti.

Dewi fortuna berpihak pada Indonesia. Tinggal selangkah lagi Indonesia untuk menjadi juara. Lawan yang dihadapi: Thailand.

Di final, Indonesia yang diarsiteki Anatoli Fyodorovich Polosin kembali harus menghadapi lawan tangguh. Saking sengit laga, dua babak waktu normal dan perpanjangan waktu menghasilkan skor kacamata. Pemenang ditentukan lewat adu penalti.

Dalam adu penalti, kekuatan mental amat menentukan. Thailand berada di atas angin karena tiga penendang pertama melakukan tugas dengan baik. Sementara di pihak Indonesia, Ferril Hattu dan Heriansyah berhasil menyarangkan bola ke gawang tapi Maman Suryaman sebagai penendang kedua gagal. Posisi 3-2.

KERUTAN di wajah. Kumis dan janggut lebat. Tatapan mata tajam. Suaranya yang berat dan tegas. Di usia 79 tahun, I Gusti Kompyang Manila masih memendam gairah terhadap persepakbolaan Indonesia. Dia ingin tim nasional (timnas) Indonesia kembali berjaya seperti dulu.

Ingatannya melayang ke masa 30 tahun silam. Pada SEA Games 1991 di Filipina, Manila menjadi manajer timnas sepakbola Indonesia. Di babak penyisihan grup, Indonesia menyapu kemenangan dengan mengalahkan lawan-lawannya: Malaysia, Vietnam, dan tuan rumah Filipina. Di semifinal, Indonesia berjibaku menghadapi Singapura. Pertandingan berjalan ketat dan harus diselesaikan dengan adu penalti.

Dewi fortuna berpihak pada Indonesia. Tinggal selangkah lagi Indonesia untuk menjadi juara. Lawan yang dihadapi: Thailand.

Di final, Indonesia yang diarsiteki Anatoli Fyodorovich Polosin kembali harus menghadapi lawan tangguh. Saking sengit laga, dua babak waktu normal dan perpanjangan waktu menghasilkan skor kacamata. Pemenang ditentukan lewat adu penalti.

Dalam adu penalti, kekuatan mental amat menentukan. Thailand berada di atas angin karena tiga penendang pertama melakukan tugas dengan baik. Sementara di pihak Indonesia, Ferril Hattu dan Heriansyah berhasil menyarangkan bola ke gawang tapi Maman Suryaman sebagai penendang kedua gagal. Posisi 3-2.

“Thailand waktu itu sudah mau victory lap karena sudah mau juara. Kita tenang saja, ada Edy Harto,” ujar Manila mengenang, kepada Historia.

Di sinilah kiper Edy Harto menunjukkan kematangan mental. Berkali-kali dia melancarkan psywar dengan menatap mata penendang lawan. Hoplah, dua penendang Thailand gagal memasukkan bola ke gawang. Tapi posisi Indonesia juga belum aman. Yusuf Ekodono berhasil mencebloskan bola sementara Widodo C. Putro gagal. Kedudukan sama kuat 3-3.

Tendangan penalti terakhir jadi penentu. Sudirman berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Kemudian giliran Thailand dengan eksekutor Pairot Pongjan. 

Timnas Indonesia juara SEA Games 1991. (Repro: IGK Manila: Panglima Gajah, Manager Juara)

Edy Harto menatap tajam mata Pongjan. Matanya tak berkedip sampai Pongjan hendak mengambil tendangan. 

Manila ikut tegang. Dia memperhatikan ekspresi Pongjan yang terlihat gugup akibat terus dibidik tatapan Edy Harto. Hasilnya, tendangan Pongjan begitu lemah sehingga dengan mudah dibendung Edy Harto. Indonesia menang dengan skor 4-3 dan meraih medali emas. 

Sontak, euforia menyelimuti anggota timnas Indonesia. Manila langsung tertunduk dan menangis haru. Dia tak peduli kemenangan itu diraih lewat “tos-tosan”.

“Bahwa bendera merah-putih berkibar diiringi lagu ‘Indonesia Raya’ itu adalah hasil akhir dari bagaimana proses kita dilakukan sebelumnya,” ujar Manila, eks komandan Pusat Pendidikan Polisi Militer (Pusdik POM) ABRI itu.

Pencapaian ini mengulangi kesuksesan timnas Indonesia pada 1987. Sayangnya, inilah kali terakhir timnas sepakbola senior merengkuh juara. Setelah itu kalah melulu.

Macan Asia

Betatapun, keberhasilan timnas di SEA Games 1991 bukanlah hasil kerja jangka panjang. Ia merupakan crash program yang silih berganti muncul dalam sejarah persepakbolaan tanah air. Ketiadaan cetak-biru (blueprint) dituding sebagai penyebab kemunduran persepakbolaan Indonesia. 

“Bicara tim nasional lagi-lagi memang kita harus mengakui, suka atau tidak suka, terjadi kemunduran yang sangat luar biasa dari 1950-an,” ujar pengamat sepakbola Kesit Budi Handoyo. 

Pengamat sepakbola, Kesit Budi Handoyo. Fernando Randy/Historia.ID

Indonesia mulai disegani di Asia sejak ditukangi pelatih asal Singapura, Choo Seng Quee alias Paman Choo. Untuk persiapan Asian Games I di New Delhi, India, mengutip buku Mengarungi Milenium Baru: 70 Tahun PSSI, PSSI bersama Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dan Paman Choo membuat beberapa tahap seleksi tingkat daerah. Pertama, melalui pemilihan di enam distrik Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Kemudian dibentuklah enam kesebelasan pada enam distrik yang saling diadu di Jakarta dan tempat lain. 

Dari tahapan itulah KOI menyeleksi dan memilih 18 pemain timnas untuk berlaga di Asian Games I. Antara lain Maulwi Saelan, Tan Liong Houw, Soenardi Arland, Ramang, dan Aang Witarsa. 

Kendati hanya mencapai perempatfinal Asian Games 1951, timnas Indonesia mulai diperhitungkan sebagai kekuatan sepakbola di Asia. Bahkan di tangan Antun Pogačnik, pelatih asal Yugoslavia, Ramang dkk mampu menahan imbang Uni Soviet 0-0 di perempatfinal Olimpiade Melbourne 1956, menjadi runner up Pestabola Merdeka 1957, merebut perunggu Asian Games 1958, dan nyaris masuk Piala Dunia jika tak dihentikan Presiden Sukarno lantaran menghadapi Israel. Sejak itulah Indonesia dijuluki “Macan Asia”.

Pada 1960-an, Indonesia menjuarai banyak turnamen. Di antaranya Aga Khan Gold Cup (1961), Pestabola Merdeka (1961, 1962 dan 1969), dan King’s Cup (1968). Tapi setelah itu Indonesia mengalami kemunduran.

“Pada saat negara-negara lain membangun persepakbolaan mereka dan kita sudah punya kekuatan yang mumpuni, ini tidak berlanjut kepada pengelolaan dari sistem pembangunan sepakbola di Indonesia,” sambung Kesit Budi Handoyo.

Prestasi di masa lalu betapapun tak bisa dijadikan patokan. Situasi dan kondisi dunia persepakbolaan saat ini jauh berbeda dan lebih kompleks. 

“Jadi kalau melihat apa yang kita hadapi sama dengan negara-negara lain, kita hanya mengandalkan bakat. Tidak memiliki sistem, struktur, kemampuan mengelola sepakbola secara ajeg,” kata jurnalis senior Budiarto Shambazy. 

<div class="strect-width-img"><figure><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa2e36cc484d54acf42697_Timnas%20Indonesia%20di%20Piala%20Merdeka%201962.jpg" alt="img"></div><figcaption>Timnas Indonesia di Piala Merdeka 1962 (Dok Maulwi Saelan)</figcaption></figure></div>

Blueprint bukan tak pernah dibuat. Meski tak spesifik untuk sepakbola, Presiden Sukarno pernah mengeluarkan Rencana 10 Tahun Olahraga yang ditetapkan sebagai program nasional. Isinya lima program dasar: gerakan massal olahraga, perluasan gerakan olahraga di lingkungan pelajar secara intensif, pembinaan atlet-atlet potensial di masing-masing cabang, penyediaan sarana dan prasarana olahraga, serta konsolidasi Games of the New Emerging Forces (Ganefo) I dan penggeloraan Ganefo.

Setiap induk olahraga punya agenda dan program masing-masing untuk pembinaan atlet. Di sepakbola, salah satu hasilnya adalah Piala Soeratin, yang dibuat untuk pembinaan usia muda. 

“Kita tidak boleh merasa puas dengan hanya memiliki seorang Djamiat (Dalhar), seorang Saelan, seorang Liong Houw, Ramlan, dan yang lainnya tetapi harus dapat memiliki ratusan pemain-pemain ulung seperti itu, bahkan lebih ulung daripada apa yang pernah kita miliki,” ungkap Menteri Olahraga R. Maladi dalam pembukaan Piala Soeratin 1966, dikutip Warta Berita, 14 April 1966.

Namun Rencana 10 Tahun Olahraga tak dilaksanakan maksimal. Celakanya, PSSI tidak menjadikannya panduan. 

<div class="infografis-content text-center"><script src="//my.visme.co/visme-embed.js"></script><div class="visme_d" data-url="01pv64vr-timnas" data-w="720" data-h="2740" data-domain="my"></div></div>


Pedoman Komprehensif

Persepakbolaan Indonesia baru punya blueprint saat PSSI dipimpin Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta, dengan mengeluarkan Pola Pembinaan Sepakbola Nasional (PPSN). Ini adalah salah satu pedoman yang ditetapkan pada Kongres PSSI ke-27 tahun 1981.

“PPSN itu saya kira salah satu terobosan yang paling besar dalam sepakbola Indonesia karena memang memuat begitu pas, begitu komprehensif, tentang apa yang harus dilakukan,” ujar Budiarto.

Realisasi dari PPSN melahirkan kompetisi Perserikatan dan Galatama. Selain itu ada Liga Sepakbola Karyawan (Galakarya), Liga Sepakbola Siswa (Galasiswa), Liga Sepakbola Wanita (Galanita) dan Piala Kartini.

Galatama, sebagai kompetisi semiprofesional, diposisikan di puncak piramida pembinaan pemain muda. Sementara Perserikatan merupakan kompetisi sepakbola tertinggi di Indonesia.

Untuk pembinaan pemain muda, setiap klub Perserikatan diharuskan menggulirkan kompetisi di bawahnya. Sebagaimana dikutip dari Buletin Pedoman Pembinaan Sepakbola Nasional terbitan PSSI tahun 1995, setiap klub Perserikatan harus menjalankan enam tahapan: Pemassalan (usia 8-12 tahun), Pembibitan (12-16 tahun), Pemantapan (16-19) tahun), Pematangan (16-23 tahun), Penggalangan Prestasi (19-30 tahun), dan Prestasi Puncak.

Namun PSSI terkendala pendanaan. Akibatnya, hanya klub-klub Perserikatan di Jawa yang melakoni kompetisi internal. Di Indonesia Tengah dan Timur hanya PSM Makassar. Kompetisi pun berjalan alakadar dan tak berjenjang. Buntutnya, tak ada kesinambungan dari kelompok umur 18 sampai senior. 

“Hidup (pembinaan) itu harus kompetisi berjenjang dan berlanjut tiap Sabtu-Minggu. Misalnya usia 16, 18, 20, 23, senior,” kata Manila. “Enggak ada tiba-tiba jadi (pemain) tim nasional enggak lewat (jenjang) juniornya.”

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa2e49266fba08e7317720_Intersection%204.jpg" alt="img"></div><figcaption>Timnas Hindia Belanda di Piala Dunia 1938. (Shutterstock)</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa2e53f7123b9bcb9bcdfc_Intersection%203.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/kenapa-timnas-indonesia-kalah-melulu/IGK%20Manila.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Eks Manajer Timnas, Mayjen (Purn) I Gusti Kompyang Manila.</b><br>(Fernando Randy/Historia.ID)</span></div></div></div>

Kelemahan PPSN berikutnya adalah penyeragaman formasi 3-5-2. Pemain binaan usia dini masih belum siap disamakan metode latihannya dengan kategori remaja dan senior. 

“Ya jangan dasar kita belum kuat kemudian sudah dicekoki oleh metode-metode yang mungkin masih belum bisa diterapkan oleh pemain-pemain kita. Ini agak riskan,” ujar Kesit.

PPSN kian berantakan menyusul skandal suap di kompetisi Galatama. Galatama akhirnya dibubarkan. Sisa-sisa klubnya dilebur dengan klub-klub Perserikatan ke dalam Liga Indonesia pada 1994. Para peserta Liga Indonesia menggantungkan hidup dari anggaran anggaran daerah. 

“Ketika digabungkan konsep Galatama dengan Perserikatan kemudian bernama Liga Indonesia, memang arahnya adalah profesional. Tapi kalau kita mau telusuri lebih jauh lagi, pengelolaannya masih amatir,” lanjut Kesit.

Pembinaan usia muda di masing-masing klub akhirnya berjalan setengah hati. Tak semua klub punya anggaran untuk pembinaan pemain muda. Anggaran klub umumnya sudah tersedot untuk operasional kompetisi di Indonesia yang kondisi geografisnya luas. 

“Kompetisi berjenjang di usia dini sampai mendekati junior enggak berjalan dengan baik. Walaupun sekarang sudah dibuat kompetisi untuk youth, misalnya U-19, tapi U-17 enggak ada, U-16 enggak ada. Harusnya kan berjenjang. Jadi pemain bisa dipantau terus. Dan klub-klub di Indonesia wajib ikut. Terutama klub-klub yang saat ini sudah memproklamirkan diri sebagai klub profesional,” tambahnya.

Celakanya, PSSI tidak tegas mengawasi pembinaan berjenjang di klub-klub peserta Liga. Menurut eks-pemain dan pelatih Timo Scheunemann, PSSI hanya fokus pada liga di level senior yang mendatangkan cuan dari sponsor. Alhasil, karena pembinaan berjenjang terputus, timnas pun dibentuk dari para pemain jebolan program-program jangka pendek. 

“Ujung tombaknya tentu PSSI. Namanya saja pembina sepakbola Indonesia. Jadi merekalah yang paling bertanggungjawab. Jadi enggak bisa cuma berpikir timnas,” kata Timo.

Eks-Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI, Timo Scheunemann. (Fernando Randy/Historia)

PPSN akhirnya ditinggalkan, meski tak ada pernyataan resmi mengenai pencabutannya. Seiring waktu, ia terlupakan. 

“PPSN yang dirumuskan dan menjadi blueprint PSSI saat itu sudah sangat lengkap. Tapi kan enggak jalan juga,” ujar Kesit.

Kendati PPSN tak diterapkan secara konsisten, setidaknya dua kali timnas Indonesia memetik prestasi di tingkat regional, yakni medali emas SEA Games 1987 dan SEA Games 1991. Pencapaian ini seperti sebuah anomali. Persiapan timnas SEA Games 1991, misalnya, difokuskan pada aspek kedisiplinan lewat penggojlokan ala militer. Di minggu-minggu awal, kedisiplinan itu berimbas pada fisik para pemain. Satu per satu pemain “berguguran” karena dicoret ataupun menyerah. Tiga di antaranya Jaya Hartono, Ansyari Lubis, dan Fakhri Husaini.

“Fisiknya memang meningkat tapi teknik bolanya hilang. Sampai ada pemain, Jaya Hartono dan Fakhri Husaini, bilang sama pelatih, ‘ini kita main bola kok dilatihnya kayak tentara?’ Saya panggil, saya pulangkan,” ujar Manila, kala itu manajer timnas.

Betapapun, keberhasilan timnas di SEA Games 1991 bukanlah hasil kerja jangka panjang. Ia merupakan crash program yang silih berganti muncul dalam sejarah persepakbolaan tanah air. 

Pada 17 Desember 1991, PSSI menggelar kongres. Azwar Anas, ketua umum PSSI baru yang menggantikan Kardono, mengumpulkan banyak pelatih dalam Dewan Teknik Pelatih. Tujuannya merumuskan lagi sistem pembinaan pengganti PPSN. Hasilnya: Pola Pembinaan Persepakbolaan Indonesia (P3I).

Sejatinya P3I sudah mulai digagas Kardono di akhir masa jabatannya dengan dibantu Dimas Wahab dan Arthur Wenas. P3I mengadopsi sistem pembinaan di Jerman. Strukturnya menggabungkan klub profesional dengan Sekolah Sepak Bola (SSB) atau perkumpulan di bawah klub. Dalam struktur itu diterapkan sistem promosi-degradasi agar klub-klub terpacu menghasilkan pemain-pemain terbaik. Sayangnya, gagasan ini ramai penolakan karena dianggap akan mengubah sistem yang sudah ada, terutama di level pembinaan klub.

Sambil menggelar sejumlah seminar yang dihadiri banyak pelatih, PSSI terus mematangkan P3I. Bahkan pada 1994, PSSI meminta pendapat beberapa tokoh sepakbola dunia macam “Bapak Total Football” Rinus Michels dan Franz “Der Kaizer” Beckenbauer. 

Berbekal masukan Michels dan Beckenbauer, PSSI menyusun P3I dengan mengembangkan beberapa hal dalam PPSN. Salah satunya penyeragaman penggunaan formasi 3-5-2 di tingkat nasional. Dalam PPSN, 3-5-2 belum diterapkan karena kekurangan pelatih yang mengerti formasi tersebut. PSSI berencana mendatangkan instruktur-instruktur dari luar negeri untuk memberikan pendidikan bagi pelatih.

Selain itu, PSSI membentuk Direktorat Pembinaan Usia Muda untuk memantau bakat-bakat muda di kompetisi berjenjang. Ada empat kota yang dipilih sebagai sentra pembinaan: Medan, Makassar, Surabaya, dan Bandung. Program ini berkelindan dengan agenda pendidikan pelatih karena merekalah yang akan menjadi instruktur di sana dan memberikan evaluasi setiap tiga bulan kepada kepala Bidang Teknik dan Pembinaan PSSI.

Sama seperti blueprint sebelumnya, P3I tak digulirkan sebagaimana mestinya. Pembinaan di tingkat klub berjalan alakadarnya. Banyak kompetisi berjenjang, terlebih di tingkat akar rumput, tak digelar. P3I, yang ditetapkan lewat kongres dan disusun sekitar lima tahun, pun ditinggalkan tanpa ada pencabutan resmi. 

<div class="video-content"> <video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/kenapa-timnas-indonesia-kalah-melulu/Timnas%20fix.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/kenapa-timnas-indonesia-kalah-melulu/Timnas%20fix.mp4"></video></div>


Kurikulum 

Pada 2012, Timo Scheunemann ditunjuk sebagai direktur Pembinaan Usia Dini PSSI. Untuk mengisi ketiadaan blueprint, ia menghadirkan Kurikulum Sepak Bola Indonesia: Untuk Usia Dini (U5-U12), Usia Muda (U13-U20) & Senior. Blueprint dibuat dari gabungan hasil risetnya ke daerah-daerah terpencil di Indonesia, belajar pembinaan di Jerman, dan “meminjam” 45 dari ratusan halaman kurikulum milik induk sepakbola Amerika Serikat (USSF). Kurikulum ini meliputi pembinaan mental pemain dan pelatih. 

Pembinaan dan pendidikan pelatih menjadi salah satu bagian dari kurikulum. Timo punya agenda untuk membuat akademi terpusat agar para pelatih tidak hanya puas dengan Lisensi D (Nasional) tapi harus beranjak sampai Lisensi C, B, dan A (AFC). Menurutnya, mentalitas pemain bisa dibenahi jika pelatih tidak hanya cakap soal taktik dan strategi, namun juga jadi teladan.

“Kalau seorang pelatih 100 persen menjadi contoh, itu bukan hanya berpengaruh kepada pemain secara kemampuan di atas lapangan tapi juga secara pribadinya, menjadi orang-orang berkarakter tangguh,” kata Timo.

Perbedaan menonjol dari kurikulum yang disusun Timo dengan PPSN dan P3I lagi-lagi soal teknis permainan. Penggunaan formasi 4-4-2 dipakai untuk menggantikan 3-5-2. Pola 4-4-2 dianggap Timo lebih mudah untuk dimodifikasi dengan pola lain sesuai kebutuhan di lapangan, sebagaimana yang diterapkan negara-negara maju.

Dalam kurikulum itu, porsi, program, maupun frekuensi materi-materi latihan teknik dan fisik diberikan secara berjenjang sesuai kelompok umur dari U-5 sampai U-20. Kurikulum ini meliputi pula cara penanganan cedera sampai flu. Yang terpenting, kurikulum dilengkapi dengan scouting atau pencarian bakat pemain untuk tim-tim binaan klub. Hal itu berangkat dari fakta bahwa klub-klub tak melakukan scouting secara profesional sejak era PPSN dan P3I. 

“Saya melihat mereka kurang serius merekrut pemain. Kalau mereka punya scout profesional, wah luar biasa efeknya. Pemain-pemain di daerah terpencil pun akan memiliki kesempatan jadi pemain pro. Sebelum ada professional scout saya tidak menganggap klub-klub Indonesia serius dalam hal pembinaan,” ungkap Timo. 

Semua itu diharapkan bisa digulirkan lewat satu wadah bernama Akademi Nusantara, di samping pemusatan pembinaan pelatih dan wasit.

Namun, kurikulum tersebut tak mendapat dukungan dari PSSI. Timo pun memilih meletakkan jabatan. Kurikulum itu akhirnya disisihkan PSSI yang kembali memilih jalan pintas dengan menjalankan program jangka pendek dan naturalisasi. 

“Jadi itu semua bisa dilakukan di Indonesia dan percaya sama saya, kalau itu dilakukan, (Indonesia) sudah jadi Brasil,” serunya berapi-api.

Tak berapa lama, pada 2017, Direktur Teknis PSSI Danurwindo memunculkan semacam blueprint, yakni Kurikulum Pembinaan Sepakbola Indonesia atau kondang disebut Kurikulum Filanesia. Danur menyebut Filanesia atau Filosofi Sepakbola Indonesia menitikberatkan pada gaya pembinaan yang menyesuaikan keunggulan permainan Indonesia, yakni kecepatan dan kelincahan. Namun, kelanjutan Filanesia tetap tidak jelas.

Kurikulum Filanesia dijabarkan dalam enam bab. Secara prinsip, Filanesia tak jauh berbeda dari kurikulum 2012. Namun secara teknis, ada beberapa perbedaan. Filanesia menerapkan formasi 1-4-3-3 demi mewujudkan gaya “khas” permainan Indonesia. Formasi ini bisa dikembangkan menjadi 1-2-3-2-3 untuk pola menyerang.

<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa2e78811481175c575aa8_Intersection%205.jpg" alt="img"></div><figcaption>Timo Scheunemann saat memberi arahan pada pemain Persiba Balikpapan. (Fernando Randy/Historia)</figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://assets-global.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/61fa2e7c81148164e5575ab5_Intersection%206.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/kenapa-timnas-indonesia-kalah-melulu/Timo.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Timo Scheunemann.</b><br>(Fernando Randy/Historia.ID)</span></div></div></div>

Pilihan subjektif PSSI ini didasari pemikiran bahwa 1-4-3-3 adalah formasi termudah untuk pemain muda belajar. 

Pertama, menyajikan tiga lini (belakang, tengah, depan) dengan penyebaran jumlah pemain merata. Logika sederhana mengatakan bila 10 pemain di luar kiper dibagi ke tiga lini, maka setiap lini akan diisi tiga orang. Satu pemain tersisa ditempatkan di belakang sehingga terciptalah formasi 1-4-3-3. Kedua, secara natural posisi berdiri 11 pemain di lapangan banyak menciptakan segitiga dan ketupat. Kondisi ideal ini bahkan bisa dicapai tanpa pemain harus melakukan banyak pergerakan. Ini kondisi ideal yang memberikan efek positif untuk permainan,” demikian argumen tertulis Kurikulum Filanesia.

Tahapan pembinaan Filanesia dikelompokkan menjadi empat fase: Fase Kegembiraan (usia 6-9 tahun), Fase Pengembangan Skill (10-13), Fase Pengembangan Permainan (14-17), dan Fase Penampilan (18+). PSSI menerapkan Filanesia ke SSB-SSB, tim-tim akademi yang berlaga di Piala Soeratin, dan Elite Pro Academy (EPA).

EPA merupakan sebuah liga baru yang dihadirkan PSSI sejak 2018. EPA diikuti akademi-akademi klub peserta liga U-16 dan ditambah dengan U-19 pada tahun berikutnya.  

“Filosofi bermain Elite Pro Academy akan selalu berbasis pada Filosofi Sepakbola Indonesia (Filanesia). Filanesia adalah cara bermain yang dipilih oleh Elite Pro Academy untuk meningkatkan kualitas permainan sepakbola ke level yang lebih tinggi,” tulis Buku Panduan Elite Pro Academy: Kerjasama PSSI-Klub Liga 1.

Namun, selain U-16, belum ada kompetisi lain yang bisa jadi wadah pembinaan berjenjang. EPA pun hanya diikuti 18 tim dari Liga 1. Klub-klub di kasta kompetisi kedua, ketiga, atau kompetisi wilayah di bawah naungan Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI tidak mengikutinya karena memang tidak diwajibkan PSSI. EPA untuk Liga 2 masih sekadar wacana sejak Kongres PSSI pada Januari 2020. 

Selain itu, EPA tidak optimal karena tak konsisten digulirkan. Pandemi COVID-19 memaksa EPA 2020 batal digelar.

“Yang kurang kalaupun EPA dilakukan dengan sangat profesional, tetap saja fondasinya adalah kompetisi lokal. Sehingga kuncinya adalah di Asprov, melakukan kompetisi-kompetisi di wilayah mereka antar-SSB,” sambung Timo.

Filanesia memang tak sedetail Kurikulum 2012. Terutama soal panduan terkait mental, scouting, dan panduan pencegahan dan penanganan cedera.

“Sebenarnya kurikulum (2012) ini tidak berbentrokan dengan Filanesia. Bisa dipraktikkan secara bersamaan. Prinsip-prinsipnya sama karena yang diajarkan adalah sepakbola modern. Bedanya Filanesia tidak detail. Ini (kurikulum 2012) jauh lebih detail. Jadi Filanesia ini harus terus dikembangkan sehingga bisa menjadi mendetail di masa mendatang,” jelas Timo.

Gonta-Ganti Sistem 

Kekalahan demi kekalahan timnas Indonesia merupakan buah dari akumulasi problema multifaktor yang terjadi sejak lama dan tak tuntas tertangani. Persoalan semakin rumit lantaran PSSI selaku induk organisasi sepakbola nasional kerap diterpa konflik internal. 

“Persoalan sepakbola Indonesia itu memang sudah sangat kompleks. Jadi persoalannya bukan hanya pada pembentukan atau pembangunan tim itu sendiri tapi juga menyangkut manajemen organisasi, dalam hal ini PSSI,” terang Kesit.

Celakanya, Indonesia tidak mau belajar dari sejarah. Penanganan problema hanya dilakukan parsial dan spontan, bukan holistik dan jangka panjang. PSSI memilih jalan pintas dengan membuat program jangka pendek (crash program). 

Selain gonta-ganti pelatih, PSSI suka bikin crash program dengan mengirim tim sepakbola ke negara-negara bersepakbola maju. Program ini sudah dijalankan sejak 1979. Dari PSSI Binatama (Brazil), PSSI Garuda I dan II (Brazil), PSSI U-19 (Chile), hingga PSSI Primavera dan Baretti (Italia). Hasilnya sama: nirgelar. 

“Itu menjadi masalah di Indonesia. Tidak kontinyu dan holistik. Mengapa? Di level PSSI masih sarat unsur politis, di klub masih berpikir pembinaan itu membebani sehingga akhirnya enggak klop,” kata Timo Scheunemann.

Ilustrasi sesi latihan Timnas usia muda. (Fernando Randy/Historia)

Tak juga kapok, pada 2007-2012 PSSI mengirim pemain U-16 berlabel Sociedad Anonima Deportiva (SAD) ke Uruguay. Para jebolan SAD ini sempat punya prestasi membanggakan, yakni juara Piala AFF U-19 2013. Di ajang itu, alumnus SAD digabungkan dengan para pemain hasil blusukan pelatih Indra Sjafri, di antaranya Evan Dimas Darmono dan M. Hargianto. Tapi ketika sudah beranjak dan bergabung dengan para pemain timnas senior, hasilnya getir. 

“Ini salah satu kelemahan kita, hanya memikirkan jangka pendek. Kita tidak mau percaya pada sebuah proses yang panjang. Padahal berkali-kali crash program ini tidak memberikan hasil positif. Harusnya tidak perlu dilanjutkan lagi dan menurut saya lebih cocok anggarannya dibuat kompetisi pembinaan usia muda,” kata Kesit.

Terakhir, 2019 hingga kini, PSSI mengirim tim Garuda Select. Kendati hasilnya belum tampak, ganti kiblat jelas akan memerlukan energi lebih untuk menjalaninya. 

Semua faktor problema yang saling terkait dan berakumulasi itu membentuk wajah sepakbola Indonesia saat ini. Obatnya harus menyeluruh dan holistik. Pengurus PSSI harus direformasi. Pembinaan di akar rumput harus dibenahi; melingkupi pemain, pelatih, dan wasit. Kompetisi mesti stabil, bukan hanya di level senior tapi juga akademi klub masing-masing.

Timnas U19. (Fernando Randy/Historia)

“Negara-negara lain sudah berhasil mengatasi kendala-kendala mereka lebih maju daripada kita. Kita sampai sekarang masih berkutat dengan masalah-masalah lama. Jadi negara-negara lain ibaratnya sudah berlari, kita masih jalan di tempat,” kata Budiarto.

Sementara kita masih berjalan lambat, target dicantolkan setinggi bintang di langit. 2045, saat Indonesia berusia 100 tahun, PSSI harus menjadi 10 terbaik federasi sepakbola di dunia. Target jangka panjangnya adalah keikutsertaan dalam Olimpiade 2024 dan Piala Dunia 2034. Untuk itu PSSI menyiapkan beberapa elemen yang saling mendukung satu sama lain: organisasi, pengembangan sepakbola, kompetisi, aktivitas bisnis, dan timnas.

Tapi, sebelum sampai ke sana, PSSI harus bisa meraih target yang dicanangkan tahun ini: emas SEA Games dan juara Piala AFF. SEA Games akan digelar di Vietnam pada 21 November, sedangkan Piala AFF 2020 direncanakan berlangsung 5 Desember setelah tertunda karena pandemi Covid-19. 

Di sepakbola SEA Games, timnas Indonesia hanya dua kali juara. Sementara di Piala AFF, kejuaraan sepakbola bergengsi di kawasan Asia Tenggara yang digelar sejak 1996, Indonesia belum sekalipun juara.

Ayo dong Indonesia, jangan kalah melulu.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
61dd04d4ab05eff651be33c3