Kennedy dalam Sengketa Irian Barat

Presiden John F. Kennedy menjalin hubungan baik dengan Presiden Sukarno. Dalam sengketa Irian Barat dengan Belanda, dia memihak Indonesia.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Kennedy dalam Sengketa Irian BaratKennedy dalam Sengketa Irian Barat
cover caption
Presiden John F. Kennedy bersama Presiden Sukarno di halaman selatan Gedung Putih, Washington DC, 24 April 1961. (Robert L. Knudsen/JFK Library).

TAK lama setelah dilantik pada 20 Januari 1961, John F. Kennedy mengikuti saran Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Howard Palfrey Jones untuk mengundang Presiden Sukarno berkunjung ke Gedung Putih.

“Bagi Sukarno yang bersemangat, hubungan pribadi sangat penting dalam hubungan internasional. Hubungan dengan Presiden Kennedy bisa berarti banyak,” kata Jones dalam Indonesia: The Possible Dream. 

Undangan Kennedy disambut gembira oleh Sukarno yang kemudian datang ke Washington DC pada 24 April 1961. Kennedy menyambutnya di lapangan udara. “Dia mendekatiku dengan langsung dan ramah sekali,” kenang Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.

Sebelum makan siang, Kennedy memperlihatkan Sukarno helikopter kepresidenan yang baru di lapangan rumput Gedung Putih. Dengan helikopter itu, Kennedy mengajak Sukarno keliling Washington. Sukarno menikmati pesiar singkat itu. 

TAK lama setelah dilantik pada 20 Januari 1961, John F. Kennedy mengikuti saran Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Howard Palfrey Jones untuk mengundang Presiden Sukarno berkunjung ke Gedung Putih.

“Bagi Sukarno yang bersemangat, hubungan pribadi sangat penting dalam hubungan internasional. Hubungan dengan Presiden Kennedy bisa berarti banyak,” kata Jones dalam Indonesia: The Possible Dream. 

Undangan Kennedy disambut gembira oleh Sukarno yang kemudian datang ke Washington DC pada 24 April 1961. Kennedy menyambutnya di lapangan udara. “Dia mendekatiku dengan langsung dan ramah sekali,” kenang Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.

Sebelum makan siang, Kennedy memperlihatkan Sukarno helikopter kepresidenan yang baru di lapangan rumput Gedung Putih. Dengan helikopter itu, Kennedy mengajak Sukarno keliling Washington. Sukarno menikmati pesiar singkat itu. 

“Aku sangat merasakan kebahagiaan bahwa presiden Amerika Serikat dan presiden Republik Indonesia terbang berkeliling bersama-sama,” ujar Sukarno. “Lalu dia bertanya, apakah aku tidak ingin memiliki helikopter seperti miliknya itu. Sampai sekarang pesawat itu masih ada padaku.” 

“Inilah perhatian pribadi yang Sukarno rindukan. Kennedy menjadi presiden pertama dan satu-satunya yang terhadapnya Sukarno mempunyai perasaan baik,” tulis Paul F. Gardner dalam 50 Tahun Amerika Serikat-Indonesia

Presiden Sukarno diapit Presiden John F. Kennedy dan Wakil Presiden Lyndon B. Johnson meninggalkan Gedung Putih, Washington DC, 25 April 1961. (JFK Library).

Membicarakan Irian Barat

Kunjungan Sukarno bertepatan dengan pembukaan forum baru “pemerintahan demokratis Papua Barat” oleh Dewan New Guinea (Dewan Papua), dewan perwakilan berbagai daerah di Irian Barat bentukan Belanda. Kennedy lebih memilih bertemu Sukarno daripada memenuhi undangan Belanda untuk menghadiri pembukaan forum tersebut. Hal ini, menurut Timo Kivimäki dalam US-Indonesian Hegemonic Bargaining: Strength of Weakness, adalah “indikasi pertama Amerika Serikat berpindah lebih dekat dari ‘kerangka Belanda’ ke ‘kerangka Indonesia’ dalam sengketa Irian Barat.”

Selain itu, Timo Kivimäki menambahkan, Kennedy memanfaatkan kunjungan Sukarno untuk kepentingan strategis AS. “Suasana yang baik selama kunjungan itu dipandang penting untuk melawan strategi yang merusak kepentingan Amerika Serikat dalam Perang Dingin yang dilakukan Khrushchev di Indonesia.”

Menurut Paul Gardner, Irian Barat merupakan pokok pembicaraan utama antara Kennedy dan Sukarno. Sukarno datang dengan persiapan yang baik. Ketika Kennedy mengemukakan argumen Belanda bahwa orang Indonesia dan orang Irian Barat berbeda ras, Sukarno menegaskan bahwa Indonesia sama seperti AS, menampung banyak golongan etnis. 

Robert B. Rakove dalam Kennedy, Johnson, and the Nonaligned World menulis, berlawanan dengan tamunya yang banyak bicara, Kennedy menyatakan pendapat-pendapatnya dengan tegas dan tenang. Ketika Sukarno bertanya, dengan sedikit emosi, mengapa AS tidak mendukung klaim Indonesia atas Irian Barat, Kennedy mengatakan dia harus mempertimbangkan hubungan dengan sekutunya di Organisasi Negara-negara Atlantik Utara (NATO). 

“Mengapa Amerika tidak pernah mengatakan bahwa kami memiliki klaim yang bisa dibenarkan atas Irian Barat?” tanya Sukarno. “Anda harus melihat masalah ini dengan kacamata nasionalisme.”

Kendati harapan agar Kennedy mendukung klaim Indonesia atas Irian Barat tidak terealisasi, Sukarno cukup terkesan atas pertemuan ini. “Kennedy sendiri berharap, pertemuan ini bisa meyakinkan Sukarno bahwa Gedung Putih mulai berpandangan lain terhadap Indonesia,” tulis Bradley P. Simpson dalam Economist with Guns.

Presiden Sukarno didampingi Presiden John F. Kennedy menaiki helikopter kepresidenan AS ke Pangkalan Angkatan Udara Andrews dari Gedung Putih, Washington DC, 25 April 1961. (JFK Library).

Memihak Indonesia

Sampai tahun 1960, AS bersikap “netralitas pasif ” berkenaan dengan masa depan Irian Barat, suatu posisi yang diterjemahkan sebagai dukungan de facto terhadap Belanda. Di masa Kennedy, yang mengusung kebijakan baru dengan mengedepankan hubungan dengan Dunia Ketiga, netralitas itu tidak dipertahankan lagi. Terlebih Indonesia, yang jengkel persoalan Irian Barat berlarut-larut sejak penyerahan kedaulatan, siap berperang melawan Belanda untuk memperebutkan Irian Barat. 

Menurut Siswanto, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang menulis disertasi tentang diplomasi Amerika Serikat dalam penyelesaian sengketa Irian Barat di masa Presiden John F. Kennedy, Indonesia memiliki kekuatan militer berkat bantuan dari Uni Soviet seperti pesawat tempur MiG-17, kapal perusak Skoryy, kapal selam, peluncur roket mobil, dan meriam antipesawat. 

Dalam rekomendasinya pada 19 April 1961, Robert W. Komer, staf Dewan Keamanan Nasional, menyebut Indonesia lebih berpeluang memperoleh Irian Barat ketimbang Belanda. Dari segi militer, kekuatan persenjataan Indonesia dapat mengimbangi kemampuan pertahanan Belanda. Sementara dari segi politik internasional, Indonesia mendapat dukungan dari negara-negara berkembang dan sosialis di PBB. Oleh karena itu, Komer menyarankan agar AS berpihak kepada dinamika politik internasional yang benar agar tidak terjebak pada kekeliruan dalam menyikapi sengketa Irian Barat.

“Jelasnya, Amerika Serikat dianjurkan untuk berpihak kepada Indonesia,” kata Siswanto kepada Historia

Jones juga merekomendasikan kepada Kennedy agar mengambil langkah diplomasi untuk mengimbangi pengaruh Uni Soviet yang semakin kuat. Caranya, melakukan pendekatan terhadap Sukarno dan meninjau kembali sikap AS dalam sengketa Irian Barat. AS sebaiknya aktif mendukung penyelesaian damai. 

Menurut Siswanto, Kennedy menerima rekomendasi tersebut. Kennedy mempersepsikan penyelesaian sengketa Irian Barat sebagai bagian dari kepentingan AS karena sengketa itu punya implikasi perluasan komunis di Indonesia. Di samping itu, geografi Irian Barat terletak di selatan Samudra Pasifik, wilayah yang merupakan bagian dari zona pertahanan AS di Pasifik. 

Jaksa Agung Robert F. Kennedy dan istri, Ethel Skakel, bertemu Presiden Sukarno di Istana Merdeka, Jakarta, Februari 1962. (Repro Aneka Amerika, Oktober 1964).

Penyelesaian Irian Barat

Paul Gardner menyebut Kennedy sudah menyarankan Sukarno agar jangan menggunakan kekerasan tapi Sukarno mengesampingkannya. “Saya tidak selalu dapat memegang rakyat saya di tangan saya. Berilah saya pegangan lebih kuat atas rakyat saya,” kata Sukarno. 

Pada 19 Desember 1961, Sukarno menyampaikan pidato Trikora (Tri Komando Rakyat), yaitu menuntut pembubaran “negara boneka” Irian Barat bentukan Belanda, menyerukan mobilisasi seluruh rakyat Indonesia untuk merebut Irian Barat, dan berjanji untuk mengibarkan bendera merah putih di Irian Barat sebelum akhir 1962. 

Sukarno juga membentuk Komando Mandala untuk melakukan penyusupan ke Irian Barat. Pertempuran laut terjadi pada 15 Januari 1962. Kapal perusak dan fregat Belanda yang dibantu pesawat jenis Neptune, menenggelamkan MTB Macan Tutul. 

Untuk menghentikan eskalasi pertikaian itu, Kennedy mengirim adiknya, Jaksa Agung Robert F. Kennedy, ke Indonesia pada pertengahan Februari 1962. Selain membebaskan pilot Allen Pope, tentara bayaran Dinas Intelijen Pusat (CIA) yang divonis mati karena melakukan pengeboman kota Ambon selama pemberontakan PRRI/Permesta, Bobby juga berusaha membujuk Indonesia agar mengganti strategi dari penggunaan kekuatan militer ke perundingan dalam soal Irian Barat. Dari Indonesia, Bobby pergi ke Belanda untuk membahas soal Irian Barat. Dia meyakinkan Belanda bahwa Indonesia beriktikad keras untuk merebut Irian Barat.

Menurut Bradley Simpson, Kennedy menyatakan bahwa AS tidak akan mendukung Belanda secara militer pada saat Indonesia menyerang. Ketika Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns berkunjung ke Washington, Kennedy juga dengan lugas mengatakan bahwa “Irian Barat itu sendiri hanyalah konsekuensi kecil dari posisi Barat di Asia secara keseluruhan dan Amerika Serikat sedang mengamankan keseluruhan itu.”

Mengapa Amerika tidak pernah mengatakan bahwa kami memiliki klaim yang bisa dibenarkan atas Irian Barat?

Akhirnya, AS berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan. Perundingan digelar di Middleburg, Virginia, Amerika Serikat, pada 20–22 Maret 1962. Sifatnya rahasia. Pertimbangannya, menurut Siswanto, karena AS dan Indonesia memperhitungkan pihak Uni Soviet yang tidak mendukung perundingan Irian Barat. Mereka menghindari kesan bahwa Uni Soviet telah dikalahkan AS dalam persaingan pengaruh di Indonesia. 

Kennedy meminta Ellsworth Bunker, diplomat senior AS, menjadi mediator. Delegasi Indonesia dipimpin Adam Malik, duta besar Indonesia untuk Uni Soviet; sementara delegasi Belanda dipimpin Duta Besar Belanda untuk AS Van Roijen. Hasilnya: Belanda akan menyerahkan kewenangan administrasi atas Irian Barat kepada pemerintahan transisi PBB, setelah satu sampai dua tahun PBB akan menyerahkannya kepada Indonesia dan Indonesia menyelenggarakan penentuan pendapat di Irian Barat. 

Dalam perundingan lanjutan pada 30 Juli 1962 Indonesia dan Belanda sepakat mengalihkan pemerintahan Irian Barat kepada Otoritas Pemerintahan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA). UNTEA kemudian menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia sesuai amanat Perjanjian New York pada 14 Agustus 1962. Indonesia melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.

Menurut Bradley Simpson, pejabat pemerintahan Kennedy menyambut baik kesepakatan ini dengan rasa lega. Namun, tidak semuanya menyambut gembira. Tanggapan publik dan para pengkritik Kennedy di Kongres menganggap negatif kesepakatan dan peran AS sebagai fasilitator perundingan. 

“Para kritikus itu tepat, Indonesia dengan cepat mulai memastikan bahwa Irian Barat akan sepenuhnya dan tanpa dapat digugat kembali menjadi bagian dari Republik Indonesia dan penentuan nasib sendiri Irian Barat pada 1969 tidak akan memberikan pilihan apa pun kepada orang Papua,” tulis Bradley Simpson. 

Upacara pengibaran bendera Indonesia dan PBB sebagai Otoritas Pemerintahan Sementara (UNTEA) di Irian Barat pada 31 Desember 1962. (UN Photo).

Di Balik Dukungan Kennedy

Sebelum masa Kennedy, sebagian besar bantuan AS yang ditawarkan kepada Indonesia berupa dukungan militer. “Tidak heran Sukarno sangat tidak menyukai kita. Dia harus duduk dengan orang-orang yang mencoba menggulingkannya,” ujar Kennedy, dikutip Lisa Pease dalam “JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur,” dimuat realhistoryarchives.com.

Kennedy pun mengambil jalan lain. Setelah bertemu dengan Sukarno, Kennedy menunjuk tim ekonom untuk mempelajari bantuan ekonomi kepada Indonesia. Kennedy menangkap momentum Perjanjian New York dengan mengeluarkan National Security Action Memorandum (NSAM) 179 tanggal 16 Agustus 1962: “Untuk memanfaatkan kesempatan ini, semua instansi silakan meninjau kembali program-program untuk Indonesia dan menilai tindakan lebih lanjut yang mungkin berguna. Dalam pikiranku kemungkinan civic action, bantuan militer, dan program stabilisasi ekonomi dan pembangunan serta inisiatif diplomatik diperluas.”

Roger Hilsman dalam To Move a Nation: The Politics of Foreign Policy in the Administration of John F. Kennedy, menyebut apa yang dimaksud civic action sebagai “merehabilitasi kanal-kanal, pengeringan rawa untuk membuat sawah baru, membangun jembatan dan jalan, dan sebagainya.” 

Menurut Lisa Pease, Kennedy meningkatkan paket bantuan untuk Indonesia dengan menawarkan US$11 juta. Selain itu, dia merencanakan kunjungan ke Indonesia pada awal 1964. “Sementara Kennedy berusaha mendukung Sukarno, kekuatan lain melawan upaya mereka. Perbedaan pendapat di Senat mempertanyakan bantuan untuk Indonesia di saat Partai Komunis di sana tetap kuat,” tulis Lisa Pease. 

Kennedy bertahan. Dia menyetujui paket bantuan khusus ini pada 19 November 1963. Namun, tiga hari kemudian dia terbunuh. Sukarno terguncang mendengar berita kematian Kennedy, sekutu terbaiknya di Barat. “Katakan padaku, mengapa mereka membunuh Kennedy?”*

Majalah Historia No. 17 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
655c8cb3915592ddfa1e9a97