Kepercayaan Tanpa Rasa Takut

Negara belum sepenuhnya memberi pengakuan terhadap para penghayat kepercayaan.

OLEH:
Aryono
.
Kepercayaan Tanpa Rasa TakutKepercayaan Tanpa Rasa Takut
cover caption
Pasola, salah satu dari serangkaian upacara tradisional orang Marapu, Sumba, Nusa Tenggara Timur. (Dok. Dokumen Keuskupan Weetebula).

DI ruang tamu seluas 18 meter persegi, Subagiyo duduk di kursi menghadap selatan. Sebuah anak kunci, lambang organisasi penghayat Kapribaden, tergantung di tembok, tepat di atas kursinya. Di sisi tembok lain terpajang foto seorang tua mengenakan blangkon, baju lurik, dan bawahan kain batik bermotif parang. “Romo Semono Sastrohadidjojo (1900-1981)”, begitu keterangan pada foto itu.

“Rahayu. Terima kasih sebelumnya. Saya ikut ajaran Kapribaden sejak kecil. Waktu itu sering diajak bapak mengunjungi Romo Semono di Sejiwan, Purworejo,” ujar Subagiyo (55) di rumahnya yang asri di dusun Banyu Urip, Purworejo.  

Semono, seorang marinir yang bertugas di Surabaya, mendaku mendapatkan wahyu untuk mengajarkan Kapribaden sekira 1955. Dalam bahasa para pengikutnya, Semono mijil atau lahir kembali pada 13 November 1955 pada pukul 16.05.

Ingsun mijil, arso nyungsang bawono balik, arso nggelar jagat anyar, anggulung jagad lawas,” ujar Subagiyo, pemimpin penghayat kepercayaan Kapribaden wilayah Purworejo, menirukan ucapan Semono. Artinya, saya lahir kembali, memutar balik dunia, menata jagad baru, menutup jagad lama.

DI ruang tamu seluas 18 meter persegi, Subagiyo duduk di kursi menghadap selatan. Sebuah anak kunci, lambang organisasi penghayat Kapribaden, tergantung di tembok, tepat di atas kursinya. Di sisi tembok lain terpajang foto seorang tua mengenakan blangkon, baju lurik, dan bawahan kain batik bermotif parang. “Romo Semono Sastrohadidjojo (1900-1981)”, begitu keterangan pada foto itu.

“Rahayu. Terima kasih sebelumnya. Saya ikut ajaran Kapribaden sejak kecil. Waktu itu sering diajak bapak mengunjungi Romo Semono di Sejiwan, Purworejo,” ujar Subagiyo (55) di rumahnya yang asri di dusun Banyu Urip, Purworejo.  

Semono, seorang marinir yang bertugas di Surabaya, mendaku mendapatkan wahyu untuk mengajarkan Kapribaden sekira 1955. Dalam bahasa para pengikutnya, Semono mijil atau lahir kembali pada 13 November 1955 pada pukul 16.05.

Ingsun mijil, arso nyungsang bawono balik, arso nggelar jagat anyar, anggulung jagad lawas,” ujar Subagiyo, pemimpin penghayat kepercayaan Kapribaden wilayah Purworejo, menirukan ucapan Semono. Artinya, saya lahir kembali, memutar balik dunia, menata jagad baru, menutup jagad lama.

Lima tahun setelah peristiwa mijil, Semono mundur dari dinas militer dan kembali ke kampung halamannya di daerah Sejiwan, Purworejo. Di sana dia mulai menerima orang yang datang untuk berobat atau meminta nasihat. Dia juga mencari pengikut dan mengajarkan Kapribaden, yang menekankan pada bagaimana manusia menjalani kehidupan. Perlahan, pengikutnya bertambah, bahkan dari luar Purworejo.

Meski sedari kecil sudah mengenal ajaran Kapribaden, Subagiyo mengatakan baru mantap dan meyakini ajaran Kapribaden sejak tahunn 2000.

“Pada 2002, di rumah saya ini, berkumpul 100-an orang saudara Kapribaden wilayah Purworejo, dan kami baru mendirikan organisasi penghayat Kapribaden cabang Purworejo,” ujar Subagiyo.

Kendati bertahan selama lebih dari setengah abad, perjalanan Kapribaden tak pernah mulus. Ia mengalami diskriminasi dan tekanan yang dilakukan justru oleh negara.

Romo Semono Sastrohadidjojo, pendiri aliran kepercayaan Kapribaden. (Repro majalah Minggu Pagi, 16 Mei 1967).

Stigma

Ketika Kapribaden lahir, terdapat ratusan aliran kepercayaan yang tumbuh subur di Indonesia. Termasuk di dalamnya kepercayaan/agama lokal (etnis), Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kebatinan, sekte/aliran keagamaan, dan kepercayaan mistik. Pada 1953 saja, Departemen Agama mencatat terdapat 360 aliran kepercayaan/kebatinan.

Dianggap mengganggu ketertiban umum dan mengancam agama-agama “resmi”, pada 1952 Departemen Agama membentuk Badan Koordinasi Pengawasan Aliran dan Kepercayaan (Bakor Pakem) guna mengawasinya. Dua tahun kemudian, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengeluarkan Surat Keputusan No. 167/PROMOSI/1954 tentang pembentukan Panitia Interdepartemental Peninjauan Kepercayaan-kepercayaan di dalam Masyarakat (Panitia Interdep Pakem). Kebijakan ini antara lain menimpa Arat Sabulungan, kepercayaan lokal di Mentawai. Selain dilarang, penganutnya diberi pilihan pindah agama resmi.

Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama –kemudian diubah jadi undang-undang (UU) pada 1969– kian menyudutkan penghayat kepercayaan karena menjadikan mereka sebagai penoda agama. Mereka juga tak mendapat jaminan atas kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah menurut keyakinan mereka.

“Penetapan Presiden ini disahkan oleh Presiden Sukarno, presiden pertama Indonesia, untuk mengakomodir permintaan dari organisasi-organisasi Islam yang ingin melarang aliran kepercayaan yang dipercaya bisa menodai agama yang ada di Indonesia,” tulis Amnesty International dalam laporannya tahun 2014 berjudul Mengadili Keyakinan: Undang-undang Penodaan Agama Indonesia.

Puncak dari tekanan negara terjadi pasca tragedi 1965.

Satu pagi di Minggu kedua Mei 1967, padepokan Romo Semono di Loano, Purworejo, digerebek tentara gabungan kesatuan di Yogyakarta dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Dalam penggebrekan itu, tentara menyita uang sebesar 40 ribu rupiah dan surat-surat serta memeriksa 112 orang.

“Tidak ditemukan senjata yang disita, hanya beberapa surat pusaka atau wasiat dari romo Herutjokro,” tulis Minggu Pagi, 16 Mei 1967.  

Tindakan yang sama dilakukan militer terhadap padepokan lainnya. Dalihnya, padepokan itu jadi tempat pelarian atau disusupi orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dituduh sebagai dalang di balik tragedi 1965. Di beberapa tempat tindakan itu dilakukan dengan kekerasan. Seperti yang menimpa padepokan Mbak Suro di desa Nginggil, Blora pada Maret 1967.  

Akibat stigma itu, tulis Niels Mulder dalam Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa, terjadi eksodus besar-besaran pengikut aliran kepercayaan yang pindah ke agama-agama resmi.

Simbol aliran kebatinan Perjalanan. (Repro majalah Panji Masyarakat No. 558).

Penolakan dari Islam

Di awal kekuasaan Soeharto, aliran kepercayaan seolah mendapat angin segar. Hal ini tak lepas dari kepribadian Soeharto yang kental dengan kejawen dan klenik. Ditambah lagi, asisten pribadinya, Soedjono Humardhani, juga menyukai klenik. Bahkan, pada Desember 1970, Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) membentuk Badan Koordinasi Karyawan Kerohanian, Kebatinan, Kejiwaan Indonesia (BK5I) –lalu diubah jadi Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK) dan kini Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK).

Kenyataannya, tekanan negara belum berakhir. Beberapa kelompok aliran kepercayaan dibubarkan pemerintah. Misalnya, Aliran Kebatinan Perjalanan di Sumedang dan Subang, Jawa Barat, pada 1970. Namun, situasi itu tak menyurutkan langkah penghayat kepercayaan untuk mendapatkan pengakuan pemerintah.

Kelompok aliran kepercayaan meyakini hak mereka dilindungi Konstitusi, yakni pasal 29 UUD 1945, yang secara eksplisit menyebut “agama dan kepercayaan”. Kata “kepercayaan” adalah buah pemikiran Wongsonegoro, salah satu anggota perancang UUD 1945 yang juga penganut aliran kepercayaan. Demi mendapat pengakuan dari pemerintah, pada 1970 mereka membentuk delegasi untuk menghadap presiden.

Menurut Ali Maskur dalam “Membaca Ulang Eksistensi Aliran Kepercayaan di Indonesia”, dimuat To Fulfill and To Protect suntingan M. Syafi’ie dan Nova Umiyati, tuntutan saat itu adalah agar mereka diakui sejajar dengan agama secara legal, diberi hak berorganisasi, diberi pengajaran kebatinan di sekolah, diberi hak perkawinan dan subsidi dari pemerintah.

Meski upaya itu belum tercapai, para penghayat merasa puas karena aliran kepercayaan diakui sejajar dengan agama dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1973. GBHN 1973 sempat mendapat penolakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kendati akhirnya bisa menerimanya dengan beberapa catatan.

Tekanan kelompok Islam kembali mengemuka dalam Sidang Umum MPR, Maret 1978. Sementara umat Islam turun ke jalan untuk menentang pembahasan mengenai aliran kepercayaan, PPP berjibaku di dalam gedung MPR. Dalam rapat di Komisi A, Fraksi PPP menolak rancangan GBHN yang disusun pemerintah.  

“Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diartikan sebagai kepercayaan yang berdiri di luar agama serta mendapat perlakuan yang sama, seperti tercantum dalam naskah rancangan GBHN, adalah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Maka dengan konsekuensi pendirian kami, dengan ini kami dari Fraksi Persatuan dalam Komisi A, meninggalkan rapat ini,” ujar Yusuf Syakir membacakan keputusan fraksinya, dikutip Panji Masyarakat, 1 April 1978.

Meski PPP walk out, rapat Komisi A tetap melakukan pembahasan. Keberatan dari kelompok Islam diakomodasi sehingga diputuskan bahwa Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan merupakan agama. Pembinaan kepada para penghayat kepercayaan diperlukan guna mencegah dan agar tak mengarah pada pembentukan agama baru.

Kendati demikian, dalam rapat paripurna, Fraksi PPP kembali melakukan walk out. Toh, MPR mensahkan GBHN tahun 1978.

“Di sini, kita bisa melihat strategi dua kaki negara: satu sisi negara menerima keberatan dari kelompok keagamaan besar yang meminta pemisahan aliran kepercayaan dari agama, namun di sisi lain, negara juga terkesan melindungi, mengakui dan kemudian mengendalikan keberadaan kelompok-kelompok aliran kepercayaan pada Tuhan YME,” tulis Ali Maskur.

Walk Out kedua di sidang paripurna yang dilakukan oleh Fraksi Partai Persatuan ketika sidang akan mengesahkan masuknya Aliran Kepercayaan dalam GBHN. (Repro Panji Masyarakat No. 244).

Masih Harapan

Sejalan dengan GBHN, terbit Keputusan Presiden No. 40/1978 yang mengalihkan pengawasan aliran kepercayaan dari Departemen Agama ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu dibentuk Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan (PPK) Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.

“Semua penghayat kepercayaan saat itu harus membuat organisasi, termasuk Kapribaden. Tujuannya untuk memudahkan pemerintah melakukan pengawasan,” ujar Suprih Suhartono, ketua umum Kapribaden, melalui sambungan telepon.  

Pada 29 April 1978, Semono memanggil lima pengikutnya, Wahyono Raharjo, Hartini Wahyono, Soehirman, S. Parmin, Sakir, dan memberikan secarik kertas berisi tulisan beraksara Jawa. Pesan tertulis itu menyiratkan keinginan Semono agar Kapribaden menjadi sebuah lembaga. Terbentuklah paguyuban penghayat Kapribaden.  

Namun, karena tak diakui sebagai agama, diskriminasi membayangi para penghayat kepercayaan. Terlebih muncul Instruksi Menteri Agama Alamsjah Ratu Prawiranegara No. 4/1978 tentang Kebijakan mengenai Aliran-aliran Kepercayaan dan surat edaran Menteri Dalam Negeri Amirmachmud kepada semua gubernur dan bupati/walikota se-Indonesia mengenai petunjuk pengisian kolom “agama”.  

Aturan-aturan itu membatasi hak sipil penghayat kepercayaan dalam pencatatan perkawinan dan dokumen kependudukan.

“Beberapa mereka yang memiliki anak, tak mendapat akta kelahiran. Jika ada yang diterima PNS, mereka tetap dicatat sebagai bujangan sebab tak dapat menunjukkan surat nikah,” tulis Heru Susetyo dalam artikel bertajuk “Pencatatan Perkawinan Bagi Golongan Penghayat”, dimuat majalah Hukum dan Pemerintahan edisi Januari 1998.  

Dalam surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri pada 17 Juli 1980 ditegaskan, jika ada penghayat kepercayaan membubuhkan tanda (-) pada kolom agama, yang bersangkutan dianggap tak beragama. Selain itu, jika ada penghayat kepercayaan yang mengajak orang beragama lain untuk mengikutinya, ia bisa dikenai Pasal 156 a KUHP (UU Nomor 1 PNPS 1965 Pasal 4) dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Stigma tak beragama menghantui para penghayat kepercayaan. Beberapa di antara mereka terpaksa atau berpura-pura memilih agama-agama ”resmi”. Jika tidak, mereka akan mendapatkan tekanan atau tak dilayani. Aktivitas mereka juga terus diawasi tim Pakem yang dibentuk Kejaksaan Agung pada 1984.  

Secercah harapan muncul setelah pada tahun 2006, pemerintah mengesahkan UU No. 23/2006 mengenai Administrasi Kependudukan. Kendati masih mewajibkan mengisi kolom agama, UU ini mencantumkan “agama yang belum diakui negara” untuk merujuk pada kepercayaan di luar agama resmi. Sebagai aturan pelaksanaannya, terbit Peraturan Pemerintah No. 37/ 2007.  

Kini, para penghayat kepercayaan setidaknya bisa mendapatkan hak-hak administratif mereka.

“Bahkan jika ada pemerintah daerah yang tidak melayani penghayat kepercayaan akan dikenakan sanksi dari pusat,” ujar Suprih Suhartono, anggota presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) periode 2014-2019. “Dalam pelaksanaannya, misalnya kesulitan mengosongkan kolom agama dalam KTP, ada kegiatan mediasi. Warga penghayat tersebut dibantu organisasi penghayat setempat.”  

Yang menggembirakan pula, aliran kepercayaan masuk dalam kurikulum nasional berkat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 27/2016. Untuk itu MLKI mempersiapkan kurikulum pendidikan bagi penghayat kepercayaan sekaligus pengajar-pengajarnya.

“Sosialisasi mata pelajaran kepercayaan ini sudah dimulai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perangkatnya mulai dari materi, kurikulum, dan penyuluh memang tengah disiapkan,” ujar Suprih.  

Kendati sebuah terobosan penting, UU No. 23/2006 masih menyisakan persoalan. Pencatuman kolom agama masih berpotensi menimbulkan diskriminasi lainnya yang dilakukan kelompok masyarakat. Belum lagi peraturan-peraturan daerah, buah dari reformasi, yang bisa meminggirkan para penghayat kepercayaan. UU No. 1/ PNPS/1965 juga belum dihapuskan.*

Majalah Historia No. 36 Tahun III 2017

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
672090a1ae3b6c1990afd0ae