SEBUAH rumah di bilangan Puri Indah, Jakarta Barat, nyaris seperti rumah mati. Halaman depannya yang sempit tak memberi ruang bagi hijau dedaunan. Namun, begitu memasuki ruang tengah, terhampar kebun bonsai pemandangan beragam tanaman di halaman belakang. “Agar tak serasa tinggal di Jakarta tapi di pegunungan yang asri,” ujar Budi Sulistyo, berusia 60 tahun, pemilik rumah itu.
Namun, kekayaannya justru berada di lantai dua. Dia sudah menyulap balkon, atap garasi, dan sebagian atap rumahnya sebagai tempat koleksi bonsai-bonsainya. Sebagian punya sejarah dan mengiringi perjalanan hidupnya. Dia menunjuk sebuah bonsai beringin. “Ini salah satu bonsai yang pertama saya bikin waktu di Yogya,” ujarnya.
SEBUAH rumah di bilangan Puri Indah, Jakarta Barat, nyaris seperti rumah mati. Halaman depannya yang sempit tak memberi ruang bagi hijau dedaunan. Namun, begitu memasuki ruang tengah, terhampar kebun bonsai pemandangan beragam tanaman di halaman belakang. “Agar tak serasa tinggal di Jakarta tapi di pegunungan yang asri,” ujar Budi Sulistyo, berusia 60 tahun, pemilik rumah itu.
Namun, kekayaannya justru berada di lantai dua. Dia sudah menyulap balkon, atap garasi, dan sebagian atap rumahnya sebagai tempat koleksi bonsai-bonsainya. Sebagian punya sejarah dan mengiringi perjalanan hidupnya. Dia menunjuk sebuah bonsai beringin. “Ini salah satu bonsai yang pertama saya bikin waktu di Yogya,” ujarnya.
Kala itu, 1976, Budi sudah merampungkan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma, sementara di Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tinggal menyelesaikan skripsi. Karena sedari kecil suka tanaman, dia meminta sebuah pohon beringin dari seorang teman dan menanamnya di pot.
Limanto Subijanto, teman satu kos yang kuliah di Sastra Inggris UGM, menyangka Budi mulai menekuni hobi bonsai. Budi terkejut dengan ucapan Limanto namun segera tersadar kenapa tak mengerjakan bonsai. Mulailah mereka berkeliling mencari tanaman, mendatangi orang-orang yang memelihara bonsai, maupun membaca buku tentang bonsai yang ditulis orang-orang Jepang.
Budi mendatangi pemilik toko Pendowo di Jalan Mangkubumi dan bertemu dengan Ny. Wibowo, seorang ibu berusia 70-an tahun. Tak seperti suami atau anak-anaknya, Ny. Wibowo suka memelihara bonsai. Ukurannya besar-besar, dan umumnya jenis beringin, asem, dan tanaman lokal lainnya. “Setelah Wibowo meninggal sekira 1986, karena anak-anaknya tak begitu suka bonsai, barang-barangnya dikirim ke rumah saya,” ujarnya, sembari menunjuk salah satu bonsai milik Ny. Wibowo.
Seni Tinggi
Sejak mengenal bonsai, Budi berharap kelak suatu saat dia menjadi orang kaya sehingga bisa mengoleksi bonsai karya sendiri. Baginya, selain punya nilai ekonomi tinggi, bonsai adalah sebuah kebanggaan yang bisa dijadikan teman.
“Kalau seni lain sekali bentuk selesai, kalau bonsai kan enggak. Sambil tumbuh, sambil kita bentuk, makin lama makin indah, makin tua; kita makin jelek dia makin cantik,” ujarnya. Dan kecantikan itu ingin dia wariskan kepada anak-cucunya.
Bonsai bisa jadi bukan sekadar teman, tapi juga bagian dari sebuah keluarga. Sekalipun karya fiksi, novel Bonsai: Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng karya Pralampita Lembahmata menggambarkan dengan apik bagaimana bonsai menemani keluarga Boenarman, keturunan Cina bentengdi Tangerang, melewati gejolak politik yang menimpa keluarga dan komunitas mereka. Keluarga ini teguh berdiri laksana bonsai yang tetap subur walau dipasung dalam pot dangkal tanpa ornamen.
Apakah seni bonsai sudah dikenal lama di Indonesia? Sulit menjawabnya. Bonsai setua peradaban manusia. Jejak mulanya masih kabur tapi semuanya sepakat bahwa seni mengerdilkan tanaman ini sudah dikenal di Tiongkok sejak masa Dinasti Han (206 SM–220 M) –dikenal dengan nama penjing (pinyin) yang berarti panorama alam dalam pot. Bonsai menjadi kegemaran kalangan atas. Perlahan seni bonsai menyebar ke luar Tiongkok. Di Jepang, penjing ini diperkirakan masuk kali pertama pada masa Dinasti Heian (794–1185). Dan dari Jepang-lah, bonsai dikenal di Barat lewat Expo Dunia di Paris pada 1867. Seni bonsai mendapat popularitas di Barat setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Keberadaan awal bonsai di Indonesia tak terjejaki. Selama pendudukan, Jepang praktis tak memperkenalkan seni bonsai, tak seperti ikebana atau seni merangkai bunga yang diperkenalkan melalui pameran dan kursus-kursus kepandaian putri.
Menurut Pralampita, keberadaan bonsai di Indonesia bisa dijejaki dari rumah jutawan Playboy kesohor Oey Tambahsia pada abad ke-19. “Orang ini punya rumah pelesiran di Gunung Sahari yang elok penuh riasan, antara lain koleksi tanaman kate, yaitu ‘bonsai’. Sudah barang tentu rumah pelesiran itu sudah tak ada lagi bekasnya,” ujarnya via email.
Oei Tiong Ham juga memiliki koleksi bonsai. Putrinya, Oei Hui Lan, suka bermain-main di kebun rumahnya yang amat luas. Di sana ada sebuah gua buatan dan bangku-bangku taman yang tersusun diseling tanaman bonsai.
Ketika Oei Hui Lan remaja belajar mengendarai mobil, dia bukan saja menabrak pohon mangga tapi juga merusak pot-pot bonsai.
“Jangan lupa orang Tionghoa kaya tempo dulu bisnisnya bisa dibilang luas. Jadi hubungan ke Singapura, Shanghai, Hongkong, dan lain-lain, jalan. Bukan mustahil segala hiasan keduniaan diambil pulang ke rumah buat hiasan rumah, taman, dan sebagainya, termasuk bonsai,” ujar Pralampita.
Sayang, koleksi mereka tak berbekas –dan mungkin tak berarti apa-apa dibandingkan warisan kekayaan mereka. Kisah keluarga Boenarman dalam novel karya Pralampita seolah tak pernah ada dalam kehidupan nyata.
Kendati tak semengharu biru keluarga Boenarman, nilai warisan sebuah bonsai dirasakan akin.henki, nama akun di Kaskus. Ketika meninggal dunia, ayahnya yang seorang penggemar bonsai mewariskan beberapa bonsai seperti hokkiante dan mirten. “Bonsai ini sudah dirawat selama 14 tahun oleh ayah saya,” tulisnya. “Dulu saya gak suka sama bonsai. Karena bokap sudah tiada, saya merawat bonsainya. Lama-lama akhirnya suka.” Entah sampai kapan warisan itu akan terjaga.
Keluarga Yamaki di Jepang punya cara untuk mengawetkan koleksi bonsai mereka. Selama enam generasi keluarga ini menjadi penyumbang National Bonsai & Penjing Museum di Washington, Amerika Serikat. Salah satu sumbangannya yang fenomenal adalah bonsai pinus Jepang berusia 400 tahun. Bonsai ini mengalami lebih dari sekali perang. Ketika kota Hiroshima luluh lantak dihantam bom atom pada Perang Dunia II, ia selamat. Pada 1976, keluarga Yamaki menyumbangkannya ke museum sebagai hadiah atas peringatan 200 tahun AS.
Jika bonsai bisa bicara, ia bisa menceritakan banyak hal.
Tumbuhnya Gairah
Ketika Budi mulai merawat bonsai, seni ini masih dilakukan secara terbatas. Selain Ny. Wibowo, dia mengenal Pak Rahmat yang sudah menanam bonsai di atas batu yang disemen. Meski bibit penggemar bonsai sudah tumbuh di Yogyakarta, bonsai masih dilakukan secara sederhana, belum berbentuk bonsai yang benar. Begitu pula apa yang dilakukan penggemar bonsai di Purwokerto, Malang, Kwitang, dan Magelang. “Mulai berbentuk bonsai awal 1980-an, setelah kita kembangkan sesuai kriteria internasional,” ujar Budi.
Ketika bekerja di Jakarta, Budi kian intens menggeluti hobi ini. Pada 1982, dia menjadi anggota Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI), yang berdiri sejak 1979 namun mati suri. Digelorakan gairah, dia terdorong mengembangkan organisasi itu. Bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Jepang, PPBI menghelat pameran bonsai. Setahun kemudian, dua master bonsai asal Jepang, Shinichi Nakajima dan Isao Komatsu, berkunjung ke Indonesia untuk berbagi ilmu. Sampai akhirnya, dalam sebuah pameran pada 1985, PPBI berhasil menarik Menteri Kehakiman Ismail Saleh untuk menjadi anggota, bahkan pelindung.
“Memperoleh orang kuat, ini jadi luar biasa; publikasinya, gairah masyarakatnya. Skalanya dengan cepat jadi nasional,” ujarnya.
Sejak itu, pameran-pameran PPBI bukan hanya dibuka menteri tapi juga presiden. Cabang-cabang PPBI bermunculan. Buku-buku tentang bonsai terbit, termasuk yang ditulis Budi dan Limanto –keduanya juga kerap muncul dalam acara Keterampilan Keluarga di TVRI. Gairah hobi bonsai meningkat. Dampaknya, spesies bertambah begitu cepat, dari semula sekira 10 jenis berkembang jadi 100 lebih.
Bonsai2
Ismael Saleh juga menarik para penggemar kelas atas. Salah satunya Gani Djemat, pengacara ternama. Gani tak segan menukarkan mobilnya dengan sebuah bonsai. Dia juga memiliki perkebunan bonsai berhektar-hektar di Bogor. Ketika menjabat sebagai ketua PPBI, PPBI menjalin kerja sama dengan Astuti Sariutami, istri Menteri Koperasi/Kepala Bulog Bustanul Arifin, untuk membuat museum bonsai di Taman Rekreasi Wiladatika, Cibubur. Ibu Tien Soeharto sempat meninjaunya. Sayang, baru dua tahun berjalan, gagasan ini mangkrak. “Dari segi perawatan mahal. Karena bonsai setiap hari harus diawasi sementara kita sibuk,” ujarnya.
Toh, tanpa museum, penggemar bonsai terus bermunculan. Tak hanya pensiunan, tapi juga anak-anak muda. Didik Tri Maryono, berusia 32 tahun, pegawai Djarum Kudus, mengatakan belajar merawat bonsai sejak 1998 karena melihat bonsai sebagai sebuah karya seni. “Bonsai enak dipandang dan dinikmati dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Bahkan Putri Fatmawati, gadis berusia 18 tahun, suka bonsai sejak usia lima tahun karena terpengaruh ayahnya, seorang kolektor bonsai di Surabaya. “Saya suka bonsai karena saya merasa tiap-tiap tanaman bonsai punya jiwa. Bonsai itu seni paling indah menurut saya. Meski merawatnya cukup susah, tapi suatu kebanggaan tersendiri bisa menggeluti hobi unik ini,” ujarnya. “Sungguh elegan bila seorang perempuan ikut andil dalam seni bonsai.”
Sayangnya, perempuan seperti Putri masih segelintir. Penggemar bonsai masih didominasi laki-laki. Setengah bercanda, Budi memberikan alasannya: “Bonsai itu sesuatu yang serius. Wanita itu untuk sesuatu yang gak serius.”
Nilai dari Sebuah Hobi
Untuk mulai menggeluti hobi ini tidak sulit. Tanaman bisa diperoleh melalui bibit, stek atau cangkok, dan mencari bonggol dari alam –ketiganya juga bisa dibeli. Namun, menurut Budi, syarat utamanya mesti dipenuhi dulu: “Kecintaan pada tanaman. Karena ini long term komitmennya.” Setelah itu, orang bisa mempelajari seninya dengan membaca buku, ikut organisasi dan lomba, dan sebagainya.
Khusus yang terakhir kerap dituding sebagai perusak alam. “Itu sebetulnya berguna di awal kita bangkit. Karena kalau gaknyari bahan-bahan di hutan, kita ketinggalan dari negara-negara maju. Kalau nunggu yang kecil, bisa berpuluh tahun lagi.”
“Negara-negara maju dulu juga nyari dari hutan. Tapi sekarang mereka teriak-teriak penghijauan tak boleh cari bahan dari alam.”
Budi mengatakan, tudingan merusak alam tak sepenuhnya benar. Pemburu bonggol harus mengambil secara selektif karena tak semua bahan bisa dijadikan bonsai. Di sisi lain, karena nilai ekonominya yang tinggi, sejumlah orang memanfaatkan demam bonsai ini dengan menanami lahan atau pekarangan rumah dengan tanaman yang bisa dijadikan bonsai.
Di Lombang, Madura, penduduk lokal semula menebangi tanaman cemara udang untuk kayu bakar. Namun, pangkalnya tetap saja hidup dan menumbuhkan cabang-cabang dan daun baru. “Setelah kita pelajari rahasianya ternyata keindahannya melebihi pinus-pinus dari Jepang, dengan batang lebih besar dan lekukan-lekukan yang lebih menarik,” ujar Budi.
Permintaan cemara udang kemudian meningkat dan menggerakkan ekonomi setempat. Bahkan beberapa orang bisa menjadikannya sandaran hidup. Sejak itu, penduduk lokal membudidayakan tanaman ini. “Beberapa orang bisa jadi kaya karena punya sawah di halaman. Tadinya kan daerah miskin,” ujar Budi.
Permintaan bonsai selalu stabil. Beberapa pebonsai bahkan melirik pangsa pasar luar negeri. “Saya pernah mengunjungi Belanda, Prancis, dan Jerman, dan di sana bonsai-bonsai tropis dipasang di dalam ruangan, dengan lampu ultraviolet agar tanaman bisa tetap tumbuh. Sementara tanaman-tanaman asli mereka gak kuat di-treatment begitu.”
Beberapa bonsai Budi dibeli pembeli asing. Edo Plant, milik warga negara Belanda bernama Ed De Groot, di Salatiga bahkan menjadi eksportir besar yang memasok bonsai ke negara-negara Eropa seperti Belanda, Belgia, Jerman, dan Prancis.
“Tren bonsai stabil karena tak bisa bisa digoreng, kriterianya jelas mana yang bagus dan jelek. Mau bikin barang bagus dalam jangka pendek juga gak bisa. Bonsai butuh waktu untuk jadi besar dan tua,” ujar Budi, orang Indonesia yang pertama memenangi penghargaan internasional, dalam International Bonsai Exhibition di Osaka, Jepang, tahun 1988.