Kerja Revolusioner di Tanah Jajahan

Henk Sneevliet pergi ke Hindia Belanda untuk bekerja. Namun, keadaan tanah jajahan membuatnya terlibat dalam aktivitas politik. Ia mendirikan organisasi cikal bakal Partai Komunis Indonesia.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Kerja Revolusioner di Tanah JajahanKerja Revolusioner di Tanah Jajahan
cover caption
Henk Sneevliet di Hindia Belanda tahun 1919. (Dok. Keluarga Henk Sneevliet/Historia.ID).

PERSETERUAN Henk Sneevliet dengan kaum sosialis moderat di Belanda membuatnya kehilangan pekerjaan. Dia dicopot sebagai ketua Serikat Buruh Kereta Api Belanda (NVSTP) yang berada di bawah kendali SDAP (Partai Buruh Sosial Demokrat) karena bergabung dengan pecahannya, SDP (Partai Sosial Demokrat) –kemudian menjadi Partai Komunis Belanda. 

Sneevliet meninggalkan SDAP karena kaum sosialis moderat itu menolak mendukung demonstrasi kaum buruh pelabuhan di Amsterdam. Tak ada lagi pekerjaan sejenis yang ditemukannya di Belanda. Kebanyakan swasta enggan mempekerjakan seorang penyulut api tersohor seperti dirinya. Dia memutuskan mencari peruntungan ke Hindia Belanda. 

“Sneevliet datang ke Indonesia hanya sekadar mencari pekerjaan, tetapi rasa panggilan revolusionernya membuatnya tak terhindarkan bahwa kegiatan utamanya ialah memberikan khotbah akan keyakinan politiknya,” tulis sejarawan Ruth T. McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia.

PERSETERUAN Henk Sneevliet dengan kaum sosialis moderat di Belanda membuatnya kehilangan pekerjaan. Dia dicopot sebagai ketua Serikat Buruh Kereta Api Belanda (NVSTP) yang berada di bawah kendali SDAP (Partai Buruh Sosial Demokrat) karena bergabung dengan pecahannya, SDP (Partai Sosial Demokrat) –kemudian menjadi Partai Komunis Belanda. 

Sneevliet meninggalkan SDAP karena kaum sosialis moderat itu menolak mendukung demonstrasi kaum buruh pelabuhan di Amsterdam. Tak ada lagi pekerjaan sejenis yang ditemukannya di Belanda. Kebanyakan swasta enggan mempekerjakan seorang penyulut api tersohor seperti dirinya. Dia memutuskan mencari peruntungan ke Hindia Belanda. 

“Sneevliet datang ke Indonesia hanya sekadar mencari pekerjaan, tetapi rasa panggilan revolusionernya membuatnya tak terhindarkan bahwa kegiatan utamanya ialah memberikan khotbah akan keyakinan politiknya,” tulis sejarawan Ruth T. McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia

Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Soewarsono, kedatangan Sneevliet ke Hindia Belanda tidak serta merta bermotifkan politik karena dia ingin mencari pekerjaan. “Keterlibatannya dalam aktivitas politik terjadi karena kondisi yang ada di Hindia Belanda yang merangsangnya untuk melakukan pekerjaan revolusioner,” kata Soewarsono. 

Sneevliet tiba di Hindia Belanda pada pertengahan Februari 1913. Dia menjadi staf editor di Soerabajaasch Handelsblad, koran utama di Jawa Timur dan corong jaringan perusahaan gula. Pada 1 Juni 1913, dia menggantikan posisi rekan sosialisnya, DMG Koch yang berhenti sebagai sekretaris Kamar Dagang Semarang (Semarang Handelsvereniging). 

Para majikan Sneevliet di Kamar Dagang Semarang hanya berkepentingan dengan barang-barang dagangan. Selama jam kerjanya, dia bekerja dengan baik mempromosikan kapitalisme, dan tidak ada yang keberatan dengan aktivitas sosialnya di luar itu. “Dia hanya diminta untuk tidak melakukan upaya yang mengarah pada revolusi; itulah sebenarnya yang sedang dirancang oleh Sneevliet,” tulis McVey. 

Sneevliet kemudian bergabung dengan Serikat Buruh Kereta Api dan Tram (VSTP) yang didirikan pada 1908. Selain karena kemiripan dengan organisasi yang dipimpinnya di Belanda, dia juga melihat prospek yang lebih menjanjikan di VSTP, ketimbang organisasi lain semisal Insulinde, organisasi yang didirikan oleh EFE Douwes Dekker. 

“VSTP itu kecil, tetapi Sneevliet sangat optimis bahwa dia bisa mengubahnya,” tulis Kees van Dijk dalam The Netherlands Indies and the Great War 1914–1918. Dalam setahun setelah kedatangan Sneevliet di Semarang, dia berhasil membawa VSTP ke jalur lebih radikal yang mengarahkan tujuannya untuk memperbaiki nasib buruh tidak terlatih dan miskin.

Gedung De Prottel pernah jadi kantor koran berbahasa Belanda pertama di Surabaya, Soerabajaasch Handelsblad. (Fajar Ramadlan/Historia.ID).

Sepak Terjang

Awal April 1914, sembari bekerja di Kamar Dagang Semarang, Sneevliet menjadi editor De Volharding, suratkabar VSTP. Di saat yang sama dia sibuk belajar bahasa Indonesia dan Jawa. Versi Indonesia dari suratkabar VSTP itu, Si Tetap, dikelola oleh Mohammad Joesoef dan Semaoen. 

“Baginya hal ini masih belum cukup untuk memenuhi kehendaknya memperluas pengaruh sosialisme,” tulis McVey. “Dia merasa kerja nyata hanya dapat dilaksanakan dengan cara menghimpun seluruh kaum sosialis yang sudah ada di Hindia Belanda.” 

Seneevliet bersama sekira 60 orang sosialis demokrat di Hindia Belanda mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV) pada 9 Mei 1914 di Surabaya. Sneevliet menjadi ketua partai Marxis pertama di Asia tersebut sampai 1918. 

Setahun pertama, ISDV hanya membatasi kegiatannya pada diskusi teoritis seputar kondisi dan masalah koloni, serta berusaha mengumpulkan dana untuk mendukung kaum sosialis dalam pemilihan di Belanda. Kongres ISDV pada 1915, muncul upaya kuat untuk mengalihkan sejumlah besar dana partai bagi pergerakan di Belanda. Sneevliet berhasil mencegahnya. 

Untuk memperluas pengaruhnya, ISDV menerbitkan koran Het Vrije Woord. Koran yang edisi perdananya muncul pada Oktober 1915 ini berbahasa Belanda, sehingga sedikit orang Indonesia yang membacanya. Edisi bahasa Indonesia terbit dua tahun kemudian. Menurut McVey, Het Vrije Woord memperoleh pujian dari kelompok radikal Indonesia karena sikap mereka dalam dua masalah yang membuat publik mendapatkan kesadaran politik. 

Keterlibatannya dalam aktivitas politik karena kondisi di Hindia Belanda yang merangsangnya melakukan pekerjaan revolusioner.

Pertama, penahanan wartawan Mas Marco Kartodikromo yang menulis artikel kritik tentang tindakan pemerintah Belanda terhadap Sarekat Islam (SI). Sebagaimana sebagian besar pers berbahasa Indonesia, Het Vrije Woord berpihak kepada Mas Marco. 

Penahanan Mas Marco melahirkan sebuah gerakan, Commite van Actie voor Drukpersvrijheid (Komite untuk Aksi Kemerdekaan Pers) pada 29 Agustus 1915. Pencetus ide pembentukan komite tersebut adalah Sneevliet. Usaha komite yang diusung terutama oleh ISDV, Insulinde, dan VSTP itu berhasil. Putusan hukuman tujuh bulan hanya dijalani Mas Marco selama tiga bulan enam hari (23 November 1915–26 Februari 1916). 

Isu kedua yang diangkat adalah kampanye melawan Indie Weerbar, yakni rencana membangun milisi Indonesia di bawah komando Belanda yang khawatir Perang Dunia I menyebar ke Hindia Belanda. Rencana ini didukung Boedi Oetomo, Central Sarekat Islam (CSI), Perhimpunan Pangeran-pangeran, Perhimpunan Bupati-bupati, dan Perhimpunan Minahasa. Mereka memandangnya sebagai alat untuk membujuk pemerintah Belanda guna memperluas hak-hak politik mereka. 

Het Vrije Woord melakukan kampanye perlawanan terhadap rencana tersebut atas dasar bahwa tindakan ini justru akan menuju militerisme dan imperialisme,” tulis McVey. 

Walaupun ISDV mencakup hampir seluruh kaum sosialis Hindia Belanda, mereka kesulitan mengembangkan organisasi. Pada 1915 anggotanya hanya 85 orang. Tahun berikutnya menjadi 134 anggota. Organisasi ini tidak memiliki cukup dana, pengaruh maupun program bagi massa Indonesia. Mereka menyadari kelemahan organisasi terletak pada keanggotaan yang hampir seluruhnya orang Belanda. 

“Jika partai tersebut sama sekali tidak efektif, maka harus dicari aliansi dengan gerakan besar yang dapat menjadi jembatan bagi partai dan massa Indonesia,” tulis McVey. 

Henk Sneevliet (duduk di tengah) bersama anggota ISDV Semarang. (KITLV).

Aliansi dengan Insulinde dan Sarekat Islam

Untuk menjembatani dengan massa Indonesia, ISDV beraliansi dengan Insulinde. Organisasi yang dibentuk pada 1907 ini berorientasi kelompok Eurasia (Indo), dengan sejumlah tokoh Jawa sebagai pimpinan. Pusat kegiatannya di Semarang. Namun aliansi dengan Insulinde terbukti sebagai kesalahan ISDV. 

Orientasi Insulinde terhadap kelompok Eurasia membuat ISDV sulit menggapai massa pribumi. Terlebih para pemimpin Insulinde hanya ingin menggantikan kepemimpinan orang Eropa dengan orang Eurasia dan orang terdidik Indonesia. Dengan demikian mereka tidak berguna bagi kaum sosialis radikal yang menekankan pada perjuangan kelas dan keadaan sulit kaum buruh dan tani Indonesia. 

“Sneevliet yang sebelumnya terkesan pada pemimpin Insulinde, Tjipto Mangunkusumo, kemudian menyerangnya karena menganggapnya kurangnya dedikasi kepada kehendak kaum proletar. Tjipto sendiri kemudian menolak usaha Sneevliet mengubah partainya ke arah dan tujuan lebih radikal,” tulis McVey. 

Pada kongres 1916, ISDV memutuskan secara resmi kerja sama politiknya dengan Insulinde dan meminta anggotanya keluar dari Insulinde. Bahkan sebelum kerja sama dengan Insulinde berakhir, kaum revolusioner ISDV telah mulai mencari lahan politik lebih subur. Perhatian mereka tertuju kepada SI yang anggotanya mencapai ratusan ribu. 

Pada saat itu, terbuka keanggotaan ganda dalam organisasi, sehingga memungkinkan anggota ISDV untuk menjadi anggota organisasi lain. Namun, kaum revolusioner Belanda tidak mungkin bergabung dalam organisasi muslim seperti SI. Sebaliknya, kelompok muda radikal SI dapat masuk ISDV. 

Menurut McVey hal tersebut mendatangkan kesuksesan besar bagi Sneevliet yang sedang menghimpun kekuatan. “Mereka segera dapat menghimpun sekelompok idealis muda yang tidak suka dengan oportunisme dan ketidakjujuran pimpinan CSI (Central Sarekat Islam),” tulis McVey.

Orang sering salah bahwa Sneevliet mendoktrin orang-orang. Yang terjadi adalah hubungan yang saling memerlukan.

Sejak 30 Juni 1913, CSI hanya berfungsi sebagai koordinator SI-SI lokal yang otonom. SI lokal paling terorganisir dengan baik adalah cabang Semarang yang diketuai Semaoen sejak 6 Mei 1917. “Figur paling menonjol di antara kelompok Marxis Indonesia pertama ialah Semaoen,” tulis McVey. 

Menurut sejarawan Hilmar Farid, Sneevliet mendapatkan “kaki” pada Semaoen, sedangkan Semaoen mendapatkan “kepala”. “Orang sering salah bahwa Sneevliet mendoktrin orang-orang. Yang terjadi adalah hubungan yang saling memerlukan,” ujar Hilmar Farid. 

Dari Sneevliet, kata Hilmar Farid, Semaoen mendapatkan kerangka apa itu kapitalisme, kolonialisme, kelas, dan seterusnya. Sementara, Sneevliet dari Semaoen mendapatkan kesempatan untuk melihat bagaimana analisis pengetahuan teoritisnya berhubungan dengan kenyataan sosial, karena selama ini terputus. 

Semaoen, yang bergabung dengan ISDV pada 1915, mengkritik CSI sebagaimana mereka mengkritik pemerintah dan modal asing. Dia menyerang rencana CSI untuk bergabung dengan Volksraad (Dewan Rakyat) Hindia Belanda yang sedang dirancang pemerintah. Dia juga memimpin kampanye melawan Indie Weerbar (milisi Indonesia) yang didukung SI Surabaya. Terlebih anggota CSI, Abdoel Moeis, menjadi anggota delegasi ke Belanda memohon dibentuknya milisi Indonesia. CSI mengancam SI Semarang, jika mereka tidak membatalkan resolusinya menentang Indie Weerbar, CSI akan memutuskan hubungan dengan mereka. SI Semarang menjawabnya, jika CSI tidak ikut dalam perlawanan menentang Indie Weerbar, mereka akan memisahkan diri. 

Krisis tersebut bersamaan dengan ancaman bubarnya hubungan SI dengan ISDV. CSI menuntut kongres SI pada Oktober 1917 untuk memutuskan hubungan dengan ISDV. Sneevliet sempat panik dan memastikan bahwa kaum sosialis memiliki kehendak jujur: “Adakah kami melawan kalian pribadi? Atau mempertentangkan kalian dengan organisasi kalian? Itu tidak mungkin,” kata Sneevliet. 

Ternyata tidak ada yang perlu dicemaskan oleh kaum sosialis. Dalam kongres, SI Semarang memiliki dukungan lebih kuat dibandingkan cabang-cabang SI lainnya. HOS Tjokroaminoto, ketua CSI, yang berusaha menjaga persatuan SI pun dengan segala cara ikut mendukung. Abdoel Moeis, juru bicara CSI, juga menyatakan jika langkah parlemen tidak menghasilkan apa pun, SI tidak akan ragu untuk segera menyingkir. Kongres juga mengutuk kapitalisme asing, menuntut kebebasan organisasi politik, perbaikan peraturan perburuhan dan agraria, serta pendidikan umum gratis. 

Kekuatan kelompok radikal semakin meningkat karena organisasi dan propaganda SI Semarang yang sangat baik, sehingga CSI kian terikat pada cabang-cabang di kota-kota besar karena basis pedesaan mereka tidak dapat diandalkan. “Sejak 1917 CSI pun mulai menerima ideologi kiri, tidak hanya menenangkan Semaoen dan pengikutnya, tetapi juga untuk memperoleh loyalitas kaum urban sebanyak mungkin,” tulis McVey. 

Henk Sneevliet (tengah) dan Darsono (kanan). (KITLV).

Perpecahan ISDV

Meskipun ISDV sangat gembira dengan hasil kongres SI tahun 1917, namun beberapa minggu kemudian terjadi perpecahan dalam tubuh ISDV. Keretakan internal antara sosialis moderat dan revolusioner tersebut telah berlangsung lama, baru pada Maret 1917 memuncak. 

Kejadian itu disusul oleh berita jatuhnya Kekaisaran Tsar Rusia oleh Revolusi Maret 1917. Melalui artikelnya yang berjudul Zegepraal (Kemenangan) di koran De Indier, Sneevliet dengan keras menyatakan penguasa Belanda juga akan mengalami nasib seperti Tsar jika orang-orang Indonesia menghendakinya. 

Menurut Soewarsono, akibat artikel Zegepraal, Sneevliet dipecat dari pekerjaannya sebagai sekretaris Kamar Dagang Semarang pada Mei 1917 karena menolak meninggalkan aktivitas pergerakan. “Dengan berhenti dari Kamar Dagang Semarang Sneevliet telah menghilangkan privilege-nya (hak istimewa) sebagai orang Belanda, padahal gajinya besar f.1000,” kata Soewarsono. 

Artikel tersebut ternyata juga merupakan pemicu langsung terjadinya keretakan, yang sejak pembentukannya telah terlihat jelas, menjadi perpecahan di antara faksi-faksi dalam ISDV. Pimpinan ISDV cabang Batavia, RA Schotman, mengusulkan lebih baik ISDV menjadi cabang SDAP Belanda ketimbang melakukan aksi dan agitasi. “Baginya, ISDV itu partai kecil, terpencil, tidak efektif dan bahkan tidak memiliki programnya sendiri. Satu-satunya hal yang membuatnya berarti terletak pada afiliasinya dengan SDAP sebagai cabang di Indonesia,” tulis McVey. 

Kelompok tengah di bawah DJA Westerveld mengamini kritik Schotman. Semaoen mengancam, jika rencanan Schotman diterima, dia dan gerbongnya akan mengundurkan diri. Sementara itu, Sneevliet mengemukakan kembali soal perjuangan kelas, kerja sama dengan SI, dan agitasi revolusioner massa. 

Usul Schotman yang ditolak dalam kongres ISDV Mei 1917 diajukan kembali dalam rapat anggota ISDV cabang Batavia. Semua mendukung. Pada 8 September 1917, mereka serentak mengundurkan diri dan membentuk SDAP Hindia Belanda. Westerveld dan kelompok tengahnya bergabung pada akhir tahun, karena tidak memiliki tempat penting lagi di ISDV. 

Selain Semaoen, ISDV memiliki pemimpin terbaiknya yakni Darsono, seorang bangsawan Jawa muda yang hadir pada pengadilan Sneevliet.

Sementara itu, terinspirasi oleh pengambilalihan kekuasaan oleh kaum Bolshewik di Rusia, pada akhir 1917 Sneevliet mendirikan Garda Merah yang berpusat di Surabaya, basis Angkatan Laut Hindia Belanda. Dalam tiga bulan dia berhasil menghimpun 3.000 pengikut dalam Garda Merah dan melancarkan aksi mogok besar-besaran. 

Pemerintah menyadari antusiasme tentara Belanda terhadap Garda Merah karena mereka merasa tertekan akibat diperlakukan lebih rendah oleh penduduk sipil Eropa, sehingga muncul keinginan untuk menaikkan status sosial ekonomi mereka. Pemerintah menindak mereka. Pada tahun yang sama pemerintah melakukan pembersihan pada lawan politiknya dengan mengusir para pemimpin ISDV orang Belanda dari Hindia Belanda. Pemimpin pertama yang diusir ialah Sneevliet. 

Sesaat setelah keberangkatan Sneevliet, Baars juga meninggalkan Hindia Belanda atas keinginannya sendiri menuju Belanda. Pembuangan Sneevliet memperkuat perasaan solidaritas orang-orang Indonesia. Kepada sang mentor, Semaoen menjanjikan bantuan keuangan dari VSTP dan ISDV.

Tahun 1919 menjadi masa sulit bagi orang Eropa anggota ISDV. Pemerintah banyak memenjarakan, membuang, atau membuat kebijakan menentang mereka. Pada awal 1920, sebagian besar anggota ISDV orang Belanda jumlahnya berkurang. Beruntung ISDV masih memiliki anggota orang Indonesia yang mempunyai kemampuan dan pengalaman untuk menggantikan para pemimpin Eropa. 

“Selain Semaoen, ISDV memiliki pemimpin terbaiknya yakni Darsono, seorang bangsawan Jawa muda yang hadir pada pengadilan Sneevliet pada 1917 dan segera menjadi seorang sosialis revolusioner,” tulis McVey. 

Anggota muda PKI di Semarang tahun 1922. (Repro Kemunculan Komunisme Indonesia).

ISDV Jadi PKI

Pada 1 Juni 1919 SDAP Hindia Belanda memisahkan diri dan mengganti namanya menjadi Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP). Nama tersebut tidak hanya sangat mirip dengan ISDV, tapi juga sangat tidak mungkin membedakan keduanya dalam bahasa Indonesia, “karena bahasa Indonesia tidak mengenal bunyi ‘v’ tetapi hanya ‘p’. Para anggota ISDV dipermalukan dengan dirujuknya nama moderat ini,” tulis McVey. 

ISDV memutuskan mengganti nama. Perubahan nama telah direncanakan sepanjang 1919, tetapi tidak ada keputusan lanjutan. Bahkan partai tidak menggelar kongres tahunan karena banyak pimpinan Eropa dikeluarkan dari Hindia Belanda, serta Semaoen dan Darsono berada di penjara. Baru pada kongres ketujuh tahun 1920, topik utama yang didiskusikan adalah penggantian nama ISDV. 

“Dukungan terhadap perubahan itu terutama karena ingin memiliki organisasi dengan nama dalam bahasa sendiri serta menghindari masalah huruf ‘v’. Itulah alasan sederhana dalam memutuskan nama Partai Komunis,” tulis McVey. 

Namun, faktor utama perubahan nama tersebut karena pada awal 1920 ISDV menerima surat dari Maring, nama samaran Sneevliet di Shanghai, Tiongkok. Dia menganjurkan agar ISDV menjadi anggota Komintern (Komunis Internasional). “Untuk itu harus dipenuhi 21 syarat antara lain memakai nama terang partai komunis dan menyebut nama negaranya,” tulis Soe Hok Gie dalam Di Bawah Lentera Merah

Akhirnya, pada 23 Mei 1920, ISDV berubah menjadi Partai Komunis Indonesia, organisasi komunis pertama di Asia. Sneevliet meninggalkan jejak perannya dalam pembentukan partai berlambang palu arit itu.*

Majalah Historia No. 13 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6516430aea1369a45abc1b73