Ketika Demam Roket Mewabah

Dimulai dari kegiatan mahasiswa di Yogyakarta dan Bandung, pemerintah mengembangkan teknologi roket. Indonesia jadi negara kedua setelah Jepang yang dapat membuat roket sendiri.

OLEH:
Rahadian Rundjan
.
Ketika Demam Roket MewabahKetika Demam Roket Mewabah
cover caption
Petugas mempersiapkan Roket Kartika, hasil Proyek Prima di Pantai Pameungpeuk, Garut Selatan, Jawa Barat, 1964. (Arsip Lapan).

PAKANEWON Sanden, Bantul, 24 Agustus 1963. Tak seperti biasanya, pantai selatan Yogyakarta ini dipadati pengunjung. Mereka bukan hendak berjemur, berenang, atau menikmati panorama pantai yang indah tapi bersiap menjadi saksi sejarah: peluncuran roket untuk kali pertama di Indonesia.

Roket itu merupakan karya mahasiswa Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam Persatuan Roket Mahasiswa Indonesia (PRMI). Ukurannya tak begitu besar. Panjangnya 900 mm, diameternya 76 mm. Namun, karena peluncuran roket bukan peristiwa yang biasa, pejabat setempat pun datang untuk memantau.

Setelah persiapan selesai, hitung mundur pun dimulai. 3… 2… 1… dan 0, roket meluncur mulus ke angkasa. Semua yang hadir takjub.

“Roket PRMI pertama ini kami namakan Gama-1 untuk penghargaan kepada almamater Universitas Gadjah Mada,” tulis Sudiro P.H. dkk., anggota PRMI, dalam Sejarah Perkumpulan Roket Mahasiswa Indonesia (PRMI) dan Peluncuran Roket Buatan Indonesia yang Pertama (GAMA 1, 1963) di Pantai Selatan Yogyakarta. “Peluncuran Gama-1 ini mendapat sambutan luar biasa dari media massa, yakni Radio RRI Pusat dan DIY dan juga Radio Australia.”

PAKANEWON Sanden, Bantul, 24 Agustus 1963. Tak seperti biasanya, pantai selatan Yogyakarta ini dipadati pengunjung. Mereka bukan hendak berjemur, berenang, atau menikmati panorama pantai yang indah tapi bersiap menjadi saksi sejarah: peluncuran roket untuk kali pertama di Indonesia.

Roket itu merupakan karya mahasiswa Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam Persatuan Roket Mahasiswa Indonesia (PRMI). Ukurannya tak begitu besar. Panjangnya 900 mm, diameternya 76 mm. Namun, karena peluncuran roket bukan peristiwa yang biasa, pejabat setempat pun datang untuk memantau.

Setelah persiapan selesai, hitung mundur pun dimulai. 3… 2… 1… dan 0, roket meluncur mulus ke angkasa. Semua yang hadir takjub.

“Roket PRMI pertama ini kami namakan Gama-1 untuk penghargaan kepada almamater Universitas Gadjah Mada,” tulis Sudiro P.H. dkk., anggota PRMI, dalam Sejarah Perkumpulan Roket Mahasiswa Indonesia (PRMI) dan Peluncuran Roket Buatan Indonesia yang Pertama (GAMA 1, 1963) di Pantai Selatan Yogyakarta. “Peluncuran Gama-1 ini mendapat sambutan luar biasa dari media massa, yakni Radio RRI Pusat dan DIY dan juga Radio Australia.”

Berita peluncuran itu sampai ke telinga Presiden Sukarno. Melalui Harian Nasional tanggal 2 Oktober 1963, Sukarno menyampaikan ucapan selamat. Departemen Riset Nasional bahkan mengucurkan bantuan untuk mendanai aktivitas PRMI dalam merancang roket-roket selanjutnya.

Keberhasilan peluncuran roket Gama-1 mendorong Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk mengerjakan proyek roket sendiri. Pada 6 Januari 1964, dua roket ITB diluncurkan di Pantai Pameungpeuk, Garut. Roket ini dinamakan Ganesha X-1A dan Ganesha X-1B, dengan panjang 1,5 meter dan diameter 10 cm. Seakan tak mau kalah, PRMI meluncurkan roket Gama-2 dan Gama-3, masing-masing pada 1 Maret dan Agustus 1964.

“Mereka kemungkinan juga terdorong oleh situasi dunia di mana terjadi persaingan sengit antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam eksplorasi luar angkasa,” tulis 50 Tahun (1962–2012) Aeronautika dan Astronautika ITB.

Anggota Perkumpulan Roket Mahasiswa Indonesia (PRMI) UGM bersama Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dani (baris belakang, ketiga dari kiri) di Yogyakarta, 1963. (Arsip Lapan).

Dari Perang Dingin

Sejak dikenal pada abad ke-13, roket digunakan dan dikembangan untuk tujuan militer. Penggunaan roket sebagai sebuah instrumen penelitian ilmiah, terutama untuk meneliti gejala-gejala antariksa, mulai muncul memasuki abad ke-20.

Pada masa Perang Dingin, Uni Soviet dan Amerika Serikat bersaing dalam mengembangkan teknologi roket hingga eksplorasi antariksa. Salah satu peristiwa yang memicu persaingan itu adalah International Geophysical Years (IGY) tahun 1957–1958. Penggagasnya Sidney Chapman, peneliti geofisika masyhur asal Amerika. Tujuan IGY untuk mengajak negara-negara di dunia melakukan penelitian atmosfer dan luar angkasa demi tujuan sipil dan perdamaian, yang selama ini dianggap terlalu dieksploitasi demi kepentingan militer.

Berkat IGY, Uni Soviet meluncurkan satelit pertama di dunia, Sputnik. Amerika mengikutinya dengan meluncurkan satelit Explorer-1. Beberapa negara berkembang seperti India, Pakistan, dan Mesir juga meluncurkan roket-roket ilmiah. Indonesia terlibat dalam proyek IGY. Namun, kemelut politik mengalihkan pandangan pemerintah untuk ikut berkontribusi dalam perhelatan riset berskala internasional tersebut.

“Sumbangan negara kita kepada Program Tahun Geofisika Internasional selama 1957–1958 begitu mengecewakan, sehingga negara kita dimasukkan ke dalam kategori black area atau daerah hitam,” ujar Raden Jacob Salatun, tokoh perintis peroketan nasional, dalam Lahirnya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Dokumentasi Roket Gama oleh PRMI di UGM, Yogyakarta, 1964. (Arsip Lapan).

Kegagalan itu menjadi bahan pembelajaran Panitia Astronautika, yang dibentuk Dewan Penerbangan pada 31 Mei 1962, untuk menangani masalah-masalah keantariksaan di Indonesia. Dewan Penerbangan sendiri dibentuk tahun 1955 untuk mengkoordinasi penerbangan sipil dan militer sebelum diubah menjadi Dewan Penerbangan dan Angkasa Luar Nasional Republik Indonesia (Depanri) pada 1963 dengan cakupan kerja lebih luas. Menteri Pertama Ir. Djuanda jadi ketuanya, sedangkan Kolonel Udara Raden Jacob Salatun sebagai sekretaris.

Mulailah Panitia Astronautika mencari informasi mengenai peroketan di negara-negara lain. Keberhasilan Jepang memproduksi roket Kappa, dianggap salah satu yang paling maju di dunia, menarik perhatian. Panitia Astronautika mengusulkan kepada Dewan Penerbangan agar mengimpor roket Kappa untuk Roket Ionosfer/Angkasa Luar (Proyek S). Dewan Penerbangan setuju. Sayangnya, kondisi keuangan negara tidak memungkinkan. Proyek S pun ditangguhkan.

Sambil menunggu terkumpulnya dana untuk membeli roket Kappa, Jacob Salatun yang juga penasihat ilmiah Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dani menyarankan agar AURI memulai program pengembangan roket secara swasembada. Usulan ini mendapat lampu hijau. Terlebih AURI sedang membangun kerjasama dengan ITB dalam proyek pengembangan roket.

Presiden Sukarno menyetujuinya. Pelaksanaan proyek ini, dan juga Proyek S, diserahkan kepada Menteri/Panglima Angkatan Udara karena dinilai punya kesatuan-kesatuan yang berpengalaman dalam penelitian, pengembangan, dan pembuatan roket. Bahkan, kala itu AURI sedang mendirikan pabrik roket “Menang” di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Sementara terjadi persaingan antara UGM dan ITB, pemerintah mulai serius membuat dan meluncurkan proyek roket nasional.

Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) sedang mempersiapkan roket Ganesha, 1964. (Arsip Lapan).

Proyek PRIMA

Begitu mendapat mandat dari presiden, Omar Dani mengeluarkan Keputusan No. 70/1963 tentang pembentukan proyek Pengembangan Roket Ilmiah Militer Awal (PRIMA). Proyek ini, dimulai pada 1 September 1963, diketuai Laksamana Muda Budiardjo, deputi Menteri/Pangau urusan Logistik, dengan wakil Jacob Salatun. Karena ini adalah proyek AURI, pendanaan berasal dari swasembada AURI.

Salah satu tujuan proyek PRIMA adalah mengikutsertakan Indonesia dalam pelaksanaan International Quiet Sun Years (IQSY) 1964–1965. Serupa dengan IGY, IQSY dihelat untuk mendorong negara-negara di seluruh dunia meluncurkan roket-roket ionosfer atau angkasa luar demi tujuan sains dan perdamaian.

Proyek PRIMA dijalankan tim gabungan ITB, AURI, dan Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad). Setelah tujuh bulan bekerja, dengan alat dan bahan dari dalam negeri, tim menghasilkan roket berdiameter 250 mm dan berbobot 220 kg, yang dilengkapi instrumen-instrumen ilmiah seperti pemancar sinyal. Presiden Sukarno memberikan nama: Kartika-1.

Peluncuran Kartika-1 dilakukan di Pantai Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat pada 14 Agustus 1964. Roket pun meluncur mulus dengan ketinggian 60 km.

Dengan demikian Indonesia telah menjadi negara kedua setelah Jepang yang dapat membuat roket-roket atmosfer atasnya.

Menurut Sumantri dalam artikel “Rekam Jejak ‘Kartika-1’”, dimuat majalah Arsip edisi 62, 2013, jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya yang melakukan program IQSY, pencapaian Indonesia begitu membanggakan. Pakistan meluncurkan roket Rehbar, yang merupakan roket Nike Cajun buatan AS. Yugoslavia meluncurkan roket Kappa-6 buatan Jepang.

“Di negara-negara Asia, pada saat itu belum ada yang dapat meluncurkan roket-roket atmosfer buatan sendiri. Dengan demikian Indonesia telah menjadi negara kedua setelah Jepang yang dapat membuat roket-roket atmosfer atasnya,” tulis Sumantri.

Harian Sinar Harapan menulis keberhasilan peluncuran Kartika-1 meninggikan gengsi Indonesia sebagai pelopor dan mercusuar dari tenaga-tenaga yang menghendaki dunia baru atau New Emerging Forces (Nefos). “Di dalam kalangan COSPAR (Committee on Space Research, Panitia Angkasa Luar PBB), Indonesia meningkat ke dalam kategori Rocket Launching Nations,” tulis Sinar Harapan, 18 Agustus 1964.

Roket Kartika-1 dilengkapi sistem telemetri yang bisa menerima sinyal satelit. Sistem ini dikembangkan Laboratorium Elektronika ITB bersama Depot Elektronika AURI. Ketika dilakukan percobaan, alat telemetri ini berhasil menangkap dan merekam sinyal dari satelit cuaca “Tiros” milik AS.

“Dalam rangkaian peristiwa tersebut, Presiden Sukarno sempat membentuk Kogam (Komando Ganyang Malaysia) yang menyebabkan perang urat saraf sangat hebat dan Bung Karno menggertak bahwa bangsa Indonesia sudah dapat membuat roket dan bom atom. Padahal yang terjadi adalah sekadar peluncuran percobaan Roket Ilmiah ‘Kartika-1’ di pantai selatan Cilauteureun, Pameungpeuk, Garut,” tulis Sumantri.

Untuk menyambut keberhasilan ini, replika roket Kartika-1 dipamerkan dalam parade perayaan hari ABRI 5 Oktober 1964. Tak lama, roket Kartika-1 yang kedua diluncurkan pada November 1964.

Persiapan peluncuran Roket Kartika-1 di Pusat Antariksa Pameungpeuk, Garut Selatan, Jawa Barat. (Arsip Lapan).

Proyek S

Ketika proyek PRIMA sedang berjalan dan belum menunjukkan kemajuan berarti, Panitia Astronautika khawatir tak bisa memenuhi tenggat waktu IQSY 1964–1965. Usulan untuk mengimpor roket Kappa muncul kembali ke permukaan.

Presiden Sukarno memberikan persetujuan. Berdasarkan Keppres No. 242/1963, Proyek S mendapat pembiayaan US$1 juta untuk pembelian sistem roket Kappa dari Jepang, US$2 juta untuk pembelian keperluan penelitian dan pengembangan roket sendiri, serta Rp3 miliar untuk membuat pangkalan peluncuran roket. Pemerintah juga membentuk Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar Nasional (Lapan). Lapan kemudian jadi garda terdepan dalam mewadahi aktivitas peroketan di Indonesia.

Mendapat mandat dari presiden, Omar Dani menunjuk Jacob Salatun sebagai project officer proyek ini. Timnya diambil dari ITB dan UGM. Pelaksanaannya difasilitasi Lapan.

Diputuskan untuk mengimpor 10 roket Kappa-8 dari Jepang untuk keperluan riset ilmiah. Sebelum roket datang, Lapan menentukan lokasi peluncuran. Dengan asistensi Hideo Itokawa, perancang roket tersebut, dibangunlah stasiun peluncuran di pantai Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat –kemudian dikenal dengan nama Pusat Antariksa Pameungpeuk.

“Apabila peluncuran roket itu berhasil, maka akan mempunyai arti sangat penting karena untuk pertama kalinya terjadi peluncuran roket menembus luar angkasa di daerah tropis,” ujar Nurtanio Pringgoadisuryo, direktur jenderal Lapan pertama, dikutip Kedaulatan Rakyat, 20 Mei 1964.

Persiapan Peluncuran Roket Kappa-8 di Pusat Antariksa Pameungpeuk, Garut Selatan, Jawa Barat, 1965. (Arsip Lapan).

Setelah semua fasilitas tersedia, tiga roket Kappa-8 pun meluncur ke angkasa; masing-masing pada 9, 11, dan 17 Agustus 1965. Peluncuran, yang dihadiri banyak pejabat penting, berlangsung sukses. Roket pertama bahkan berhasil mencapai ketinggian 364 km, jauh lebih tinggi dari jarak yang dapat ditempuh astronot-astronot dunia saat itu.

“Makna penting lainnya ialah berhasilnya diperoleh data ilmiah yang kemudian disumbangkan kepada program IQSY 1964–1965 sehingga sasaran proyek telah tercapai,” tulis Jacob Salatun.

Lapan menganalisis dan menyampaikannya dalam Simposium Space Science and Technology di Tokyo. Dari analisis Lapan: hasil cek radar, akselerasi dan deselerasi roket memuaskan, sedangkan untuk penelitian fisika ionosfer dan fisika atmosfer tercatat sebagian memuaskan. Laporan tersebut kemudian disampaikan kepada IQSY sebagai bentuk kontribusi Indonesia dalam bidang penyelidikan atmosfer.

Sayangnya, sisa tujuh roket Kappa-8 tak sempat diluncurkan karena peristiwa 30 September 1965.

Pelaksanaan Proyek PRIMA dan Proyek S membuat Indonesia masuk sebagai salah satu negara Asia, bersama Jepang dan India, yang membangun sistem teknologi roket secara mandiri. Rencananya, proyek ini akan diteruskan ke tahap industri besar yang berdikari. Namun, peristiwa 30 September 1965 menghentikannya. AURI, yang berperan dalam proyek-proyek roket, dituduh terlibat dalam upaya kudeta. Begitu pula dengan Lapan yang dipenuhi perwira AURI.

Pemerintah Orde Baru seakan tak tertarik untuk mengembangkan teknologi roket. “Wernher von Braun, insinyur Amerika Serikat yang roket rancangannya berhasil mengantar manusia sampai ke bulan, sempat membuat grand plan sistem pembangunan roket di Indonesia untuk jangka waktu 11 tahun. Namun, pemerintahan Orde Baru sulit menerima karena anggarannya terlalu mahal,” ujar Adi Sadewo Salatun, putra Jacob Salatun yang mengikuti jejak ayahnya sebagai ahli peroketan di Lapan, kepada Historia. “Saat itu Soeharto harus memilih antariksa atau penerbangan. Dia akhirnya memilih penerbangan.”

Kegiatan peroketan pun mati suri.*

Majalah Historia No. 18 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
656faccc65c51eec92988099