Ketika Hamka Menggugat Imajinasi

Sempat menginginkan hukuman mati, akhirnya Hamka memaafkan Kipandjikusmin. Hamka berseteru dengan H.B. Jassin.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Ketika Hamka Menggugat ImajinasiKetika Hamka Menggugat Imajinasi
cover caption
Hamka menjadi saksi persidangan kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin di Jakarta, 25 Februari 1970. (Koleksi PDS H.B. Jassin).

PARA nabi yang pensiun, bosan di surga. Mereka ingin kebagian jatah cuti bergilir turun ke bumi. Tuhan bertanya kepada Nabi Muhammad, untuk apa ke bumi. Muhammad menjawab untuk riset karena akhir-akhir ini umatnya sedikit yang masuk surga. Menurut Tuhan, kebanyakan mereka dari daerah tropis karena kena racun Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). 

Demikian pembuka cerita pendek berjudul “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin, yang dimuat di majalah Sastra pada 8 Agustus 1968. Cerpen ini berniat mengkritik Sukarno yang mengusung Nasakom. Cerpen ini menuai prahara sastra. Puluhan artikel di koran dan majalah dari pelbagai pengamat bersilang pendapat. Puncaknya, Sastra dibredel dan pemimpin redaksinya, H.B. Jassin, diseret ke meja hijau. Departemen Agama menuduh Jassin bertanggung jawab atas pemuatan cerpen yang menghina Tuhan dan merusak akidah umat Islam.

Pihak Departemen Agama dan Kejaksaan Agung menghadirkan dua saksi ahli yaitu A.K. Bahalwan (kepala biro hubungan masyarakat Departemen Agama) dan Buya Hamka. Sedangkan Jassin mengajukan saksi ahli Bahrum Rangkuti (kepala pusat rohani Islam Angkatan Laut sekaligus pengarang dan penyair), Fuad Hasan (anggota tim ahli bidang politik staf presiden), dan Ali Audah (sastrawan yang menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab). Namun, yang diizinkan hanya Ali Audah. Bagi Jassin, ini tidak adil karena pihak penggugat menghadirkan dua saksi ahli.

PARA nabi yang pensiun, bosan di surga. Mereka ingin kebagian jatah cuti bergilir turun ke bumi. Tuhan bertanya kepada Nabi Muhammad, untuk apa ke bumi. Muhammad menjawab untuk riset karena akhir-akhir ini umatnya sedikit yang masuk surga. Menurut Tuhan, kebanyakan mereka dari daerah tropis karena kena racun Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). 

Demikian pembuka cerita pendek berjudul “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin, yang dimuat di majalah Sastra pada 8 Agustus 1968. Cerpen ini berniat mengkritik Sukarno yang mengusung Nasakom. Cerpen ini menuai prahara sastra. Puluhan artikel di koran dan majalah dari pelbagai pengamat bersilang pendapat. Puncaknya, Sastra dibredel dan pemimpin redaksinya, H.B. Jassin, diseret ke meja hijau. Departemen Agama menuduh Jassin bertanggung jawab atas pemuatan cerpen yang menghina Tuhan dan merusak akidah umat Islam.

Pihak Departemen Agama dan Kejaksaan Agung menghadirkan dua saksi ahli yaitu A.K. Bahalwan (kepala biro hubungan masyarakat Departemen Agama) dan Buya Hamka. Sedangkan Jassin mengajukan saksi ahli Bahrum Rangkuti (kepala pusat rohani Islam Angkatan Laut sekaligus pengarang dan penyair), Fuad Hasan (anggota tim ahli bidang politik staf presiden), dan Ali Audah (sastrawan yang menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab). Namun, yang diizinkan hanya Ali Audah. Bagi Jassin, ini tidak adil karena pihak penggugat menghadirkan dua saksi ahli. 

“Saya diminta menjadi saksi meringankan karena dianggap memiliki pengetahuan mengenai kesusasteraan Islam,” kata Ali Audah, kepada Historia.

Ketika hakim bertanya kepada Hamka, sebagai penanggung jawab majalah Pandji Masjarakat, maukah memuat tulisan Kipandjikusmin jika dikirim ke majalahnya. “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat,” kata Hamka dalam tiga seri tulisannya di harian Merdeka, 3–5 Maret 1970. 

Dalam sidang terbuka itu, Hamka memberikan penilaian cerpen “Langit Makin Mendung” dari segi sastra dan agama. Menurutnya, Kipandjikusmin memiliki imajinasi yang jahat dan telah menghina Allah, rasul, dan malaikat. Dia membuka cerpennya dengan kata-kata sangat tidak layak: Allah berkacamata; Nabi Muhammad bosan di surga, turun ke bumi naik buraq bertubrukan dengan sputnik Rusia, hancur lalu menuju tempat pelacuran di Senen; serta malaikat Jibril digambarkan telah tua, beruban, dan badannya nampak lemah.

“Kipandjikusmin benci kepada ulama sejak semula. Terbukti dengan imajinasinya terhadap Yang Suci dalam anggapan umat dan ulama. Niscaya begitulah penilaiannya kepada ulama,” kata Hamka. 

Menurut Hamka, Kipandjikusmin memiliki imajinasi yang jahat dan telah menghina Allah, rasul, dan malaikat.

Kipandjikusmin, kata Hamka, juga mencela, mengkritik, sinis, dan penuh pandangan hina kepada ulama, haji, dan kiai. “Padahal tidak ditentukan kepada siapa kritik itu ditujukan. Di dalam segala golongan dan korps, tentu saja ada yang menyeleweng daripada garis yang harus ditempuh. Bukan di kalangan ulama saja.” 

Dari sisi sastra, Hamka tegas bahwa nilai sastra cerpen “Langit Makin Mendung” tidak ada sama sekali. Sebab, Kipandjikusmin tidak mengemukakan ide baru. Meskipun mencela Nasakom, tetapi cara yang dipakainya dalam mengejek kaum agama adalah cara-cara Nasakom.

“Suatu sastra mengkritik Nasakom setelah Nasakom habis, bukanlah sastra yang bermutu dan patut dihargai. Mengkritik Nasakom setelah Nasakom habis, sama saja dengan seorang menantang berkelahi kepada bangkai yang telah mati,” kata Hamka. Dan Hamka menegaskan bahwa sastra yang bermutu adalah Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang disiarkan Jassin dan kawan-kawannya tatkala Nasakom masih berkuasa dan PKI (Partai Komunis Indonesia) masih di puncak. “Itu sastra yang laki-laki,” kata Hamka. 

Namun, Ali Audah tidak sependapat dengan Hamka bahwa cerpen itu menghina agama. “Berdasarkan apa yang saya ketahui, cerpen ini tidak menghina agama karena agama terlalu agung dan luhur untuk dapat dihinakan oleh cerpen semacam itu,” tulis Ali Audah dalam “Hans Bague Jassin: Keras dan Lembut,” termuat di H.B. Jassin 70 Tahun: Kumpulan Karangan suntingan Sapardi Djoko Damono.

Dalam sejarah literatur Islam, lanjut Ali Audah, pernah muncul karya sastra seperti itu, namun biasanya yang terjadi perang pena. Dia mencontohkan, Abu al-‘Ala al-Ma’arri, hidup 1100 tahun lalu, penyair dan penulis prosa produktif asal Suriah, menulis novel tebal 800-an halaman berjudul Risalat al-Ghufran.

“Karya dia kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia saya yakin tak akan ada penerbit yang mau menerbitkan karena kontroversial. Sedangkan di Mesir, karya itu dijadikan tema disertasi oleh Aisyah Abdurrahman, seorang wartawan senior, untuk mendapatkan gelar doktor,” kata Ali Audah. 

Namun, dari segi sastra, Ali Audah setuju dengan Hamka bahwa cerpen itu tidak bermutu. Karena itu, dia malah berdebat dengan Jassin, yang bersikeras cerpen itu bermutu tinggi dilihat dari segi kritik sastra. Ali Audah, yang seharusnya berhadapan dengan jaksa dan hakim, berbalik jadi berhadapan dengan Jassin. Perdebatan mereka sempat menjadi tertawaan pengunjung sidang. Dalam hati, Ali Audah berkata: “Wah bagaimana Pak Jassin ini. Yang penting buat kita sekarang bukan mau menilai mutu sastra dalam pengadilan, tapi kenapa justru ini yang dititikberatkan. Akhirnya saya mengalah saja, dengan berdiam diri. Dan sidang kembali ke acara semula.”

H.B. Jassin tahun 1951. (Koleksi PDS H.B. Jassin).

Bukan yang Pertama

Menurut pengajar UIN Syarif Hidayatullah, Nanang Tahqiq, isi cerpen Kipandjikusmin, dilihat sekarang, tidak terlalu melecehkan seperti The Satanic Verses karya Salman Rushdie yang lebih gawat penghinaannya. 

“Cerpen Kipandjikusmin menceritakan Indonesia secara politis, tapi maunya fabel atau entah apa, hanya menokohkan Nabi Muhammad. Tapi dia menulis nama Nabi Muhammad, sedangkan Salman Rushdie menyebut Nabi Muhammad dengan Mahoun artinya iblis paling hitam yang main di tempat bordil yang mucikarinya Aisyah,” kata Nanang, yang menulis tesis “Freedom of Speech and Literary Expression: A Case Study of Langit Makin Mendung by Kipandjikusmin” di Institute of Islamic Studies McGill, Montreal, Kanada, tahun 1995. 

“Langit Makin Mendung” bukanlah karya fiksi pertama di Indonesia yang berani menggambarkan Tuhan dan nabi. Dalam Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab, Jassin menyebutkan pada 1948, terjadi protes besar terhadap sebuah sandiwara radio karya Bahrum Rangkuti berjudul “Sinar Memancar dari Jabal An-Nur,” di mana Nabi Muhammad ditampilkan berbicara di depan mikrofon ketika menerima wahyu pertama. Tetapi, ketika drama itu dimuat dalam sebuah majalah kebudayaan, orang tidak bereaksi apa-apa. 

Mengapakah orang tidak melontarkan tuduhan yang sama kepada Navis karena hal yang sama?

Yang mengherankan, sebelumnya pada 1944, suara Tuhan dipentaskan di atas panggung dalam drama “Taufan di Atas Asia” karya El Hakim (nama pena Abu Hanifah), yang kemudian dibukukan oleh penerbit Balai Pustaka pada 1949. Dalam prolog dan epilog diperdengarkan “suara Tuhan” dari belakang layar, dan tidak ada orang yang protes. Begitu pula pada 20 November 1969, untuk kali pertama di Indonesia diadakan pembacaan dan deklamasi terjemahan puitis ayat-ayat Al-Qur’an di panggung terbuka Taman Ismail Marzuki, Jakarta. 

A.A. Navis dalam cerpennya “Robohnja Surau Kami” (1955) mempertemukan orang-orang bersalah dengan Tuhan. Haji Saleh bercakap-cakap dengan Tuhan, di mana dia merasa telah cukup beribadah tak urung dimasukkan ke dalam neraka, karena dia lalai dalam menunaikan kewajibannya di dunia. Berdasarkan cerpen itu, Bastari Asnin membuat komidi sebabak berjudul “Komidi Alam Baka”, di mana ditampilkan malaikat dan roh-roh di alam barzah, serta Tuhan dalam bentuk suara yang kedengaran dari belakang layar. 

Dalam karyanya yang lain, “Sebuah Wawancara” (1963), Navis menampilkan pula seorang wartawan bernama Wahidin mewawancarai Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad. Wartawan tersebut melaporkan berbagai perkembangan di atas dunia sejak nabi-nabi itu meninggalkan dunia. Tapi cerita ini tidak mendapat reaksi apa-apa dari umat Islam. 

Kipandjikusmin dituduh menghina Tuhan dan nabi-nabi karena telah mempersonifikasikan mereka. “Mengapakah orang tidak melontarkan tuduhan yang sama kepada Navis karena hal yang sama?” tanya Jassin. 

Majalah Sastra, 8 Agustus 1968.

Bebaskan Jassin, Bunuh Kipandjikusmin

Dalam persidangan, Hamka terkesan oleh Jassin. Sampai-sampai hakim ketua, Anton Abdurrahman menegur Jassin. Pasalnya, Jassin menyebut Hamka dengan panggilan “Pak Hamka”. Anton mengingatkan Jassin agar dalam sidang dia cukup menyebut “saudara Hamka”. Sebab, selama pengadilan kedudukan hakim, jaksa, terdakwa, saksi-saksi, dan pembela masih sama, yaitu sama-sama mencari keadilan dan kebenaran. 

Jassin menyambut teguran hakim itu dengan mengatakan, “Berat saya buat membahasakan beliau dengan saudara Hamka. Sebab di dalam hal agama Islam, bagaimana pun dia adalah guru saya!” 

Hakim pun kembali menegur dengan mengatakan, “Saya sendiri pun kalau di luar sidang akan tetap membahasakan saksi ahli dengan Pak Hamka. Namun di dalam sidang ini demi keadilan, dia adalah saudara Hamka.” 

Menurut Ali Audah, Hamka menganggap kesalahan Jassin memuat cerpen Kipandjikusmin melanggar etika Islam. “Tetapi dia (Hamka, red.) maafkan,” kata Ali Audah. 

Hamka sendiri mengaku berhubungan baik dengan Jassin. “Di hadapan hakim saya katakan dia adalah sahabat saya sejak 30 tahun. Dia saya kenal sebagai seorang Islam yang baik,” kata Hamka. Bahkan, Hamka memohon kepada majelis hakim agar membebaskan Jassin. Kalau tak dapat dibebaskan, diberilah hukuman seringan-ringannya. Permintaan tersebut ditegur hakim. “Hakim menegur saya, mengatakan bahwa permohonan demikian belum waktunya saya kemukakan,” kata Hamka. 

Dapatkah Hamka memastikan bahwa pengarang bersalah dan masuk neraka dan si pembunuh masuk surga?

Jassin juga menganggap Hamka sebagai guru yang dihormati. Dia baca semua bukunya, dia ikuti dan simpan semua tulisannya dalam majalah dan surat kabar. Tapi dalam hal kesusasteraan mengenai fungsi pengarang, kebebasan mencipta dan fungsi karya sastra, antara Jassin dan Hamka ada beberapa perbedaan. Hamka menilai cerpen “Langit Makin Mendung” seolah-olah satu laporan sejarah atau pelajaran agama, yang karena berbeda dan bertentangan dengan kenyataan dan kaidah agama, ditolaknya. 

“Hal ini saya bisa mengerti, karena beliau adalah orang yang telah memilih karier sebagai ahli agama dan mubalig,” kata Jassin dalam pledoinya. Hamka menikmati karya sastra dengan bertolak atas dasar keyakinan agama. 

Tak dapat dibantah, kata Jassin, bahwa imajinasi manusia bebas sekalipun dia mempunyai suatu keyakinan. “Dan kebebasan imajinasi inilah yang hendak dikekang oleh Hamka pada ajaran-ajaran agama. Sebagai manusia beragama saya mempunyai keyakinan, tapi saya juga mengakui adanya imajinasi yang bebas,” kata Jassin. 

Yang membuat Jassin kecewa kepada Hamka karena Hamka menganggap dosa Kipandjikusmin begitu besar sehingga sepantasnya dibunuh; halal darahnya menurut Islam. “Hamka menghendaki hukum bunuh bagi pengarang,” kata Jassin seraya melontarkan tanya. “Dapatkah Hamka memastikan bahwa pengarang bersalah dan masuk neraka dan si pembunuh masuk surga? Tidakkah di sini Hamka mendahului maksud-maksud Tuhan dengan Hamba-Nya? Demikian sempitkah Tuhan, maka dia tidak sudi memberi ampun kepada anak kecil yang mencari Wajah-Nya?”

"Langit Makin Mendung" karya Kipandjikusmin di majalah majalah Sastra, 8 Agustus 1968.

Misteri Kipandjikusmin

Hamka teguh berpendirian bahwa cerpen Kipandjikusmin mengejek akidah umat Islam. “Kipandjikusmin mencoba menghina Allah, rasul dan malaikat-Nya. Tetapi dia sendirilah yang hina,” kata Hamka. “Sebab, sampai saat terakhir tidak sanggup dia memperlihatkan wajahnya ke hadapan orang banyak. Suatu hal yang akan dipantangkan oleh orang yang benar-benar yakin akan kebenaran pendiriannya.” 

Sampai sekarang nama Kipandjikusmin masih menyisakan misteri. Ada dua pendapat yang beredar. Pertama, Kipandjikusmin adalah pseudonim Jassin sendiri karena dia tidak buka mulut ketika diadili bahkan sampai dia meninggal pada 11 Maret 2000. Kedua, Kipandjikusmin adalah nama pena sastrawan pemula yang tinggal di Yogyakarta dan kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam. Pendapat kedua ini yang lebih diyakini.

Nanang bahkan sempat menduga Kipandjikusmin adalah Danarto, sastrawan yang memiliki gaya seperti itu. “Saya pernah tanya apakah Kipandjikusmin itu dia. Dia membantah dan manyatakan tidak tahu siapa Kipandjikusmin,” kata Nanang. “Jadi, betul-betul anonim, nama samaran yang tidak diketahui.” 

Namun, menurut Christine Deakin dalam “Langit Makin Mendung: Upheaval in Indonesian Literature,” Archipel, Vol. 11, 1976, nama sebenarnya Kipandjikusmin pernah muncul di harian KAMI, 25 Oktober 1968. “Penulis, yang nama aslinya adalah Sudihartono diartikan sebagai akronim dari ‘Kibarkan Panji-panji Komunisme’,” tulis Deakin.

Meskipun membawa mati nama sebenarnya Kipandjikusmin, Jassin sedikit mendapatkan gambaran pengarang itu setelah menemui orang tuanya. Ibunya melukiskan dia seorang pendiam, tidak banyak bergaul, suka menyisihkan diri, kurang memelihara pakaian dan badannya, suka merenung dan menulis. Dia lahir tahun 1941 dari keluarga Islam, hanya belajar dari dasar sampai menengah di sekolah Katolik. Dia lalu melanjutkan ke Akademi Pelayaran. Setelah beberapa tahun jadi mualim, dia tidak merasa cocok dengan pekerjaan itu dan kembali ke darat dan bedagang. 

Menurut Jassin, pendidikannya di sekolah Katolik berpengaruh pada hasil ciptaannya. Kita mengerti mengapa dia mempersonifikasikan Tuhan dan melukiskan nabi-nabi, hal-hal yang tidak asing dalam seni Nasrani. Melihat pola pemikirannya mengenai Tuhan, rasul, dan nabi, rupanya dia pun tidak asing dengan pola pemikiran dewa-dewa dalam pewayangan. 

“Sebagai pemuda pendiam, pemalu, tak banyak pergaulan, merasa rendah diri, dapatlah kita bayangkan keadaan jiwa pengarang tatkala ceritanya dihebohkan orang. Orang berdemonstrasi, mendatangi kantor majalah yang memuat ceritanya, mencari pemimpin perusahaan dan pemimpin redaksi dan mencari pengarang. Dia cepat-cepat minta maaf, kaget sendiri oleh akibat tulisannya,” tulis Jassin. 

Surat permohonan maaf dan pencabutan cerpen oleh Kipandjikusmin dan pimpinan Sastra kepada umat Islam pada 22 Oktober 1968 diterima oleh pemuda Islam yang tergabung dalam Pelajar Mahasiswa Pemuda Islam (PMPI) dan menganggap masalahnya selesai. Namun, Departemen Agama tidak menerimanya dengan alasan umat Islam tidak bisa memaafkan pengarang yang telah menghina Tuhan, agama, nabi, Pancasila, UUD 1945, dan umat Islam. Karena itu, Jassin tetap diseret ke pengadilan dan Hamka menjadi saksi ahli yang memberatkan. Pada 28 Oktober 1970, Jassin dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Dia naik banding, tetapi tidak ada lanjutannya secara hukum. 

“Mungkin Hamka tidak mengetahui bahwa pengarang dan pimpinan Sastra telah memajukan permohonan maaf kepada umat Islam, karena beliau berada di luar negeri,” kata Jassin. “Hamka sendiri dalam suatu wawancara dengan Pelopor Baru tanggal 27 Juni 1970 mengatakan bahwa dia memaafkan Kipandjikusmin karena visi Ketuhanannya dipengaruhi oleh visi Kristen.”*

Majalah Historia No. 21 Tahun II 2015

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65d965f25aeee545635952ea