LAKI-LAKI yang tengkuknya terbakar terik matahari itu berjalan pada pematang sawah menuju ke pinggiran waduk. Sambil menenteng caping, ia menunjuk ke bagian waduk tempat dusunnya dulu berada, Guyuban. Satu dari 37 dusun yang ditenggelamkan untuk proyek raksasa Waduk Kedung Ombo.
“Jadi ini (dulu) kampung-kampung semua, tempat air ini,” kata Jaswadi, laki-laki berusia 80 tahun itu.
Jika kamu mengunjungi Dusun Kedungmulyo dan Kedungrejo di Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, tak ada orang yang tak mengenal Jaswadi. Dua dusun ini dibangun atas perjuangannya sekitar 30 tahun lalu.
Jari-jari Jaswadi selalu bergetar. Orang Jawa bilang buyuten. Langkahnya kecil dan tak pasti. Suaranya lemah terbata-bata. Tapi ketika bercerita tentang perlawanannya terhadap pembangunan Waduk Kedung Ombo pada dekade 1980, suaranya berubah.
“Saya perang dulu, Mas. Perang!”
Jaswadi tentu bukan berperang melawan tentara yang diturunkan pemerintahan Soeharto untuk membangun pos-pos di tiap kelurahan di Kemusu ketika proyek berjalan. Ia membangkang terhadap penggusuran. Tak mau pindah, apalagi menerima ganti rugi yang menurutnya tak pantas untuk mengganti tanah leluhurnya, Bumi Serang.
LAKI-LAKI yang tengkuknya terbakar terik matahari itu berjalan pada pematang sawah menuju ke pinggiran waduk. Sambil menenteng caping, ia menunjuk ke bagian waduk tempat dusunnya dulu berada, Guyuban. Satu dari 37 dusun yang ditenggelamkan untuk proyek raksasa Waduk Kedung Ombo.
“Jadi ini (dulu) kampung-kampung semua, tempat air ini,” kata Jaswadi, laki-laki berusia 80 tahun itu.
Jika kamu mengunjungi Dusun Kedungmulyo dan Kedungrejo di Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, tak ada orang yang tak mengenal Jaswadi. Dua dusun ini dibangun atas perjuangannya sekitar 30 tahun lalu.
Jari-jari Jaswadi selalu bergetar. Orang Jawa bilang buyuten. Langkahnya kecil dan tak pasti. Suaranya lemah terbata-bata. Tapi ketika bercerita tentang perlawanannya terhadap pembangunan Waduk Kedung Ombo pada dekade 1980, suaranya berubah.
“Saya perang dulu, Mas. Perang!”
Jaswadi tentu bukan berperang melawan tentara yang diturunkan pemerintahan Soeharto untuk membangun pos-pos di tiap kelurahan di Kemusu ketika proyek berjalan. Ia membangkang terhadap penggusuran. Tak mau pindah, apalagi menerima ganti rugi yang menurutnya tak pantas untuk mengganti tanah leluhurnya, Bumi Serang.
Bumi Serang
Bumi Serang, begitulah Jaswadi menyebut tanah leluhurnya yang kini tenggelam oleh air yang membendung Sungai Serang dan Sungai Uter. Jaswadi percaya, orang-orang Kedung Ombo adalah trah Serang dan trah Gagatan; merujuk pada desa kelahiran Nyi Ageng Serang dan Tumenggung Prawirodogdoyo, dua tokoh yang terlibat Perang Diponegoro.
Nyi Ageng Serang lahir di Desa Serang, sekitar 40 km sebelah utara Surakarta, dengan nama Raden Ajeng Kustiah Retno. Ia adalah anak dari Panembahan Notoprojo, adipati Kadilangu, dan masih keturunan Sunan Kalijaga.
Nyi Ageng Serang merupakan penasehat umum dalam Perang Diponegoro yang dihormati. Ia memimpin Pasukan Lumbu, pasukan siluman yang menggunakan daun lumbu (keladi) sebagai kamuflase. Wilayah gerilyanya meliputi Serang, Purwodadi, Gundeh, Demak, Semarang, Kudus, Salatiga, Boyolali, Klaten hingga Magelang.
Nyi Ageng Serang wafat tahun 1828 dan dimakamkan di Dusun Beku, Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi beberapa orang meyakini makamnya berada di area yang kini menjadi Waduk Kedung Ombo. Maka dibuatlah sebuah makam terapung di tengah waduk, tepatnya di Dusun Bulu, Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu.
Tumenggung Prawirodigdoyo, kemenakan Nyi Ageng Serang, merupakan anak Surotaruno III, seorang demang perdikan Gagatan, sebuah desa kecil di tepi Sungai Serang. Oleh Pakubuwono IV, ia diangkat sebagai bupati Pemajegan Gagatan. Ia merupakan panglima perang wilayah mancanegara brang wetan.
Bersama Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro, Prawirodigdoyo membuat sumpah setia melawan penjajah yang disebut sebagai “Sumpah Atiroto”. Sumpah ini terjadi di Puthuk Gagatan, tepi Sungai Serang, dan tempat bersejarah ini masih ada hingga kini.
Sebelum Waduk Kedong Ombo dibangun, Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran Bandung melakukan penelitian arkeologi di daerah calon genangan waduk di tepi aliran Sungai Serang dan Sungai Kedung Uter. Para peneliti mencatat keberadaan 15 situs. Tiga di antaranya adalah Situs Panepen, Situs Pasarean Gedong, dan Situs Daleman yang terletak di Desa Lorog, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen.
Di Situs Panepen terdapat makam keluarga Nyai Ageng Serang. Di sebelah barat terletak makam Adipati Anom Mangkudiningrat, menantu Nyi Ageng Serang. Di bagian tengah makam Pangeran Kusumo Wijoyo atau Pangeran Serang, suami Nyi Ageng Serang. Di sebelah timur makam RA Mirah Ayu Kusumo Wijoyo, putri Nyi Ageng Serang.
Di Situs Pasarean Gedong terdapat makam orangtua Nyi Ageng Serang. Makam ayahnya terletak di barat, sedangkan ibunya di sebelah timur. Makam berada di dalam cungkup berdenah segiempat. Di luar cungkup terdapat beberapa makam keluarga Nyi Ageng Serang.
Sedangkan di Situs Daleman terdapat bekas bangunan Kadipaten Serang –kini masuk wilayah Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen, dan sebagian masuk Kabupaten Boyolali.
Menurut laporan penelitian yang dimuat Berita Penelitian Arkeologi No. 31 tahun 1985, bukti-bukti tertulis memang menyebutkan bahwa daerah Serang merupakan tempat tinggal keluarga Pangeran Notoprojo, ayah Nyi Ageng Serang.
Jaswadi seringkali menyebut Nyi Ageng Serang dan Tumenggung Prawirodigdoyo sebagai “mbah-mbah”-nya. Hal yang sama dilakukan ketika ia menyebut setiap muda-mudi maupun bocah-bocah di wilayah Kedung Ombo sebagai anak cucunya.
Jaswadi sesungguhnya bukan keturunan Nyi Ageng Serang.
Menurut Ngateno, penjaga pesanggrahan Nyi Ageng Serang, Jaswadi adalah anak dari seorang tokoh Guyuban bernama Prawirorejo. Prawirorejo dulunya mendapat warisan tanah milik Mbah Lambiyo dan Mbah Kremik, dua sesepuh Guyuban yang merupakan abdi Nyi Ageng Serang.
“Karena Mbah Lambiyo tidak punya anak, (tanah pesanggrahan) ditinggali oleh Mbah Prawirorejo, bapaknya Mbah Jas,” katanya.
Tanah peninggalan ayah Jaswadi itu kini ditempati Ngateno. Jaswadi sudah menganggapnya cucu sendiri. Rumah Ngateno yang dulu kini telah tenggelam tak bersisa. Ngateno bertugas menjaga pesanggrahan Nyi Ageng Serang yang jaraknya hanya sekitar 20 meter dari air waduk itu.
<div class="flex-content-podcast"><figure class="img-left"><div><img src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62d50374030b018e0d2d7bd6_Intersection-9.jpg" alt="img"></div><figcaption>Ilustrasi dari perang antara Belanda dan Indonesia di Magelang. (WikimediaCommons).</figcaption></figure><div class="img-right"><div class="podcast-container"><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/62d503793ee3872ab6cc8e2f_Intersection-10.jpg"><div class="audio-podcast"><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/ketika-ikan-bader-memakan-bunga-kelapa/PODCAST_JASWADI.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><div class="caption"><span><b>Jaswadi</b><br>Salah seorang yang dituakan di Desa Kedungmulyo. (Andri Setiawan/Historia.ID)</span></div></div></div>
Seorang Milenaris
Di rumahnya di Dusun Kedungmulyo, Jaswadi membuat patung tokoh-tokoh yang dianggap sebagai pendahulunya seperti Semar, Sunan Kalijaga, Pangeran Diponegoro, dan Nyi Ageng Serang. Ia juga membuat patung manusia purba telanjang bulat serta seekor harimau.
Rumah Jaswadi cukup sederhana. Sebuah rumah limasan Jawa. Tak terlihat dilebih-lebihkan untuk menunjukan klaimnya sebagai seorang “ratu adil”. Ia hanya menambahkan gapura yang bertuliskan “Dirga Rahayu, Hayu, Hayu, Hayu, Hening Bawono.”
“Saya ini usia enam tahun belum punya gigi, Mas. Belum punya gigi, kerjaannya hanya menangis. Teman-teman, manusia yang lain, mangan jagung goring, saya cuma makan lempeng yang terbuat dari singkong gaplek. Itu direndam dulu,” katanya.
Jaswadi bilang lahir pada 6 September 1922 dan kini berusia 100 tahun. Ketika ditanya tanggal lahir pada KTP, ia menunjukkan kartu anggota pelopor massa MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong) yang dikeluarkan pada 1995. Pada kolom usia tercantum 53 tahun. Artinya, ia lahir tahun 1942.
Namun, ketika menyapa seorang kakek yang usianya sekitar 80 tahun, bahkan perawakannya terlihat lebih tua darinya, Jaswadi berkata, “Dulu dia masih kanak-kanak sekarang sudah tua.” Kakek yang dimaksud Jaswadi hanya tersenyum sambil mengangguk.
“Tahun 1942 itu saya sudah jejaka,” kata Jaswadi.
Pada masa pendudukan Jepang, Jaswadi mengatakan sempat diminta ikut romusha. Ia mengingat, ketika selesai bekerja, para mandor berteriak “Yamete!”.
“Ajarannya Jepang itu membuat gua,” tambahnya.
Rumah Jaswadi memiliki dua bagian. Separuh bagian depan hanya dikhususkan sebagai ruang tamu. Bebeberapa patung berada di ruangan ini. Dindingnya dipenuhi foto-foto Jaswadi dengan berbagai orang dan latar belakang. Meja dan kursi disusun seperti hendak digelar rapat yang bisa muat 15 hingga 20 orang. Katanya, banyak orang datang ke rumahnya untuk membicarakan macam hal. Dari sejarah, filsafat, hingga politik terkini. Jaswadi pernah mencalonkan diri sebagai calon independen bupati Boyolali periode 2010-2015.
Jaswadi melanjutkan cerita. Katanya, sejak era Nyi Ageng Serang dan Prawirodigdoyo, tragedi Kedung Ombo telah diramalkan. “Mbesuk le, arep ono Geger Serang. Nek kali serang ki dibendung, kui gara-garane gedhe le,” katanya. Ia menggambarkan wejangan mbah-mbahnya dulu bahwa di masa depan akan ada kekacauan atau Geger Serang karena Sungai Serang dibendung.
Pada 1981, Jaswadi mendengar rencana pembangunan Waduk Kedung Ombo. Sontak ia kaget, karena Bumi Serang, tanah leluhurnya akan ditenggelamkan. Terlebih, di Guyuban, di rumahnya yang katanya merupakan warisan abdi Nyi Ageng Serang sekaligus pesanggrahan Nyi Ageng Serang berada, masuk dalam wilayah genangan.
“Sejak tahun 1981 saya mulai gerilya melawan pemerintaha Soeharto,” katanya.
Tanah dengan sejarah panjang, ramalan, dan proyek pembangunan bertemu. Dari sinilah mulanya Jaswadi merasa sebagai “ratu adil” yang akan menyelamatkan orang-orang Bumi Serang.
Proyek Raksasa
Waduk Kedung Ombo merupakan bagian dari Proyek Pengembangan Wilayah Sungai Jratunseluna. Jratunseluna merupakan singkatan dari nama-nama sungai, yakni Jragung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juana. Poyek ini meliputi Karesidenan Semarang, Pati, Surakarta serta Kabupaten Semarang, Demak, Kudus, Pati, Blora, Grobogan, Jepara, Boyolali, dan Sragen.
Proyek Kedung Ombo berhulu dari ide untuk mengendalikan banjir serta penyediaan air irigasi dan tenaga listrik untuk industri dan permukiman di wilayah utara Jawa Tengah. Selain itu, waduk ini diharapkan menjadi sarana pengembangan perikanan dan pariwisata.
Menurut Stanley dalam Seputar Kedung Ombo,Waduk Kedung Ombo diperkirakan dapat mengairi 60.000 ha sawah serta menyediakan tenaga listrik sebesar 22,5 MegaWatt yang akan menerangi 59.000 rumah dengan catudaya 450 Watt setiap rumah. Keadaan ini, lanjut Stanley, akan berlangsung sesuai dengan usia bendungan, yang diperkirakan mampu bertahan selama 150 tahun.
Proyek pembangunan waduk ini sesungguhnya telah direncanakan 20 tahun sebelum desa-desa di Kedung Ombo mulai tenggelam. Survei, investigasi dan studi kelayakannya dilakukan sejak 1969 oleh Proyek Perancangan Sumber-Sumber Air (P3SA) bersama konsultan Netherlands Engineering Consultants (NEDECO) dari Belanda. Sementara pembuatan desainnya dikerjakan sejak 1976 oleh Proyek Jratunseluna bersama Snowy Mountain Enginering Corporation (SMEC) dari Australia.
Badan Pelaksana Proyek Pengembangan Wilayah Sungai Jratunseluna dibentuk pada 1976. Memasuki 1981, pembangunan infrastruktur penunjang mulai dibangun.
Pada September 1984, dilakukan lelang bangunan utama yang meliputi tubuh bendungan beserta bangunan pelimpah, rumah tenaga listrik, pipa pesat, dan menara pengambilan. PT Brantas Abipraya, salah satu badan usaha milik negara yang bergerak di bidang konstruksi, akhirnya mengerjakan proyek ini bersama kontraktor Jepang Hazama Gumi yang ditunjuk langsung oleh Bank Dunia.
Bank Dunia merupakan salah satu sumber pendanaan proyek ini. Melalui International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), proyek Kedung Ombo mendapat kucuran dana lebih dari 37 milyar. Sedangkan dari Exim Bank of Japan mencapai lebih dari 22 milyar. Sementara sumber dana APBN menghabiskan lebih dari 23 milyar. Namun, menurut Stanley, keseluruhan biaya pembangunan jauh lebih besar. Ada sumber menyebutkan angka kurang lebih Rp280 milyar.
Rencana pembangunan waduk didengar penduduk yang tanahnya akan dipakai proyek pada 1982. Informasi resmi baru diberikan pada 1985. Penduduk diminta berkumpul di balai desa-balai desa untuk mendengar pejelasan dan rencana pendataan.
Jaswadi menentang pembangunan waduk. Proyek itu disebutnya sebagai “permusuhan besar yang dipimpin oleh Presiden Soeharto”. Satu hal penting yang ia khawatirkan adalah ditenggelamkannya makam-makam para leluhur Serang. Sebuah dosa besar.
“Berdosa kepada arwah-arwah roh halusnya para senopati, para raja Serang,” kata Jaswadi.
Narasi Mitologi
Jaswadi enggan pindah dari Guyuban dan menggaungkan mitos paling populer yang dulu dipercaya orang-orang Bumi Serang: “iwak bader mangan manggar”, ikan bader memakan bunga kelapa. Mitos ini berkembang di Kedung Ombo bagian Kabupaten Boyolali.
Jaswadi mengatakan, mitos ini telah dikatakan oleh nenek moyang. Tenggelamnya desa-desa di Bumi Serang telah diramalkan sebagai Geger Serang. Permukaan air yang semakin tinggi karena sungai dibendung membuat ikan bader, salah satu jenis ikan yang hidup di Sungai Serang, berenang makin ke atas. Ketika air waduk melampaui pohon kelapa, ikan bader memakan manggar atau bunga kelapa. Ketika ikan bader memakan bunga kepala, saat itulah kemakmuran akan datang pada setiap orang di Bumi Serang.
Namun, karena ternyata orang-orang akan diusir dari sumber kemakmuran itu, mereka melawan.
Perlawanan Jaswadi dan pengikutnya memang unik. Mereka tak ingin kehilangan tanah leluhur yang telah diwariskan ratusan tahun. Di sisi lain waduk merupakan jawaban atas kemakmuran yang diramalkan.
Ganti rugi adalah kuncinya. Ketika kompensasi diberikan untuk mengganti rumah dan tanah warga Kedung Ombo, mitos “iwak bader mangan manggar” dipakai untuk membangkang. Warga tak mau pindah dari dusun mereka.
“Waktu didata kepemilikan itu ndak diberi tahu, Mas. Luasnya tanahnya berapa, bangunannya berapa, tanam-tumbuhnya berapa, ndak dikasih tahu,” terang Jaswadi.
Tanpa mempertimbangkan hak-hak penduduk yang harus dipenuhi, uang ganti rugi yang diberikan hanya Rp200/m2. Jumlah yang tak layak dan jelas ditolak penduduk Kedung Ombo. Mereka bersepakat enggan pindah.
“Wah, setelah saya menolak, ganti ruginya dimasukan konsinyasi di pengadilan,” jelasnya.
Konsinyasi juga jelas ditolak.
Jaswadi awalnya memberikan kuasa kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Namun belakangan ia cabut karena tuntutannya dianggap tak rasional. Jaswadi minta agar ganti rugi berupa tanah yang sepadan dengan miliknya dan berada di tepian waduk.
“Dianggap tuntutan saya tidak rasional. Ini Bumi Serang akan dikembalikan nenek moyang ke saya kok,” tegasnya.
Mbalelo
Pada 23 Juli 1986, Jaswadi bersama rekannya, Yadi, melaporkan lurah Nglanji yang juga bernama Jaswadi ke Polda Jawa Tengah dengan tuduhan memanipulasi uang ganti rugi. Tak sampai sebulan, Jaswadi justru ditangkap ketika sedang tidur di rumahnya.
Jaswadi diborgol dan dibawa ke Polsek Kemusu. Ia diinterogasi oleh staf kecamatan, lurah, dan aparat keamanan setempat. Malam itu juga Jaswadi ditelanjangi. Pahanya disundut rokok berkali-kali. Ia dianggap menimbulkan keresahan karena kegiatan-kegiatan pembangkangannya.
“Ditelanjangi. Saya diborgol gini, Mas,” kenangnya sambil memperagakan tangan diborgol dari belakang.
Meski akhirnya dibebaskan, pada 6 September 1986 Jaswadi dipanggil ke Polres Boyolali sebagai saksi. Ia diperiksa sejak pukul sembilan pagi hingga pukul lima sore. Jaswadi berdebat dengan penyidik. Ia menjelaskan kepada penyidik bahwa Permendagri No. 15 tahun 1975 menyebut ganti rugi tidak hanya berupa uang. Bisa berupa fasilitas atau tanah diganti tanah. Tanah ganti tanah inilah yang diinginkan Jaswadi dan kawan-kawannya.
“Pasal 18 UUPA itu juga, jika untuk membebaskan tanah akan sulit, segera dibutuhkan, maka jalan yang tempuh haruslah secara jual-beli biasa atau tukar-menukar hak. Ini yang jadi pegangan,” terang Jaswadi menyebut Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Jaswadi akhirnya tak pernah dipanggil lagi. Ia juga lolos dari pemanggilan seperti orang-orang yang dituduh sebagai sisa-sisa anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka yang terjaring tuduhan itu, KTP-nya dicap “ET” alias Eks Tapol.
Jaswadi bilang ia dulu kader Partai Nasional Indonesai (PNI). Sedikit banyak ia bisa bercerita mengenai peristiwa pasca G30S di dusunnya. Bagaimana orang-orang PKI ditelanjangi, diarak, hingga dikubur hidup-hidup. Ia bahkan hafal lagu “Blonjo Wurung” karya Sujud, seniman Lekra Salatiga. Semua kesaksian ini barangkali menyelamatkannya dari tuduhan sebagai anggota PKI.
Sejak terakhir dipanggil, Jaswadi masih bertahan tiga tahun di Guyuban. Ia dan sebagian besar penduduk Kedung Ombo melakukan pembangkangan tradisional. Tak mau memenuhi undangan pertemuan yang diselenggarakan pemerintah dan menolak kedatangan Tim Pembebasan Tanah.
Pada 1987, Jaswadi diminta Bupati Boyolali Moh. Hasbi untuk membantu membujuk warga dalam masalah pembebasan tanah. Jaswadi menolak.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada 14 Januari 1989, penutupan pintu waduk diresmikan oleh Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar dan Gubernur Jawa Tengah Muhammad Ismail. Tak sampai sepuluh hari, air dengan cepat menggenangi desa-desa. Orang-orang Kedung Ombo mengungsi ke tempat yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi.
“Yang sebagian ya mondok di rumah tetangganya (yang lebih tinggi), kemudian (pindah lagi ke) saudaranya,” kenang Jaswadi.
Menurut Jaswadi, apa yang diterapkan pemerintah justru mirip dengan konsep domein verklaring (hak menguasai negara) dalam Agrarisch Wet (Undang-Undang Agraria) tahun 1870 yang diberlakukan pada masa kolonial Belanda.
“Hukum penjajahan. Mengusir rakyat supaya meninggalkan tempat. Mereka yang menguasai,” kata Jaswadi.
Jaswadi dan penduduk lelah bergelut dengan air waduk yang elevasinya semakin tinggi. Pada 6 April 1989, Jaswadi memimpin delegasi yang terdiri dari delapan orang perwakilan desa menemui gubernur Jawa Tengah. Tujuh orang yang datang bersama Jaswadi adalah Yudi dari Nglanji; Ngadimin, Senen, dan Demis dari Ngrakum; Sutikno dan Ratno dari Kemusu; serta Jimin dari Bawu. Mereka kemudian disebut Kelompok Delapan.
Kelompok Delapan disambut Gubernur Ismail. Sang gubernur bahkan berjanji, setiap penduduk Kedung Ombo yang masih bertahan di wilayah genangan serta belum menerima ganti rugi akan mendapat tanah seluas 1000 meter persegi ditambah sisi tanah sesuai luas tanah yang tenggelam karena waduk.
Sambil menunggu janji gubernur, mereka mengelar pertunjukan ketoprak dengan lakon Baru Klinthing, yakni Dumadining Rawa Pening. Pertunjukan ini menggambarkan pengalaman dan kesengsaraan penduduk selama proyek Kedung Ombo berjalan.
Tanah diberikan sejak pertengahan Mei 1989. Dimulai dengan 201 kepala keluarga yang mendapat tanah kapling di hutan Kedung Lele. Acara selamatan kemudian digelar dan dipimpin Gubernur Ismail pada 30 Mei 1989. Tak tanggung-tanggung, acara ini mengundang bintang keroncong Waljinah, grup Didik Nini Thowok, dan kembali dimeriahkan dengan ketoprak dengan lakon Mas Karebet.
Tanah relokasi ini diberi nama Dusun Kedungmulyo dan Kedungrejo. Dua dusun baru yang lahir di bekas hutan Kedung Lele, yang dalam mitologi Jaswadi merupakan hutan cengkir gading (kelapa gading muda) yang dijanjikan.
“Dadi kutho le, iki alas,” kata Jaswadi menirukan bagaimana leluhur dulu menyebut hutan itu akan menjadi kota.
Namun, dibukanya Kedungmulyo dan Kedungrejo tak membuat kasus Kedung Ombo sertamerta selesai. Meski sebagian orang berbahagia setelah lelah dikejar-kejar air dan media massa mulai meninggalkan geger di Bumi Serang, masih banyak persoalan yang tertinggal.
Menurut George Junus Aditjondro dalam disertasi di Cornell University berjudul The Media as Development “textbook”: A Case Study on Information Distortion in the Debate about the Social Impact of an Indonesian Dam, tak semua penduduk desa yang tersisa mengikuti Jaswadi pindah ke dusun baru. Sekitar 600 keluarga dari beberapa dusun memilih tetap tinggal di rumah mereka yang jaraknya beberapa ratus meter dari air waduk. Mereka masih menuntut proses negosiasi yang adil untuk menentukan kompensasi atas properti mereka yang terendam, dan izin untuk tinggal secara permanen di tepi waduk yang lebih subur.
Jaswadi dan anggota Kelompok Delapan lainnya dianggap meninggalkan penduduk yang belum mendapat ganti rugi. Mereka dianggap elitis karena memiliki akses eksklusif ke gubernur. Mereka dicap pengkhianat.
Ngateno, meski menolak pindah ke Kedungmulyo maupun Kedungrejo, membela Jaswadi. Menurutnya, jasa Jaswadi beserta Kelompok Delapan cukup besar karena berhasil meminta permukiman yang tak jauh dari waduk.
“Yang membawa janda, membawa duda, membawa anak yatim, ya Mbah Jas ini,” katanya.
Ngateno tak mau pindah karena tak mau tinggal di wilayah hutan. Ia kini adalah satu dari 14 kepala keluarga yang masih bertahan di sisa tanah yang belum tenggelam di Guyuban.
Dusun Kedungmulyo dan Kedungrejo sekilas tampak sepi-sepi saja. Tak mirip kutho yang dikatakan leluhur Jaswadi. Udaranya panas karena pohon-pohon jati mulai meranggas. Jalanan dusun yang berkelok naik-turun kadang beraspal kadang beton tapi kadang hanya plester semen yang telah rusak.
Kini, Jaswadi sibuk dengan patung-patung dan tamu-tamu di rumahnya. Katanya, banyak orang datang dari luar kota untuk mencari emas Kedung Ombo. Jaswadi berbisik, ia tahu lokasinya. Ia menunjuk semangkuk koin yang mungkin terbuat dari kuningan dan beberapa bongkah batu yang memang terlihat memiliki semburat kuning berkilauan.
Terlepas dari semua persona milenarisnya, stigma pengkhianat, dan ingatannya yang mulai pudar karena beberapa kali rancu menyebut tahun, ia begitu dihormati. Di sepanjang jalur Kedungmulyo hingga Guyuban, orang-orang di jalan menyapanya. Di setiap pematang sawah di Kemusu, orang-orang mengenalnya.*