Cuplikan program 86 yang tayang di NET TV. (Youtube NET TV).
Aa
Aa
Aa
Aa
SOROTAN kamera mengarah pada seorang anggota polisi yang sedang berbincang melalui saluran telepon genggam. Terdengar percakapan dari telepon dengan mode pengeras suara.
“Halo,” ujar polisi yang disorot kamera.
“Izin komandan. Tersangka saat ini sudah berada di depan minimarket mengenakan baju putih ungu,” jawab suara lain di seberang telepon.
“Siapkan anggota untuk menjemput tersangka.”
“Siap, ndan.”
Pembicaraan melalui telepon genggam itu pun berakhir. Tak berapa lama, beberapa polisi berkaos polo merah, dengan rompi antipeluru bertuliskan “Polisi Anti Bandit”, menghambur keluar dari sebuah mobil dan meringkus seorang pria.
Fragmen di atas adalah cuplikan program tayangan 86 yang diproduksi NET TV, sebuah stasiun televisi swasta di Indonesia. Acara ini mengupas aktivitas kepolisian. Bukan hanya aktivitas patroli namun juga terkadang menyuguhkan kehidupan pribadi seorang aparat kepolisian.
Banyak pihak mengatakan acara tersebut adalah upaya pencitraan institusi Polri. Dan hal ini memang tak terbantahkan.
SOROTAN kamera mengarah pada seorang anggota polisi yang sedang berbincang melalui saluran telepon genggam. Terdengar percakapan dari telepon dengan mode pengeras suara.
“Halo,” ujar polisi yang disorot kamera.
“Izin komandan. Tersangka saat ini sudah berada di depan minimarket mengenakan baju putih ungu,” jawab suara lain di seberang telepon.
“Siapkan anggota untuk menjemput tersangka.”
“Siap, ndan.”
Pembicaraan melalui telepon genggam itu pun berakhir. Tak berapa lama, beberapa polisi berkaos polo merah, dengan rompi antipeluru bertuliskan “Polisi Anti Bandit”, menghambur keluar dari sebuah mobil dan meringkus seorang pria.
Fragmen di atas adalah cuplikan program tayangan 86 yang diproduksi NET TV, sebuah stasiun televisi swasta di Indonesia. Acara ini mengupas aktivitas kepolisian. Bukan hanya aktivitas patroli namun juga terkadang menyuguhkan kehidupan pribadi seorang aparat kepolisian.
Banyak pihak mengatakan acara tersebut adalah upaya pencitraan institusi Polri. Dan hal ini memang tak terbantahkan.
Sekarang, beberapa stasiun televisi swasta memiliki program serupa dalam format reality show, sebuah genre acara televisi yang menggambarkan adegan nyata tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khalayak umum biasa, bukan pemeran. Misal, Target Operasi di Metro TV.
Bahkan, pihak kepolisian kini memiliki tiga saluran televisi yang bekerjasama dengan pihak swasta, yakni Tribrata TV, Bhayangkara TV, dan TV Polri. Peluncuran ketiganya dilakukan di sesela acara Workshop Kehumasan Polri bertema “Memantapkan Manajemen Media Guna Mewujudkan Polri Promoter (Profesional, Modern, dan Terpercaya)” di Mabes Polri, Jakarta, Oktober 2017.
Kisah polisi di televisi sebenarnya pernah ada di Indonesia kurun 1970-1980 dan tayang di TVRI: Metro 77 dan Lingkaran.
Merambah Layar Lebar
Metro 77, film serial pertama televisi buatan Indonesia, diproduksi tahun 1974 oleh Metro 77, sebuah perusahaan film milik Komando Daerah Angkatan Kepolisian (Komdak) Metro Jaya –kini, Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya atau Polda Metro Jaya. Produsernya adalah Letkol Polisi Abbas Wiranatakusuma, yang menjabat humas Komdak Metro Jaya. Abbas pula sosok di balik pembentukan PT Metro 77 pada 1974.
Menurut Krishna Sen dalam Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru, Metro 77 awalnya unit film Polda Metro Jaya yang kemudian menjadi perusahaan film. Ia dibangun dari hasil penjualan minyak Pertamina. Sebagian besar sahamnya dimiliki anggota senior kepolisian Jakarta.
Krishna Sen juga menyebut Metro 77 sebagai produser film Soeharto pertama karena memproduksi film Janur Kuning (1979) arahan sutradara Alam Rengga Surawidjaja, yang menyorot kisah “kepahlawanan” Soeharto dalam peristiwa Enam Jam di Yogyakarta.
Selama promosi Janur Kuning, Metro 77 gembar-gembor akan membuat film tentang Sukarno dan Hatta. “Sulit untuk mengetahui apakah mereka secara serius merencanakan film seperti itu atau sekadar mengumumkannya supaya mereka dapat berkata bahwa mereka adalah sekelompok orang yang sungguh-sungguh nasionalis yang ingin mengisahkan kontribusi yang telah diberikan oleh pemimpin nasional, ketimbang propaganda Soeharto belaka,” tulis Krishna Sen.
Tak ada informasi lebih lanjut mengenai Metro 77. Yang pasti, Janur Kuning bukanlah film pertama mereka. Sebelumnya Metro 77 menggarap sejumlah film bertema kepolisian seperti Bandit-bandit Internasional (1977), Senja di Pulo Putih(Penghancuran Sarang Sindikat) (1978), dan Jaringan Antar Benua (1978).
Bandit-bandit Internasional, disutradarai F. Soetrisno, mengisahkan upaya polisi menumpas sindikat perampok internasional, yang menggasak intan dan berlian. Jaringan Antar Benua garapan sutradara Fred Wetik, berkisah tentang jaringan penyelundupan obat terlarang sampai ke negeri Belanda dan Swiss. Sutradara yang sama menggarap Senja di Pulo Putih tentang usaha polisi membongkar sindikat narkotika kelas kakap di Jakarta.
Film serial Metro 77 bertahan cukup lama. Bahkan, salah satu episodenya dijadikan film layar lebar berjudul Naga Merah (1976), dengan sutradara Fritz G. Schadt. Untuk film ini Metro 77 menggandeng PT Yunawati dan Yayasan Kesejahteraan Karyawan Pajak (YKKP). Selain itu, film ini dibuat dengan kerjasama Interpol.
Naga Merah berkisah tentang pemberantasan narkotika yang dipimpin Kapten Edi Rosadi (Dicky Zulkarnaen). Ketika gembongnya kabur ke Filipina, Edi pun menyusul ke sana dan pulang dengan membawa buruannya. Film ini melibatkan pemain Filipina bernama Marissa Bigode.
Film seri Metro 77 kerap dijadikan acuan. Misalnya, Lembaga Pemilihan Umum dalam buku Pemilihan Umum 1977 menyebut keresahan yang melanda dunia pemuda karena ancaman serius narkotika. “Sebuah film serial TVRIMetro 77 yang dibuat oleh Komdak Metro Jaya meyakinkan kita betapa gawat sudah keadaan, remaja/pemuda itu pada pemilu ke II/1971 berusia sekitar 11-12-13 tahun.”
Mahalnya biaya produksi membuat film seri Metro 77 macet. Dalam “Film Seri, Mengapa Harus Diulang?” Kompas, 11 Agustus 1980, menyebut membuat film seri sendiri cenderung merugikan. Soalnya, film itu hanya dapat diputar di Indonesia, kalaupun mau diekspor paling hanya Malaysia dan Singapura yang bersedia membeli. Padahal satu episode biayanya puluhan juta rupiah. “Itulah sebabnya film Metro 77 yang dimaksudkan untuk sebuah film seri kini macet lagi. Apa film itu mau diputar berulang-ulang?”
Izin Polisi
Seorang polisi berkepala plontos yang suka permen lolipop tiba-tiba menjadi idola masyarakat Indonesia. Theo Kojak, polisi dari kota New York, adalah nama polisi plontos yang menjadi pelaku utama dalam film seri Kojak. Aktor Telly Savalas memerankan dengan apik tokoh itu dalam film seri produksi Universal Television, Amerika Serikat.
Sejak minggu pertama Februari 1977, tulis Arswendo Atmowiloto dalam artikel “Kematian Kriminalis Sebagai Hiburan” yang tersua dalam buku Telaah Tentang Televisi, Kojak menjadi idiom baru bagi penonton televisi di Indonesia. Dalam kurun 1969 hingga 1981, Kojak bersama jagoan super lain dari luar negeri ramai menghiasi layar kaca TVRI.
“Telah lama TVRI merindukan bisa membuat film seri sendiri. Kalau orang asing bisa, mengapa kita tidak bisa?” ujar Sandy Tyas, kepala Sub Urusan Drama TVRI, dalam Kompas, 17 April 1983. Kendala utama produksi film seri adalah kelangkaan skenario.
Imbalan yang dijanjikan untuk naskah fragmen penerangan sebesar Rp25.000 dan paling mahal Rp75.000 kurang menarik peminat. “Banyak yang berjanji akan menulis skenario tapi tak pernah terwujud,” ujar Sandy, dikutip Tempo, Vol. 13, 1983.
Pada pertengahan 1979, muncul Tompoh Salvatore –kelak menjadi pemeran dalam beberapa film seperti Sama Juga Bohong (1986) dan Terang Bulan di Tengah Hari (1988)– menawarkan 12 cerita dengan tema citra polisi Indonesia. Dalam skenarionya, tak seperti film seri Chip’s yang tayang pertengahan 1970-an dan mengetengahkan tokoh polisi lalulintas bernama Frank ‘Ponch’ Poncherello yang diperankan Erik Estrada, Tompoh tak menekankan pada tokoh melainkan kehidupan instansi kepolisian itu sendiri.
TVRI tertarik untuk memproduksi scenario itu menjadi sebuah film seri. Alex Leo Zulkarnain, kepala TVRI Pusat di Jakarta, mengusulkan judul Lingkaran. Alasannya, dikutip Tempo, karena seluruh episode itu menampilkan masalah kriminalitas yang selalu terjadi berulang-ulang seperti lingkaran.
TVRI lalu berinisiatif menggandeng institusi Polri untuk produksi film seri tersebut. Namun, meski sudah melakukan pendekatan, skenario-skenario itu tertahan di Komdak Metro Jaya selama dua tahun. Produksi pun tertunda. Saat itu memang ada kesepakatan antara TVRI dan kepolisian bahwa naskah sandiwara atau film yang menyangkut kepolisian harus dimintakan izin mengenai bisa atau tidaknya naskah itu diproduksi atau ditayangkan.
Tak patah arang, pihak TVRI menyampaikan niat memproduksi film seri polisi ke tingkat yang lebih tinggi, yakni Mabes Polri dan Mabes Pertahanan Keamanan (Hankam). Persetujuan didapat. Produksi pun dimulai. Untuk 12 episode itu, TVRI menggandeng tiga sutradara: Bambang Rochyadi, Yossie Enes, dan Vick Hidayat. Alasannya, ujar Sandy, masih dicari sutradara yang cocok untuk menangani film seri.
Produksi pertama, episode “Rina” dan “Albert Morphin”, dikerjakan pada November 1981 dengan lokasi Jakarta dan Bandung. Disusul kemudian episode “Mencari Jejak” dan “Yang Direncanakan” pada Mei dan Juni 1982 serta “Kembalinya Novi” dan “Terbukanya Sebuah Tabir” pada Oktober dan November 1982.
“Setiap episode tersebut menyerap dana produksi sebesar sepuluh juta rupiah,” ujar Sandy.
Setelah melewati jalan panjang, film seri Lingkaran akhirnya menemani pemirsa TVRI setiap hari Kamis pada pekan pertama setiap bulannya.
Berumur Pendek
Wibowo, sorang mayor polisi, menginterograsi seorang bandit kelas kakap yang memiliki belasan anak buah dan sohor di dunia kejahatan. Dalam interogasi, Wibowo mengorek keterangan dari mulut sang bandit dengan lemah lembut. Akhirnya, seperti dikutip Kompas, 17 April 1983, sang bandit mengaku melakukan pembunuhan sebab takut dengan penjara Nusakambangan yang berulangkali diceritakan Wibowo.
Adegan tersebut merupakan episode perdana dari film seri Lingkaran yang berjudul “Rina”, tayang April 1983.
Kekerasan memang sudah menjadi umum bagi aparat polisi dalam mengorek keterangan dari seorang tersangka kejahatan. Biasanya, selama mengorek keterangan itu, seorang tersangka akan “dipermak” habis-habisan.
Tak mengherankan jika dalam episode perdana film seri Lingkaran, cara-cara permak yang biasa dilakukan polisi terhadap para tahanan tak ditampilkan. Metode lemah lembut menjadi cara anyar polisi dalam mengorek keterangan atau pengakuan. Citra manis polisi di layar kaca untuk kali pertamanya: berhasil.
Episode selanjutnya, tayang Mei 1983, film seri Lingkaran mengambil judul “Mencari Jejak”. Dalam episode ini dikisahkan kesibukan aparat kepolisian dalam membongkar perampokan sepeda motor di Surabaya. Seorang pengendara motor bernama Lina terjatuh saat dicegat penjahat dan motornya dibawa kabur. Seorang reserse polisi menolong Lina, namun malang, dia terluka parah karena dihujani tembakan oleh kawanan penjahat sebelum mereka melarikan diri. Jiwa si reserse selamat setelah dibawa ke rumah sakit dan ditransfusi darah. Lina dengan sukarela menyumbangkan darahnya.
Tidak seperti Chip’s dan Kojak yang dalam setiap episode memiliki pemeran tetap, dalam film seri Lingkaran, para pemeran tiap episode selalu berganti. Kontrak terhadap artis yang bersangkutan hanya berlaku satu episode.
Saat shooting di luar Jakarta, tulis Kompas, 17 April 1983, Komdak setempat menjadi penanggungjawab fasilitas dan kebutuhan produksi film. Misalnya, produksi ketiga untuk episode “Kembalinya Novi” dan “Terbukanya Sebuah Tabir” pada Oktober dan November 1982, mengambil lokasi di Jakarta, Semarang, dan Salatiga. Itu berarti, Komdak di kota-kota itu menanggung kebutuhan produksi film, dari transportasi, penginapan, hingga menyediakan helikopter.
Sejak awal, muncul kritikan adanya propaganda dalam film seri ini. Hal ini tak dibantah pihak kepolisian.
“Film seri ini memang berbau penerangan. Tapi kan wajar kami berbuat begitu. Tujuan utama kami untuk mengetengahkan citra polisi itu begini. Dan yang kami lakukan baru langkah awal, masih banyak yang perlu diperbaiki” ujar Mayor Saleh Abubakar, seorang petinggi Dinas Penerangan Kepolisian RI sekaligus konsultan film seri Lingkaran, dikutip Kompas, 17 April 1983.
Meski berbau penerangan, Lingkaran masih memperhatikan kontrol artistik. Bisa jadi para penulis skenario itu telah menyaksikan film seri Hill Street Blues, produksi National Broadcasting Company (NBC), yang rilis pada 1981 dan tayang hingga tahun 1987. Serial polisi terkenal dari Amerika ini, tulis Jane Stokes dalam How To Do Media and Cultural Studies, memperlihatkan sisi kemanusiaan para petugas polisi.
Sayang, kerjasama TVRI dengan kepolisian macet di tengah jalan. Alhasil, produksi Lingkaran hanya sampai sembilan episode.
Arswendo Atmowiloto menyebut penyebab ketidakberhasilan Lingkaran dari aspek skenario. “Keutuhan yang menyeluruh menjadi menganga tak ubahnya bukan serial.”
Kendati tak berumur panjang, keberadaan film seri Lingkaran menjadi cikal-bakal film seri yang diproduksi mandiri di negeri sendiri dan ditayangkan di televisi.*