Kiprah sanggar cerita yang kian meredup seiring berkembangnya industri televisi. Kisah dari masa di mana anak-anak dimanjakan oleh sandiwara radio dan kaset.
Kaset sanggar cerita produksi Sanggar Prathivi. (Aryono/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
BEBERAPA lemari arsip berjajar memenuhi hampir separuh ruangan lantai dasar dengan luas sekira 60 meter persegi itu. Dari luar, gedung yang menaungi ruangan itu tampak tak berpenghuni. Letaknya terimpit di antara bangunan lain di Gang Sentul, Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang sebagian besar berfungsi sebagai gudang karpet milik para pedagang Pasar Baru.
“Tahun 1980-an, lantai dasar ini menjadi tempat berkumpul para pengisi suara sebelum mereka melakukan rekaman di lantai atas,” kata Gatot Soebroto, 53 tahun, salah satu pegiat yayasan Sanggar Prathivi.
Mulanya, yayasan Sanggar Prathivi menempati tiga ruko yang berjejer, nomor 22 D, E, dan F. Dalam perkembangannya, dua ruko dilego ke orang lain, dijadikan gudang karpet. Tinggal satu ruko, yang menurut Gatot, menjadi dapur rekaman Sanggar Prathivi.
BEBERAPA lemari arsip berjajar memenuhi hampir separuh ruangan lantai dasar dengan luas sekira 60 meter persegi itu. Dari luar, gedung yang menaungi ruangan itu tampak tak berpenghuni. Letaknya terimpit di antara bangunan lain di Gang Sentul, Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang sebagian besar berfungsi sebagai gudang karpet milik para pedagang Pasar Baru.
“Tahun 1980-an, lantai dasar ini menjadi tempat berkumpul para pengisi suara sebelum mereka melakukan rekaman di lantai atas,” kata Gatot Soebroto, 53 tahun, salah satu pegiat yayasan Sanggar Prathivi.
Mulanya, yayasan Sanggar Prathivi menempati tiga ruko yang berjejer, nomor 22 D, E, dan F. Dalam perkembangannya, dua ruko dilego ke orang lain, dijadikan gudang karpet. Tinggal satu ruko, yang menurut Gatot, menjadi dapur rekaman Sanggar Prathivi.
Situasi sekarang menjadi berbeda, dengan surutnya Sanggar Prathivi. Ruangan lantai dasar menjadi tempat menyimpan barang-barang. Sementara lantai di atas masih tetap dirawat sebab masih ada ruangan rekaman, dan menyimpan arsip-arsip produksi Sanggar Prathivi sejak berdiri akhir 1960-an.
“Saat ini, kami sedang mendigitalisasi semua produk Prathivi. Mulai kaset analog sanggar cerita, hingga drama radio lain,” kata lelaki penyuka batu akik itu kepada Historia.
Kaset serial sandiwara radio Tutur Tinular produksi Sanggar Prathivi. (Aryono/Historia.ID).
Ramah Anak
Zaman sekarang tak semua anak tahu Sanggar Prathivi. Kisahnya bermula pada era 1960-an, saat Gereja Katolik Indonesia meminta pastor Welbert Daniel S.J. mendirikan sebuah studio rekaman yang layak guna menunjang program komunikasi gereja.
Daniel, kemudian menambahkan nama Indonesia menjadi Handojo Soenjoto, dikenal sebagai pastornya mahasiswa, sebab kedekatannya dengan mahasiswa Katolik pada era 1960-an. Memang, tulis mingguan Hidup volume 58 tahun 2004, pada masa itu beberapa rohaniwan gereja seperti Pater Beek, Pater Dijkstra, dan Daniel banyak membina generasi muda. Daniel sendiri mulai menginjakkan kakinya di Indonesia sekira tahun 1935. Ia merupakan putra semata wayang seorang pengusaha tekstil sukses di Belanda, yang kemudian mengabdi pada Ordo Katholik Serikat Jesus.
Sebelum menerima tugas mendirikan studio, Daniel terlebih dulu mengunjungi beberapa stasiun radio di luar negeri macam BBC di London dan Hilversum di Belanda, untuk mempelajari penyusunan program stasiun radio.
Setelah cukup belajar, Daniel kemudian mendirikan studio rekaman pada 1966. Dia menamainya Sanggar Prathivi, kependekan dari penggemar radio dan tivi. Studio rekaman itu, tulis mingguan Djaja terbit 24 Mei 1969, adalah yang terbaik di Indonesia. “Ruangan yang soundproof (kedap suara, red.) dan ber-AC ini terbagi menjadi dua. Bagian kamar pengontrol suara (sound controlling room) dan kamar perekam tape (tape recording room).” Daniel menjabat sebagai direktur pertama hingga sembilan tahun lamanya.
Meski didirikan oleh rohaniwan Katolik, catat Djaja, Sanggar Prathivi berdiri sendiri tanpa ada ikatan organisatoris dengan gereja atau dengan badan keagamaan manapun. Dalam melakukan program kerja, aspek agama bukan menjadi titik berat utama. Dari 17 produk program siaran yang direkam setiap minggunya, hanya tiga program yang bernuansa Katolik. Selebihnya, rekaman yang bercorak pembinaan akhlak, peningkatan moralitas dan mentalitas umum tanpa membedakan agama.
Pasaran produk rekaman Sanggar Prathivi hampir dilakukan seluruh stasiun radio swasta, bahkan RRI dengan semua stasiun pemancarnya. Kebanyakan radio-radio itu memesan rekaman yang berisi sandiwara radio, dialog, humor, iklan produk dan cerita anak-anak.
“Prathivi selalu membuat drama radio untuk kalangan remaja dan dewasa, seperti sketsa remaja, generasi muda, lalu ada pula kesejahteraan tani dan desa. Dan untuk TVRI adalah program Mimbar dan drama Fragmen,” ujar Carolus Ispriyono, mantan sutradara sandiwara radio “Tutur Tinular” kepada Historia, di rumahnya bilangan Gunung Sahari, Jakarta Pusat.
Meski banyak program Sanggar Prathivi memiliki segmen untuk remaja hingga dewasa, menurut Gatot, sebenarnya gagasan awal oleh Daniel dahulu adalah program pendidikan untuk anak-anak.
Gagasan ini kemudian baru terwujud dengan adanya sanggar cerita yang membuat rekaman kaset berisi cerita-cerita anak. Sanggar cerita ini kemudian dikelola di bawah perusahaan bentukan Sanggar Prathivi bernama Swadaya Prathivi yang berdiri tahun 1974.
Carolus Ispriyono, mantan sutradara sandiwara radio Tutur Tinular, produksi Sanggar Prathivi. (Aryono/Historia.ID).
Dunia Dongeng
Mulanya tak banyak orang yang bergabung di Sanggar Prathivi. Orang-orang awal yang bergabung kebanyakan dari murid-murid Daniel sendiri.
“Semenjak awal berdiri, saya mengumpulkan beberapa pengarang drama, penulis naskah, yang kebanyakan adalah murid-murid saya sendiri ketika mengajar seni drama. Bersama mereka ini, kami dapat menciptakan rekaman yang menarik hati dan diterima pemancar-pemancar radio,” ujar Daniel seperti dikutip dalam Djaja, 24 Mei 1969.
Produk mereka tak melulu rekaman radio, melainkan juga menyelenggarakan kursus pemrograman radio yang dilaksanakan secara gratis. Kursus ini kemudian berkembang kurikulumnya meliputi penulisan naskah, operator radio, penyutradaraan hingga seni peran, khususnya seni peran untuk drama radio.
“Sanggar Prathivi, yang diasuh romo-romo Jesuit, waktu itu mengundang penulis-penulis muda dari paroki-paroki di Jakarta. Saya saat itu diundang, mewakili paroki Pademangan, untuk mengikuti kursus,” ujar Ispriyono.
Dari kursus ini, yang berdurasi 4–5 bulan dan dilaksanakan setiap Sabtu, peserta kursus yang berbakat akan direkrut oleh Sanggar Prathivi. Untuk kursus seni drama radio, peserta pertama kali diajarkan pemahaman naskah, lalu pengenalan karakter, dan memainkan karakter baik antagonis maupun protagonis.
Khusus penulisan naskah cerita, Daniel memberi anjuran bahwa naskah yang akan diproduksi harus dapat dinikmati segala umur. Meski demikian, naskah-naskah cerita untuk anak-anak menjadi prioritasnya. Dari naskah cerita anak inilah, sanggar cerita diproduksi, dan memasarkan produk kasetnya pada 1974.
Naskah cerita untuk anak-anak ini, kata Ispriyono, harus memuat unsur pendidikan, anjuran moral serta menghibur. “Tanpa meninggalkan unsur yang menghibur, kami memakai lagu pembuka dan penutup. Bahkan, ada lagu yang disesuaikan dengan tema cerita, dan disisipkan di dalam cerita. Setiap cerita memiliki lagu yang berbeda,” ujarnya.
Mulanya naskah anak-anak untuk produksi sanggar cerita belum begitu banyak. Sehingga setiap bulan hanya ada dua judul. Untuk mengakalinya, Daniel meminta para penulis naskah menyadur kisah-kisah untuk anak dari cerita yang sudah ada.
Cerita milik Hans Christian Andersen, dan cerita anak lainnya yang sudah mendunia, jelas Gatot, menjadi produksi awal sanggar cerita. Kisah-kisah anak dari luar negeri yang disadur oleh penulis naskah di sanggar cerita, seperti pada produksi kaset nomor 17, berjudul Serigala Katya. Kisah dari negara Rusia ini bercerita tentang seekor serigala bernama Katya yang diasuh oleh Ninska sejak kecil. Dalam cerita yang ditulis kembali oleh Marcel Eko ini, dikisahkan Katya dan Ninska saling tolong-menolong. Namun, Katya tak berumur panjang.
Seiring perjalanan waktu, dengan bertambahnya penulis dan produksi naskah, cerita-cerita lokal mulai muncul seperti Dewi Sri, Loro Jonggrang, dan Rawa Pening. Disusul oleh cerita lokal yang dimodifikasi oleh penulis, dan terakhir naskah cerita yang murni dari imajinasi penulis.
Produk rekaman sanggar cerita kemudian diproduksi sendiri dengan label SC records dalam bentuk kaset analog dan dijual secara bebas. Kaset analog yang dipakai jenis kaset C-60 yang berdurasi maksimal 60 menit.
“Setiap naskah yang saya buat, biasanya gak lebih dari lima halaman. Durasinya pun tak sampai 30 menit, sebab selain cerita kan juga ada lagu-lagu atau musik latar yang disisipkan di dalamnya. Jadi, dalam satu kaset, ada dua cerita berbeda di side A dan B, dengan durasi masing-masing sekitar 25 menit,” jelas Ispriyono, yang sekarang mengajar sastra dan seni di Sekolah Stella Maris, Jakarta Utara.
Setelah naskah siap, kemudian mulai casting untuk aktor pengisi suara. Untuk sanggar cerita, biasanya dipilih siswa dari program kursus Sanggar Prathivi yang masih dalam taraf usia anak-anak hingga remaja.
Seperti produksi sanggar cerita nomor 17 tahun 1970-an berjudul Mini Mouse. Naskah cerita dari Walt Disney ini ditulis kembali oleh Ima Tanditasik. Sutradara Elsa Surya hanya memilih enam aktor pengisi suara, yaitu Maria Oentoe, S. Tidjab, Idris Apandi, Parto Tegal, Diana Cancer, dan Mario Kulon.
Produksi dan distribusi kaset sanggar cerita ditangani oleh Swadaya Prathivi, perusahaan yang didirikan Sanggar Prathivi. Sanggar Prathivi sendiri secara legal berbentuk yayasan nirlaba. Untuk mendanai kegiatan-kegiatannya dibentuklah dua perusahaan, yaitu Swadaya Prathivi dan Prathivi Kartika Film. Pucuk pimpinan Sanggar Prathivi beralih dari Daniel kepada Albertus Brotodarsono S.J.
Swadaya Prativi, yang bergerak dalam usaha pembuatan iklan radio, juga turut menikmati kue iklan radio yang gencar dilakukan perusahaan-perusahaan untuk beriklan. Kebanyakan yang memesan pembuatan iklan adalah perusahaan obat-obatan. Dari hasil pendapatan ini diputar kembali untuk membiayai kegiatan yayasan Sanggar Prathivi.
“Perusahaan ini kemudian juga mensponsori sandiwara-sandiwara radio yang juga booming tahun 1980-an. Beberapa yang saya ingat adalah Dankos waktu itu dengan produk Mixagrip, Tempo Scan Pacific dengan produk Oskadon, Contrex, Contrexyn,” tulis Alex Santosa, mantan penyiar radio Polaris-Magelang yang sekarang aktif dalam Cipta Prima Pariwara (CPP) RadioNet, melalui surat elektroniknya kepada Historia.
Kaset sanggar cerita Serigala Katya dan Mini Mause produksi Sanggar Prathivi. (Aryono/Historia.ID).
Ketika Televisi Datang
Pada dekade 1980-an, pamor radio dengan sandiwara-sandiwara radionya semakin mentereng. Hal ini terjadi pula dengan sanggar cerita. Produksi naskah, distribusi kaset, bahkan cerita-cerita di dalamnya juga semakin bervariasi. Penulis naskah pun bertambah seiring permintaan cerita yang bertambah. Dalam sebulan, kenang Ispriyono, produksi naskah dan rekaman bisa mencapai delapan judul. Jadi, dalam sebulan sanggar cerita mengeluarkan empat kaset dengan judul yang berlainan.
“Dulu setiap kali akan keluar kaset baru, sanggar cerita selalu melakukan semacam soft launching berupa pementasan drama anak di pasar seni Ancol. Dan itu disambut antusias,” ujar Ispriyono.
Regenerasi tak terputus di Sanggar Prathivi karena adanya kursus yang dilakukan terus-menerus. Pengisi suara di sanggar cerita tahun 70-an kemudian meningkat menjadi pengisi suara untuk sandiwara-sandiwara radio produksi Prathivi.
“Lalu muncul bibit baru seperti Novia Kolopaking, Lily Nur Indahsari, dan Hanna Pertiwi. Hanna Pertiwi ini, selain sebagai voice actor, dia juga kadang menyanyi dalam lagu tema,” ujar Ispriyono. Para pengisi suara di Sanggar Prathivi maupun sanggar cerita sebenarnya lebih didasarkan pada hobi semata. Mereka juga dapat menerima pesanan pekerjaan dari luar.
Bukan pengisi suara saja, tetapi seperti Niki Kosasih yang pernah menyutradarai produksi sanggar cerita dengan judul Jin Sejengkal, pada dekade 80-an menulis naskah sandiwara radio terkenal, Saur Sepuh.
Hingga era 1990-an, sanggar cerita telah memproduksi lebih dari 200 judul cerita anak, yang sebagian besar adalah cerita-cerita lokal Indonesia. Namun, pada periode yang sama mulai menjamur stasiun televisi swasta. Sehingga semua hiburan audio, baik rekaman tape atau siaran radio sudah tidak populer lagi. Anak-anak tak lagi menyimak dongeng lewat kaset atau radio. Mereka jauh lebih menggandrungi siaran film di televisi.
“Kegiatan Sanggar Prativi justru surut ketika bermunculan tivi swasta, dan bisnis sinetron mengalami booming,” tulis F. Rahardi dalam Menguak Rahasia Bisnis Gereja.
Setelah pergantian pucuk pimpinan yayasan Sanggar Prathivi, catat F. Rahardi, banyak tenaga andal yang keluar. Mereka kemudian banyak berperan dalam perkembangan rumah produksi yang bermunculan.
Beruntung, sistem dokumentasi dan arsip di Sanggar Prathivi berjalan baik. Semua naskah atau barang produksi dari sanggar cerita masih tersimpan rapi. Bahkan, masih ada niat dari yayasan Sanggar Prathivi untuk mendigitalisasi semua produk rekamannya.
“Semua materi dari kaset analog ditransfer dalam bentuk kepingan compact disc,” ujar Gatot. Dia dan beberapa rekan lain sebenarnya juga memiliki ide untuk memvisualkan produk sanggar cerita menjadi sebuah animasi. Namun, semuanya bergantung bagaimana keputusan para pimpinan.
Kini, anak-anak tak memiliki hiburan yang sesuai untuk usianya. Semua tayangan televisi sudah dipenuhi dengan genre cerita dewasa. Lalu kapan dunia anak kembali tertawa?*