Sjafruddin Prawiranegara berkunjung ke Yayasan Idayu pada 13 Juni 1978. (IPPHOS/Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
FARID PRAWIRANEGARA (1948–2014), putra Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sjafruddin Prawiranegara (1911–1989), merasakan betul besarnya rasa kemanusiaan Sukarno dan orang-orang di sekitarnya saat ayahnya ditahan sejak 1962 sampai 1966.
Di masa Sukarno, kata Farid, persahabatan di atas segalanya. “Politik memang boleh beda. Tapi, anak-istri nggak boleh terlantar,” ujar Farid ketika ditemui di rumahnya.
Ketika Sjafruddin ditahan akibat terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), hidup anak-istrinya memang seketika jadi susah. Rumah mereka diambil paksa, Farid dan saudara-saudaranya hidup tercerai-berai.
FARID PRAWIRANEGARA (1948–2014), putra Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sjafruddin Prawiranegara (1911–1989), merasakan betul besarnya rasa kemanusiaan Sukarno dan orang-orang di sekitarnya saat ayahnya ditahan sejak 1962 sampai 1966.
Di masa Sukarno, kata Farid, persahabatan di atas segalanya. “Politik memang boleh beda. Tapi, anak-istri nggak boleh terlantar,” ujar Farid ketika ditemui di rumahnya.
Ketika Sjafruddin ditahan akibat terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), hidup anak-istrinya memang seketika jadi susah. Rumah mereka diambil paksa, Farid dan saudara-saudaranya hidup tercerai-berai.
Ada yang menumpang pada saudara atau dititipkan ke famili. Lily, istri Sjafruddin, dan dua anak terkecilnya ditampung keluarga Zainal Abidin Ahmad, ketua Fraksi Masyumi di Konstituante.
“Ibu dapat garasi sama kamar pembantu. Jadi garasi itu diubah jadi ruang tamu,” kata Farid.
Lily membiayai hidup anak-anaknya dari pemberian sahabat-sahabat Sjafruddin dan segelintir orang yang bersimpati. Banyak orang takut mendekati keluarga Sjafruddin semasa ia ditahan.
Akibat ketakutan itu, antara lain, Farid kesulitan mendapatkan sekolah ketika hendak melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Lily mendatangi sekolah Muhammadiyah, yang dekat dengan Masyumi, partai tempat Sjafruddin berkiprah, namun tak berani menjamin bisa menerima Farid.
Persoalan itu baru bisa dipecahkan oleh persahabatan Sjafruddin dan I.J. Kasimo, tokoh Partai Katolik. Setelah mendapat surat Sjafruddin yang diantar langsung oleh Farid, Kasimo langsung memberi saran dan surat pengantar.
“Kamu datang saja ke Kanisius, pasti diterima,” kata Kasimo sebagaimana disitir J.B. Sudarmanto dalam Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo.
Berbekal surat itulah Farid akhirnya bisa melanjutkan sekolah di SMP Pangudi Luhur yang terletak di Jalan Brawijaya, tak jauh dari rumah Sjafruddin.
Kesulitan keluarga Sjafruddin berubah begitu dua putrinya, Salvyah dan Aisyah, mengadu kepada Wakil Perdana Menteri J. Leimena dan Wakil Perdana Menteri Soebandrio di kantor Leimena. Kedua Waperdam kaget begitu mendengar kesulitan hidup keluarga Sjafruddin pascapenahanan sang kepala keluarga.
<div class="quotes-center font-g text-align-center">Ini yang harus dicontoh sama anak-anak muda sekarang. Jangan hendaknya masalah politik menjadikan silaturahmi putus sama sekali.</div>
Soebandrio langsung menelepon Jusuf Muda Dalam, gubernur Bank Indonesia, agar yang menyita rumah Sjafruddin, segera mengembalikan rumah itu. Jusuf langsung menindaklanjuti perintah Seobandrio dengan merapikan rumah itu terlebih dulu. “Jadi kita masuk itu (rumah) udah dicat semua. Udah bersih,” kata Farid.
Leimena dan Soebandrio juga mengatakan kepada dua putri Sjafruddin agar datang ke rumah Leimena di Jalan Teuku Umar saban bulan untuk mengambil sembilan bahan pokok.
“Ini kontribusi kita untuk bapakmu. Kita kan sama bapakmu berteman sebetulnya,” kata Leimena sebagaimana ditirukan Farid. Leimena juga berpesan, mereka mesti merahasiakan bantuan itu.
Sejak itu, keluarga Sjafruddin kelebihan bahan keperluan sehari-hari. Sehingga, setiap bulan, Lily membagikan kelebihan barang-barang itu kepada keluarga tahanan politik lain macam Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.
Meski dirahasiakan, kabar bantuan Leimena-Soebandrio itu sampai juga ke telinga Presiden Sukarno. Sambil mengutarakannya ke pengusaha Agus Musin Dasaad saat sarapan di Istana, Sukarno mengatakan keprihatinannya mengetahui Lily harus menggunakan bis kota untuk bepergian semenjak Sjafruddin ditahan.
“Itu Leimena sama Bandrio kasih sembilan bahan pokok sama duit. Kita kasih dua mobil ya! Anda kan dapat keagenan Mazda kotak, tolong kasih dua mobil sama Lily,” kata Sukarno sebagaimana ditirukan Farid, yang mendapat cerita itu dari Soebandrio.
Beberapa hari kemudian, Dasaad mengontak Halid, putra tertua Sjafruddin. Ia meminta Halid datang ke Rua Malaka, tempat gudang mobil Mazda berada.
“Di Rua Malaka, mobil Mazda-nya banyak banget, (Halid –red.) suruh milih. Bingung Halid, nggak tahu milih yang mana,” kata Farid. Seorang Jepang yang ada di situ lalu memilihkan satu. “B 7211 F nomornya yang pertama itu,” kenang Farid.
Sukarno tetap belum senang lantaran Dasaad hanya memberi satu mobil. Dasaad pun memanggil Farid kembali. “Jadi, kita punya dua mobil,” kata Farid. “Kita kan bingung, dari mana ini. Baru belakangan Opa Dasaad kasih tahu dari Bung Karno. Jadi, zaman itu hubungan kaya begitu. Ini yang harus dicontoh sama anak-anak muda sekarang. Jangan hendaknya masalah politik menjadikan silaturahmi putus sama sekali. Makanya saya bilang, bapak-bapak kita luar biasa,” tutup Farid.*