Zulkifli Lubis kecil digendong ibunya. (Dok. Keluarga Zulkifli Lubis/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
BERBEDA dari saudara-saudaranya, waktu kecil dia seperti bule: wajah putih, rambut pirang, dan mata biru. Karena itu, ketika belajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar Belanda untuk pribumi, dia satu-satunya murid yang didudukan bersama perempuan, hingga kelas tiga.
Zulkifli Lubis lahir di Kutaraja (kini Banda Aceh), 26 Desember 1923, sebagai anak kelima dari sepuluh bersaudara. Dia paling disayangi orang tua dan kakek-neneknya, karena anak lelaki hanya tiga orang.
BERBEDA dari saudara-saudaranya, waktu kecil dia seperti bule: wajah putih, rambut pirang, dan mata biru. Karena itu, ketika belajar di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar Belanda untuk pribumi, dia satu-satunya murid yang didudukan bersama perempuan, hingga kelas tiga.
Zulkifli Lubis lahir di Kutaraja (kini Banda Aceh), 26 Desember 1923, sebagai anak kelima dari sepuluh bersaudara. Dia paling disayangi orang tua dan kakek-neneknya, karena anak lelaki hanya tiga orang.
Ibunya Siti Rewan bermarga Nasution tapi lahir dan tumbuh di Aceh. Dia berhenti menjadi guru Normal School (sekolah guru), karena kawin muda. Ayahnya, Aden Lubis gelar Sutan Sanalam, juga berhenti jadi guru Normal School lalu menjadi klerek, pegawai rendahan di kantor gubernur Banda Aceh, lalu pindah ke Tapaktuan, Aceh Selatan. Sebelum sekolah, Lubis suka dibonceng ayahnya naik sepeda, dari Kutaraja ke Lhok Nga, sekira 14 kilometer. Sampai di Lhok Nga, Lubis dititipkan ke pesanggrahan, lalu ayahnya pergi bekerja sebagai kontrolir.
Lubis belajar bermacam hal dari orang tuanya. “Dari ibu, saya belajar kebersihan. Kaki kami hanya boleh kena tanah pada hari Minggu. Selebihnya harus pakai sandal. Selain itu, ibu suka membaca dan menyukai sajak. Hingga saya suka sajak. Saya sangat tertarik dengan sajak Chairil Anwar dan Amir Hamzah, walaupun tidak sampai mendalami. Kalau dari ayah, saya belajar disiplin waktu dan kemauan kerja,” ujar Lubis dalam memoarnya di majalah Tempo, 29 Juli 1989.
Kalau dari angku (kakek) dari pihak ibu, Raja Imbang Nasution, seorang hakim agama di Pengadilan Agama Kutaraja, Lubis belajar agama. Sedang nenek dari pihak ibu yang berbadan gemuk, dia kerap tidur di pangkuannya karena hangat.
Kelak, ajaran kedua orang tuanya itu Lubis terapkan pada anak-anaknya. “Ayah mendidik kami disiplin, tapi bukan disiplin keras seperti militer. Ayah sangat memperhatikan kebersihan, makanya kami punya tugas bersih-bersih rumah. Dia juga mengingatkan kami agar jangan pernah meninggalkan salat,” ujar Furqan Lubis, anak keenam Zulkifli Lubis.
Bikin Patriot
Lubis sudah sekolah pada umur empat tahun lebih sedikit karena orang tuanya menganggapnya cerdas. “Ayah cerdas karena orang tuanya guru,” kata Furqan. Di sekolah, dia disukai guru Belanda maupun guru Indonesia. Dia sekolah HIS di Kutaraja. Semua pelajaran dia suka, kecuali bahasa. Pelajaran favoritnya berhitung dan sejarah; dia suka dapat nilai sempurna (sepuluh). Bahkan urusan berhitung, dia nomor wahid.
Ketika sekolah HIS, Lubis dipanggil Kifli, bukan Lubis. Panggilan Kifli bertahan sampai dia sekolah AMS-B di Yogyakarta. Baru pada zaman Jepang dia dipanggil Lubis, karena Lubis lebih mudah disebut dalam bahasa Jepang.
Lulus HIS, Lubis masuk Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Di sekolah menengah pertama ini, dia keranjingan membaca. Nyaris setiap hari dia membaca surat kabar Deli Blaad. Dari koran berbahasa Belanda terbitan Medan ini, dia mengetahui pidato-pidato Sukarno, Mohammad Hatta, Mohammad Husni Thamrin, dan mengenai Volksraad. Dia juga mengetahui adanya pergerakan, walau tak bisa ikut aktif.
Dari ibu, saya belajar kebersihan. Ibu suka membaca dan menyukai sajak. Kalau dari ayah, saya belajar disiplin waktu dan kemauan kerja.
Tapi, di MULO, Lubis bersama teman-temannya dan sejumlah guru, membikin perkumpulan bernama Patriot. Ketuanya Yahya Bahram Rangkuti –kelak memimpin Batalion I Resimen III TKR/TRI Sukabumi dalam mengadang pasukan Sekutu di jalur Sukabumi-Cianjur pada 9–12 Desember 1945 dan 10–14 Maret 1946. Patriot merupakan kumpulan yang menentang kehendak kolonial, walaupun secara diam-diam. Misalnya, kalau upacara, mereka tak mau menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus.
“Bahkan dalam setiap upacara, kelompok Patriot diam saja, dan memberi isyarat tertentu, seperti menggeser-geserkan kaki ke teman lain, agar teman-temannya yang lain tidak menyanyikan lagu kebangsaan Belanda,” tulis Peter Kasenda dalam biografi Zulkifli Lubis, Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD.
Hidup Mandiri
Keterbatasan pendidikan lanjutan menyebabkan Lubis meninggalkan Banda Aceh. Setamat MULO sekira 1940-an, dia masuk AMS-B (Algemene Middlebare School), sekolah menengah atas berbahasa Belanda jurusan ilmu pasti, di Yogyakarta. Karena wajahnya seperti orang Belanda, di rumah dia dipanggil Yan –panggilan kecil orang Belanda.
“Ayah tidak mengandalkan kiriman dari orang tuanya. Dia hidup mandiri dengan berdagang menggunakan sepeda menempuh berkilo-kilo meter. Dia tak mengalami kesulitan karena banyak yang menerima dan menyayanginya,” ujar Furqan. “Makanya beliau menekankan kepada anak-anaknya agar hidup mandiri.”
Di Yogyakarta, Lubis tinggal sementara di rumah seorang famili guru HIS-nya di Tapaktuan. Setelah itu, dia indekos di rumah ibu Sastro di Gowongan Lor, Yogyakarta. Sekira 15 orang dari berbagai daerah indekos di situ. Tak lama, Lubis bersama delapan teman dari AMS-B dan AMS-A mengontrak rumah di Jetis.
Di AMS-B, Lubis seorang pelajar biasa saja, tapi tetap nomor satu dalam pelajaran Aljabar. Bahkan, dia disuruh ke depan kelas untuk mencoba mengajar tata negara dan sejarah. Para gurunya rata-rata berusia di atas 40 tahun, bergelar doktor dan insinyur. Dalam pelajaran sejarah, walaupun gurunya Belanda, mereka tak menjelek-jelekkan pergerakan nasional Indonesia maupun tokoh-tokoh seperti Sukarno. Mereka menyebutkan adanya organisasi-organisasi pergerakan seperti Parindra dan Taman Siswa.
Di AMS-B, Lubis tak melulu belajar. Dia bersama teman-temannya, termasuk yang menjadi anggota Partai Indonesia Raya (Parindra), sering mengadakan diskusi. Mereka mengkritik pemerintah kolonial. Lubis sendiri tak bergabung dengan organisasi apapun. Bentuk perasaan nasionalismenya dia tunjukkan, misalnya, dengan semangat tak mau kalah dari pelajar Belanda, sekalipun dalam pelajaran bahasa Belanda.
Ketika pasukan Jepang memasuki Jawa, semua sekolah ditutup selama beberapa bulan. Lubis pun hanya sampai kelas dua AMS-B. “Berbeda dengan siswa-siswa lainnya yang pulang ke kampung mereka pada masa itu, Lubis tetap tinggal di Jawa dengan berharap dapat meneruskan pelajarannya,” tulis Joyce C. Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang.
Di masa Jepang inilah, jalan hidup Zulkifli Lubis terbuka lebar. Siapa sangka dia akhirnya menjadi tentara, bahkan punya andil besar dalam mendirikan lembaga intelijen Indonesia.*