Peringatan Hari Buruh 1 Mei di Jakarta. (IPPHOS/ANRI).
Aa
Aa
Aa
Aa
KETIKA dibui pada 1930, Sukarno didakwa atas tuduhan menebar kebencian terhadap pemerintah kolonial. Dalam kerangkeng penjara Sukamiskin di Bandung, pemimpin PNI itu menuliskan pidato pembelaannya.
“Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan menjadi buruh antara bangsa-bangsa, Tuan-tuan Hakim, –itu bukan nyaman! Tidakkah oleh karenanya, wajib tiap-tiap nasionalis mencegah keadaan itu dengan sekuat-kuatnya? Tidakkah hal ini saja sudah cukup buat membenarkan kami punya pergerakan?” kata Sukarno dalam pledoinya, Indonesia Menggugat.
Semasa berdirinya yang singkat di zaman kolonial, PNI mempunyai pengaruh kuat di bidang perburuhan. Menurut Soenario dalam Banteng Segitiga, PNI berperan melahirkan serikat-serikat buruh: Persatuan Sopir Motoris Indonesia, Sarekat Anak Kapal Indonesia (SAKI) di Tanjung Priok, Persatuan Djongos Indonesia (PDI), dan Oost Java Spoor Bond Indonesia di Surabaya.
KETIKA dibui pada 1930, Sukarno didakwa atas tuduhan menebar kebencian terhadap pemerintah kolonial. Dalam kerangkeng penjara Sukamiskin di Bandung, pemimpin PNI itu menuliskan pidato pembelaannya.
“Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan menjadi buruh antara bangsa-bangsa, Tuan-tuan Hakim, –itu bukan nyaman! Tidakkah oleh karenanya, wajib tiap-tiap nasionalis mencegah keadaan itu dengan sekuat-kuatnya? Tidakkah hal ini saja sudah cukup buat membenarkan kami punya pergerakan?” kata Sukarno dalam pledoinya, Indonesia Menggugat.
Semasa berdirinya yang singkat di zaman kolonial, PNI mempunyai pengaruh kuat di bidang perburuhan. Menurut Soenario dalam Banteng Segitiga, PNI berperan melahirkan serikat-serikat buruh: Persatuan Sopir Motoris Indonesia, Sarekat Anak Kapal Indonesia (SAKI) di Tanjung Priok, Persatuan Djongos Indonesia (PDI), dan Oost Java Spoor Bond Indonesia di Surabaya.
Sejarawan John Ingleson dalam Buruh, Serikat, dan Politik mencatat, PNI mulai mengambil langkah pertama mengorganisasi buruh-buruh perkotaan: kelompok sopir di Bandung dan buruh pelabuhan di Tanjung Priok. Agitasi PNI pun merambah hingga Jawa Timur. “Pemerintah kolonial semakin cemas melihat keterlibatan anggota-anggota PNI dan Indonesische Studie Club,” tulis Ingleson.
“Memang perjuangan ini (buruh, red.) merupakan faktor penting dalam massa aksi PNI,” tulis Soenario.
Selepas Indonesia merdeka, buruh tetap menjadi kaum yang diperjuangkan PNI.
KBKI tumbuh pesat lantaran melayani para buruhnya dan menjadi sumber dukungan politik bagi partai.
Geliat Buruh Moderat
Organisasi buruh yang berafiliasi dengan PNI bermula dari Ikatan Buruh Demokrat (IBD), serikat buruh perkebunan PNI di Sumatra Utara, yang dibentuk Januari 1951. Pada September 1951, DPP PNI mendirikan Himpunan Buruh Indonesia (Himbi) untuk melatih kader-kader buruh. Dalam Kongres PNI ke-6, keputusan memfusikan IBD dengan Himbi melahirkan Konsentrasi Buruh Kerakyatan Indonesia (KBKI) pada 10 Desember 1952 dengan ketuanya Saleh Umar, ketua PNI cabang Sumatra Utara.
Program umum KBKI ditujukan agar sejalan dengan haluan PNI yang nasionalis. Program tersebut menyatakan bahwa KBKI tak sepenuhnya menerima konsep perjuangan kelas. KBKI juga berorientasi pada pengembangan kewiraswastaan nasional sepanjang hal ini tidak menciptakan kapitalisme nasional.
Dalam Kongres KBKI tahun 1954, nama organisasi buruh ini diganti menjadi Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia di bawah pimpinan Ahem Erningpradja. Ahem dibantu seorang tokoh perburuhan terkemuka, A.M. Datuk, yang menjabat wakil ketua I. Di tangan Ahem, KBKI menjadi organisasi partisan PNI paling maju.
Pada 1956, KBKI mengklaim beranggotakan 500.000 ribu orang, tersebar di 13 provinsi, 81 kota, dan 372 bagian kantor atau pabrik. Setahun kemudian, KBKI menjadi serikat buruh terbesar kedua –setelah Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi dengan PKI– dengan sekira sejuta anggota.
Menurut J. Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi, dibanding ormas PNI lainnya, KBKI tumbuh pesat lantaran melayani para buruhnya dan menjadi sumber dukungan politik bagi partai. “Meskipun KBKI menerima garis partai tentang pengembangan usaha nasional, tidak terhindarkan bahwa dalam upayanya mendapatkan dukungan yang lebih besar, KBKI akan bertabrakan dengan kepentingan para pengusaha yang didukung PNI,” tulis Rocamora.
Ketika pemerintah mendeklarasikan kebijakan nasionalisasi akhir 1957, KBKI berada di garda terdepan dalam pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. Namun, benih-benih konflik dengan DPP PNI muncul. Pada pertengahan 1958, banyak rumah perusahaan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran milik Belanda, yang dihuni anggota KBKI diambil alih Angkatan Darat. Hal ini mengurai ketegangan antara pimpinan KBKI dan pimpinan PNI di kabinet. Hardi, tokoh PNI yang menjadi wakil perdana menteri, dianggap kurang berupaya membela kepentingan KBKI.
Pecah Kongsi
Ketika Ahem diangkat menjadi menteri perburuhan pada 1959, KBKI bukan cuma mengungguli serikat buruh lain, tetapi juga semakin tak terikat pada partai. Pasalnya, Ahem mengambil kebijakan agar hanya orang-orangnya yang duduk dalam pimpinan KBKI. Melalui pengaruh Ahem, banyak pimpinan KBKI memperoleh kedudukan di kantor-kantor kementerian perburuhan setempat.
Konflik berlanjut tatkala DPP PNI menolak A.M. Datuk dicalonkan kembali sebagai pimpinan KBKI. Datuk dianggap perusuh dan musuh bagi kelompok Hardi yang konservatif. DPP PNI menghendaki supaya KBKI seturut dengan politik PNI.
Perseteruan memanas. Pada Desember 1962, Ahem menulis surat edaran resmi kepada semua departemen: hanya KBKI di bawah Dewan Pimpinan Sentral (DPS) Ahem Erningpradja yang diakui sebagai organisasi buruh PNI. Dengan demikian, pengurus KBKI dari unsur DPP PNI tersingkir. DPP PNI melancarkan balasan dengan memecat Ahem dari keanggotan partai. Kendati demikian, Ahem yang didubeskan ke Korea Utara menyatakan KBKI versinya tetap jalan.
Menurut S.K. Trimurti dalam Hubungan Pergerakan Buruh Indonesia dengan Pergerakan Kemerdekaan Nasional, dalam kongres KBKI ke-3 pada 1962, KBKI terpecah menjadi dua: KBKI yang diakui DPP PNI pimpinan Surojo dan DPS KBKI pimpinan Ahem Erningpradja.
KBKI Ahem kemudian berafiliasi dengan Serikat Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia (SOKSI), yang disponsori Angkatan Darat. Ia tidak bergaung lagi setelah itu. Sedangkan KBKI Surojo mengubah nama menjadi Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM) sesuai hasil Kongres X PNI di Purwokerto tahun 1963.
KBM sepenuhnya berada dalam kendali partai. Ia tetap menjadi organisasi andalan PNI. Dibanding SOBSI, KBM jauh lebih aktif dan berhasil dalam menarik anggota baru. Ketika konfrontasi Ganyang Malaysia bergolak, KBM masih menjadi garda terdepan dalam penyitaan perusahaan Inggris dan Amerika.
“Peranan kepeloporan kita dalam penyitaan ini merupakan bagian dari usaha yang lebih besar untuk memajukan revolusi nasional,” tulis Laporan Umum DPP KBM pada Kongres Nasional ke IV (1965), dikutip Rocamora.
Namun, kiprah KBM tak panjang. Ia mati suri memasuki masa Orde Baru yang anti terhadap buruh. Belakangan, KBM dihidupkan kembali tak lama setelah rezim Soeharto tumbang pada 1998.*